Dari Kulkas Sampai Sedekah: Gaya Hidup Ramah Lingkungan Muslim Urban

Surabaya – 1miliarsanti.net : Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota, banyak Muslim urban mulai merenungkan ulang makna hidup berkelanjutan. Ungkapan populer bahwa isi kulkas bisa lebih jujur daripada isi doa tak lagi terdengar berlebihan. Sebab, dari tumpukan sambal sachet hingga sisa ayam minggu lalu yang mulai mengering, kulkas bicara banyak tentang pola konsumsi kita.
Artikel ini akan mengajak kita menelusuri bagaimana prinsip keberlanjutan dapat terwujud dalam keseharian seorang muslim modern, tanpa kehilangan esensi spiritual dan kepedulian sosialnya. Sebab semua aktivitas yang kita lakukan di dunia, menjadi bagian dari ikhtiar menjaga bumi sebagai amanah dari Sang Pencipta.
Bagi sebagian Muslim urban, menjadi pribadi yang peduli lingkungan tak lagi sekadar ikut tren “eco-friendly” atau pajangan tagar hijau di Instagram. Kesadaran itu lahir dari pengalaman sederhana: membuang minyak goreng ke wastafel, membiarkan tahu putih membusuk, atau menumpuk makanan sisa yang berujung di tempat sampah.
Momen-momen itu menumbuhkan satu pertanyaan besar: bagaimana menghidupi nilai Islam lewat gaya hidup yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan dan spiritualitas?
Fulan, pekerja kreatif di Jakarta Selatan, bukan aktivis lingkungan. Tapi suatu sore saat membuka kulkas dan menemukan tiga kotak makanan kedaluwarsa, ia tersentak. “Ini bukan sekadar lupa, ini soal akhlak,” ujarnya dalam hati. Sejak itu, Fulan mulai menerapkan strategi belanja dan konsumsi yang lebih bijak: menyusun menu mingguan, mencatat stok bahan sebelum belanja, menyimpan sisa nasi untuk diolah kembali, hingga menolak membeli bahan yang tidak akan dimasak segera.
Praktik ini tampak sederhana, namun memiliki dimensi spiritual. Dalam Islam, makanan yang mubazir bukan hanya bentuk kelalaian, tapi juga mencerminkan kurangnya rasa syukur dan tanggung jawab terhadap nikmat Tuhan.
Gaya Hidup Eco-Islam: Dari Infak Pangan hingga Diet Syariah Ramah Lingkungan

Nol sampah (Zero waste) dalam perspektif Muslim urban bukan hanya tentang membawa totebag atau membeli sabun batang. Dalam konteks gaya hidup dan lingkungan, zero waste mengacu pada prinsip hidup yang bertujuan untuk mengurangi limbah seminimal mungkin. Termasuk tindakan ini juga tentang menolak membeli air kemasan, dan berpikir ulang sebelum bersedekah dalam bentuk makanan cepat basi yang akhirnya dibuang pengurus panti asuhan.
Di sinilah spiritualitas bertemu ekologi: keinginan menjaga bumi lahir dari empati dan kesadaran sebagai khalifah di muka bumi. Di sejumlah kota seperti Yogyakarta, mulai muncul praktik infak pangan. Komunitas seperti Food Bank Lumbung Mataraman dan Gerakan Gelar Gulung mengusung konsep “sedekah sayur” atau “beras patungan”. Prinsipnya sederhana: siapa yang punya lebih, memberi; siapa yang butuh, mengambil. Tidak ada syarat administratif, cukup kepercayaan dan niat untuk berbagi sebagai ibadah sosial.
Dari praktik kecil ini tumbuh kesadaran bahwa diet syariah tak hanya soal halal dan thayyib, tetapi juga soal adil dan ramah lingkungan. Bahwa keberkahan bukan dari banyaknya makanan, tapi dari nihilnya limbah. Bahkan, mengelola kulkas dan menghindari belanja impulsif bisa jadi bentuk ibadah tersembunyi, sebagaimana sabar dan qanaah adalah bagian dari akhlak.
Memang, tidak semua orang mampu hidup dalam kesempurnaan gaya hidup hijau. Akan ada hari ketika gorengan tetap dibungkus plastik, atau kopi instan tetap dibeli dalam styrofoam. Namun di situlah letak kekuatan niat. Dan dalam Islam, niat adalah awal dari segalanya.
Beberapa kebiasaan ramah lingkungan yang mulai diterapkan oleh Muslim urban antara lain:
- Menyusun meal plan berdasarkan jadwal kerja, bukan hanya nafsu belanja.
- Menyimpan makanan sisa dalam wadah tertutup agar lebih tahan lama.
- Membuat daftar belanja setelah mengecek isi kulkas.
- Berbagi bahan makanan berlebih, bukan hanya memberi uang tunai.
- Menghindari masak berlebihan saat berbuka puasa untuk mengurangi limbah.
Gaya hidup eco-Islam ini bukanlah proyek eksklusif. Ia bisa tumbuh dari dapur sempit, kamar kos, dan hati-hati yang ingin hidupnya lebih berkah. Bukan untuk terlihat suci, tapi untuk tidak menjadi manusia yang merusak bumi yang telah dipercayakan Tuhan.
Pada akhirnya, isi kulkas, jumlah sampah, dan bentuk sedekah yang kita lakukan, akan lebih jujur mengungkapkan tingkat keimanan kita, dibandingkan bio Instagram atau status WhatsApp. (***)
Penulis : Faruq Ansori
Editor : Toto Budiman dan Glancy Verona
Foto by AI
Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.