Perlunya Pendidikan Sholat Kepada Anak Sejak Dini

Jakarta — 1miliarsantri.net : Dalam mendidik generasi penerus, menanamkan kebiasaan ibadah sejak dini adalah hal yang sangat penting. Ajaran agama Islam menekankan perlunya membiasakan ibadah kepada anak-anak, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS Luqman [31]: 17). Ayat ini menekankan pentingnya shalat dan akhlak yang baik sebagai fondasi moral bagi anak-anak. Rasulullah Muhammad SAW juga memberikan perhatian khusus terhadap pentingnya membiasakan anak-anak untuk beribadah, terutama dalam menjalankan shalat. Beliau bersabda: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika anak tersebut berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang mendidik dan tidak menyakiti) ketika umur mereka sepuluh tahun. Pisahkan tempat tidur mereka” (HR Abu Dawud, no. 495). Hadis ini menggarisbawahi betapa pentingnya memulai pembelajaran shalat sejak dini dan memberikan bimbingan yang konsisten kepada anak-anak. Dengan membiasakan anak-anak untuk beribadah, kita tidak hanya memenuhi kewajiban agama tetapi juga membentuk karakter dan moral yang kuat pada mereka. Ibadah yang dilakukan secara rutin dapat menanamkan nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, dan ketekunan. Selain itu, melalui ibadah, anak-anak belajar untuk menghormati waktu, menumbuhkan rasa syukur, dan meningkatkan hubungan spiritual mereka dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu, orang tua dan pendidik memiliki peran vital dalam membimbing dan memberikan contoh yang baik dalam beribadah. Dengan mengajarkan dan mencontohkan ibadah yang benar, akan membantu anak-anak untuk tumbuh menjadi individu yang beriman, berakhlak mulia, dan siap menghadapi tantangan kehidupan dengan sikap yang positif. Pembiasaan ibadah sejak dini adalah investasi berharga untuk masa depan anak-anak kita dan generasi mendatang. (yan) Baca juga:

Read More

Contohlah Kesederhanaan Hidup Rasulullah SAW

Jakarta — 1miliarsantri.net : Siapa yang tak ingin berharta banyak? Hampir Kebanyakan orang pasti menginginkan mempunyai harta berlimpah yang akan digunakan untuk berbagai keperluan, mulai untuk memenuhi kebutuhan harian, hedon, foya-foya dan lainnya. Muncul sebuah pertanyaan terkait dengan harta dan Rasulullah SAW sebagai manusia terbaik di dunia dan teladan manusia. Orang sebaik dan semulia beliaumenginginkan berapa banyak harta? Terkait dengan hal ini, Hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Ibnu Majah menjelaskan hal tersebut. قَالَ مَا أُحِبُّ أَنَّ أُحُدًا عِنْدِي ذَهَبًا فَتَأْتِي عَلَيَّ ثَالِثَةٌ وَعِنْدِي مِنْهُ شَيْءٌ إِلَّا شَيْءٌ أَرْصُدُهُ فِي قَضَااءِ دَيْنٍ Sungguh, aku tidak menginginkan sekiranya emas sebesar gunung Uhud menjadi milikku, kemudian datang lagi yang ketiga, sedangkan aku memiliki sesuatu darinya, kecuali sesuatu yang memang aku persiapkan untuk sekedar membayar utang. Nabi yang mulia, kekasih Allah, ternyata tidak hidup bergelimang harta. Dia tidur di atas alas biasa sehingga menyebabkan badannya sakit. Rumahnya sangat sederhana, hanya terdiri dari beberapa ruangan sederhana. Pakaiannya juga demikian, sama seperti yang dikenakan orang-orang awam. Jadi, Nabi Muhammad bukanlah sosok orang yang berharta banyak. Apakah dia bisa memiliki banyak harta? Sangat bisa, tapi Rasulullah SAW lebih memilih kesederhanaan, apa adanya. Karena kesederhanaan membuat hati tenang, enak berdzikir, tidak dipusingkan dengan keduniaan, menguatkan empati kepada orang lain, dan pastinya, menjadi wasilah menuju keridhaan Allah. (yan) Baca juga :

Read More

MUI Tegaskan Soal Transpuan Umrah Pakai Hijab dan Baju Syar’i

Jakarta — 1miliarsantri.net : Transpuan Isa Zega menjadi sorotan publik usai setelah fotonya saat umrah dengan mengenakan hijab dan gamis syar’i beredar di media sosial. Bahkan melalui unggahan di Instagram miliknya, @zega_real, Isa Zega berada di barisan jamaah wanita saat umrah. Terkait itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan menanggapi viralnya video Isa Zega yang umrah dengan memakai jilbab. DR KH Syamsul Bahri Abd Hamid Lc MA menjelaskan apa yang dilakukan Isa Zega adalah hal yang tidak dibenarkan dalam Islam. “Jika ia seorang laki-laki maka harus berpenampilan ke kodratnya sebagai seorang lelaki,” katanya dikutip dari laman MUI, Sabtu (27/7/2024). Kiai Samsul Bahri kemudian mengulas tentang transpuan dalam pandangan Islam. Ia menjelaskan, transgender dalam Islam dikenal dengan istilah Khuntsa, Mukhanats dan Mutarajjilah. “Mukhannats adalah laki-laki yang berperilaku maupun berpenampilan seperti perempuan, padahal fisiknya jelas seperti laki-laki asli. Mutarajjilah adalah perempuan yang perilaku dan penampilannya menyerupai laki-laki, padahal fisiknya jelas seperti perempuan asli” tambahnya. Sementara Khuntsa merujuk pada orang yang memiliki dua alat kelamin sekaligus dalam tubuhnya sejak lahir. Untuk kasus ini, biasanya harus ditangani medis sehingga diharapkan bisa menemukan kecenderungan sebagai laki-laki atau perempuan. Dari ketiga kriteria ini mukhannats dan Mutarajjilah adalah perkara yang sangat dilarang Allah dan Rasulullah sebagaimana sabda nabi, “Allah melaknat para perempuan yang menyerupai laki-laki, dan para lelaki yang menyerupai perempuan.” Dalam hadis lain disebutkan, “Allah melaknat perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki dan laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan.” Dari penjelasan hadits di atas, Kiai Syamsul Bahri menjelaskan bahwa perilaku Isa Zega termasuk mukhanats, yaitu seorang lelaki yanng menyerupai perempuan. “Maka Allah akan melaknatnya selama ia terus memakai pakaian yang menyerupai perempuan,” tegasnya. (yan) Baca juga :

Read More

Waspada, Jika Gunung yang Disebut Nabi Muhammad ini Muncul, Berarti akan Kiamat

Jakarta — 1miliarsantri.net : Gunung yang menjulang tinggi ke langit menyimpan banyak misteri. Bentuknya yang begitu besar beserta muntahan lahar dan kesuburan di sekitarnya menjadi tanda kebesaran Allah. Lokasi tempatnya berada pun unik, mulai dari di bawah laut yang mengakar hingga ke dalam bumi, kemudian di daratan yang menjulang tinggi ke angkasa. Berikutnya adalah gunung yang terdapat di planet lain. Karena itu, bumi bukanlah satu-satunya planet yang memiliki gunung. Fungsi gunung beragam. Di antaranya adalah sebagai pilar penyangga planet, sebagaimana diterangkan Allah dalam an-Nahl ayat 15 dan lainnya. Gunung juga berfungsi sebagai penyimpan kesuburan dan kekayaan alam yang luar biasa. Setelah meletus, larva yang panas berubah menjadi tanah dan bebatuan yang membuat tanaman tumbuh subur dan memberikan manfaat kepada makhluk lain. Namun ada satu gunung yang harus diwaspadai kemunculannya. Belum diketahui pasti di sebelah mana gunung itu berada. Gunung satu ini disebut oleh Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَحْسِرَ الْفُرَاتُ عَنْ جَبَلٍ مِنْ ذَهَبٍ يَقْتَتِلُ النَّاسُ عَلَيْهِ فَيُقْتَلُ مِنْ كُلِّ مِاائَةٍ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَيَقُولُ كُلُّ رَجُلٍ مِنْهُمْ لَعَلِّي أَكُونُ أَنَا الَّذِي أَنْجُو Hari kiamat tak akan terjadi sebelum Sungai Eufrat mengering dan menyingkapkan gunung emas sehingga manusia saling membunuh (berperang) untuk mendapatkannya. Maka terbunuhlah 99 dari 100 orang yang berperang dan setiap orang dari mereka berkata, ‘Semoga akulah satu-satunya orang yang selamat (HR Muslim). Eufrat merupakan sungai terpanjang di Asia Barat. Juga menjadi sungai terpenting dalam sejarah. Sungai Eufrat dan Tigris adalah dua bengawan yang menjadi sebab daerah di sepanjang tepiannya disebut Mesopotamia, negeri di antara dua sungai. Dari sumbernya di kawasan timur Turki, Sungai Eufrat mengalir melintasi Suriah dan Irak, sampai akhirnya bersatu dengan Sungai Tigris menjadi Sungai Syattul Arab yang bermuara di Teluk Persia. Sungai ini menjadi jalur pengangkutan bijih tembaga dengan menggunakan rakit, karena Mesopotamia adalah pusat kepandaian mengolah tembaga pada zaman Sumer. Eufrat berasal dari bahasa Yunani, Eupharates yang awalnya berasal dari bahasa Persia kuno yakni Ufratu. Pada era kuno, dieja dengan huruf paku dibaca oleh orang Sumeria sebagai Buranuna dan Purratu disebut oleh orang Akkadia. Sungai ini memiliki kedalaman maksimumnya mencapai 3 meter dan panjang sekitar 2.800 km yang berada dalam tiga negara: Irak, Turki, Suriah. Sungai Efrat mengandung banyak sekali fakta di dalamnya dari pelbagai aspek seperti sejarah, keanekaragaman hayati. Jika debit air sungai ini menyusut, apalagi mengering, kemudian muncul gunung emas di sana, maka nantinya manusia akan saling berperang memperebutkannya. Jika gunung ini muncul, maka orang beriman dianjurkan menghindari gunung tersebut, jangan pernah terbesit pikiran hendak mendekati, apalagi mengambil bongkahan emas tersebut. يُوشِكُ الْفُرَاتُ أَنْ يَحْسِرَ عَنْ جَبَلٍ مِنْ ذَهَبٍ، فَمَنْ حَضَرَهُ فَلَا يَأْخُذْ مِنْهُ شَيْئًا “Segera saja sungai Eufrat akan mengering lalu nampaklah gunung emas. Barangsiapa yang menjumpainya, jangan diambil sedikit pun.” (HR. Muslim no. 2894) Imam ahli hadits Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan penyebab larangan mencomot emas dari gunung itu adalah untuk mengantisipasi kekacauan dan pertumpahan darah akibat manusia saling membunuh. (Fathul Baari, 13/81) (yan) Baca juga :

Read More

Hukum Memindahkan Makam untuk Keperluan Publik

Jakarta — 1miliarsantri.net : Perluasan dan pengembangan suatu wilayah terkadang dihadapkan dengan kompleks pemakaman yang telah ada sebelumnya di daerah tersebut. Tidak jarang, makam dipindahkan ke kompleks lain. Lalu bagaimanakah hukum memindahkan makam ini? Anggota Komisi Fatwa MUI, KH Romli, menjelaskan pada dasarnya memindahkan, membongkar atau menggusur jenazah sebelum jenazah itu rusak, adalah hukumnya haram. Karena merusak kehormatan mayit. Hal ini diperkuat dengan firman Allah SWT di surat Al-Isra ayat 70: ۞ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” Begitu juga Nabi bersabda : كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّارواه أبو داود، “Memecahkan tulang mayit seperti memecah tulang orang hidup.” (HR Abu Dawud) Lihat juga fatwa MUI tahun 1981 tentang pemindahan jenazah, bahwa memindahkan jenazah yang telah dimakamkan itu tidak boleh, kecuali ada alasan yang dibenarkan oleh syariat. Sebab di antara penghormatan Allah SWT kepada manusia dengan tidak menggali kuburannya dan merusak kehormatannya. Namun demikian seiring dengan perkembangan dan perluasan kawasan dan wilayah, ternyata banyak makam-makam yang dipindahkan dan digusur. Entah untuk keperluan pembangunan gedung, jalan raya ataupun jalan tol. Lalu bagaimana hukumnya? Dalam literatur fikih, ulama berbeda pendapat terkait persoalan ini. Pertama, ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa haram hukumnya memindahkan mayit dari tempat (negeri atau balad) meninggalnya. Hukum ini berlaku meskipun belum terjadi perubahan pada mayit, sebab ini termasuk ke dalam perbuatan menunda penguburan mayit dan merusak kehormatan mayit. Akan tetapi ulama Syafi’iyah juga menyatakan bahwa diperbolehkan memindahkan mayit dari tempat meninggalnya untuk dimakamkan menuju tempat yang saling terhubung atau berdekatan. Ini juga termasuk apabila telah terjadi adat (uruf) yang berlaku dalam masalah ini (memindahkan mayit dari tempat meninggalnya. Kedua, ulama Hanafiyyah berpendapat diperbolehkan memindahkan mayit sebelum dikuburkan baik jaraknya jauh maupun dekat. Akan tetapi, apabila telah dikuburkan tidak diperkenankan atau haram memindahkannya. Menurut salah satu pendapat dari Imam As-Syarkhasy bila telah melewati jarak 2 mil maka makruh memindahkan makam dari si mayit tersebut. Ketiga, ulama Malikiyyah berpendapat diperbolehkan memindahkan mayit baik sebelum atau setelah dikuburkan. Hal ini dengan syarat asal tidak menyebabkan pemindahan tersebut sampai mayit terpecah atau tubuhnya rusak sehingga mengeluarkan bau busuk yang akan menodai kehormatan mayit (menyebabkan aib bagi mayit). Pemindahan tersebut juga diperbolehkan apabila dikhawatirkan mayit akan tergerus air laut atau pemindahan mayit tersebut untuk dipindahkan ketempat yang lebih berkah. Misalnya adalah dengan dimakamkan di antara keluarganya atau supaya keluarganya dekat untuk menziarahi kuburannya. Keempat, ulama Hanabilah berpendapat tidak diperbolehkan memindahkan mayit dari tempat meninggalnya kecuali dengan tujuan yang baik. Contohnya adalah seperti memindahkan mayit ke tempat yang mulia dari tempat meninggalnya. Lihat : Abdur-Rahman al- Jaziri, Madzahibul al-Arba’ah, Juz 1, h. 538 berikut: نقل الميت من جهة موتهالمالكية- قالوا: يجوز نقل الميت قبل الدفن وبعده من مكان إلى آخر بشروط ثلاثة: أولها: أن لا ينفجر حال نقله، ثانيها: أن لا تهتك حرمته بأن ينقل على وجه يكون فيه تحقير له، ثالثها: أن يكون نقله لمصلحة، كأن يخشى من طغيان البحر على قبره، أو يراد نقله إلى مكان له قيمة، أو إلى مكان قريب من أهله، أو لأجل زيارة أهله إياه فإن فقد شرط من هذه الشروط الثلاثة حرم النقل الحنفية- قالوا: يستحب أن يدفن الميت في الجهة التي مات فيها، ولا بأس بنقله من بلدة إلى أخرى قبل الدفن عند أمن تغير رائحته، أما بعد الدفن فيحرم إخراجه ونقله، إلا إذا كانت الأرض التي دفن فيها مغصوبة، أو أخذت بعد دفنه بشفعة. الشافعية- قالوا: يحرم نقل الميت قبل دفنه من محل موته إلى آخر ليدفن فيه ولو أمن تغيره، إلا إن جرت عادتهم بدفن موتاهم في غير بلدتهم، ويستثنى من ذلك من مات في جهة قريبة من مكة، أو المدينة المنورة، أو بيت المقدس، أو قريباً من مقبرة قوم صالحين فإنه يسن نقله إليها إذا لم يخش تغير رائحته، وإلا حرم، وهذا كله إذا كان قد تم غسله وتكفينه والصلاة عليه في محل موتته، وأما قبل ذلك فيحرم مطلقاً، وكذلك يحرم نقله بعد دفنه إلا لضرورة، كمن دفن في أرض مغصوبه فيجوز نقله إن طالب بها مالكها. الحنابلة- قالوا: لا بأس بنقل الميت من الجهة التي مات فيها إلى جهة بعيدة عنها، بشرط أن يكون النقل لغرض صحيح، كأن ينقل إلى بقعة شريفة ليدفن فيها أو ليدفن بجوار رجل صالح Berdasarkan penjelasan di atas, penulis cenderung pada pendapat yang memperbolehkan pembongkaran dan pemindahan mayit. Hal ini dengan syarat harus sesuai dengan ketentuan dan dengan alasan-alasan yang bersifat syar’i, dharuriy, dan ada kebutuhan mendesak, misalnya: Jenazah dikubur tanpa dimandikan, dikubur di tanah atau pakaian yang digasab, harta jatuh di tempat pengkuburan, atau dikubur tanpa menghadap kiblat. وَنَبْشُهُ بَعْدَ دَفْنِهِ لِلنَّقْلِ وَغَيْرهِ حَرَامٌ إِلَّا لِضَرُوْرَةٍ بِأَنْ دُفِنَ بِلَا غُسْلٍ أَوْ فِيْ أَرْضٍ أَوْ ثَوْبٍ مَغْصُوْبِيْنَ أَوْ وَقَعَ فِيْهِ مَالٌ أَوْ دُفِنَ لِغَيْرِ الْقِبْلَةِ لَا لِلتَّكْفِيْنِ فِي الْأَصَّحِ (lihat : al-Imam Muhyiddin Abu zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin fi al-Fiqh: 62) Ada kebutuhan yang mendesak, seperti kondisi tanah yang becek atau keluar air kotor yang membuat genangan, di daerah sekitarnya banyak binatang buas, atau hal-hal lain yang sekiranya menggangu mayat. Tanah yang dipakai untuk memakamkan milik orang lain dan pemiliknya tidak rela, hingga harus dipindahkan ke pemakaman umum atau lahan pribadi. Ada rencana untuk menggunakan lahan makam demi kepentingan umum seperti jalan Dengan catatan, dalam pembongkaran dan pemindahannya tetap harus memperlakukan dan merawat mayit sebagaimana mestinya. Yaitu menjaga kehormatan orang yang meninggal (mayit), tidak boleh merusak jasadnya dan memecah apalagi mematahkan orang meninggal. (yan) Baca juga :

Read More

Hadist Rasulullah SAW Tentang Kiamat, 5 Hal yang Sudah Terjadi

Jakarta — 1miliarsantri.net : Rasulullah SAW telah membeberkan tanda-tanda terjadinya kiamat dalam berbagai riwayat. Salah satu riwayat berikut ini mengungkapkan tanda kiamat. Sebagiannya sudah terjadi. حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ يَكُونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ وَحَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبٌ مِنْ ثَلَاثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ وَحَتَّى يُقْبَضَ الْعِلْمُ وَتَكْثُرَ الزَّلَازِلُ وَيَتَقَارَبَ الزَّمَانُ وَتَظْهَرَ الْفِتَنُ وَيَكْثُرَ الْهَرْجُ وَهُوَ الْقَتْلُ وَحَتَّى يَكْثُرَ فِيكُمْ الْمَالُ فَيَفِيضَ حَتَّى يُهِمَّ رَبَّ الْمَالِ مَنْ يَقْبَلُ صَدَقَتَهُ وَحَتَّى يَعْرِضَهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ الَّذِي يَعْرِضُهُ عَلَيْهِ لَا أَرَبَ لِي بِهِ وَحَتَّى يَتَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبُنْيَانِ وَحَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرِ الرَّجُلِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي مَكَانَهُ وَحَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا فَإِذَا طَلَعَتْ وَرَآهَا النَّاسُ يَعْنِي آمَنُوا أَجْمَعُونَ فَذَلِكَ حِينَ { لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا } وَلَتَقُومَنَّ السَّاعَةُ وَقَدْ نَشَرَ الرَّجُلَانِ ثَوْبَهُمَا بَيْنَهُمَا فَلَا يَتَبَايَعَانِهِ وَلَا يَطْوِيَانِهِ وَلَتَقُومَنَّ السَّاعَةُ وَقَدْ انْصَرَفَ الرَّجُلُ بِلَبَنِ لِقْحَتِهِ فَلَا يَطْعَمُهُ وَلَتَقُومَنَّ السَّاعَةُ وَهُوَ يُلِيطُ حَوْضَهُ فَلَا يَسْقِي فِيهِ وَلَتَقُومَنَّ السَّاعَةُ وَقَدْ رَفَعَ أُكْلَتَهُ إِلَى فِيهِ فَلَا يَطْعَمُهَا Telah menceritakan kepada kami [Abul Yaman] Telah mengabarkan kepada kami [Syu’aib] telah menceritakan kepada kami [Abu Az Zanad] dari [‘Abdurrahman] dari [Abu Hurairah], bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hari kiamat tidak akan terjadi sehingga dua kelompok besar terjadi pembunuhan besar-besaran padahal ajakan keduanya satu, hingga muncul para pendusta yang kurang lebihnya tiga puluh, kesemuanya mengaku ia utusan Allah, hingga ilmu diangkat, banyak keguncangan, zaman terasa singkat, fitnah muncul dimana-mana, dan banyak alharaj, yaitu pembunuhan, hingga di tengah-tengah kalian harta melimpah ruah dan berlebihan, sehingga pemilik harta mencari-cari orang yang mau menerima sedekahnya, sampai ia menawar-nawarkan sedekahnya, namun orang yang ditawari mengelak seraya mengatakan ‘ Aku tak butuh sedekahmu’, sehingga manusia berlomba-lomba meninggikan bangunan, sehingga seseorang melewati kuburan seseorang dan mengatakan; ‘Aduhai sekiranya aku menggantikannya’, hingga matahari terbit dari sebelah barat, padahal jika matahari telah terbit dari sebelah barat dan manusia melihatnya, mereka semua beriman, pada saat itulah sebagaimana ayat; ‘Ketika itu tidak bermanfaat lagi bagi seseorang keimanannya, yang ia belum beriman sebelumnya atau belum mengerjakan kebaikan dengan keimanannya.” (QS. Al an’am 158), Dan hari kiamat terjadi ketika dua orang telah menyerahkan kedua bajunya tetapi keduanya tidak jadi melakukan jual beli, keduanya tidak jadi melipatnya, dan hari kiamat terjadi sedang seseorang telah pulang membawa susu sapinya tetapi tidak jadi ia meminumnya, dan hari kiamat terjadi ketika seseorang memperbaiki kolam (tempat minum) nya tetapi dia tak jadi meminumnya, dan hari kiamat terjadi sedang seseorang telah mengangkat suapannya tetapi dia tidak jadi menyantapnya.” (HR Bukhari) Jika membaca hadits ini dan mengaktualkannya dengan kondisi saat ini, setidaknya ada beberapa tanda yang sudah terjadi yaitu sebagai berikut: Pertama, perang besar-besaran antara sesama Muslim. Hal ini misalnya bisa kita tengok dengan konflik di sejumlah dunia Islam yang melibatkan sesama orang beriman. Di Irak misalnya, ISIS yang memporak-porandakan Irak hingga membuat perang saudara pecah. Di Suriah juga demikian, konflik besar selama bertahun-tahun terjadi antarorang yang beriman. Termasuk juga menengok apa yang terjadi di Libya. Kedua, aktu yang bergulir begitu cepat. Pernahkah Anda merasa bahwa waktu bergulir begitu cepat. Tiba-tiba saja sudah berganti jam, hari, bulan, dan tahun. Dan ternyata, fenomena ini merupakan satu dari sekian tanda kiamat. Diriwayatkan dari beliau radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَقَارَبَ الزَّمَانُ فَتَكُونَ السَّنَةُ كَالشَّهْرِ، وَيَكُونَ الشَّهْرُ كَالْجُمُعَةِ، وَتَكُونَ الْجُمُعَةُ كَالْيَوْمِ، وَيَكُونَ الْيَوْمُ كَالسَّاعَةِ، وَتَكُونَ السَّاعَةُ كَاحْتِرَاقِ السَّعَفَةِ. “Tidak akan tiba hari Kiamat hingga zaman berdekatan, setahun bagaikan sebulan, sebulan bagaikan sepekan, sepekan bagaikan sehari, sehari bagaikan sejam dan sejam bagaikan terbakarnya pelepah pohon kurma.” (HR Ahmad dan Tirmidzi). Ketiga, maraknya pembunuhan. Ini di antara tanda yang banyak terjadi belakangan ini. Ironisnya, pembunuhan ini melibatkan orang-orang terdekat dan dengan cara yang sangat sadis. Dalam hadits ini disebut dengan diksi alharaj atau pembunuhan Keempat, berlomba-lomba meninggikan dan memewahkan bangunan. Tidak hanya rumah, tetapi masjid atau mushala. Padahal di satu sisi, masih banyak dhuafa dan orang yang membutuhkan bantuan di sekitar Masjid tersebut. Fenomena ini, banyak kita dapati mulai dari pedesaan hingga perkotaan. Kelima, banyak pendusta dengan beragam modusnya. Ada yang mengaku nabi atau rasul, ada yang mampu berdialog dengan semut dan malaikat Jibril, dan tanda-tanda bermunculan nya orang-orang yang menebarkan kedustaan. (yan) Baca juga :

Read More

Salah Satu Amalan ini Yang Dianggap Bid’ah Kaum Salafi

Surabaya — 1miliarsantri.net : Salah satu amalan yang diperdebatkan adalah ngalap berkah (tabarruk). Di kalangan salafi, amalan seperti ini adalah bidah. Sementara di kalangan mayoritas Sunni, amalan semacam ini bukan termasuk bidah. Berkah (idiartikan dengan tambahnya kebaikan (ziyadah al-khair). Sedangkan tabarruk bermakna mencari tambahnya kebaikan atau ngalap barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan. Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ “ Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR Ibn Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al- Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini sahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.) Mengutip Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi, karangan LBM NU Jember, Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang- orang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua. Dalam sebuah diskusi di Masjid At-Taqwa, Denpasar Bali, ada peserta yang bertanya, “Bagaimana Islam menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke makam para wali dengan tujuan mencari berkah?” Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali. Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari Alquran maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits: “Sesungguhnya Nabi Musa berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.” Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata: “Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh al-Tatsrib, [3/303]). Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnah dan ada pahalanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا “Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR Muslim). Dalam satu riwayat: كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ، وَلَا تَقُولُوا هُجْرً “Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, tapi (sekarang) berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur dapat melunakkan hati, menitikkan (air) mata, mengingatkan pada akhirat, dan janganlah kalian berkata buruk (pada saat ziarah).” (HR Hakim) Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawasul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakikatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Para nabi itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR al-Baihaqi dalam Hayat al- Anbiya’) Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini : Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR al-Bazzar, [1925]). Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakikat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini: “Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syekh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373). Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid terkemuka Syekh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah. Beliau berkata: “Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan…

Read More

Mahasiswa Indonesia dipercaya Jadi relawan pembagian takjil Masjid Al-Azhar Kairo

Kairo — 1miliarsantri.net : Masjid Al-Azhar Al-Sharif Kairo menggelar Ifthar Jama’i (buka puasa) seluruh Wafidin (Mahasiswa/mahasiswi asing dalam rangka puasa Asyura’ 10 Muharram 1446 Hijriyah. Kegiaran ini digelar di Pelataran Masjid Al-Azhar Al-Sharif pada Selasa,( 16/7/2024.) Dalam kegiatan ini, mahasiswa dan mahasiswi Indonesia dipercaya menjadi relawan untuk membantu membagikan 5000-6000 takjil gratis dari pihak Masjid Al-Azhar Al-Sharif. Ini merupakan salah satu Bagi mahasiswa Indonesia, kepercayaan yang diberikan pihak Al-Azhar Al-Sharif menjadi relawan sangat membanggakan, karena tidak semua mahasiswa asing memperoleh kepercayaan. Ada alasan mengapa mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang terpilih, menurut penuturan Dr. Ali Hammam, selaku penanggung jawab dari seluruh kegiatan di Masjid Al-Azhar Al-Sharif, karena “Mahasiswa dan mahasiswi Indonesia memiliki akhlak yang baik, tutur kata yang lembut, ikhlas membantu dan memiliki etos kerja yang baik.” Menteri Koordinator 1 PPMI Mesir Ahmad Hadziq Akmal, selaku penanggung jawab dari kegiatan pembagian takjil yang ditunjuk oleh PPMI Mesir memgucapkan “Alhamdulillah, kami PPMI Mesir selalu dipercaya oleh pihak Masjid Al-Azhar untuk membantu acara buka puasa bersama antar mahasiswa asing di Masjid Al-Azhar. Dimulai dari Bulan Ramadhan, hari Arafah, kemudian sekarang buka puasa bersama hari Asyura. Harapannya semoga bisa menjaga nama baik Indonesia dan senantiasa menyambung silaturahmi dengan pihak Al-Azhar Al-Sharif” . (rif) Baca juga :

Read More

Kisah Sahabat Nabi, Abu Dzar al-Ghifari Memeluk Islam

Jakarta — 1miliarsantri.net : Jundub bin Junadah al-Ghifari adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Namanya lebih populer dengan sebutan Abu Dzar al-Ghifari. Seperti tampak pada gelarnya, lelaki berkulit sawo matang ini berasal dari Kabilah Ghifar, yang menghuni daerah antara Makkah dan Madinah—dahulu bernama Yastrib. Seluruh Jazirah Arab mengenai suku ini dengan predikat yang buruk. Pada zaman pra-Islam, orang-orang Ghifar gemar merampok kafilah dagang yang melewati lembah perbukitan. Mereka merampas harta benda atau bahkan membahayakan nyawa banyak pedagang dan musafir. Sebelum mengenal Islam, Jundub alias Abu Dzar pun mencari penghidupan dari jalan merampok. Yang luar biasa, ia tidak segan-segan membegal sendirian para targetnya. Alih-alih ikut dalam rombongan perampok, lelaki berjanggut tebal ini dengan percaya diri membekap mangsanya dan merebut sebanyak-banyaknya harta dari korbannya. Bagaimanapun, Abu Dzar percaya adanya Tuhan. Ia kerap merenung di kala malam, menatap luasnya langit dan ratusan bintang gemintang. Hatinya meyakini dengan sungguh-sungguh, tidak mungkin alam semesta ini ada tanpa Sang Maha Pencipta. Karena itu, sebelum mendengar dakwah Rasulullah SAW, di termasuk yang beriman kepada Allah SWT. Tidak pernah kepalanya sujud menyembah kepada berhala. Kisahnya dalam memeluk Islam disampaikan riwayat dari Ibnu Abbas. Abu Dzar berkata, “Sampai kabar kepada kami (Bani Ghifar) bahwa ada seorang lelaki di Makkah mengaku sebagai nabi. Aku pun menyuruh saudaraku, ‘Temuilah orang itu. Kabarkan padaku tentang dia!’ Saudaraku itu segera berangkat. Lantas, ia kembali dan menyampaikan, ‘Demi Allah, aku melihat seseorang yang mengajak kepada kebaikan dan melarang kemungkaran’.” Berita yang dibawa saudaranya itu ternyata tidak memuaskannya. Abu Dzar pun segera bertolak menuju Makkah dengan bekal seadanya. Padahal, saat itu dia belum mengetahui dengan pasti siapa sosok yang mengaku sebagai utusan Allah itu, apatah lagi tempat tinggalnya. Sesampainya di Makkah, ia berpapasan dengan Ali bin Abi Thalib. Sepupu Nabi Muhammad SAW itu lantas mencegatnya dan berkata, “Sepertinya kau ini orang asing?” “Benar,” jawab Abu Dzar. Ali lantas mengajaknya ke rumah untuk singgah dan menikmati jamuan. Abu Dzar pun menginap satu malam di kediaman Ali. Selama di sana, tidak pernah dirinya menceritakan maksud dan tujuan untuk menyambangi Makkah. Menjelang waktu subuh tiba, ia melihat sang tuan rumah bersiap-siap ke masjid. Abu Dzar pun membuntutinya. Sepulang dari masjid, Ali bertanya kepada tamunya itu, “Apakah kau sudah memutuskan untuk tinggal di mana?” “Belum.” “Kalau begitu, tinggal lagi di sini bersamaku,” kata Ali menawarkan. Melihat tamunya itu mengangguk, Ali kembali bertanya, “Sebenarnya, apa keperluanmu untuk datang ke Makkah?” “Kalau kau rahasiakan, akan kuberi tahu,” jawab Abu Dzar. “Aku akan merahasiakannya.” Maka Abu Dzar mengungkapkan alasannya, yakni hendak menemui lelaki yang telah mengaku sebagai nabi di kota ini. Ali berkata, “Sungguh, Allah telah memberikanmu hidayah. Aku akan berjalan ke tempatnya, maka ikutilah aku. Kalau sampai ada yang yang melihatmu, aku khawatir mereka melakukan sesuatu padamu.” Kedua orang ini lalu menuju ke rumah Nabi SAW dengan sedemikian rupa sehingga orang-orang tak menyangka mereka saling mengenal. Saat bertemu Rasulullah SAW, Abu Dzar memintanya untuk menjelaskan tentang Islam. Sesudah itu, dia langsung bersyahadat dan menyatakan diri sebagai Muslim. Waktu itu, syiar Islam masih disebarkan secara sembunyi-sembunyi. Apalagi, kaum Muslimin di Makkah belum memiliki kekuatan untuk mengimbangi tekanan musyrikin, terutama yang berasal dari kalangan elite Quraisy. Akan tetapi, Abu Dzar bersikeras mengumumkan keislamannya di hadapan khalayak. Ia berkata kepada Nabi SAW, “Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku akan meneriakkan hal ini di tengah-tengah mereka.” Abu Dzar pun pergi ke dekat Baitullah. Saat itu, banyak pemuka Quraisy berkumpul di sana. Langsung saja ia berteriak, “Wahai orang-orang Quraisy! Sungguh aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang benar kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya!” Tak menunggu lama, mereka menangkap dan memukuli Abu Dzar. Bahkan, nyaris saja lelaki yang baru memeluk Islam ini kehilangan nyawanya. Abbas datang di dekatnya dan mengangkat tubuh Abu Dzar yang babak belur. “Celakalah kalian, kaum Quraisy! Apa kalian hendak membunuh seorang dari Bani Ghifar!? Padahal, jalur perdagangan kalian melewati perkampungan orang-orang Ghifar!” ujar Abbas. Mendengar itu, mereka berhenti menghajar Abu Dzar. Sejak itu, ia menjadi salah satu sahabat Nabi SAW. Di Madinah, sesudah hijrah, Rasulullah SAW mempersaudarakannya dengan seorang Anshar bernama al-Mundzir bin Amr. Tak pernah sehari pun dilewatkannya tanpa mengambil ilmu dan hikmah dari sang khatamul anbiya. (yan) Baca juga :

Read More

Matahari Tepat di Atas Ka’bah pada 15 dan 16 Juli, Waktunya Cek Arah Kiblat

Jakarta — 1miliarsantri.net : Kementerian Agama (Kemenag) mengimbau umat Muslim Indonesia untuk mengecek arah kiblat pada 15 dan 16 Juli 2024. Imbauan disampaikan seiringan terjadinya fenomena Istiwa A’zam atau matahari melintas di atas Ka’bah. Pada momen tersebut, bayang-bayang benda yang berdiri tegak lurus akan mengarah membelakangi arah kiblat. Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Kemenag, Adib mengatakan, berdasarkan tinjauan astronomi ilmu falak, terdapat sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk memverifikasi arah kiblat. Teknik tersebut di antaranya menggunakan kompas, theodolite, serta fenomena posisi matahari melintasi tepat di atas Ka’bah atau Istiwa A’zam. “Peristiwa Istiwa A’zam atau Rashdul Kiblat akan terjadi pada Senin dan Selasa, 15 dan 16 Juli 2024 bertepatan dengan 9 dan 10 Muharam 1446 H pada pukul 16:18 WIB atau 17:18 WITA. Saat itu, matahari akan melintas tepat di atas Ka’bah,” kata Adib di Jakarta, Senin (15/7/2024). Adib mengungkapkan, fenomena tersebut menjadi momentum bagi umat Muslim dapat melakukan pengukuran atau kalibrasi arah kiblat tanpa menggunakan alat atau keterampilan khusus. “Di saat Istiwa’ A‘zam, siapa saja, tanpa perlu memiliki keahlian atau perangkat teknologi khusus, bisa ‘meluruskan’ arah kiblatnya sendiri,” ucap Adib. Pada 27 dan 28 Mei 2024, Kemenag menggelar Hari Sejuta Kiblat yang melibatkan umat Muslim di Indonesia melakukan kalibrasi arah kiblat secara serentak, dan mencetak rekor MURI. Momen pengukuran dan verifikasi arah kiblat tersebut terjadi kembali pada 15 dan 16 Juli 2024. “Momen Istiwa’ A‘zam ini bersifat konfirmatif, sehingga jika sudah benar, momen ini akan menegaskan kebenaran arah kiblat. Jika ada keraguan, ini menjadi kesempatan terbaik untuk memverifikasi arah kiblat,” jelas Adib. Adib menjelaskan, terdapat hal yang perlu diperhatikan saat masyarakat melakukan pengecekan arah kiblat pada momen Istiwa A’zam atau Rashdul Kiblat: (wink) Baca juga :

Read More