Begini Uniknya Tradisi Maulid Nabi di Betawi

Tradisi Maulid Nabi di Betawi
Dengarkan Artikel Ini

Malang – 1miliarsantri.net : Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW di Indonesia tidak pernah lepas dari ekspresi budaya lokal yang membentuk kekhasan di setiap daerah.

Di tengah kota metropolitan seperti Jakarta, khususnya di kalangan masyarakat Betawi, peringatan Maulid bukan hanya menjadi bentuk penghormatan terhadap kelahiran Rasulullah, tetapi juga menjadi bagian dari identitas budaya yang terus dilestarikan lintas generasi.

Bagi masyarakat Betawi, Maulid Nabi adalah momen spiritual sekaligus sosial yang mengikat hubungan antarwarga, keluarga, bahkan antar-kampung.

Lebih dari sekadar pembacaan sejarah kelahiran Nabi melalui kitab Barzanji, peringatan Maulid di tanah Betawi berlangsung dengan semarak, menyatukan nilai religius, tradisi lokal, dan kebersamaan komunal.

Kitab Barzanji dalam Setiap Hajatan

Kitab Barzanji menjadi elemen utama dalam perayaan Maulid Nabi di berbagai wilayah Indonesia, tak terkecuali di Betawi. Kitab yang berisi syair-syair pujian kepada Nabi dan kisah hidupnya ini dibacakan dengan irama khas, menciptakan suasana khidmat sekaligus hangat.

Menariknya, di kalangan masyarakat Betawi, pembacaan Barzanji tidak hanya terbatas pada bulan Maulid (Rabi’ul Awal), tetapi juga hadir dalam berbagai kegiatan lainnya.

Mulai dari acara tasyakuran, khitanan, akad nikah, hingga peringatan kematian, kitab Barzanji selalu menjadi pengiring utama. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya keterikatan masyarakat Betawi terhadap sosok Nabi Muhammad SAW, sekaligus memperlihatkan bagaimana unsur spiritual menyatu dalam siklus kehidupan masyarakatnya.

Lebih dari itu, sebagian masyarakat Betawi mulai membaca Maulid sejak bulan Rabi’ul Awal hingga Rajab. Keyakinan ini berangkat dari pemahaman bahwa ketiga bulan tersebut adalah masa yang dipenuhi berkah kelahiran Rasulullah.

Tak heran jika tradisi pembacaan Barzanji dapat berlangsung berbulan-bulan, mewarnai malam-malam warga dengan lantunan doa dan pujian.

Petasan sebagai Penanda Kegembiraan

Salah satu aspek yang membedakan tradisi Maulid Nabi di Betawi dengan daerah lain adalah hadirnya petasan. Meskipun bagi sebagian masyarakat hal ini tampak sebagai elemen hiburan semata, petasan memiliki makna historis dan simbolis yang dalam.

Penggunaan petasan dalam budaya Betawi merupakan bentuk akulturasi dengan tradisi Tionghoa, yang sejak dulu menggunakan petasan sebagai penolak bala dan pengusir roh jahat.

Masyarakat Betawi kemudian mengadaptasi elemen ini dalam berbagai hajatan, termasuk Maulid Nabi, sebagai bentuk kegembiraan dan simbol ajakan kepada warga sekitar untuk turut hadir.

Secara fungsional, petasan menjadi semacam “kode” undangan. Ketika suara petasan terdengar, warga dari kampung-kampung sekitar akan tahu bahwa sedang ada perayaan. Mereka pun akan datang berbondong-bondong, membawa serta makanan, kerabat, dan semangat gotong royong.

Menariknya, pada masa lampau, petasan yang digunakan bersifat tradisional. Bambu diisi dengan potassium, lalu diledakkan menggunakan air dan percikan api, menghasilkan suara nyaring yang menggema di antara rumah-rumah panggung.

Kini, sebagian besar masyarakat menggunakan petasan buatan pabrik, namun makna sosialnya tetap bertahan.

Diawali dengan Tawasul dan Doa Bersama

Kekuatan spiritual dalam tradisi Maulid Betawi juga tampak pada urutan ritual yang dilakukan. Pembacaan Maulid selalu diawali dengan tawasul, yakni pembacaan surat Al-Fatihah yang dihadiahkan kepada arwah para leluhur atau kerabat yang telah wafat. Tawasul menjadi jembatan antara dunia yang fana dan alam keabadian, menghadirkan nuansa spiritual yang dalam.

Setelah tawasul, dilanjutkan dengan pembacaan surat Yasin dan tiga surat pendek dari Al-Qur’an: Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas. Barulah kemudian acara inti dimulai dengan pembacaan Barzanji.

Bagi masyarakat Betawi, rangkaian ini bukan sekadar rutinitas, melainkan bagian dari pengamalan ajaran Nabi Muhammad SAW yang senantiasa menganjurkan umatnya untuk mendoakan sesama, menjaga hubungan antar-generasi, dan memperkuat ikatan ukhuwah.

“Surat Yasin dan Barzanji adalah pengikat rohani kami,” ujar Haji Munir, tokoh masyarakat di daerah Condet, Jakarta Timur. “Kami ingin anak-anak muda tetap mengenal siapa Nabi mereka, dan bagaimana seharusnya hidup meneladani beliau.”

Tradisi yang Menyesuaikan Zaman

Perubahan sosial dan modernisasi tidak serta-merta menghapus tradisi Maulid di Betawi. Meski Jakarta kini berubah menjadi kota megapolitan dengan hiruk-pikuk keseharian, tradisi ini masih terus dipertahankan di berbagai kampung tua, terutama di wilayah seperti Condet, Kampung Melayu, Kemayoran, hingga Marunda.

Namun, tentu saja ada penyesuaian. Generasi muda kini mulai menggabungkan pembacaan Maulid dengan tampilan multimedia, dokumentasi digital, bahkan live streaming untuk menjangkau keluarga yang jauh. Meski bentuknya berubah, substansi spiritual tetap menjadi fondasi utama.

Di tengah arus globalisasi dan gempuran budaya pop, Maulid Nabi di Betawi menjadi semacam jangkar identitas yang menghubungkan warga urban dengan nilai-nilai luhur, tradisi leluhur, dan keteladanan Rasulullah. Ia menjadi pengingat bahwa modernitas tak harus mengorbankan akar budaya dan spiritualitas.

Penulis : Ramadani Wahyu

Foto Ilustrasi AI

Editor : Iffah Faridatul Hasanah dan Toto Budiman


Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Berikan Komentar Anda

Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca