Ekonomi Hijau Indonesia: Janji Manis, Bisnis Besar, atau Sekadar Fatamorgana?

Bondowoso – 1miliarsantri.net : Kata “ekonomi hijau” semakin sering muncul di ruang publik Indonesia. Ia terdengar dalam pidato pejabat, presentasi korporasi, bahkan kampanye politik. Namun, pertanyaan mendasar tetap menggantung: apakah ekonomi hijau benar-benar menjadi arah baru pembangunan, atau sekadar jargon yang indah di atas kertas?
Indonesia sejatinya memiliki modal besar. Potensi energi terbarukan mencapai 3.700 GW dari surya, hidro, hingga panas bumi. Ditambah lagi, ekosistem mangrove seluas 3,3 juta hektare yang berfungsi sebagai paru-paru dunia sekaligus benteng pesisir. Semua ini menjadikan Indonesia kandidat kuat untuk tampil sebagai pemain utama dalam ekonomi hijau global.
Janji Hijau di Atas Kertas
Pemerintah sudah berulang kali menunjukkan komitmennya. Pada 2025, ditandatangani investasi jumbo senilai US$22 miliar (Rp358,4 triliun) dengan mitra internasional untuk mengembangkan Green Sustainable Industrial Zones. Proyek ini mencakup pembangunan PLTS skala besar di Batam, Bintan, dan Tanjung Pinang, serta masuknya investasi di bidang elektronik, semikonduktor, pusat data, hingga hidrogen hijau.
Di atas kertas, semua terlihat menjanjikan. Apalagi kementerian terkait telah menggandeng IDSurvey dan Baznas untuk memperkuat verifikasi serta transparansi proyek. Prinsip ESG (environmental, social, governance) pun diwajibkan menjadi standar setiap pembangunan.
Namun publik bertanya: apakah semua komitmen itu akan terwujud di lapangan? Ataukah akan bernasib sama seperti jargon pembangunan lain yang menguap bersama pergantian agenda politik?
Keteladanan dari Sektor Keuangan

Sektor keuangan, dalam hal ini Bank Syariah Indonesia (BSI), mencoba memberikan teladan. Hingga Juni 2025, pembiayaan berkelanjutan BSI mencapai Rp72,8 triliun, dengan porsi Rp15,3 triliun khusus untuk proyek hijau. Menariknya, mereka juga meluncurkan inovasi “zakat hijau”: mengintegrasikan dana zakat untuk mendukung pelestarian lingkungan sekaligus memberdayakan masyarakat.
Langkah ini menunjukkan bahwa ekonomi hijau tidak harus selalu bertumpu pada investasi asing atau megaproyek, tetapi juga bisa tumbuh dari inisiatif finansial domestik yang kreatif.
Peluang di Tengah Tantangan
Indonesia sudah mulai membuktikan sebagian potensinya. Salah satunya lewat rencana ekspor listrik ke Singapura, yang memanfaatkan energi terbarukan di Sumatra tanpa mengorbankan kebutuhan domestik. Proyek kabel bawah laut disiapkan agar ramah ekosistem laut, sebuah kompromi antara kepentingan bisnis dan kelestarian.
Namun, tantangan tetap mengadang. Regulasi masih tumpang tindih, kapasitas verifikasi terbatas, dan kebutuhan pembiayaan jangka panjang sulit dipenuhi tanpa kepastian fiskal. Sektor UMKM, yang seharusnya menjadi bagian penting dalam transisi ini, justru sering tertinggal karena minim akses kredit hijau dan pelatihan teknologi ramah lingkungan.
Investor pun berhitung hati-hati. Tanpa kepastian hukum dan insentif yang konsisten, komitmen ESG berisiko berhenti di tahap uji coba.
Antara Visi dan Realitas

Ekonomi hijau jelas menyimpan peluang besar. Ia bisa menjadi motor pertumbuhan baru sekaligus penyerap tenaga kerja. Tapi, sebagaimana pengalaman pembangunan di masa lalu, kuncinya bukan sekadar visi, melainkan konsistensi eksekusi.
Transparansi dana, keberanian politik, serta sinergi lintas sektor akan menentukan apakah ekonomi hijau di Indonesia menjadi bisnis masa depan yang nyata, atau hanya retorika indah untuk meredam kritik.
Pada akhirnya, publik akan menilai bukan dari pidato dan perjanjian internasional, melainkan dari seberapa jauh kebijakan hijau ini benar-benar menyentuh kehidupan masyarakat sehari-hari.
Penulis: Glancy Verona
Editor: Abdullah al-Mustofa
Ilustrasi by AI
Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.