Mengenal Sosok Furai’ah binti Malik, Sang Perawi

Jakarta – 1miliarsantri.net : Di antara sahabat-sahabat yang meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW, bukan hanya dari golongan sahabat saja tapi terdapat banyak sahabiyah atau kaum Muslimah. Tidak jarang, hadis-hadis yang diriwayatkan sejumlah sahabiyah tersebut menjadi rujukan ataupun sandaran ahli-ahli fikih dalam menentukan hukum fikih dari suatu permasalahan yang dihadapi umat. Furai’ah binti Malik merupakan salah seorang sahabiyah yang meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah SAW. Furai’ah lahir dari keluarga mujahid. Keislaman keluarga Furai’ah datang seiring dengan hijrah yang dilakukan Rasulullah SAW ke Madinah. Nama lengkap Furai’ah adalah Furai’ah binti Malik bin Sinan al Khudriyah. Ayahnya merupakan salah satu pejuang Islam terbaik pada saat itu, Malik bin Sinan. Ayah Furai’ah berasal dari Bani Khadrah, salah satu kabilah terpandang di kalangan kaum Anshar di Madinah. Kemuliaan Bani Khadrah kian terangkat saat Malik bin Sinan memeluk dan mengikuti risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Malik bin Sinan menjadi salah satu pembela Islam dan tidak ragu untuk turun ke medan perang. Malik bin Sinan sempat berniat mengikutsertakan anak laki-lakinya, Abu Sa’id untuk terjun ke medan perang. Namun, Rasulullah SAW melarangnya lantaran Abu Sa’id dinilai masih terlalu muda, saat itu baru berumur 13 tahun. Sewaktu di medan perang, Malik menjadi salah satu pelindung dan penjaga Rasulullah SAW. Malik pun akhirnya terbunuh di medan perang dan gugur sebagai syahid. Kematian sang ayah pun membuat Furai’ah dan Abu Sa’id menjadi yatim piatu setelah ibu lebih dulu meninggal dunia. Kendati demikian, Furai’ah dan Abu Sa’id tidak putus asa dan meninggalkan Allah SWT. Keimanan mereka justru semakin tebal. Mereka merasa hal ini merupakan ujian terhadap kesabaran mereka. Ada kisah menarik saat mereka tidak memiliki uang sama sekali untuk membeli makanan. Pada saat itu, Abu Sa’id mengadu kepada Furai’ah. Kemudian, Furai’ah pun menyuruh adiknya untuk menemui Rasulullah SAW. Namun, saat menjejakkan kaki di Masjid Nabawi, Abu Sa’id mendengar khutbah Rasulullah SAW, yang berbunyi, ”Barang siapa yang menahan nafsu karena Allah SWT, niscaya Allah akan mencukupinya. Dan barang siapa yang meminta kekayaan karena Allah SWT, niscaya Allah akan memberikannya kekayaan.” Mendengar khutbah ini, Abu Sa’id langsung bergegas menemui Furai’ah. Mereka akhirnya bersabar dan kesabaran ini berbuah manis. Mereka terus mendapatkan rezeki dari tempat yang tidak diduga-duga. Mereka selalu mendapatkan bantuan dari sesama kaum muslimin di Madinah. Ini menjadi balasan atas kesabaran Furai’ah dan Abu Sa’id. Semasa hidupnya, Furai’ah memang dikenal sebagai salah satu perawi hadis terpercaya, yang langsung didapatkan dari Rasulullah SAW. Tercatat, Furai’ah disebut telah meriwayatkan setidaknya delapan hadis dari Rasulullah SAW. Salah satu hadis yang diriwayatkan Furai’ah menjadi sandaran dan pijakan ahli fikih. Hadis tersebut berisi tentang masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Dalam penjelasan Hadis Riwayat (HR) Malik no.1081 disebutkan seorang istri yang ditinggal mati suaminya harus menjalani masa idah selama empat bulan sepuluh hari dan berdiam diri di rumahnya selama masa idah tersebut. Hal ini seperti yang diriwayatkan oleh Furai’ah binti Malik. Tidak hanya itu, Furai’ah juga mengaku didatangi utusan dari Utsman bin Affan untuk menanyakan hal tersebut. Kemudian Furai’ah mengabarkannya dan Utsman pun mengikutinya serta memutuskan seperti itu. Secara lengkap, berikut petikan HR Malik no.1081 tersebut, ”Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari (Sa’ad bin Ishaq bin Ka’b bin ‘Ujrah) dari bibinya (Zainab binti Ka’b bin ‘Ujrah) bahwa Furai’ah binti Malik bin Sinan, yaitu saudara perempuan dari Abu Sa’id al-Khudri, mengabarkan kepadanya, ‘Dia pernah menemui Rasulullah SAW dan meminta izin apakah ia diperbolehkan pulang ke rumah keluarganya di Bani Khudrah. Sebab, ketika suaminya pergi mencari budak-budaknya yang melarikan diri kemudian sampai di perbatasan dan menemukan mereka, justru mereka beramai-ramai membunuhnya (suami Furai’ah binti Malik).’ Kemudian Furai’ah binti Malik berkata, ‘Aku minta izin Rasulullah SAW untuk pulang ke rumah keluargaku di Bani Khudrah, karena suamiku tidak meninggalkanku di rumah miliknya dan tidak memberi nafkah.’ Rasulullah SAW kemudian mengatakan,’Ya (pindahlah).’ Furai’ah binti Malik kemudian kembali ke rumah suaminya. Kemudian saat Furai’ah sedang berada di kamar atau di masjid, Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk memanggilnya. Rasulullah SAW kemudian bertanya, ‘Apa yang kamu katakan tadi?’ Furai’ah lantas mengulang kisah tentang suaminya tadi, lantas Rasulullah bersabda kepada Furai’ah, ‘Berdiamlah di rumahmu sampai masa yang diwajibkan atasmu selesai.’ Selepas itu, Furai’ah binti Malik berkata, ‘Aku menjalani masa idah selama empat bulan sepuluh hari.’ Furai’ah kembali berkata, ‘Saat pemerintahan Utsman bin Affan, ia (Utsman bin Affan) mengutus seseorang menemuiku untuk menanyakan hal tersebut, lalu aku kabarkan kepadanya, sehingga Utsman pun mengikutinya dan memutuskan seperti ini.” Hadis serupa juga diungkapkan oleh perawi hadis Hadis Riwayat Ahmad, dalam hadis nomor 25.840. Hadis yang diriwayatkan dari Furai’ah ini pun menjadi sandaran bagi para ahli fikih dalam menentukan masa berkabung atau masa idah bagi seorang istri yang ditinggalkan suaminya meninggal dunia. (fq/ep)

Read More

Mengintip Sejarah Manaqiban di Indonesia

Jakarta – 1miliarsantri.net : Salah satu acara keagamaan yang menjadi tradisi sebagian masyarakat Islam di Indonesia adalah manaqiban. Secara bahasa, manaqiban berasal dari kata manaqib yang berarti riwayat hidup orang-orang besar. Mengutip buku Pendidikan Tasawuf oleh Muhammad Basyrul Muvid, manaqiban adalah sebuah peringatan untuk mengenang wafatnya seorang wali legendaris, yakni Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Beliau wafat pada 11 Rabiul Awal, sehingga acara ini biasa diperingati setiap tanggal 11 pada bulan Islam lainnya. Kegiatan dalam Acara Manaqiban secara kebudayaan hanya dianjurkan untuk para laki-laki, baik anak-anak, pemuda, dewasa, maupun orang tua. Tidak satu pun perempuan yang terlibat di acara ini. Biasanya, acara ini diisi dengan membacakan manaqib Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Ada dua manaqib yang umum dibaca masyarakat, pertama adalah manaqib An-Nur Al-Burhani. Kedua adalah kitab manaqib Jawahir Al-Ma‘ani yang ditulis oleh KH Jauhari Umar dari Pasuruan. Pembaca kitab dalam acara manaqib ini hanya dilakukan oleh seorang kiai. Sementara para jemaah dengan khidmat mendengarkan dan secara aktif memuji Allah dengan kalimat-kalimat yang terdapat dalam Asmaul Husna. Hal yang dibaca dalam kitab manaqib tersebut meliputi silsilah nasab Syaikh Abdul Qadir al Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan karomah-karomahnya. Disamping itu, tercantum juga doa bersajak (nadhom) yang bermuatan pujian-pujian dan tawassul kepada Allah SWT melalui perantara Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Tujuan Manaqiban Dijelaskan dalam buku Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah: Studi Etnografi Tarekat Sufi Di Indonesia oleh Emawati, Syukran Makmun dan Gunawan Anjar Sukmana, manaqiban ini bertujuan untuk mendapatkan limpahan kebaikan dari Allah SWT dengan cara memahami kebaikan para wali yang dicintai-Nya. Sebagaimana ditulis dalam Alquran: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗٓ ۙاَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَۖ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَاۤىِٕمٍ ۗذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. Al Maidah: 54). Hal yang dibaca dalam kitab manaqib tersebut meliputi silsilah nasab Syaikh Abdul Qadir al Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan karomah-karomahnya. Disamping itu, tercantum juga doa bersajak (nadhom) yang bermuatan pujian-pujian dan tawassul kepada Allah SWT melalui perantara Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Selain itu, tujuan lain dari manaqiban, yakniBerharap mendapat keberkahan dari pembacaan manaqib. Hal tersebut didasarkan keyakinan bahwa Syaikh Abdul Qadir al Jailani adalah wali quthub yang sangat istimewa, yang dapat mendatangkan berkah dalam kehidupan seseorang. Biasanya para jamaah membawa botol yang berisi air dan mendekatkan kepada imam atau pemimpin acara tersebut dengan tujuan mendapat berkah dari doa-doa yang dibacakan oleh mereka, sehingga sewaktu air itu diminum dapat menjadi air yang berkah dan menyehatkan bagi tubuh. Memohon untuk kesuksesan dan berkah-berkah lain sesuai dengan kepentingan masing-masing.Hubungan masyarakat sekitar menjadi semakin rukun dan semakin erat tali persaudaraannya. (hud)

Read More