Fatwa MUI Tentang Pajak Berkeadilan, Ini Redaksi Lengkapnya

Fatwa MUI tentang konsep pajak berkeadilan di Indonesia, memuat poin inti, prinsip syariah, dan implikasi bagi pemerintah, pelaku usaha, serta masyarakat. Jakarta 1miliarsantri.net: Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali menegaskan pentingnya sistem perpajakan yang tidak hanya kuat secara regulasi, tetapi juga sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan syariah. Fatwa terbaru yang dirilis MUI menekankan bahwa pemungutan pajak diperbolehkan selama memenuhi unsur keadilan, transparansi, dan kemaslahatan publik. Dalam fatwa tersebut, MUI menjelaskan bahwa pajak dapat menjadi instrumen negara untuk menjaga keberlangsungan layanan publik, mengurangi kesenjangan, dan mendukung pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan umum. Namun, MUI mengingatkan bahwa pajak harus diberlakukan secara proporsional—baik dari sisi tarif, objek, maupun mekanisme penagihan—agar tidak menimbulkan beban berlebih bagi masyarakat dan pelaku usaha. Redaksi lengkap Fatwa MUI tentang Pajak Berkeadilan yang dikutip dari laman resmi Majelis Ulama Indonesia: Ketentuan Hukum 1. Negara wajib dan bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan seluruh kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 2. Dalam hal kekayaan negara tidak cukup untuk membiayai kebutuhan negara untuk  mewujudkan kesejahteraan rakyat maka negara boleh memungut pajak dari rakyat dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pajak penghasilan hanya dikenakan kepadawarga negara yang memiliki kemampuan secara finansial yang secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas. b. Objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan / atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier(hajiyat dan tahsiniyat). c. Pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan dan kepentingan publik secara luas. d. Penetapan pajak harus berdasar pada prinsip keadilan. e. Pengelolaan pajak harus amanah dan transparan serta berorientasi pada kemaslahatan umum (‘ammah). 3. Pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak, secara syar’i merupakan milik rakyat yang pengelolaannya diamanahkan kepada pemerintah(ulil amri), oleh karena itu pemerintah wajib mengelola harta pajak dengan prinsip amanah yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel dan berkeadilan.  4. Barang yang menjadi kebutuhan primer masyarakat (dharuriyat) tidak boleh dibebanipajak secara berulang (double tax). 5. Barang konsumtif yang merupakan kebutuhan primer, khususnya sembako (sembilan bahan pokok), tidak boleh dibebani pajak. 6. Bumi dan bangunan yang dihuni (non komersial) tidak boleh dikenakan pajak berulang. 7. Warga negara wajib ⁠menaati aturan pajak yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimanadimaksud pada angka 2 dan 3. 8. Pemungutan pajak yang tidak sesuai denganketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3 hukumnya haram. 9. Zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan angka 2 dan 3, (zakat sebagai pengurang pajak). Rekomendasi 1. Untuk mewujudkan perpajakan yang berkeadilandan berpemerataan maka pembebanan pajakseharusnya disesuaikan dengan kemampuanwajib pajak (ability pay). Oleh karena itu perluadanya peninjauan kembali terhadap beban perpajakan terutama pajak progresif yang nilainya dirasakan terlalu besar. 2. Pemerintah harus mengoptimalkan pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara dan menindak para mafia pajak dalam rangka untuk sebesar-besar untuk kesejahteraan masyarakat. 3. Pemerintah dan DPR berkewajiban mengevaluasi berbagai ketentuan perundang-undangan terkait perpajakan yang tidak berkeadilan dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman. 4. Kemendagri dan pemerintah daerah mengevaluasi aturan mengenai pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai (PPn), pajakpenghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan(PBB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), pajakwaris yang seringkali dinaikkan hanya untuk menaikkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. 5. Pemerintah wajib mengelola pajak dengan amanah dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman. 6. Masyarakat perlu mentaati pembayaran pajak yang diwajibkan oleh pemerintah jika digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah). Ketua MUI Bidang Fatwa periode 2025-2030 Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh mengingatkan warga negara wajib menaati aturan pajak sebagai wujud tanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dia juga menegaskan mengelola harta pajak dengan prinsip amanah yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel dan berkeadilan. Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Sumber : MUI Foto : Logo MUI

Read More

MUI Terbitkan Fatwa Pajak: Rakyat Taat Pajak – Pemerintah Amanah Mengelola Pajak Berkeadilan

Pajak merupakan salah satu instumen pembiayaan negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Karenanya dia mengikat setiap warga negara sepanjang dilaksanakan oleh Pemerintah dengan dan untuk kemaslahatan bersama. Jakarta – 1miliarsantri.net: Majelis Ulama Indonesia periode 2025-2030 dalam Muna terbaru yang berlangsung di Jakarta, Senin 24 November 2025 menerbitkan Fatwa MUI terkait pajak. Fatwa ini sekaligus mengingatkan ketaatan warga negara dan kewajiban Pemerintah Indonesia dalam mengelola amanah rakyat berupa pajak. Pada kesempatan itu, Ketua MUI Bidang Fatwa periode 2025-2030 Prof. KH Asrorun Ni’am Sholeh mengingatkan, Warga negara wajib menaati aturan pajak sebagai wujud tanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Mengutip laman resmi MUI, Guru Besar Bidang Ilmu Fikih UIN Jakarta ini menegaskan pajak merupakan instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pajak juga menjadi kesepakatan dan bagian kontrak sosial antara negara dan warga negara.  Dalam kesempatan itu, diapun mengingatkan dan menegaskan kewajiban pemerintah dalam mengelola pajak, Pemerintah wajib mengelola harta pajak dengan prinsip amanah yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel dan berkeadilan.  Obyek Pajak Dalam Fatwa Pajak pada point kedua Fatwa Pajak Berkeadilan, Objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).  Penetapan dan Pengelolaan Pajak Dalam Fatwa Pajak Berkeadilan menekankan juga aspek pengelolaan oleh pemerintah (ulil amri), Penetapan pajak harus berdasar pada prinsip keadilan. Begitu juga pengelolaan pajak harus amanah dan transparan serta berorientasi pada kemaslahatan umum (‘ammah).  “Pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak, secara syar’i merupakan milik rakyat yang pengelolaannya diamanahkan kepada pemerintah (ulil amri), oleh karena itu pemerintah wajib mengelola harta pajak dengan prinsip amanah yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel, dan berkeadilan,”pungkas Prof Ni’am. Ikuti terus artikel 1mikliarsantri.net terkait Fatwa MUI tentang Pajak Berkeadilan, artikel ini merupakan bagian dari ulasan tentang Pajak Berkeadilan.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Sumber : MUI Foto istimewa Munas MUI XI di Jakarta (dok. mui.or.id)

Read More

Presiden ‘Batalkan Kenaikan 250% PBB-P2 Kabupaten Pati’ Bukti Prabowo Peduli Rakyat, Begini Penjelasannya!

Presiden Prabowo Subianto membatalkan kenaikan PBB-P2 di Pati hingga 250% demi rakyat. Kebijakan ini jadi pelajaran penting soal aspirasi publik. Jakarta – 1miliarsantri.net: Beberapa waktu lalu jagad medsos dihebohkan peristiwa protes rakyat Pati berujung bentrok dengan aparat keamanan setempat akibat kebijakan tidak populis Bupati Kabupaten Pati yang menaikan Pajak PBB P-2 hingga 250%. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen di Kabupaten Pati sempat menjadi sorotan publik. Bagi banyak masyarakat, keputusan ini terasa begitu memberatkan, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil. Kebijakan Bupati Sudewo menaikan Pajak PBB P-2 hingga 250% meresahkan masyarakat Pati. Rakyat Pati ramai-ramai melakukan protes hingga menimbulkan bentrok dengan aparat keamanan setempat. Langkah cepat Presiden dalam merespons keluhan rakyat menjadi bukti nyata bahwa kepemimpinan sejati adalah yang mau mendengar. Melalui Ketua DPD Partai Gerindra Jawa Tengah, Sudaryono, pesan tegas disampaikan kepada Bupati Pati, Sudewo, agar membatalkan kebijakan kenaikan PBB-P2 tersebut. Arahan ini bukan hanya sekadar teguran, tapi perintah langsung yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya. Kebijakan Kenaikan Pajak yang Mengundang Protes Bayangkan saja, PBB-P2 yang selama ini menjadi salah satu sumber pendapatan daerah, tiba-tiba melonjak hingga 250 persen. Bagi sebagian kecil orang, mungkin ini tak terlalu terasa, tapi bagi mayoritas warga Pati, terutama mereka yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan usaha kecil, sehingga kenaikan ini jelas menambah beban. Gelombang protes pun tak terelakkan. Dari perbincangan di media sosial hingga aksi nyata di lapangan, suara rakyat mengalir deras menolak kebijakan tersebut. Rasa kecewa bercampur marah, karena mereka merasa keputusan itu diambil tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi warga. Prabowo Menunjukkan Kepemimpinan yang Tanggap Sebagai Presiden, Prabowo Subianto tak tinggal diam. Arahan yang ia berikan sangat jelas: batalkan kebijakan yang membebani rakyat dan cari solusi pendanaan lain untuk pembangunan daerah. Arahan ini menunjukkan dua hal penting. Pertama, Prabowo ingin memastikan bahwa pembangunan tetap berjalan tanpa mengorbankan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kedua, ia menegaskan bahwa kebijakan publik harus lahir dari empati, bukan sekadar perhitungan angka di atas kertas. Kamu sebagai warga negara tentu ingin pemimpin yang peka terhadap masalah di lapangan. Dalam hal ini, Prabowo memberikan contoh bahwa suara rakyat adalah fondasi kebijakan negara. Respons Cepat Pemerintah Daerah Yang menarik, arahan presiden langsung direspons cepat oleh Bupati Sudewo. Dengan sikap tegak lurus, ia mencabut keputusan kenaikan PBB-P2 dan menyatakan kebijakan tersebut resmi dibatalkan. Langkah ini membuktikan bahwa komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah bisa berjalan efektif ketika tujuan utamanya adalah kesejahteraan rakyat. Bupati pun mengakui bahwa arahan Presiden menjadi momentum untuk mengevaluasi kembali sumber-sumber pembiayaan pembangunan daerah. Artinya, ada peluang untuk menemukan solusi kreatif yang lebih adil, tanpa menambah beban masyarakat. Pelajaran Politik dan Kebijakan Publik Kasus ini memberikan pelajaran penting, terutama bagi kamu yang mengikuti dinamika politik dan kebijakan publik. Dalam setiap pengambilan keputusan, keterlibatan dan masukan dari masyarakat sangatlah krusial. Kebijakan yang lahir tanpa mendengar aspirasi rakyat berisiko menimbulkan gejolak sosial. Langkah Presiden Prabowo yang cepat dan tegas juga memberi sinyal kepada para kepala daerah di seluruh Indonesia, jangan pernah menyepelekan keluhan publik. Kepekaan terhadap suara rakyat bukan hanya etika politik, tetapi juga kunci menjaga stabilitas dan kepercayaan. Pemimpin Harus Hadir Saat Rakyat Membutuhkan Tindakan Prabowo ini adalah bentuk kepemimpinan yang seharusnya menjadi standar. Pemimpin bukan hanya hadir saat kampanye, tetapi juga ketika rakyat menghadapi kesulitan nyata. Kenaikan pajak memang seringkali dianggap wajar dalam pembangunan, namun waktu, besaran, dan kesiapan masyarakat harus benar-benar diperhitungkan. Kamu pun sebagai bagian dari masyarakat berhak mengawasi, mengkritik, dan memberi masukan terhadap setiap kebijakan. Demokrasi hanya akan sehat jika ada komunikasi dua arah antara pemimpin dan rakyatnya. Pati Harus Menatap ke Depan untuk Lebih Baik Pembatalan kenaikan PBB-P2 di Pati bukan berarti tantangan pembangunan daerah hilang begitu saja. Pemerintah daerah tetap memerlukan dana untuk membangun infrastruktur, meningkatkan layanan publik, dan mendorong ekonomi lokal. Tantangannya kini adalah mencari alternatif pendanaan yang tidak membebani rakyat. Beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan antara lain efisiensi anggaran, optimalisasi aset daerah, hingga kerja sama dengan sektor swasta. Dengan inovasi dan transparansi, kebutuhan pembangunan bisa terpenuhi tanpa harus membuat masyarakat resah. Kasus ini menjadi contoh bahwa ketika rakyat bersuara, pemimpin harus mendengar. Prabowo Subianto telah menunjukkan langkah nyata dengan membatalkan kebijakan yang dinilai memberatkan. Di Pati, ketegangan yang sempat memanas kini berubah menjadi pelajaran berharga, bahwa aspirasi rakyat harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan publik. Penulis : Ainun Maghfiroh Editor : Thamrin Humris Foto istimewa berbagai sumber

Read More

Indonesia Sedang Sakit: Garuda Harus Kembali Terbang Tinggi, Menjaga Langit Nusantara Dengah Gagah Perkasa

Jakarta – 1miliarsantri.net: Republik Indonesia memasuki usia ke-80. Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan besar, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Layaknya seorang manusia, bangsa ini bisa dikatakan sedang “sakit”. Korupsi masih menjadi penyakit menahun di Indonesia, kesenjangan sosial-ekonomi terus melebar, dan arus deras globalisasi kerap menggerus identitas serta jati diri bangsa. Namun, sejarah mengajarkan bahwa setiap kali Indonesia diuji, selalu ada semangat kebangkitan yang muncul. Garuda—simbol negara—tak boleh selamanya terpuruk. Garuda harus kembali mengepakkan sayapnya, terbang tinggi, dan menjaga langit Nusantara dengan gagah perkasa. Indonesia Harus Sembuh, Indonesia Harus Bangkit, dan Garuda Harus Kembali Mengangkasa. Garuda, lambang kebesaran Nusantara, seharusnya terbang tinggi menembus cakrawala, mengepakkan sayapnya dengan gagah sebagai simbol kejayaan bangsa. Namun kini, Garuda itu tampak terikat rantai, dipaksa tunduk, tak berdaya. Bukan karena musuh dari luar, bukan karena badai dari negeri asing, melainkan karena ulah tikus-tikus berdasi yang rakus, yang lahir dan tumbuh dari rahim bangsa ini sendiri. Tikus-tikus itu bukan sembarang tikus. Mereka berdasi, berjas, berpenampilan rapi. Mereka menebar senyum di layar kaca, berpidato lantang tentang rakyat, tentang bangsa, tentang kesejahteraan. Tetapi di balik kata-kata manis itu, mereka menggerogoti dari dalam: anggaran dikorupsi, proyek dipelintir, hukum diperdagangkan, kekuasaan dipakai untuk mengisi perut sendiri. Mereka tak peduli bahwa rakyat kecil menjerit karena harga yang kian melambung. Mereka tak peduli bahwa petani, nelayan, buruh, dan pedagang kecil berjuang setengah mati hanya untuk sesuap nasi. Mereka tak peduli anak bangsa putus sekolah, rumah sakit penuh pasien miskin yang tak mampu bayar. Yang mereka pedulikan hanya satu: menambah pundi-pundi harta, menumpuk kekayaan, memperlebar singgasana kekuasaan. IRONI NEGERI KAYA Inilah ironi negeri yang kaya raya. Indonesia yang mestinya berdiri tegak sebagai bangsa besar, kini tertatih karena tikus-tikus berdasi merajalela. Dari bawah hingga atas, dari desa hingga istana, aroma busuk korupsi menyebar. Mereka bukan hanya mengambil uang rakyat, tetapi juga mencuri masa depan bangsa ini. Garuda yang seharusnya bebas mengepakkan sayap, kini terbelenggu. Ia dipaksa menunduk, terikat oleh rantai rakusnya para pengkhianat bangsa. Ia tidak bisa terbang tinggi, karena di punggungnya duduk tikus kecil yang tamak, seolah-olah dialah penguasa sejati negeri ini. Saudara-saudara, Indonesia sedang sakit. Dan penyakitnya bukan sekadar krisis ekonomi atau politik. Penyakit kita adalah pengkhianatan. Kita sedang dimakan dari dalam oleh segerombolan tikus berdasi yang lebih berbahaya daripada seribu musuh di medan perang. Namun ingatlah, Garuda adalah lambang yang abadi. Ia boleh jatuh, tetapi tidak akan mati. Ia boleh dipaksa tunduk, tetapi pada waktunya ia akan bangkit. Rantai itu bisa diputus, tikus-tikus itu bisa diusir, dan Garuda bisa kembali mengangkasa. Kebangkitan itu hanya mungkin jika rakyat sadar, jika rakyat bersatu, jika rakyat berani berkata cukup! Cukup ditindas, cukup ditipu, cukup digerogoti oleh tikus-tikus berdasi. Bangsa ini tidak boleh terus dibiarkan sakit. Bangsa ini harus sembuh. Garuda harus kembali terbang tinggi, menjaga langit Nusantara dengan gagah perkasa. Dan itu hanya mungkin jika kita semua ikut menjaga, membersihkan negeri ini dari tikus-tikus yang merusak, agar Indonesia benar-benar menjadi rumah yang layak bagi seluruh anak bangsa. HUT RI Ke-80 Tahun 2025: Bangkitlah Jiwanya, Bangkitlah Badannya Delapan puluh tahun sudah bangsa Indonesia berdiri tegak di bawah panji kemerdekaan. Perjalanan panjang penuh luka, peluh, dan air mata telah dilalui. Dari darah para pahlawan, dari doa para ulama, dari keringat para pejuang, Indonesia lahir sebagai bangsa merdeka. Namun, setelah delapan puluh tahun, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: apakah bangsa ini benar-benar sudah merdeka dari penjajahan? Ataukah kita masih terikat oleh belenggu yang lebih halus, tetapi jauh lebih berbahaya? Hari ini, di usia ke-80 Republik Indonesia, kita diingatkan kembali pada amanat Proklamasi: merdeka bukan sekadar terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga terbebas dari korupsi, keserakahan, penindasan, dan ketidakadilan. Bangsa ini sedang diuji. Garuda yang seharusnya gagah perkasa masih tertatih karena didera penyakit dari dalam: para tikus berdasi yang rakus, yang menggerogoti tubuh bangsa dari kepala hingga kaki. Bangkitlah jiwanya—bangsa ini harus menyadari bahwa persatuan dan kejujuran adalah senjata utama. Jiwa bangsa tidak boleh lagi tunduk pada kebohongan, manipulasi, dan kepalsuan. Jiwa bangsa harus dibersihkan dari mental penjajahan, dari budaya korupsi, dari sifat serakah yang menghancurkan. Jiwa bangsa harus kembali kepada semangat gotong royong, semangat keberanian, semangat pengorbanan, seperti yang diwariskan para pendiri bangsa. Bangkitlah badannya—bangsa ini tidak boleh hanya kuat dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan. Badan bangsa harus sehat: ekonominya adil, hukumnya tegak, rakyatnya sejahtera, pemimpinnya amanah. Badan bangsa harus tegak berdiri, mampu menghadapi tantangan zaman, dari krisis global hingga perubahan iklim, dari kemajuan teknologi hingga persaingan antarbangsa. Badan bangsa harus menjadi rumah yang kokoh bagi seluruh rakyatnya, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Hari ini, HUT RI ke-80 adalah seruan. Seruan untuk mengobarkan semangat kebangkitan nasional baru. Seruan untuk menghapus ketidakadilan. Seruan untuk membersihkan negeri ini dari pengkhianatan. Seruan untuk menjadikan Indonesia bukan sekadar negeri yang merdeka, tetapi juga negeri yang bermartabat. Bangkitlah jiwanya, bangkitlah badannya!Bangkitlah Indonesiaku, agar Garuda kembali mengangkasa, menjaga langit Nusantara dengan gagah perkasa. Nusantara Baru, Indonesia Maju Penulis : Ki Ageng Sambung Bhadra Nusantara) Foto istimewa Editor : Thamrin Humris

Read More

Sejarah Panjang Perlawanan Pajak di Pati dari Demak hingga Era Modern, Buntut Kenaikan Pajak 250% Oleh Bupati Sudewo

Pati – 1miliarsantri.net: Pati mengalami gonjang-ganjing akibat kebijakan pajak yang dirasa sangat memberatkan masyarakatnya. Kebijakan Bupati menaikan pajak secara drastis, PBB naik 250%, masyarakat sangat terbebani. Potret perlawanan pajak di Pati kembali menggema. Protes warga Pati yang viral di media sosial mendapatkan tanggapan serius dari Presiden Prabowo melalui Sekjen Partai Gerindra. Fenomena perlawanan pajak di Pati tahun 2025 memang terasa seperti dejavu sejarah yang berulang. Perlawanan pajak dari Demak hingga era modern terus berulang. Di balik demonstrasi besar-besaran yang mengguncang pemerintahan Bupati Sudewo, tersimpan jejak panjang perlawanan sipil yang telah mengakar sejak era kolonial. Berikut rangkuman sejarah dan konteksnya, sebuah tulisan yang diangkat oleh R Temmy Setiawan seorang facebookers asal Jogjakarta. ERA KERAJAAN​Berawal dari Pajak Hasil Bumi ​Sejarah perlawanan pajak di Pati dimulai pada era Kerajaan Demak sekitar tahun 1500-an. Di bawah kepemimpinan Tombronegoro, masyarakat Pati memprotes keras kenaikan pajak hasil bumi sebesar 30% yang memberatkan. Perlawanan ini berlanjut pada tahun 1540-an ketika Ki Penjawi memimpin perlawanan terhadap kenaikan kuota setoran pajak sebesar 20%, yang pada akhirnya membuat Pati mengalihkan kesetiaan mereka ke Kerajaan Pajang. ​Pada masa Kerajaan Mataram, perlawanan kembali memuncak. Upeti beras naik hingga 40% pada 1620-an di era Adipati Pragola I, yang membuat Pati menolak kewajiban setor beras secara besar-besaran. Puncaknya adalah pemberontakan besar di bawah Adipati Pragola II pada 1627-1628, di mana kenaikan pajak sebesar 50% menjadi alasan utama penolakan membayar upeti kepada Sultan Agung. Perlawanan ini berlanjut hingga era Pragola III pada 1670-an, di mana kenaikan pajak sebesar 35% oleh Amangkurat I kembali memicu perlawanan. ERA KOLONIAL ​Melawan Penindasan Penjajah ​Memasuki masa kolonial, semangat perlawanan masyarakat Pati tidak surut. Pada tahun 1740, perlawanan terhadap kenaikan bea perdagangan VOC sebesar 25% terjadi, dipimpin oleh pengikut Sunan Kuning. Perlawanan ini mencapai puncaknya pada Geger Pecinan (1741-1743) di mana rakyat Pati, di bawah pengaruh pengikut Untung Surapati, ikut menyerbu pos VOC yang memungut pajak pelabuhan hingga 40%. ​Pajak yang memberatkan juga berlanjut di era Daendels dan Raffles (1811-1816), di mana kenaikan sewa tanah tahunan sebesar 30% memicu perlawanan lokal yang dipimpin oleh Ki Kromo Pati. Penderitaan rakyat semakin parah dengan diberlakukannya Cultuurstelsel (Tanam Paksa) pada tahun 1830. Beban tanam paksa setara dengan 66% hasil panen, yang membuat petani Pati melakukan mogok tanam sebagai bentuk protes. Perlawanan ini melahirkan tokoh legendaris seperti Samin Surosentiko pada 1880-an yang menolak pajak kolonial atas tanah dan hasil bumi yang naik 25%. ​Perlawanan terus berlanjut hingga masa pendudukan Jepang, di mana masyarakat Pati menolak pajak romusha atau kerja paksa hingga 60 hari per tahun. Setelah kemerdekaan, perlawanan kembali terjadi pada masa Agresi Militer Belanda II (1948) di mana masyarakat menolak pajak darurat perang yang menaikkan setoran pangan sebesar 20%. ERA ORDE BARU DAN REFORMASISuara Rakyat Terus Bergema ​Pada masa Orde Baru (1965-1966), masyarakat Pati kembali menyuarakan penolakan terhadap kenaikan pajak hasil panen sebesar 15% untuk stabilitas. Puncaknya pada tahun 1998, seiring dengan gelombang reformasi nasional, mahasiswa dan petani Pati menuntut reformasi pajak dan menolak pungutan liar yang rata-rata mencapai 10% dari harga jual. Kenaikan Pajak PBB 250% di Tahun 2025: Puncak dari Sejarah Panjang ​Dari rentetan sejarah perlawanan pajak di Pati, terlihat jelas bahwa kenaikan pajak yang tidak wajar selalu memicu reaksi keras dari masyarakat. Namun, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) sebesar 250% di tahun 2025 menjadi yang paling mencengangkan dalam sejarah. Kenaikan ini jauh melampaui kenaikan pajak pada era penjajahan Belanda, di mana pajak darurat perang hanya naik sebesar 20% dan pungutan liar di era reformasi rata-rata 10%. Angka 250% ini menunjukkan betapa besarnya beban yang harus ditanggung masyarakat Pati saat ini. Sejarah telah membuktikan bahwa sejak era kerajaan hingga era modern, masyarakat Pati selalu berdiri tegak menolak penindasan. ​Sejarah panjang ini menjadi cerminan bahwa masyarakat Pati tidak akan pernah diam ketika hak-hak mereka diinjak-injak. Perlawanan ini bukan sekadar menolak pajak, tetapi juga merupakan tuntutan atas keadilan dan kepemimpinan yang berpihak pada rakyat, yang memahami masalah, dan memiliki solusi nyata. Sebuah perenungan dan harapan, Indonesia akan lebih baik. Aamiin.** Penulis : R Temmy Setiawan Seorang Facebookers, Konten Kreator, Pecinta sejarah, pariwisata dan budaya. siap bekerja sama meningkatkan pariwisata daerah. Facebook: R Temmy Setiawan Sumber : Facebook R Temmy Setiawan Foto : Facebook R Temmy Setiawan Editor : Thamrin Humris

Read More