Setelah Membunuh 7.000 Santri dan Kiainya, Amangkurat I Beri Imbalan 3.000 Pikul Beras kepada Kompeni

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Susuhunan Amangkurat I marah besar, lalu menangkapi para kiai dan para santrinya yang mendukung upaya kudeta. “Yang banyaknya tidak kurang dari 7.000 orang. Kemudian menyuruh mereka naik tiang gantungan,” tulis Hamka.

Kemarahan Amangkurat I muncul setelah ada kudeta di Mataram yang dilakukan Pangeran Danupoyo. Namun kudeta itu gagal.

Setelah pembunuhan terhadap para kiai dan santri, ketidakpuasan terhadap Amangkurat I pun muncul di mana-mana. Di Madura, misalnya, ketidakpuasan itu juga diperparah oleh Adipati Madura Cakraningrat II yang lebih berpihak kepada Mataram, mengabaikan Madura.

Itulah yang melatari Trunojoyo melakukan pemberontakan terhadap Mataram. Tindakan Kompeni yang merugikan Sulawesi juga memunculkan ketidakpuasan, sehingga membuat Arung Palaka dari Sopeng dan Karaeng Galesong dari Makassar memilih lari ke Jawa mendukung pemberonatakan di Jawa.

Karaeng Galesong bertemu Trunojoyo. Mereka lalu bersekutu, bersama Pangeran Giri yang mewakili kalangan ulama. Amangkurat I pun meminta bantuan kepada Kompeni.

Amangkurat I menawarkan imbalan berupa 3.000 pikul beras (setara dengan 180 ton) dan uang 250 ribu riyal. Jika perangnya tidak bisa cepat selesai, Amangkurat I siap menambah imbalan 20 ribu riyal.

Kompeni tidak langsung menerima. Kompeni mengajukan syarat agar dibebaskan dari pungutan cukai untuk barang-barang yang akan dimasukkan ke seluruh pelabuhan di Jawa.

Itu pun belum cukup. Kompeni juga minta dibebaskan untuk membangun loji dan mendapatkan imbalan lagi 4.000 pikul beras dari pembangunan loji itu.

Setelah Amangkurat I menyetujuinya, barulah Belanda membantu Mataram menumpas pemberotakan Trunojoyo dan sekutunya.

Di Keraton Plered, rakyat mendukung Trunojoyo. Ada pula petinggi keraton yang memilih mendukung Trunojoyo.

Tertekan, Amangkurat I diam-diam keluar dari istana Plered. Maka, posisi yang ia tinggalkan diisi oleh Pangeran Anom, menjadi Amangkurat II.

Kompeni yang mengangkatnya membuat perjanjian baru dengan Amangkurat II. Semakin lemahlah posisi Mataram.

“Setelah kekuasaan yang sebenarnya berada dalam tangan Kompeni dan tentara Mataram sendiri pada hakikatnya pun telah berada di bawah komando Kompeni, mulailah dilancarkan gerakan ‘membasmi pemberontak’,” tulis Hamka.

Trunojoyo, Karaeng Galesong, dan Pangeran Giri terus terdesak. Kompeni juga memanfaatkan Arung Palaka yang lebih mmilih berpihak kepada Kompeni untuk melawan Karaeng Galesong.

Setelah Karaeng Galesong dikalahkan oleh Arung Palaka, Kompeni dengan mudah mendesak Trunojoyo dan pengikutnya ke lereng Gunung Kelud. Di kepung tentara Kompeni, Trunojoyo akhirnya menyerah pada 27 Desember 1679.

“Saya serahkan diriku kepadamu, Kapten. Karena aku lihat engkau sekarang satria yang teguh janji. Aku hanya menyerah kepadamu, bukan kepada Susuhunan. Engkau harus memperlakukan aku sebagai tawanan perang,” ujar Trunojoyo kepada Kapten Jonker, yang memimpin pengepungan terhadap Trunojoyo.

Kapten Jonker adalah orang Ambon yang menjadi tentara Kompeni. Atas desakan Kompeni, Kapten Jonker tidak bisa memenuhi janjinya kepada Trunojoyo. Ia lalu menyerahkan Trunojoyo kepada Kompeni.

Oleh Kompeni, Trunojoyo diserahkan kepada Susuhunan Amangkurat II. Nasib Trunojoyo kemudian ditentukan oleh keris Amangkurat II pada 1680.

Kapten Jonker pun sakit hati sehingga ia berbalik menentang Kompeni di Batavia pada 1689. (mif)

Baca juga :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *