Proyek “Tajunnur”: Mahkota Cahaya dari Gaza di tengah Genosida dan Hikmahnya bagi Santri Indonesia

Gaza – 1miliarsantri.net : Di sebuah ruang sederhana di pusat Kota Gaza, inisiasi proyek Tajunnur digagas. Suara lantunan ayat-ayat suci Al-Quran menggema syahdu di tengah genosida Israel. Suara itu menembus dentuman bom, pekik sirene, dan jeritan penderitaan yang telah lebih dari enam ratus hari mewarnai langit Gaza. Di balik kegelapan krisis, cahaya itu menyala—Mahkota cahaya dari proyek “Tajunnur”, sebuah inisiatif untuk mendidik gadis-gadis dan para ibu di Gaza dalam menghafal Al-Quran. Proyek “Tajunnur” ini lahir di tengah keterpurukan. Ketika sekolah-sekolah lumpuh, ketika anak-anak kehilangan hak belajar, dan ketika masa depan terasa dirampas oleh perang, Al-Quran justru hadir sebagai jalan keluar. Di bawah pengawasan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Palestina, proyek ini diimplementasikan oleh Madrasah Al-Amal. Sejak diluncurkan pada 20 April 2024, hanya dalam waktu tiga bulan, lebih dari 260 hafizhahlahir dari ruang-ruang yang sederhana itu. Dari jumlah tersebut, ada yang menghafal 10 hingga 15 juz, bahkan 18 gadis berhasil mengkhatamkan hafalan 30 juz di tengah dentuman bom dan kelaparan. Suara dari Ruang Penghafalan Lana Shobaki, seorang siswi yang telah menghafal 15 juz, menyampaikan kalimat yang menembus hati: “Aku ingin memberikan mahkota kehormatan kepada orang tuaku di surga.” Kata-katanya menjadi saksi bahwa impian seorang anak Gaza tidak pernah padam, bahkan ketika realitas hidupnya dibayangi kematian. Wardah Nu’man Al-Rafati, yang sudah menghafal setengah Al-Quran, mengaku hafalannya adalah bentuk perlawanan. “Kami tetap belajar meski ada ketakutan, kelaparan, dan pemadaman listrik. Kami bertahan,” ujarnya. Suara mereka menggambarkan betapa Al-Quran bukan hanya kitab bacaan, melainkan benteng keimanan, sumber kekuatan, dan alasan untuk bertahan hidup. Menghafal di Tengah Kelaparan dan Bom Proyek Tajunnur berjalan dalam kondisi yang nyaris mustahil. Pemboman hebat kerap mengguncang sekitar lokasi saat proses penghafalan berlangsung. Anak-anak menutup telinga, sebagian menangis ketakutan, namun para guru menenangkan mereka dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain bom, kelaparan meluas menjadi ujian lain. Energi para siswi terkuras karena minimnya makanan, sementara buku tulis dan pena pun sulit ditemukan. Namun, di balik semua itu, tekad mereka tak tergoyahkan. Seorang pengajar di Madrasah Al-Amal mengaku, “Kami bekerja di bawah tekanan. Tapi kami percaya, justru dalam kondisi terburuk, Al-Quran akan menjadi sebaik-baiknya penguat.” Lebih dari Sekadar Hafalan Tajunnur tidak berhenti pada hafalan. Di dalamnya, para siswi juga belajar tajwid, hukum-hukum fiqh, serta pelajaran khususseperti “Al-Zahrawayn” (Surah Al-Baqarah dan Ali Imran), “Mukjizat Al-Quran,” hingga “Akhlak para penghafal Al-Quran.” Ada standar ketat yang ditegakkan: setiap hafizhah harus mencapai tingkat itqān (sempurna) dan terbebas dari kesalahan. Selain anak-anak, para ibu juga ikut serta. Bagi mereka, menghafal Al-Quran di tengah pengungsian adalah jalan untuk menenangkan hati sekaligus menghidupkan rumah mereka dengan cahaya ilahi. Dukungan Keluarga dan Masyarakat Para orang tua memandang hafalan Al-Quran sebagai jalan ibadah dan pendidikan, di saat sekolah formal tidak berjalan. Seorang ibu pengungsi bahkan berkata, “Ini adalah kesempatan emas. Anak-anak saya boleh kehilangan bangku sekolah, tetapi mereka tidak boleh kehilangan Al-Quran.” Di ruang-ruang penghafalan itu, cinta dan kebersamaan tumbuh. Anak-anak saling membantu, para ibu saling menyemangati, dan para guru menanamkan keyakinan bahwa setiap ayat yang melekat di hati adalah bentuk perlawanan spiritual terhadap penjajahan. Ayat yang Hidup di Gaza Yang menarik, banyak siswi merasakan bahwa ayat-ayat yang mereka hafal seolah berbicara langsung pada realitas mereka. QS. Al-Baqarah ayat 154-156 menjadi salah satu yang paling mereka resapi: “Dan janganlah kalian mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”. Bagi mereka, ayat ini bukan sekadar hafalan, melainkan realitas sehari-hari. Mereka melihat syuhada di sekitar mereka, merasakan lapar, kehilangan, dan ketakutan. Namun, dari semua itu lahirlah kesabaran yang tak tergoyahkan. Dua Kesaksian Bagi sebagian orang tua, proyek ini adalah bentuk syahādatain—kesaksian dalam ilmu dan kesaksian dalam perjuangan. Menghafal Al-Quran menjadi bukti bahwa meski dunia ingin merampas segalanya, iman tidak akan pernah bisa dikalahkan. Hikmah bagi Santri Indonesia Kisah nyata ini adalah cermin yang kuat bagi santri Indonesia. Di negeri ini yang damai, dengan akses luas pada buku, listrik, makanan, dan fasilitas belajar, sering kali semangat belajar justru melemah. Sementara di Gaza, di bawah ancaman kematian, anak-anak mampu menghafal belasan hingga tiga puluh juz. Hikmah pertama bagi santri Indonesia adalah syukur. Segala fasilitas yang tersedia seharusnya mendorong lahirnya generasi Qurani yang lebih unggul, bukan sebaliknya. Hikmah kedua adalah keteguhan niat. Jika santri Gaza menjadikan Al-Quran sebagai perisai menghadapi bom, maka santri Indonesia semestinya menjadikannya benteng menghadapi godaan dunia: malas, gadget, hedonisme, dan budaya instan. Hikmah ketiga adalah orientasi hidup. Santri Gaza menghafal bukan sekadar untuk prestasi, melainkan untuk memberi mahkota kehormatan bagi orang tua mereka di akhirat. Santri Indonesia pun bisa menjadikan niat itu sebagai pegangan: menghafal demi Allah, demi keluarga, dan demi umat. Dan hikmah terakhir: Al-Quran adalah jalan perlawanan dan peradaban. Jika di Gaza ia menjadi bentuk perlawanan terhadap penjajahan, maka di Indonesia ia bisa menjadi perlawanan terhadap kebodohan, kemiskinan moral, dan hilangnya jati diri bangsa. Di tengah suara bom, anak-anak Gaza memilih menjawab dengan suara Al-Quran. Di tengah damainya pesantren, santri Indonesia tak punya alasan untuk tidak menjawab dunia dengan cahaya yang sama. (***) Penulis : Abdullah al-Mustofa Foto Ilustrasi Ai Editor : Toto Budiman Sumber:

Read More