Ekspor Nikel RI ke China Capai US$ 2,73 Miliar, Tantangan Diversifikasi Masih Mengemuka

Jakarta – 1miliarsantri.net : Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor nikel Indonesia ke China mencapai US$ 2,73 miliar sepanjang Januari-Mei 2025. Angka ini menempatkan nikel sebagai salah satu komoditas unggulan ekspor non-migas ke China, bersama besi baja dan bahan bakar mineral. Secara total, nilai ekspor non-migas Indonesia ke China untuk periode Januari-Juni 2025 mencapai US$ 29,31 miliar, atau sekitar 22,83 persen dari keseluruhan ekspor non-migas RI.
Ketergantuan Pada Pasar Tunggal
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam keterangan resmi menegaskan bahwa kontribusi sektor nikel terhadap devisa negara sangat signifikan, tetapi Indonesia tidak boleh dicap bergantung pada China. “Keliru kalau disebut tergantung. Ekspor kita ke China kurang lebih sekitar US$ 20 miliar, itu bukan berarti kita bergantung. Negara mana pun boleh beli dari kita,” ujarnya.
Namun, catatan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menunjukkan adanya selisih data ekspor-impor nikel antara catatan BPS dan otoritas Tiongkok. Selama 2020-2024, misalnya, ekspor feronikel Indonesia tercatat 29,08 juta ton, sementara impor yang masuk ke data China hanya 27,67 juta ton, sehingga terdapat selisih 1,41 juta ton yang nilainya diperkirakan mencapai Rp10 triliun.
Baca Juga: Sudah Dibuka! Begini Syarat dan Cara Daftar Program Magang Berbayar Pemerintah
Dampak pada Daya Beli dan Kondisi Kerja

Secara makro, lonjakan ekspor nikel memperkuat cadangan devisa dan memperbesar penerimaan negara. Namun, bagi masyarakat, dampaknya tidak sesederhana itu. Di daerah penghasil nikel seperti Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara, masuknya investasi smelter menciptakan ribuan lapangan kerja baru. Tetapi sebagian besar posisi yang tersedia masih untuk pekerja operator dengan tingkat upah relatif terbatas.
Situasi ini beriringan dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar rata-rata 6,5% disbanding UMP DKI Jakarta misalnya mencapai Rp 5,39 juta. Kenaikan ini diharapkan menjaga daya beli pekerja, tetapi inflasi pangan dan biaya hidup tetap menekan rumah tangga berpendapatan rendah.
Pemerintah juga menyalurkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) tahap I tahun 2025 kepada 2,45 juta pekerja, masing-masing Rp 600.000 untuk dua bulan. Kebijakan ini diarahkan untuk menjaga konsumsi masyarakat di tengah fluktuasi ekonomi global. Meski demikian, ketergantungan ekspor pada pasar China membuat stabilitas pekerjaan dan pendapatan masyarakat lokal rentan, terutama jika terjadi perlambatan permintaan dari negeri tirai bambu.
Sedikit menarik ke belakang, Faisal Basri, Ekonom Senior dari INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), pernah mengomentari hilirisasi nikel dan dampaknya terhadap Indonesia dibanding China. Menurutnya, hilirisasi nikel saat ini “nyata-nyata mendukung industrialisasi di China”, karena sebagian besar nikel olahan Indonesia diekspor ke negeri tersebut. Ia juga menambahkan bahwa “nilai tambah yang dinikmati negara tak lebih dari sekitar 10 persen”, sementara sisanya banyak dinikmati pihak luar seperti China.
Jika diperhatikan, kebijakan hilirisasi nikel memang berhasil mendongkrak nilai ekspor hampir 12 kali lipat dibandingkan 2017, tetapi manfaat bagi kesejahteraan warga baru terasa terbatas. Tantangannya adalah bagaimana menjembatani keberhasilan makro ke peningkatan kualitas kerja, penghasilan layak, serta keberlanjutan daya beli masyarakat.
Baca Juga: Taliban Ingatkan AS soal Perjanjian Doha Usai Trump Desak Ambil Alih Pangkalan Bagram
Penulis: Faruq Ansori
Editor: Glancy Verona
Ilustrasi by AI
Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.