pendidikan karakter

Benarkah Minim Pendidikan Karakter di Pesantren? Ini Fakta vs Realita di Lapangan!

Bondowoso – 1miliarsantri.net: Banyak orang beranggapan bahwa pesantren hanya berfokus pada pelajaran agama dan hafalan kitab, sehingga pendidikan karakter sering kali dianggap kurang mendapat perhatian. Namun, benarkah demikian? Faktanya, pesantren justru menjadi salah satu lembaga pendidikan yang paling konsisten menanamkan nilai moral, kedisiplinan, dan tanggung jawab kepada para santrinya. Melalui berbagai kegiatan yang terstruktur dan pembinaan yang berkelanjutan, pendidikan karakter di pesantren tumbuh secara alami dan menyeluruh. Pesantren Sebagai Pusat Pembentukan Karakter Pendidikan karakter di pesantren bukan sekadar teori, tetapi praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Di lingkungan pesantren, kamu akan menemukan budaya saling menghormati, gotong royong, serta kejujuran yang terus ditanamkan dalam setiap aktivitas. Santri diajarkan untuk bangun sebelum subuh, menjaga kebersihan kamar, dan mematuhi jadwal belajar serta ibadah secara disiplin. Semua hal itu menjadi bagian dari proses pendidikan karakter yang tidak bisa dipelajari hanya di ruang kelas. Selain itu, interaksi antara santri dan kiai juga menjadi contoh nyata penanaman nilai moral. Kiai bukan hanya guru, tetapi juga teladan dalam sikap, tutur kata, dan cara menghadapi masalah. Dari hubungan ini, santri belajar tentang keteladanan dan tanggung jawab sosial. Dengan begitu, pendidikan karakter di pesantren berjalan secara holistic, menyentuh hati, pikiran, dan perilaku. Baca juga: Pesantren Go International: Langkah Menag RI Gagas Madrasah Berstandar Cambridge di Tangerang Fakta di Lapangan: Pendidikan Karakter di Pesantren Justru Lebih Kuat Jika kamu menelusuri lebih dalam, justru pendidikan karakter di pesantren terbukti lebih kuat dibanding lembaga pendidikan umum. Misalnya, sistem asrama yang diterapkan membuat santri hidup dalam komunitas dengan aturan yang ketat. Dari situ, tumbuh nilai kemandirian dan empati terhadap sesama. Santri terbiasa mengatur waktu, berbagi dengan teman, hingga membantu kegiatan sosial seperti membersihkan masjid atau mengajar anak-anak sekitar. Semua kegiatan ini merupakan bentuk nyata dari pendidikan karakter yang diterapkan secara konsisten. Jadi, anggapan bahwa pesantren minim pendidikan karakter sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Bahkan, banyak alumni pesantren yang dikenal memiliki etika kerja tinggi, tangguh menghadapi tantangan, dan berakhlak mulia. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di pesantren berhasil membentuk kepribadian yang kuat sekaligus berjiwa sosial tinggi. Tantangan dan Adaptasi Pendidikan Karakter di Era Modern Meski pesantren dikenal dengan kedisiplinan dan nilai moral yang kuat, bukan berarti lembaga ini bebas dari tantangan. Modernisasi dan perkembangan teknologi membawa pengaruh besar terhadap perilaku generasi muda. Pesantren kini dituntut untuk menggabungkan nilai tradisional dengan pendekatan modern agar pendidikan karakter tetap relevan. Sebagai contoh, banyak pesantren mulai menerapkan pembelajaran berbasis teknologi tanpa mengabaikan nilai-nilai akhlak dan sopan santun. Kegiatan pembinaan karakter juga diperkuat melalui pelatihan kepemimpinan, diskusi kebangsaan, hingga kegiatan sosial berbasis masyarakat. Dengan cara ini, pendidikan karakter tidak hanya membentuk pribadi yang taat agama, tetapi juga adaptif terhadap perubahan zaman. Selain itu, penting bagi pesantren untuk terus berinovasi dalam metode pembelajaran agar nilai-nilai karakter seperti integritas, kerja keras, dan tanggung jawab tetap tertanam di setiap santri. Dengan keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan moralitas, pesantren mampu melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak. Baca juga: Gebrakan Program MLB, Terpilih 1.000 Madrasah di Indonesia Mendapat Rp.25 Juta dari BAZNAS Realita: Pesantren Menjadi Pilar Pendidikan Karakter Bangsa Melihat kondisi di lapangan, sulit untuk membantah bahwa pesantren telah menjadi pilar utama dalam pembentukan karakter bangsa. Santri tidak hanya dididik untuk pandai dalam bidang keagamaan, tetapi juga dibentuk menjadi pribadi yang rendah hati, mandiri, dan memiliki rasa tanggung jawab sosial tinggi. Banyak tokoh nasional yang lahir dari pesantren dan berhasil menunjukkan keteladanan di berbagai bidang. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa pendidikan karakter di pesantren bukan sekadar teori, melainkan praktik hidup yang telah teruji selama ratusan tahun. Pesantren juga berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan toleransi. Di tengah beragamnya latar belakang sosial, santri diajarkan untuk menghargai perbedaan dan tetap menjunjung persatuan. Nilai-nilai inilah yang menjadikan pendidikan karakter di pesantren sangat relevan bagi pembentukan generasi berintegritas di masa depan. Jadi, anggapan bahwa pesantren minim pendidikan karakter adalah hal yang keliru. Justru di pesantren, setiap aspek kehidupan santri dipenuhi dengan nilai moral, kedisiplinan, dan tanggung jawab. Pendidikan karakter di pesantren bukan hanya teori, tetapi menjadi bagian dari keseharian yang membentuk watak dan akhlak santri sejak dini. Dengan pendekatan yang menyeluruh dan konsisten, pesantren telah membuktikan diri sebagai lembaga pendidikan yang mampu mencetak generasi berkarakter, berilmu, dan berakhlak mulia. Penulis : Ainun Maghfiroh Editor : Thamrin Humris Sumber foto: ilustrasi

Read More

Kota Layak Anak, Pemkot Surabaya Harus Bantu Orang Tua yang Kesulitan Mendidik Anaknya

Surabaya – 1miliarsantri.net : Di tengah semangat Surabaya meraih predikat sebagai Kota Layak Anak, perhatian terhadap kebutuhan dasar anak tak cukup hanya berhenti pada pembangunan taman atau fasilitas publik ramah anak. Salah satu aspek krusial yang kerap luput dari sorotan adalah tantangan yang dihadapi para orang tua dalam mendidik anak di tengah kompleksitas zaman. Tidak semua keluarga memiliki bekal pengetahuan, kesabaran, dan kemampuan yang memadai untuk menghadapi persoalan pendidikan karakter, perkembangan mental, hingga pengaruh digital. Oleh karena itu, Pemkot Surabaya perlu turun tangan lebih serius, bukan hanya sebagai fasilitator lingkungan fisik yang ramah anak, tetapi juga sebagai pendamping aktif bagi orang tua yang kesulitan menjalankan peran mendidik anak secara optimal. Saya berkesempatan menghadiri pelaksanaan Masa Orientasi Orang Tua (MOTT) di Kota Surabaya yang dilangsungkan di SMP Al Hikmah (20/07). Acara ini menjadi ruang dialogis antara Pemerintah Kota, pendidik, dan para orang tua siswa dari jenjang PAUD, TK, SD, hingga SMP. Saya hadir sebagai bagian dari kelompok yang peduli pada perlindungan anak dan pendidikan yang berpihak pada kebutuhan anak. Tema yang diusung sangat inspiratif : “MPLS Ramah, Sekolahku Rumahku, Guruku Orang Tuaku.” Tema ini menjadi pintu masuk membangun kolaborasi antara sekolah dan rumah, antara guru dan orang tua dalam mendampingi tumbuh kembang anak. Apresiasi saya untuk Kepala dinas pendidikan Kota Surabaya, Yusuf Masruh yang gagasannya inspiratif sekali. Saling Menyalahkan Bukanlah Jawaban Walikota Surabaya, Eri Cahyadi, yang hadir sebagai narasumber tunggal, menyampaikan pesan penting: jadikan sekolah sebagai rumah kedua bagi anak-anak, dan jadikan guru sebagai orang tua sebagaimana orang tua kandung mereka. Beliau menjelaskan dengan menyentuh bahwa orang tua tidak hanya mereka yang melahirkan dan membesarkan, tetapi juga mereka yang memberi ilmu dan membimbing anak menjadi pribadi yang baik dan sukses. Dalam hal ini, guru dan sekolah memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak dengan pendekatan yang ramah, manusiawi, dan penuh kasih. Lebih jauh, Walikota Eri menegaskan bahwa tidak ada anak yang tidak baik sejak lahir. Semua anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Jika kemudian seorang anak menjadi “nakal” atau berperilaku menyimpang, maka lingkungan sekitarnyalah—termasuk orang tua dan sistem sosial—yang patut melakukan introspeksi. Bahkan, beliau mengajak kita semua untuk tidak buru-buru menyalahkan anak, tapi bertanya pada diri sendiri: dosa apa yang pernah kita lakukan, sehingga Allah menguji kita melalui anak kita? Namun, penting juga kita sadari bahwa tidak semua orang tua dalam posisi yang ideal untuk mendidik anak. Ada yang mengalami keterbatasan ekonomi, keterbatasan waktu karena pekerjaan, keterbatasan pengetahuan tentang pola asuh, bahkan keterbatasan sosial akibat tekanan hidup. Maka, menyalahkan orang tua atas kesalahan atau kenakalan anak bukanlah pilihan bijak. Mereka tidak butuh dihakimi, tapi didampingi. Sebagai Kota Layak Anak, sudah saatnya Pemerintah Kota Surabaya hadir bukan hanya sebagai pembuat aturan, tapi juga sebagai pendamping aktif bagi para orang tua yang sedang kesulitan. Tak ada orang tua yang ingin anaknya gagal. Tak ada orang tua yang mengharapkan anaknya berbuat durhaka. Semua orang tua pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Hadirnya pemerintah adalah pengejawantahan dari nilai kemanusiaan dan kebermanfaatan. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad, Thabrani, dan Daruquthni) Pesan ini menjadi panggilan moral bahwa siapa pun yang memegang amanah kekuasaan, terutama pemerintah, harus hadir untuk memperbaiki, membimbing, dan menuntun kembali anak-anak yang tersesat jalan. Pemerintah harus menjadi tangan yang menuntun, bukan jari yang menuding. Mantan Menteri Pendidikan, Anies Baswedan, pernah menyampaikan bahwa “masalah anak adalah masalah masyarakat. Butuh dukungan seluruh komunitas untuk membesarkan satu anak.” Ungkapan ini menegaskan bahwa pendidikan dan pembentukan karakter anak tidak bisa dibebankan hanya kepada keluarga, tetapi harus menjadi urusan bersama—terutama pemerintah sebagai pengelola sumber daya dan kebijakan. Kehadiran program-program inovatif seperti Rumah Ilmu Arek Suroboyo yang menekankan pada konsep asrama, pendisiplinan, dan pendidikan berbasis karakter adalah langkah tepat. Program ini harus diperluas dan dikuatkan, terutama untuk menjangkau anak-anak usia sekolah yang putus sekolah, khususnya pada jenjang SMA dan SMK. Mereka yang selama ini berkeluyuran, tidak mau sekolah, bahkan berani melawan orang tua, perlu pendekatan yang lebih tegas namun tetap berpihak pada hak-hak anak. Pemerintah Kota Surabaya harus berani mengambil sikap tegas. Bukan untuk menghukum, tapi untuk mengembalikan anak-anak itu ke jalan yang bermanfaat. Pendidikan adalah jalan perubahan. Dan anak-anak adalah masa depan kota ini. Jika kita biarkan mereka terjatuh tanpa pertolongan, maka kitalah yang gagal menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab. Surabaya telah memulai langkah sebagai kota layak anak. Tapi komitmen ini hanya akan berarti jika diwujudkan dalam tindakan nyata: mendampingi orang tua yang kesulitan, mendidik anak-anak yang tersesat, dan menghadirkan sekolah yang ramah, guru yang seperti orang tua, serta masyarakat yang peduli dan bergotong-royong dalam menjaga generasi penerusnya. Surabaya, 21 Juli 2025 Editor : Toto Budiman Oleh: M.Isa Ansori *) Penulis adalah Pegiat Pendidikan dan Perlindungan Sosial. Aktif dalam isu-isu kebijakan publik dan kesejahteraan rakyat. Pengurus LPA Jatim, Dosen di STT Multimedia Internasional Malang dan Wakil Ketua ICMI Jatim dan Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya

Read More