Perguruan Tinggi Bukan Pabrik: Menjaga Amanah Pendidikan dan Akhlak Generasi Emas

Perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia kini tengah menghadapi kritik serius. Salah satu isu utama adalah kecenderungan kampus besar untuk merekrut mahasiswa baru dalam jumlah yang semakin banyak, seolah-olah perguruan tinggi adalah pabrik yang berorientasi pada kuantitas produksi. Padahal, esensi perguruan tinggi bukan sekadar mencetak lulusan massal, melainkan mendidik manusia paripurna yang berilmu, berakhlak, dan siap memimpin bangsa.
Pendidikan Bukan Mesin Produksi
Sejarah pendidikan tinggi di Indonesia dibangun di atas amanah luhur: mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menjunjung tinggi nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 yang mewajibkan negara menyelenggarakan pendidikan nasional yang meningkatkan kualitas spiritual, bukan sekadar kognitif. Jika perguruan tinggi lebih sibuk menghitung jumlah kursi mahasiswa ketimbang kualitas pendidikan, maka ia kehilangan ruhnya.
Internet memang telah menyediakan berjuta sumber ilmu. Keterampilan teknis pun kini bisa dipelajari secara mandiri melalui kursus daring atau platform digital. Namun, ada satu hal yang tidak bisa didapatkan dari layar gawai: pendidikan akhlak. Proses pembentukan karakter hanya bisa berlangsung lewat teladan, interaksi, dan lingkungan yang mendidik.
Amanah Moral yang Lebih Berat
Mendidik akhlak tidak sama dengan mentransfer pengetahuan. Ia membutuhkan keteladanan dari para dosen, pembiasaan dalam lingkungan kampus, motivasi yang berkelanjutan, bahkan doa dari para pendidik. Di sinilah pendidikan berbeda dari industri. Mesin hanya butuh bahan baku untuk menghasilkan produk. Sementara mahasiswa adalah manusia, yang memerlukan perhatian, pembimbingan, dan kesungguhan dalam proses pendidikan.

Jika orientasi kampus hanya pada jumlah penerimaan, maka kualitas pembinaan akan tergerus. Bayangkan, semakin banyak mahasiswa, semakin sulit menciptakan suasana akrab yang memungkinkan dosen mengenal, memahami, dan menumbuhkan potensi setiap individu. Hasilnya, pendidikan akan berhenti pada tataran formalitas: sekadar kuliah, ujian, dan ijazah.
Menyongsong Indonesia Emas 2045
Bangsa ini sedang bermimpi besar: Indonesia Emas 2045. Pada tahun itu, generasi yang saat ini berusia 18–25 tahun akan tampil sebagai pemimpin negeri. Mereka akan duduk di kursi birokrasi, politik, ekonomi, teknologi, hingga pendidikan. Pertanyaannya: akankah mereka tampil sebagai generasi yang sekadar cerdas, ataukah generasi yang berakhlak, visioner, dan berjiwa pemimpin?
Jawabannya sangat ditentukan oleh cara perguruan tinggi mendidik mereka hari ini. Jika kampus hanya menjadi “pabrik gelar”, maka kita hanya akan melahirkan lulusan yang cerdas secara teknis, namun rapuh secara moral. Sebaliknya, jika kampus kembali pada amanahnya sebagai lembaga pembentuk karakter, maka Indonesia berpeluang besar melahirkan generasi emas yang benar-benar berkilau.
Perspektif Baru: Kampus sebagai “Pesantren Modern”
Sudah saatnya perguruan tinggi mengadopsi spirit pendidikan holistik sebagaimana yang hidup di pesantren. Di pesantren, jumlah santri mungkin tidak sebanding dengan PTN, tetapi kualitas pembinaan berjalan intensif: ada kedekatan guru-murid, penanaman nilai, serta tradisi ilmu yang dibarengi akhlak. Kampus tidak perlu berubah menjadi pesantren, tetapi bisa belajar dari ruhnya: pendidikan harus menyatu antara ilmu, akhlak, dan keteladanan.
Dengan cara ini, perguruan tinggi tidak akan terjebak pada logika industri. Alih-alih berfungsi sebagai “pabrik”, kampus justru menjadi “taman” yang menumbuhkan manusia seutuhnya.
Penutup: Kembali ke Jalan Amanah
Perguruan tinggi memikul beban besar: menjaga masa depan bangsa. Amanah ini menuntut keberanian untuk melawan arus pragmatisasi pendidikan. Pendidikan tinggi harus mengutamakan kualitas akhlak di atas kuantitas penerimaan. Jika generasi emas benar-benar diidamkan, maka mendidik dengan ruh, teladan, dan nilai harus menjadi prioritas utama.
Indonesia tidak membutuhkan pabrik gelar. Indonesia membutuhkan perguruan tinggi yang menjadi mercusuar akhlak dan ilmu. Hanya dengan cara itu, cita-cita Indonesia Emas 2045 dapat terwujud.
Abdullah al-Mustofa
Sumber:
Kanal Youtube Adian Husaini TV
Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.