
Kisah Anak-Anak Gaza, Mengubur Mimpi hingga Melihat Keluarga Mati
Gaza – 1miliarsantri.net : Kisah anak-anak Gaza di tengah konflik bersenjata di Gaza yang masih berlangsung hingga kini, menyisakan banyak penderitaan bagi mereka yang kini kehilangan senyum, mimpi bahkan keluarga. Sejatinya, anak-anak adalah sosok yang tidak lepas dari dunia bermain, canda riang dan tawa bahagia. Namun, tidak demikian bagi kisah anak-anak di Gaza. Anak-anak di Gaza, tumbuh dalam bayangan kekejaman yang nyata. Hari demi hari, terjadi konflik yang semakin ngeri, membuat dunia seolah tutup mata akan hak anak-anak di Gaza yang seharusnya tidak hanya tertulis formal di atas kertas sebagai sebuah perjanjian tanpa esensi. Mengubur mimpi hingga melihat keluarga mati menjadi pemandangan yang biasa disana. Pada tahun 1989, United Nations Convention on the Rights of the Child (UNCR) membuat perjanjian internasional yang telah diratifikasi hampir seluruh negara di dunia, dengan menjamin berbagai hak fundamental anak diantaranya adalah: 1. Pasal 6 tentang Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak 2. Pasal 37 tentang Hak atas perlindungan dari kekerasan, penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya. 3. Pasal 28 tentang Hak atas pendidikan yang layak. 4. Pasal 24 tentang Hak untuk mengakses layanan kesehatan. Tidak Ada Lagi Tempat Aman untuk Anak-anak Gaza Sejak dimulainya perang genosida di Gaza yang terhitung hampir 2 tahun lalu, sedikitnya 18.885 anak-anak warga Palestina telah merenggang nyawa, dengan rincian rata-rata sekitar lebih dari 540 anak terbunuh setiap bulannya. Jumlah korban yang sangat banyak ini juga tidak hanya akibat dari serangan tentara Israel, namun juga akibat kelaparan yang disebabkan oleh blokade Israel terhadap bantuan dan pasukan medis yang sangat dibutuhkan di Gaza. Kondisi di Gaza yang tak kunjung membaik, membuat pekerja medis di Gaza menggunakan istilah khusus untuk merujuk kategori korban perang secara spesifik, salah satu diantaranya adalah WCNSF (Wounded Child, No Surviving) artinya kategori anak yang terluka dan tidak memiliki anggota keluarga selamat. Istilah ini digunakan sebagai gambaran betapa kejam kehidupan yang dialami oleh banyak anak di Gaza. Bagaimana tidak? Dalam sekejap hidup mereka berubah, kehilangan orang tua, saudara kandung, kakek nenek yang terbunuh dalam perang. Bahkan untuk bertahan hidup rasanya menjadi sangat sulit sejak saat itu, karena mereka sadari bahwa segalanya tidak akan sama lagi. Ahmed, Mengubur Mimpi Akibat Kehilangan Kaki Ahmed berusia tiga tahun, merupakan salah satu anak yang masuk dalam kategori WCNSF, dengan kriteria anak terluka dan tidak memiliki anggota keluarga yang selamat. Ahmed pertama kali tiba di Rumah Sakit Indonesia di Kawasan Utara Gaza dalam kondisi terluka. Tangisan pilu Ahmed menggambarkan pedih hatinya atas kehilangan ayah, ibu dan kakak laki-laki yang tewas akibat serangan Israel di Beit Hanoun pada pertengahan November lalu. Ahmed hanya mengalami luka ringan, meskipun serangan udara Israel membuat Ahmed terlempar ke udara sekitar 20 meter dari rumahnya. Diketahui setelah kejadian, Ahmed ternyata memiliki saudara laki-laki yang berusia 2 tahun, bernama Omar. Ahmed dan Omar kini telah bersatu kembali dalam tangis pilu yang tidak tahu kemana akan berlabuh. Keduanya menjadi yatim piatu sekaligus tunawisma yang tidak lagi memiliki tempat berlindung akibat dari serangan Israel yang berlangsung terus menerus. Beruntungnya, Ahmed dan Omar memiliki seorang paman bernama Ibrahim Abu Amsha yang memutuskan untuk menjaga dan merawat mereka bersama keluarganya. Tempat demi tempat mereka datangi untuk mengungsi, namun serangan israel yang terus membabi buta membuat Ahmed Kembali terluka akibat terkena pecahan kaca dari sebuah ledakan. Serangan kedua itu membuat Ahmed kehilangan kakinya, bahkan salah seorang keluarga yang juga bersama Ahmed pada saat itu dinyatakan tewas. Ibrahim sangat berkeinginan untuk mengirim Ahmed berobat ke luar Gaza, karena ada banyak mimpi yang ingin dilakukan oleh Ahmed. “Dia bermimpi bisa melakukan banyak hal, bahkan saat kami pergi bersama untuk menonton pertandingan sepak bola, Ahmed berkata ingin menjadi pemain sepak bola terkenal,” ujar Ibrahim. Kisah Amal dan Puisi Pilu nya Pada suatu malam, saat Amal sedang asyik menggambar di ruang tamu, tiba-tiba suara jet melintas rendah, lalu tidak lama berselang semua gelap. Amal terbangun di rumah sakit dan seluruh keluarganya tewas. Ibunya hancur tertimpa reruntuhan. Kini, Amal tinggal di Kamp Pengungsian Rafah bersama dengan seorang tetangga yang selamat. Disana, Amal menuliskan sebuah puisi “Langit sekarang bukan tempat Bintang, tapi tempat bahaya datang. Aku cuma mau jadi anak kecil, tapi semua orang menyuruhku kuat, aku capek.” Baca juga : Kuburan Anak-anak: Gaza dalam Surat Emine Erdoğan kepada Melania Trump Cita-cita Anak-anak Gaza hanya satu: Hidup Sampai Besok Peperangan di Gaza membuat sejumlah pihak menunjukkan kepedulian salah satunya kepada anak-anak di Gaza. Pusat Pelatihan Komunitas untuk Manajemen Krisis (CTCCM) dengan dukungan dari Aliansi Anak Perang, menggambarkan kondisi kesehatan mental anak-anak di Gaza. Anak-anak mengalami trauma akibat peperangan ini, bahkan temuan dalam studi yang dilakukan menyatakan bahwa 96% anak-anak di Gaza merasa bahwa kematian sudah dekat dan hampir setengahnya yakin mereka akan meninggal akibat perang. Tidak hanya itu, gejala-gejala psikologis juga mulai terlihat seperti, ketakutan, penarikan diri dan kecemasan parah disertai dengan perasaan putus asa yang mendalam. Bahkan ketika seorang anak dari Palestina ditanyakan “Apa cita-citamu nanti? Anak itu hanya menjawab pelan, “Hidup sampai besok”. (***) Sumber berita: marinews.mahkamahagung.go.id adararelief.com bbc.com Penulis : Gita Rianti D Pratiwi Editor : Toto Budiman, Iffah Faridatul Hasanah