Mengenal Perbedaan Suluk dan Tasawuf

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Pengertian Suluk adalah istilah yang dikaitkan dengan suatu jalan menuju ke arah kesempurnaan batin. Istilah ini biasanya digunakan dalam Islam dan sufisme, serta berhubungan dengan istilah lainnya seperti tasawuf, sufisme, dan tarekat. Suluk secara harfiah berarti menempuh (jalan). Dalam kaitannya dengan agama Islam dan sufisme, makna suluk adalah menempuh jalan (spiritual) untuk menuju Allah SWT. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), suluk adalah jalan ke arah kesempurnaan batin. Selain itu, kita juga bisa memahami suluk adalah pengasingan diri atau khalwat. Menempuh jalan suluk adalah mencakup sebuah disiplin seumur hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoterik agama Islam (syariat) sekaligus aturan-aturan esoteris agama Islam (hakikat). Jalan suluk atau bersuluk juga mencakup hasrat untuk mengenal diri, memahami esensi kehidupan, pencarian tuhan, dan pencarian kebenaran sejati (ilahiyyah). Hal ini dilakukan melalui penempaan diri seumur hidup dengan melakukan syariat lahiriah sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian hati untuk mengenal diri dan Tuhan. Kata suluk berasal dari terminologi Al-Qur’an, Fasluki, dalam Surat An-Nahl [16] ayat 69, Fasluki subula rabbiki zululan, yang artinya Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu). Suluk adalah kegiatan berzikir secara terus-menerus mengingat Allah SWT, meninggalkan pikiran dan perbuatan duniawi hanya untuk mendekatkan diri dan memperoleh keridhaan Allah SWT. Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik. Kata suluk dan salik biasanya berhubungan dengan tasawuf atau sufisme dan tarekat. Suluk adalah jalan menuju kesempurnaan batin. Hal ini tentunya memiliki perbedaan dengan istilah tasawuf. Tasawuf atau yang juga dikenal dengan sufisme adalah ajaran bagaimana menyucikan jiwa, menjernihan akhlak, membangun dhahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian abadi. Tasawuf berasal dari kata sufi. Menurut Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat dari Jurusan Tafsi Hadis dan Akidah Filsafat IAIN Surakarta, dalam TASAWUF: Sejarah, Madzhab, dan Inti Ajarannya, ada sejumlah versi berbeda dalam mengartikan apa itu sufi atau tasawuf. Setidaknya ada ada enam pendapat dalam hal itu, yakni: Meski punya definisi beragam, tasawuf punya arti yang satu yaitu upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi. Masih dalam sumber yang sama, tasawuf dapat diartikan sebagai metode untuk mencapai kedekatan atau penyatuan antara hamba dan Tuhan dan juga untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan hakiki (makrifat) dan atau inti rasa agama. Suluk adalah orang yang memasuki atau menempuh jalan menuju tuhan. Sementara itu, tarekat merujuk pada aliran-aliran dalam dunia tasawuf atau sufisme Islam. Kata tarekat atau thariqah berasal dari kata thariq yang memiliki beberapa arti yaitu: Menurut Mulyadi Kartanegara, dalam konteks tradisi Arab, kata “tarekat” dimaknai sebagai: jalan kecil (jalan pintas) menuju wadi (oase) di gurun dan sulit dilalui karena terkadang sudah tertutup pasir. Dalam konteks agama, Alwi Shihab mendefinisikan tarekat merupakan suatu metode tertentu yang ditempuh seseorang secara kontinyu untuk membersihkan jiwanya dengan mengikuti jalur dan tahapan-tahapan dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, yang pertama yaitu, merupakan metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufu yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah. Pemimpin sebuah tarekat biasa disebut sebagai Mursyīd (dari akat kata rasyada, yang artinya: “penuntun”). Adapun para pengikut tarekat biasa disebut sebagai Murīd (dari akar kata arāda, yang artinya: “yang menginginkan”), yang bermakna orang yang menginginkan untuk mendekat kepada Tuhan. Pengikut tarekat juga biasa disebut Sālik (dari akar kata salaka, yang artinya “yang memasuki”), yang bermakna orang yang memasuki atau menempuh jalan menuju Tuhan. Dalam hal ini tarekat bermakna sebagai jalan yang khusus atau individual, yang merupakan fase kedua dari skema umum tahapan perjalanan keagamaan: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. (zab)

Read More

Sholat Tahajud Para Sahabat

Jakarta – 1miliarsantri.net : Sebagian orang mungkin tidak pernah menyangka bahwa keajaiban sholat tahajud terbukti bukan sekadar isapan jempol. Banyak hikmah dan fadilah yang diperoleh seorang hamba saat berkhalawat dengan Tuhannya. Kisah Tahajud yang dilakukan para Sahabat dan beberapa orang Saleh ditulis dengan indah dalam buku Mukjizat Sholat Malam karangan Sallamah Muhammad Abu Al Kamal. Salah satu yang dilakukan oleh Umar bin Khattab misalnya, saat hendak melakukan tahajud, Umar bin Khattab kerap membangunkan anggota keluarganya sambil membacakan ayat Alquran Surat Thaha ayat 132. وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan sholat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” Umar, seorang khalifah yang memiliki kekuasaan yang membentang dari jazirah Arab hingga ke Mesir kerap menyibukkan malam-malamnya dengan tahajud. Dia bahkan berkata, “Sekiranya bukan karena tiga hal, aku tidak ingin hidup lebih lama, yaitu berjihad di jalan Allah, bersusah payah pada malam hari, dan berkumpul dengan orang banyak untuk mendapat nasihat-nasihat terbaik, seperti mengambil buah-buah terbaik.” Berbeda pula dengan Umar bin Abdul Aziz, salah satu penguasa Muslim paling sukses di zamannya pun tak kendor sholat tahajud. Kesaksian tahajud Umar disampaikan istrinya, Fathimah binti Abdul Malik, kepada Al Mughirah ibn Hakim. “Hai Mughirah, saya tahu bahwa kadang-kadang di antara manusia ada orang yang lebih rajin sholat dan puasa daripada Umar. Akan tetapi, saya tidak pernah melihat orang yang dekat kepada Tuhannya seperti kedekatan Umar. Setelah sholat Isya pada akhir waktu, dia merebahkan diri di atas tempat sujud. Dia berdoa dan menangis hingga tertidur. Kemudian, dia bangun, lalu berdoa dan menangis hingga tertidur. Demikian seterusnya hingga Subuh.” ( Al Zuhd karya Ibn Hanbal). Umar bin Abdul Aziz punya mushala khusus di tengah rumahnya. Tidak seorang pun boleh memasukinya. Di sana, pada akhir malam dia mulai bermunajat hingga terbit fajar. Fathimah pun pernah dibuat sedih saat mendapati Umar sedang gundah usai membacakan sebuah ayat pada malam ketika dia sholat. “Pada hari itu, manusia seperti anai-anai bertebaran dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” Sang Amirul Mukminin pun menjerit. “Oh betapa buruknya keadaanku pada Subuh ini. Kemudian, dia duduk dan merebahkan diri. Dia mulai bersikap dingin kepada istrinya. Umar bin Abdul Azis melanjutkan perkataannya. “Celaka aku! Bagaimana aku pada hari manusia seperti anai-anai yang bertebaran dan gunung-gunung seperti bulu-bulu yang dihamburkan.” Dia pun jatuh seperti mayat hingga terdengar suara azan Subuh. Fathimah, istrinya, kerap berderai air mata saat mengingat kejadian itu. (tah)

Read More

Berbagai Petuah Karya Syekh Nawawi al Bantani Yang Selalu Menguatkan Keimanan

Jakarta – 1miliarsantri.net : Para alim ulama dari masa ke masa hingga sekarang ini selalu menghadirkan nasihat-nasihat maupun petuah-petuah yang memberikan penyegaran serta menambah keimanan. Tak sedikit dari mereka menuliskan berbagai petuah bijaknya dalam berbagai karya. Buah penanya lalu menjadi “abadi” lantaran dibaca dan bahkan dirujuk masyarakat luas dari generasi ke generasi. Syekh Nawawi al-Bantani lewat karya nya Al-Futuhat al-Madaniyah fii asy-Syu’ab al-Imaniyah memuat banyak hikmah yang mengajarkan kepada masyarakat tentang penguatan akidah dan akhlak karimah. Tak hanya berupa penjelasan atas ayat-ayat Alquran dan hadis, kitab ini kaya akan kisah inspiratif. Dengan begitu, pembaca menjadi mudah mafhum akan pentingnya iman yang kokoh dalam mengarungi kehidupan. Terlebih lagi, penjelasan Syekh Nawawi sangat kental akan nuansa tasawuf yang menyentuh hati. Wajar saja, karena di antara rujukan kitab ini adalah An-Niqayah karya Imam as-Suyuthi serta Futuhat Makkiyah karya Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi. Keduanya merupakan sosok yang amat dihormati, khususnya di kalangan salik tasawuf. Bagian awal kitab Al-Futuhat al-Madaniyah menjelaskan tentang ubudiyah, baik yang wajib maupun sunah dan hikmah di dalamnya. Ibadah tambahan merefleksikan eksistensi manusia sebagai pelengkap ciptaan Illahi. “Maka seharusnya Anda melaksanakan ibadah sunah, sebab itu adalah asal Anda,” tulis Syekh Nawawi. Adapun ibadah wajib adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Kewajiban merefleksikan kondisi Sang Pencipta yang harus ada (wajibul wujud). Melaksanakan ibadah wajib berarti mengakui keberadaan Allah, Zat Yang Maha Esa, kekuasaan-Nya, dan mengokohkan keimanan kepada-Nya. Syekh Nawawi kemudian menjelaskan sebanyak 78 hal yang wajib ada sebagai wujud keimanan. Semuanya merupakan refleksi dari rukun iman dan rukun Islam, serta sifat-sifat mulia yang menjadi bagian dari laku tasawuf. Contoh perangai sehari-hari termaktub dalam hal wajib nomor ke-17: “memenuhi semua akad yang dibuat.” Pergaulan sehari-hari tak lepas dari janji yang harus dipenuhi, seperti akad jual-beli, atau akad pernikahan yang dilakukan seorang pemuda yang hendak menggenapkan agamanya. Misal lainnya, adalah pentingnya memiliki sifat malu—ini dijelaskan pada poin nomor ke-19. Seorang Mukmin mengetahui bahwa Allah senantiasa mengetahui dan selalu melihat segala gerak yang dilakukannya. Orang beriman akan malu kepada Allah karena semua yang dikerjakannya akan dicatat dan dipertanggungjawabkan. “Menyayangi semua makhluk” juga menjadi bagian dari keimanan, seperti yang dijelaskan pada poin nomor ke-21. Sifat objek kasih sayang bukan hanya pada orang-orang seiman, tetapi siapapun dengan berbagai latar belakang. Semuanya berhak mendapatkan kasih sayang untuk mewujudkan kehidupan harmonis dalam kebersamaan. Kasih sayang juga menggambarkan pandangan kesatuan manusia dengan alam sekitar tempat mereka menjalani kehidupan. Dengan menyayangi alam, kehidupan menjadi lestari. Makhluk menjalani kehidupan di alamnya tanpa ada yang terganggu. Keseimbangan alam terjaga sehingga keanekaragaman hayati terhindar dari kepunahan. Seperti tampak pada judulnya, Al-Futuhat al-Madaniyah juga menjabarkan perihal kehidupan madani, baik dalam konteks keumatan maupun kebangsaan. Syekh Nawawi dalam karyanya ini menjelaskan beberapa akhlak yang berkaitan dengan kehidupan bernegara. Misalnya, mengemban kekuasaan dengan adil—tercantum pada poin ke-50. Dai asal Tanara, Banten, itu menegaskan, seorang pemimpin harus membuat keputusan dengan benar agar maslahat di tengah masyarakat. Menurut ulama kelahiran tahun 1813 Masehi tersebut, penting itu menghindari hawa nafsu yang hanya membawa seorang pemimpin pada kepentingan segelintir dan mengabaikan kemaslahatan luas. Kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan di dunia maupun akhirat kelak. Masyarakat pun akan menilai, apakah pemerintahan berjalan dengan baik atau tidak. Allah juga akan mengganjar seorang amir yang amanah dengan pahala atau bahkan siksaan—bila ia berkhianat. Termasuk akhlak berbangsa adalah patuh kepada pemimpin (ulil amr). Meskipun pemimpin itu adalah seorang budak buruk rupa, masyarakat wajib menaatinya, selama apa yang diperintahkan adalah kebaikan. Dalam menjelaskan poin ke-51 ini, Syekh Nawawi menuliskan kisah seorang non-Muslim memasuki sebuah daerah. Ketika itu dia melihat masyarakat ramai berkerumun untuk menyaksikan pemimpin mereka datang. Orang tersebut ikut berkumpul. Ketika itu dia tercengang, karena pemimpin yang dimuliakan itu dulunya dia kenal sebagai budak. Sejak itu, dia menyadari bahwa Allah dengan kuasa-Nya mampu membolak-balik keadaan manusia. Dia kemudian mengikrarkan keimanan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Secara tersirat Syekh Nawawi menjelaskan bahwa iman tak sekadar tertanam dalam hati atau sebatas kata-kata manis. Lebih dari itu, keyakinan harus terwujud dalam laku-kata yang terpuji, yang tidak menyakiti hati orang lain, mendukung kemajuan hidup, dengan dasar keimanan yang kokoh. Meski ditulis oleh intelektual yang hidup pada abad ke-19, kitab ini tetap menyuguhkan solusi yang relevan atas persoalan akhlak dan kepribadian Muslimin kini. Al-Futuhat al-Madaniyah menyegarkan pemahaman kita tentang aplikasi keimanan dalam kehidupan sehari-hari, dalam laku-kata kepada sesama makhluk, termasuk di dalamnya alam tempat semua makhluk tinggal. Dengan membaca kitab ini, seseorang dapat sedikit memahami akhlak tasawuf yang menjadi ruh pembentuk kepribadian Muslim taat kepada Sang Pencipta. Kitab ini juga mengarahkan pembacanya untuk memahami bagaimana bermuamalah kepada sesama. Yang lebih penting lagi, Syekh Nawawi juga mengajarkan akhlak berbangsa untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang adil, berdaulat, dan makmur. Ini menandakan sang alim mencintai negerinya dan ingin umat Islam di mana pun menjadi bagian dari perubahan kehidupan yang berkembang atau madani.

Read More

Beda Pandangan Sufi NU – Muhammadiyah

Jogjakarta – 1miliarsantri.net : Sufisme sebagai praktik spiritual keagamaan biasanya sangat lekat dengan kalangan muslim tradisional daripada yang modernis. Hal ini terjadi dikarenakan kalangan tradisionalis, baik dari kaum abangan maupun santri, sama-sama merujuk pada khazanah mistik klasik yang tetap dilestarikan hingga sekarang. Salah satu organisasi keagamaan yang memiliki gerakan sufisme khas nya adalah Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah organisasi tradisional yang di dalamnya melakukan pembinaan terhadap ajaran sufisme sangat ditekankan, khususnya ajaran imam al-Ghazali. Boleh dibilang NU mampu menyelaraskan antara mistik Islam berhaluan Ghazalian dengan ajaran ilmu kalam Asy’ariyah-Maturidiyah, dan dalam hukum menganut salah satu dari keempat mazhab. Budayawan Nurcholish Madjid mengatakan, NU sangat memperhatikan masalah sufisme-tasawuf, hingga membentuk badan yang dinamakan Jam’iyyah Thariqah Mu’tabarah (Perkumpulan Tarekat Mu’tabarah). Muktamar NU di Situbondo 1984 menetapkan bahwa salah satu ketentuan tentang paham Ahlu al-Sunah wal Jama’ah adalah, dalam bidang tasawuf, mengikuti tarekat mu’tabarah dengan berpedoman kepada ajaran imam al-Ghazali, di samping kepada ajaran para tokoh kesufian Sunni yang lain”. NU di dalamnya kebanyakan beranggotakan kaum santri dan berkeyakinan bahwa unsur batin dari kehidupan keagamaan lebih penting daripada bentuk lahir. Namun, kesalehan luar merupakan ekspresi iman batin dan cara memperkukuh spiritual. Inilah yang tampaknya menjadi pegangan di kalangan santri yang begitu dekat dengan ajaran sufisme, bahkan sampai memiliki perkumpulan tarekat yang disepakati dan dilegalkan oleh NU sendiri. Bahkan, Clifford Geertz menafsirkan dimensi-dimensi ritual dan mistik kesalehan santri tradisional sebagai produk dari sintesis Islam dan agama Jawa pra-Islam. menurut pandanganya, santri tradisional hidup di dalam dunia yang menyendiri, yang sebagian besar terisolasi dari pusat-pusat “ortodoksi” Timur Tengah. Pandangan mereka mengenai Islam lebih bernuansa Jawa daripada Islam. Pandangan Geertz ini tampaknya kurang tempat dalam mengambarkan kondisi spiritual kaum santri. Memang kalangan santri tradisional sangat dekat dengan kultur Jawa, karena pesantren umumnya terpusat di Jawa. Tapi perkumpulan tarekat yang dimiliki oleh NU, yang di dalamnya santri berperan penting, bukanlah suatu hasil kompromi antara Islam dan mistik kejawen, tetapi lebih mengacu pada ajaran sufisme dari ulama-ulama Timur Tengah, seperti Syech Abdul Qadir al-Jilani dengan tarekatnya Qadiriyah. Di sini, praktik sufisme di kalangan santri memang tidak mengalami banyak perubahan, sebab ajaran sufisme di sini lebih dipahami sebagai alamilah keagamaan, bukan wacana akademis yang perlu dikembangkan secara lebih lanjut. Dengan demikian, wacana kontemporer sufisme di tubuh NU cenderung statis dan tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Berbeda dengan NU, Muhammadiyah justru mengalami sedikit pergeseran dalam wacana sufisme. Meski di kalangan Muhammadiyah sendiri sufisme kurang begitu populer, tapi ada saat di mana tokoh-tokoh Muhammadiyah memiliki intensitas yang tinggi terhadap perkembangan ajaran sufisme dan membuat sebuah formulasi baru terhadap ajaran sufisme yang lebih disesuaikan dengan ajaran syariat yang ketat. Salah satu tokoh Muhammadiyah yang memiliki peranan penting dalam mewacanakan sufisme kontemporer di Indonseia adalah Hamka. Melalui bukunya berjudul Tasawuf Modern, beliau telah sungguh-sungguh menjadi peletak dasar bagi wacana baru sufisme di tanah air, wacana baru sufisme ini juga bisa disebut sebagai neo-sufisme. Neo-sufisme adalah wacana kontemporer tentang sufisme yang mencoba mencari keselarasan antara syariat dan hakikat, antara dimensi lahir dan batin, di mana pelopornya adalah Fazlur Rahman. Di dalam buku itu terdapat alur pemikiran yang cukup memberi apresiasi yang wajar kepada penghayatan sufisme atau esoteris Islam, namun sekaligus disertakan peringatan bahwa esoterisme itu harus tetap dikendalikan oleh ajaran-ajaran standar syariat. Apa yang dilakukan oleh Hamka di sini bukanlah pembaharuan praktik ajaran sufi, tetapi lebih pada wacana pembaruan sufi di Indonesia, yang dengannya, diharapkan setiap orang yang mempraktikkan ajaran sufi bisa lebih memperhatikan aspek-aspek syariat agar terjadi keseimbangan dan tidak berat sebelah. Sebagai ulama yang sangat mengenal pemikiran kaum pembaharu klasik seperti Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah, Hamka menunjukkan konsistensi pemikirannya dengan pemikiran tokoh-tokoh itu. Maka bukanlah suatu hal yang terjadi secara kebetulan bila Fazlur Rahman, menyebut kedua tokoh klasik itu sebagai perintis apa yang dinamakan sebagai neo-sufisme. Adalah jenis kesufian yang terkait dengan syariat, atau dalam wawacan Ibn Taymiyah, jenis kesufian yang merupakan kelanjutan dari ajaran Islam itu sendiri sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an, dan tetap berada dalam pengawasan kedua sumber utama ajaran Islam tersebut, kemudian ditambah dengan ketentuan untuk tetap menjaga ketertiban dalam masyarakat secara aktif. Tapi perlu diingat bahwa wacana neo-sufisme yang dikembangkan Hamka ini bukan berarti menganggap bahwa praktik sufi yang dilakukan oleh kalangan tradisionalis seperti NU kurang menghargai syariat atau kurang Islami, sama sekali tidak demikian. Sebab, kalangan tradisional sendiri tetap menjadikan syariat sebagai hal yang paling dasar dalam Islam dan tak pernah lepas dari al-Qur’an dan Sunnah. Hanya saja, mungkin kalangan tradisionalis memiliki cara pandang yang berbeda terhadap ajaran sufisme tersebut sehingga tidak ada yang mesti disalahkan antara satu dengan yang lain. Jadi perbedaan signifikan antara sufisme di NU dan Muhammadiyah lebih pada wacana dan gerakan. Bila NU memahami sufisme lebih sebagai praktik amaliyah spiritual keagamaan – meski tidak mengesampingkan kajian secara ilmiah berbasis kitab kuning – maka Muhammadiyah lebih tertarik memahami sufisme pada tataran konseptual dan wacana akademis. Artinya, di Muhamamdiyah tidak memiliki perkumpulan tarekat sebagaimana di NU, hanya beberapa tokoh saja yang memiliki ketertarikan akademis, selebihnya mempraktikkan sufisme dalam kehidupan sehari-hari dalam sikap keagamaannya. Terlepas dari itu semua, bila ditarik secara garis besar maka wacana kontemporer sufisme di Indonesia boleh dibilang lebih cair daripada di masa-masa silam atau di belahan negara muslim lainnya. Dulu, berbagai pemberontakan terhadap kalangan sufi bisa dari latar belakang mana saja, baik para ulama fikih, kalam, filosof, dan masih banyak lagi. Sekarang ini, penolakan semacam itu sudah tidak ada lagi, paling banter penolakan itu biasanya dilakukan oleh kalangan Salafi-Wahabi yang ulama-ulamanya memang sangat getol menolak paham sufisme dan mistik Islam. Menurut mereka, sufisme tidak ada bedanya dengan kekafiran, bid’ah, dan para praktisinya adalah ahli neraka. (mad)

Read More

Sufi Jawa dibunuh karena dianggap Sesat

Demak – 1miliarsantri.net : Sunan Panggung putra Raden Said atau Sunan Kalijogo pada jaman itu dikenal sebagai sosok pemberontak. Dia mengikuti jejak ayahnya ikut menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Namun, ajaran agama yang disebarkannya tidak dikehendaki pemerintah yang sah. Ajarannya dianggap menyimpang, dan harus dibasmi. Seperti gurunya Syekh Siti Jenar yang mengajarkan manunggaling kawula Gusti, tindakan Sunan Panggung juga tidak dapat dimengerti pada saat itu. Dia digambarkan sangat cinta kepada Tuhan, sehingga kehilangan penglihatannya tentang semua bentuk materi. Yang paling tidak bisa diterima, dia memelihara dua ekor anjing yang selalu mengikutinya kemanapun dia melangkah. Anjing itu diberi nama iman dan tauhid. Bahkan, setiap dia salat Jumat, kedua anjingnya ini selalu dibawa masuk ke dalam masjid. Tindakan ini dianggap tidak sopan dan sembrono, karena melewati batas pemahaman masyarakat. Para wali pun gusar dengan kelakuan najis Sunan Panggung. Mereka lalu meminta penguasa Demak, Sultan Trenggana untuk menjatuhkan hukuman bakar terhadap Sunan Panggung. Putusan pun akhirnya dijatuhkan. Saat kobaran api sudah menyala, Sunan Panggung melempar sandalnya. Tiba-tiba, kedua ekor anjing Sunan Panggung melompat ke dalam api mengambil sandal itu tanpa terbakar. Setelah itu, giliran Sunan Panggung yang melompat. Anehnya, Sunan Panggung juga tidak terbakar dalam kobaran api itu. Di dalam kobaran api itu, dia malah menulis sebuah Suluk Malang Sumirang. Suluk ini bercerita tentang kelahiran dirinya sendiri. Setelah selesai menulis, dia keluar dari kobaran api tanpa terluka sedikit pun. Bajunya pun tidak terbakar sama sekali, utuh seperti sedia kala. Suluk itu kemudian diserahkan kepada Sultan Demak, lalu pergi bersama iman dan tauhid. Setelah berabad-abab kemudian, suluk itu tetap hidup dan terus dirujuk. Salah satunya dalam Serat Cabolek. Suluk itu disalin dan dicetak. Tetapi, tidak hanya Sunan Panggung yang dihukum mati karena berbeda dengan ulama syariah. Pada masa Kerajaan Islam di Jawa, sedikitnya ada 6 ulama tasawuf yang dihukum mati karena memiliki perbedaan ini. Pertama adalah Syekh Siti Jenar. Dia dihukum mati dengan cara dipancung. Kemudian, Ki Anggeng Pengging dihukum mati dengan cara ditikam. Lalu Sunan Panggung, dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Selanjutnya Ki Bebeluk atau Syekh Bagdad dihukum mati dengan cara ditenggelamkan ke sungai. Lalu ada Syekh Amongraga yang dihukum mati dengan cara ditenggelamkan ke dalam laut dan terakhir Ki Mutamakin yang diampuni. Meski dibinasakan, ajaran-ajaran para ulama sufi Jawa itu tetap hidup hingga saat ini. Bagi masyarakat Tegal, Sunan Panggung bahkan juga dianggap sebagai penguasa lokal dengan gelar Panembahan Panggung. Namanya juga diabadikan menjadi Desa Panggung. Ajarannya telah menyebar di wilayah pesisir utara Jawa bagian barat. Wilayah Cirebon, Tegal dan sekitarnya bahkan menjadi medan pertempuran Islam putihan dan kejawen. Dalam pertarungan itu, tidak selamanya Islam putihan menang. Islam kejawen mengalami masa jaya dengan ajaran manunggaling kawula Gusti pada masa Kerajaan Islam Pajang yang didirikan oleh Sultan Hadiwijaya. (lam)

Read More

Beberapa Tips Gus Reza Lirboyo agar bisa selalu dekat dengan Allah

Kediri – 1miliarsantri.net : Menjalin hubungan yang erat dengan Allah merupakan tujuan setiap orang beriman. Kedekatan dengan Sang Pencipta membawa kedamaian, kebahagiaan, dan arah yang benar dalam hidup. Namun, dalam dunia yang serba sibuk dan penuh distraksi ini, selalu dekat dengan Allah sering kali menjadi tantangan tersendiri. Pengasuh Pondok Pesantren Al Mahrusiyah Lirboyo Kediri, KH Reza Ahmad Zahid atau yang akrab dipanggil Gus Reza ini menjelaskan, Allah selalu dekat dengan hamba-Nya. Meskipun manusia kadang yang memiliki perasaan jauh dari-Nya. “Tips yang harus kita lakukan agar selalu dekat dengan Allah sesuai dengan kajian para ulama tasawuf adalah ilmullah, qudratullah, dan irodatullah,” terang Gus Reza. Pertama, ilmullah yakni meyakini bahwa Allah selalu bersama dengan hamba-Nya. Keyakinan akan kehadiran Allah merupakan pondasi yang kuat untuk menjaga kedekatan dengan-Nya. Untuk memperkuat keyakinan ini, penting untuk merenungkan dan memahami sifat-sifat-Nya yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah. “Allah selalu mengetahui apa yang kita lakukan dan bahkan apa yang tidak kita lakukan,” sambungnya. Kedua, qudratullah yakni Allah menguasai terhadap segala sesuatu yang ada di dalam semesti ini. Sampai Tindakan manusia tidak pernah luput dari kekuasaan Allah. Bahkan, dalam diri seorang hamba berada dalam kekausaan Allah. Ketiga, iradatullah yakni kehendak Allah. Apa yang dilakukan manusia merupakan kehendak Allah. Jika Allah tidak berkehendak, maka manusia tidak akan mampu melakukan apa-apa. Memahami dan menerima kehendak Allah adalah langkah penting dalam menjaga kedekatan dengan-Nya. Menerima kehendak Allah melibatkan sikap rendah hati dan penyerahan diri kepada-Nya. Seorang muslim harus mengakui bahwa manusia sebagai hamba-Nya tidak memiliki kendali penuh atas hidupnya sendiri. Allah adalah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. “Apa yang kita lakukan ini semuanya adalah kehendak Allah. Apabila Allah tidak berkehendak, maka kita tidak akan mampu melakukan apa yang kita inginkan,” imbuhnya. Gus Reza mengimbau agar umat Islam menanamkan tiga hal tersebut, agar selalu merasa dekat dengan Allah. Dia juga berpesan agar selalu berdzikir kepada-Nya. Lidah harus basah dengan kalimat-kalimat dzikir. “Allah berjanji akan selalu dekat kepada hamba-Nya yang selalu berdzikir. Sehingga, prakteknya dalam keseharian agar hati kita merasa dekat dengan Allah selain tiga hal tadi yaitu jangan sampai lepas berdzikir kepada Allah,” ungkapnya. Selain itu, seorang muslim bisa menambah rasa cinta kepada Allah dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah. Banyak ibadah sunnah bisa dilakukan seperti bersedekah dan menjalin silaturahmi. “Ketika Allah cinta kepada kita, maka Allah akan selalu Bersama dengan kita. Insya Allah kita akan selalu bersama Allah,” tutup Gus Reza.

Read More

Pengertian Tawakal

Surabaya – 1miliarsantri.net : Arti tawakal menurut bahasa diambil dari bahasa arab tawakkul dari akar kata wakala artinya lemah. Adapun arti tawakal secara harfiah adalah menyerahkan atau mewakilkan. Contohnya seseorang mewakilkan suatu benda atau urusan kepada orang lain. Artinya, dia menyerahkan suatu perkara atau urusannya dan dia menaruh kepercayaan kepada orang itu mengenai perkara atau urusan tadi. Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin arti tawakal adalah bagian dari keimanan, dan seluruh bagian dari keimanan tidak akan terbentuk melainkan dengan ilmu, keadaan, dan perbuatan. Begitupula dengan sikap tawakal, ia terdiri dari suatu ilmu yang merupakan dasar, dan perbuatan yang merupakan buah (hasil), dan keadaan yang merupakan maksud dari tawakkal. Tawakal adalah menyandarkan diri kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa dan hati yang tenang. Jadi tawakal adalah menjadikan nya wajib bersandar kepada-Nya dengan menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Ia merasa tenang dengan sikap demikian itu dan sangat tsiqah kepada-Nya. Ia juga yakin dengan kecukupan dari-Nya ketika ia bertawakal kepada-Nya dalam perkara itu. Adapun dalil tawakal berikut ini. Allah Swt berfirman dalam surah Ali Imran ayat 159: فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159). Firman Allah Swt surah Al-Anfal ayat 61: وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ Artinya: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.Al-Anfal: 61) Tawakal merupakan manifestasi keyakinan di dalam hati yang memberi motivasi kepada manusia dengan kuat untuk menggantungkan harapan kepada Allah SWT dan menjadi ukur tingkat keimanan seseorang kepada Allah SWT. Disamping Islam mendidik umatnya untuk berusaha, Islam juga mendidik umatnya untuk bergantung dan berharap kepada Allah. Dalam kata lain, mereka menyerahkan iman dan keyakinannya kepada Allah di dalam suatu urusan, maka pada suatu saat mereka akan merasai keajaiban tawakal. Seorang yang bertawakal yakin tidak ada perubahan pada bagian- bagian rezeki yang telah ditentukan Allah, sehingga apa yang telah ditetapkan sebagai rezekinya tidak akan terlepas darinya, dan apa yang tidak ditakdirkan untuknya tidak akan ia peroleh, sehingga hatinya merasa tentram dengan hal tersebut dan yakin dengan janji Tuhannya, lalu mengambil (bagian) langsung dari Allah. Pengertian tawakal bukan berarti tinggal diam, tanpa kerja dan usaha, bukan menyerahkan semata-mata kepada keadaan dan nasib dengan tegak berpangku tangan duduk memekuk lutut, menanti apa-apa yang akan terjadi. Bukan merupakan pengertian dari tawakal yang diajarkan oleh al-Qur’an, melainkan bekerja keras dan berjuang untuk mencapai suatu tujuan. Kemudian baru menyerahkan diri kepada Allah supaya tujuan itu tercapai berkat, rahmat dan dan inayahnya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surah Al-Anfal ayat 61 menunjukan penting nya untuk berusaha dan kemudian baru bertawakal. Tawakal merupakan salah satu ibadah hati yang paling utama dan salah satu dari berbagai akhlak iman yang agung. Tawakal bagi orang Islam yang meniti jalan kepada Allah SWT merupakan keperluan pokok, terutama dalam masalah rezki. Masalah ini biasanya menyesakkan fikiran dan hati manusia, membuat badan menjadi letih, jiwa menjadi kusut dan gelisah pada waktu malam dan bertungkus-lumus pada waktu siang. Adakalanya di antara mereka yang sanggup menggadai maruah diri, melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama untuk mendapatkan sesuap nasi untuk meneruskan hidup. Cara untuk melepaskan diri dari melakukan perbuatan yang terlarang disisi agama adalah dengan bertawakal kepada Allah. Insan yang lebih memerlukan tawakal ini adalah jika dia seorang da’i, penyampai risalah dan orang yang biasa memberi nasihat. Mereka melihat tawakkal ini seperti sendi yang kukuh dan benteng yang teguh. Mereka bersandar pada tawakal dalam menghadapi taghut (syaitan), orang kafir, penguasa-penguasa zalim dan pemimpin-pemimpin yang tidak adil. Mereka memohon pertolongan dan perlindungan daripada Allah agar mereka sentiasa berada di bawah perlindungan Allah dan dipelihara daripada melakukan kemungkaran. Hubungan Usaha dan Tawakal Tawakal yang diperintahkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak menghendaki berhentinya usaha. Karena justru usaha itu yang akan menjadi sebab terjadinya perubahan. Allah telah mengatur alam ini dengan hukum sebab-akibat. Semua yang terjadi di alam ini mengikuti hukum sebab-akibat yang telah ditentukan oleh Allah, bahkan peraturan-peraturan Allah pun sangat berkaitan dengan hukum ini. Hadis masyhur yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, Telah datang seorang lelaki yang mengendarai unta kepada Rasulullah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku membiarkan unta ini dan bertawakal kepada Allah? Atau melepaskannya dan bertawakal kepada Allah?” Rasulullah kemudian menjawab, “Tambatlah unta tersebut dan bertawakallah kepada Allah!”. Al-Qur’an juga memerintahkan solat khauf ketika dalam kondisi perang. Al-Qur’an memerintahkan untuk membagi tentara menjadi dua bagian: satu bagian yang melakukan solat dibelakang imam, dan bagian yang lain bersiap siaga menghadapi musuh. Al-Qur’an juga mewasiatkan agar selalu waspada dan memegang senjata, hingga tak ada kesempatan sedikitpun bagi musuh untuk mencuri kesempatan ketika mereka sedang sibuk melaksanakan salat. Macam-Macam Tawakal Ditinjau dari sudut orang yang bersikap tawakal, tawakal itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu: tawakal kepada Allah dan tawakal kepada selain Allah. Tawakal kepada Allah dalam keadaan diri yang istiqamah serta dituntun dengan petunjuk Allah, serta bertauhid kepada Allah secara murni dan konsisten terhadap agama Allah baik secara lahir maupun batin, tanpa ada usaha yang memberikan pengaruh kepada orang lain. Ditambah dengan tawakal kepada Allah untuk menegakkan, membanteras bid’ah, memerangi orang-orang kafir dan munafik, serta memperhatikan kemaslahatan kaum muslim dengan memerintahkan kebaikan serta mencegah kemungkaran. Ini adalah sikap tawakalnya para nabi dan para ulama’ sesudah mereka, dan inilah sikap tawakal yang paling agung dan yang paling bermanfaat. Menurut Abdullah Umar ad-Dumaiji bahwa tawakal kepada selain Allah ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, tawakal syirik yaitu tawakal kepada selain Allah dalam urusan yang tidak bisa dilakukan kecuali Allah SWT. Seperti orang-orang yang bertawakal kepada…

Read More

Empat Perkara Anjuran Menjaga Pandangan Menurut Imam Al Ghazali

Surabaya – 1miliarsantri.net : Setiap umat Muslim nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat terhadap apapun yang diperbuatnya, mulai dari masa baligh hingga akhir hayat, termasuk untuk apa tubuhnya digunakan semasa hidup. Maka dari itu dianjurkan kita harus benar-benar menjaga semua tubuh agar tidak melakukan hal yang dilarang oleh ajaran agama, termasuk menjaga pandangan (mata) menjadi hal yang perlu dilakukan. Imam Al Ghazali dalam Bidayatul Hidayah menjelaskan, mata diciptakan bagi manusia untuk dapat melihat sesuatu kebaikan serta keburukan dan menunaikan segala hajat yang dibutuhkan. Sehingga dalam hal ini, umat Islam dapat mengambil iktibar dari padanya. Al Ghazali berpesan agar umat Islam senantiasa memelihara mata (pandangannya) dari empat perkara: Pertama, melihat perempuan/laki-laki yang bukan mahram. Kedua, melihat gambar-gambar tak seronok yang membangkitkan syahwat. Ketiga, melihat keaiban orang lain. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Inna nazhrota sahmun min sihaami iblisa masmum,”. Yang artinya, “Pandangan mata itu (laksana) anak panah beracun dari berbagai macam anak panah iblis,”. Dalam sebuah hadits sahih yang diriwayatkan Al-Fadl Ibnu Abbas saat mengantarkan Rasulullah SAW dari Muzdalifah sampai ke Mina. Dalam perjalanan, melintas beberapa unta yang sedang membawa wanita. Al-Fadl memandangi mereka, kemudian Rasulullah memalingkan kepala Al-Fadhl ke arah lain. Ini menunjukan larangan sekaligus pengingkaran terhadap tindakan yang bisa berujung pada maksiat. Seandainya saja memandang wanita itu diperbolehkan maka Rasulullah tidak akan memalingkan pandangan Al-Fadl dari para unta yang sedang membawa para wanita itu. Menurut Ibnu Qayyim, lewat pandangan mata tersebut bisa berzina dan bermaksiat. (hud)

Read More

Mengenal Penulis Kitab Al Hikam

Riyadh – 1miliarsantri.net : Siapa yang tidak kenal dengan Syekh Ibnu Atha’illah atau yang memiliki nama lengkap Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu. Ia adalah Penulis Kitab Al Hikam yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili. Ibnu Atha’illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba. Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha’illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at. Ibnu Atha’illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat. Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha’illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara. Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha’illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam. Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya. Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat. Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi. “Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya,” kata Ibnu Atha’illah. Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat. Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. “Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi,” ujarnya. Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha’illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta. Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha’illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh. Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya. (har)

Read More

Penyebaran Islam di Pulau Bawean

Surabaya – 1miliarsantri.net : Penyebaran Islam di Pulau Jawa sarat dengan muatan sejarah dan memang harus dikupas secara keseluruhan sebagai bekal tambahan ilmu bagi generasi berikut nya. Setelah Wali Songo berdakwah di tanah Jawa, ajaran Islam menyebar luas ke seluruh nusantara. Bahkan, hingga pulau-pulau terpencil seperti Bawean yang berada di Jawa Timur. Bawean merupakan pulau mungil yang berada di tengah Laut Jawa. Lokasinya berada sekitar 120 kilometer sebelah utara Kabupaten Gresik. Dilihat dari peta, pulau ini hanya tampak seperti titik nun huruf Arab. Karena itulah pulau ini dijuluki “Titik Nun dari Pulau Jawa”. Pulau Bawean banyak mendapatkan julukan. Kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa pulau ini dulunya disebut dengan nama Buwun. Sementara, pemerintah kolonial Belanda dan Eropa mengenal Bawean dengan sebutan Bovian. Masyarakat Bawean awalnya menganut ajaran animisme dan dinamisme. Namun, setelah berabad-abad lamanya, kini masyarakat Bawean sudah 100 persen menganut agama Islam. Hal ini tak terlepas dari peran dakwah ulama nusantara., Berdasarkan catatan dan dokumen sejarah, Islam masuk ke Pulau Bawean pada abad ke-16. Dalam buku berjudul Bawean dan Islam, Jacob Vrendenbergt mencatat, Islam masuk ke sana sejak 1511 Masehi. Kemudian, ajaran Islam menyebar luas di Bawean setelah datangnya Syekh Umar Mas’ud, tokoh penyebar Islam yang datang dari Pulau Madura. Nama aslinya adalah Pangeran Perigi yang merupakan cucu Sunan Drajat. Berdasarkan catatan historiografi disebutkan bahwa Umar Mas’ud baru berhasil mendirikan kerajaan Islam di Bawean setelah mengalahkan penguasa Bawean yang menganut ajaran animisme dan dinamisme, yaitu Raja Babileono. Saat Umar Mas’ud datang ke Bawean, dakwah yang dilakukannya hampir serupa dengan yang dilakukan para Wali Songo. Dia tidak langsung mengajak masyarakat Bawean masuk Islam. Selama bertahun-tahun dia mendekati masyarakat lebih dulu. Karena keramahan dakwahnya, akhirnya banyak masyarakat Bawean yang bersimpati kepada Umar Mas’ud. Namun, Raja Babileono justru merasa terganggu dengan dakwah Umar Mas’ud tersebut. Penguasa yang ahli sihir itu pun menantang Umar Mas’ud untuk mengadu kesaktian. Atas pertolongan Allah, Umar Mas’ud pun berhasil mengalahkan Raja Babileono. Setelah itu, Umar Mas’ud mendirikan kerajaan Islam di Dusun Sungai Raja, Desa Lebak, dan berkuasa selama 29 tahun mulai 1601 hingga 1630 Masehi. Selama berkuasa, Umar Mas’ud bisa dengan leluasa berdakwah di Pulau Bawean. Untuk melancarkan dakwahnya, dia pun memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pusat Sangkapura. Umar Mas’ud membangun Sangkupura layaknya kota-kota Islam di Pulau Jawa. Bentuk konsepsi tata kota Islam terlihat dari penempatan keraton di pusat pemerintahan Umar Mas’ud. Keraton yang dikenal sebagai Bengko Delem itu terletak di sisi utara Alun-Alun Bawean. Sementara, di sisi selatan alun-alun dibangun pasar terbesar yang ada di Pulau Bawean. Tidak hanya itu, Umar Mas’ud juga membangun sebuah masjid agung di sebelah barat alun-alun. Konsep tata kota Islam tersebut merupakan prakarsa dari Sunan Giri. Umar Mas’ud wafat pada 1630 Masehi dan dimakamkan di belakang Masjid Jami’ Sangkapura. Dalam buku Pesantren Hasan Jufri dari Masa ke Masa, Ali Asyhar menjelaskan bahwa kerajaan Islam tersebut diteruskan oleh para penurus Umar Mas’ud hingga generasi ketujuh, yaitu Raden Panji Prabunegoro atau Raden Tumenggung Pandji Tjokrokusumo pada 1747-1789 Masehi. (mas)

Read More