Dapatkah Budaya Bertentangan Dengan Agama

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Seringkali ketika ada ajaran Islam yang dianggap bertentangan dengan budaya lokal, maka ajaran Islam tersebut yang harus mengalah. Budaya adalah segalanya. Semua yang bertentangan dengan budaya menjadi tak layak untuk diamalkan.
Padahal, budaya adalah perkara yang dinamis. Budaya berubah mengikuti trend atau gaya mutakhir dari sedikit orang yang berkarya (Arnold Toynbee menyebutnya minoritas kreatif) yang mampu menawarkan kewajaran baru.
Contohnya pakaian orang Jawa kuno. Kewajaran cara berpakaian mereka berbeda dengan kewajaran yang dianut saat ini. Pakaian orang Jawa kuno terungkap dari sastra, relief candi, dan prasasti.
Dalam relief Karmawibhangga di Candi Borobudur, kebanyakan perempuan digambarkan tak menutupi payudara. Dalam Kakawin Sumanasāntaka, perempuan bangsawan digambarkan memakai kain yang menutupi sampai batas atas payudara.
Namun budaya berubah, interaksi dengan budaya lain membuat perempuan Jawa mengenal kewajaran baru dalam berpakaian. Mereka mulai mengenal pakaian yang menutupi payudara, bahu, dan punggung. Jenis pakaian itu lalu disebut kebaya.
Denys Lombard dalam bukunya, Nusa Jawa: Silang Budaya, mengatakan bahwa kebaya berasal dari bahasa Arab.
Kata abaya dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut pakaian yang menutupi dada, bahu, dan punggung. Hal ini menunjukkan bahwa kedatangan bangsa Arab turut mengubah budaya berpakaian perempuan Jawa, sehingga mereka menutupi bagian dada, bahu, dan punggungnya.
Perubahan budaya pakaian perempuan Jawa tersebut diawali dari jumlah sedikit, di wilayah pesisir, yang kemudian meluas hingga pedalaman.
Islam pun mengajarkan bahwa perubahan budaya dapat dilakukan secara bertahap. Seperti ketika Islam mengubah budaya minum khamar di kalangan bangsa Arab.
Tahap pertama, anjuran untuk menjauhi khamar karena mudaratnya lebih besar dibanding manfaatnya (QS. Al-Baqarah: 219).
Tahap kedua, melarang khamar pada waktu-waktu tertentu (QS. An-Nisaa’: 43).
Tahap ketiga, mengharamkan khamar secara keseluruhan (QS. Al-Maidah: 90).
Tidak semua budaya ditolak Islam
الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
“Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka itu adalah halal. Dan apa saja yang Ia haramkan, maka itu adalah haram. Sedang apa yang Ia diamkan, maka itu dibolehkan.”
(HR. Tirmidzi no. 1726, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’)
Islam hanya mengharamkan apa yang diharamkan oleh Quran dan hadits. Dan perkara yang diharamkan tersebut sejatinya jauh lebih sedikit dibanding yang dihalalkan atau didiamkan.
Demikian pula halnya dalam budaya. Budaya adalah perkara yang luas. Praktik budaya lokal yang bertentangan dengan Islam jauh lebih sedikit dibanding yang dihalalkan atau didiamkan.
Sehingga ketika ada ajaran Islam yang dianggap bertentangan dengan budaya lokal, maka angkat pula ajaran Islam yang sejalan dengan budaya lokal. Sembari secara bertahap melakukan gerak perubahan, dimulai dari kelompok kecil yang konsisten beramal dan menghasilkan karya. (har)