Sholat Malam dan 3 Cara Masuk Syurga Yang Perlu Dijalankan

Jakarta — 1miliarsantri.net : Keinginan besar umat muslim yang tidak bisa dibantah, tentu ingin masuk syurga. Ini adalah pencapaian yang hakiki bagi seorang muslim. Dalam pandangan Islam, orang yang masuk surga ada 3 macam, yaitu: 1) Langsung masuk surga tanpa hisab (dihitung kebaikan dan keburukannya), 2) Masuk surga setelah dihisab, 3) dan Masuk surga setelah diazab terlebih dahulu di neraka. Tentunya semua orang Islam tanpa kecuali akan mengidam-idamkan masuk surga tanpa harus masuk neraka terlebih dahulu. Nah, ada banyak sekali amalan di dalam agama Islam yang mulia ini agar bisa mengantarkan seseorang masuk surga dengan selamat, salah satunya adalah dengan melakukan shalat malam Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadan adalah puasa pada bulan Allah (Muharam). Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163) Imam Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan mengenai hadis di atas. Beliau rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil dari kesepakatan ulama bahwa shalat malam lebih baik dari shalat sunnah di siang hari. Beliau juga mengatakan bahwa shalat malam lebih baik dari shalat sunnah Rawatib. Orang yang melakukan shalat malam, dijamin masuk surga dan selamat dari azab neraka.” Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata: Qiyamul lail (shalat malam) adalah sunnah yang dianjurkan. Shalat tersebut jangan sampai ditinggalkan Sungguh beruntung yang dimudahkan dan ditolong untuk melakukannya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar mengerjakannya dan menganjurkannya.” (At-Tamhiid, 13:209) (yan) Baca juga :

Read More

Begini Obat Kepleset Lidah dalam Islam

Jakarta — 1miliarsantri.net : Ada ungkapan, lidah bisa lebih tajam daripada pedang, karena korban yang diakibatkan dari keseleo lidah bisa lebih banyak dan lebih sakit dibanding dengan pedang. Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah tengah disorot karena dianggap menghina penjual es teh bernama Sunhaji saat selawatan di Magelang. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Keagamaan, KH Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur, menyebut niat Miftah hanya bercanda. “Ya, saya kira dia hanya bermaksud bercanda untuk menghidupkan suasana tapi kepleset lidah,” kata Gus Fahrur. Urusan kepleset lidah memang bukan monopoli Gus Miftah. Banyak pejabat sering lidahnya tak terkendali karena banyak omong. Sebut saja kasus yang menimpa Calon Gubernur DKI Jakarta Suswono. Ia dianggap terpeleset lidah terkait pernyataan janda kaya menikahi pemuda pengangguran yang kemudian dihubungkan dengan kisah Rasulullah Muhammad SAW dan Siti Khadijah. Muhaimin Iskandar juga tak lepas dari kecelakaan seperti itu. Ia dianggap keseleo idah saat debat cawapres dulu. Ia bilang akan membuat 40 kota baru se-level Jakarta. Akibatnya ia menjadi bahan tertawaan. Mantan Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas, juga sama. Ia keseleo lidah saat menyebut Kementerian Agama adalah hadiah dari negara spesifik untuk Nahdlatul Ulama (NU) dan wajar jika NU memanfaatkan Kemenag. Tak berhenti di sini. Mahfud MD kala menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) sempat dianggap keseleo lidah tatkala menyebut tidak boleh apabila meniru negara pada zaman Nabi Muhammad SAW. Kala itu, pernyataan Mahfud mengundang banyak pihak turun menasihatinya. “Apa ia lupa jika Allah telah tetapkan Nabi Muhammad SAW sebagai contoh terbaik bagi orang beriman, ini tak boleh diingkari,” ujar Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Pusat Anton Tabah menanggapi pernyataan itu. Anton lalu meminta agar Mahfud MD untuk lebih banyak memanjatkan doa lantaran dianggap kerap salah memberikan pernyataan kepada publik. Sedangkan dalam kasus Yaqut Cholil Qoumas yang turun memberi nasihat dalah Sekretaris Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Dr Abdul Mu’ti. Ia mengunggah sebuah konten tentang obat keseleo lidah di akun Instagram pribadinya @Abe_mukti. Ia menuturkan, ada di jenis kenapa seseorang bisa keseleo. Pertama, keseleo fisik atau salah urat. Ini obatnya tidak terlalu susah karena bisa langsung diurut atau digosok ke ahlinya, lalu bisa sembuh. Kedua, keseleo lidah atau salah ucap. Obatnya tidak boleh diurut apalagi dipakai minyak seperti yang terjadi pada keseleo bagian tubuh lainnya. Menurutnya, cara yang paling ampuh untuk mengobati keseleo lidah atau salah ucap itu ada beberapa hal. Antara lain meminta maaf dan mau mengakui kesalahannya. “Akui saja kalau memang salah ucap. Minta maaf atas khilaf dan salah ucap,” tuturnya. Selain itu, seseorang yang mengalami keseleo lidah sebaiknya mau mengintrospeksi diri dan mulai berbenah diri. “Belajar untuk meningkatkan kualitas ilmu dan berhati-hati sebelum berucap. Baik internal atau eksternal komunitas, bicaralah dengan bijak,” pungkasnya. Dalam dunia psikologi, keseleo lidah ini memiliki istilah tersendiri, yaitu Freudian Slips atau Parapraxis. Ini merupakan kesalahan berbicara yang diyakini bisa mengungkapkan hal sebenarnya yang ada dalam alam bawah sadar seseorang. Penemu teori ini adalah Sigmund Freud dari Austria. Freud menjelaskan bahwa alam bawah sadar merupakan sebuah gudang penyimpanan bagi segala kenangan, pikiran, motif, dan keinginan yang tidak terungkapkan. Biasanya, seseorang akan terus mencoba untuk menekan dan membatasi pemikiran tersebut. Hal inilah yang secara tidak sadar mulai mempengaruhi alam sadar seseorang, hingga ‘terdorong’ keluar secara tidak sengaja lewat mimpi atau kalimat spontan. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa keseleo lidah atau kesalahan berbicara terjadi. Freud berpendapat bahwa keseleo lidah merupakan tanda yang menuntun pada kondisi psikologi yang mendalam pada diri seseorang. Ia juga mempercayai bahwa ketika seseorang kelepasan mengatakan sesuatu secara tak disengaja, hal itu bukanlah murni sebuah kebetulan, namun merupakan kondisi di mana sensor pikiran mengalami kerusakan dalam memproses informasi apa yang harus diungkapkan. Sejatinya, Islam telah mengajarkan agar kita senantiasa menata ucapan atau diam, sehingga dapat meraih keuntungan dari pembicaraan yang dilakukan dan meraih keselamatan dari sikap diam yang diambilnya. Rasulullah SAW mengingatkan akibat buruk dari lidah, dan inilah yang sangat beliau khawatirkan. Dari Sufyan bin Abdillah RA, ia berkata, “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sesuatu yang bisa aku jadikan pegangan. Beliau menjawab, “Katakanlah Tuhanku adalah Allah lalu istikamahlah. Saya berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang paling engkau khawatirkan atas diriku? Rasulullah SAW menunjuk lidahnya sendiri dan berkata, “Ini.” (HR Tirmidzi). Ketika Rasul SAW ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, beliau menjawab, “Dosa lidah dan kemaluan.” (HR Tirmidzi). Dan, kekuatan merawat lidah ini pun dikaitkan dengan keimanan kepada Allah dan hari akhir. Sabda Nabi SAW, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) maka hendaknya ia diam.” (HR Muslim). Artinya, keharusan menjaga lidah tidak hanya sekadar menjaga hubungan baik dengan antara sesama. Tetapi, lebih dari itu, keharusan menjaga lidah merupakan unsur ibadah dan akidah. Dr Musthafa Dieb al-Bugha dalam kitabnya Al-Wafi fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah, mengatakan etika orang beriman dalam bermuamalah dengan sesamanya adalah memperhatikan adab dalam berbicara. Pertama, seorang muslim hendaknya berusaha membicarakan hal-hal yang mendatangkan manfaat, dan tidak mengucapkan ucapan yang tidak diperbolehkan. Perkataan yang tidak berguna di antaranya ghibah, namimah, dan mencela orang lain. Kedua, tidak banyak bicara. Karena banyak bicara, meskipun dalam hal yang diperbolehkan, bisa menjerumuskan kepada hal yang dilarang ataupun makruh. Sabda Nabi SAW, ”Janganlah kalian banyak bicara, yang bukan zikir kepada Allah. Karena banyak bicara, yang bukan zikir kepada Allah, akan membuat hati keras. Dan manusia yang paling jauh dari Tuhannya adalah yang hatinya keras.” (HR Tirmidzi). Ketiga, wajib bicara ketika diperlukan, terutama untuk menjelaskan kebenaran dan amar makruf nahi munkar. Ini adalah sikap mulia yang jika ditinggalkan termasuk pelanggaran dan berdosa, karena orang yang mendiamkan kebenaran pada dasarnya adalah setan bisu. Jika setiap kita mengendalikan lidah dari perkataan yang mengandung kebatilan, seperti umpatan, hardikan, penghinaan, ejekan, olok-olokan, adu-domba, dan hasutan, niscaya tidak akan ada perselisihan dan perdebatan yang berkepanjangan di tengah masyarakat.Kasus Gus Miftah: Begini Obat Kepleset Lidah dalam Islam Ada ungkapan, lidah bisa lebih tajam daripada pedang, karena korban yang diakibatkan dari keseleo lidah bisa lebih banyak dan lebih sakit dibanding dengan pedang. (yan) Baca juga :

Read More

Etika Bercanda dalam Islam

Jakarta — 1miliarsantri.net : Bercanda adalah salah satu bentuk bersosialisasi dengan orang lain. Umumnya bersenda gurau digunakan untuk mencairkan suasana dan mendekatkan hubungan. Islam tidak melarang seseorang untuk bersenda gurau. Namun, sebagai agama yang mengedepankan adab dalam semua hal ada batasan-batasan yang harus diperhatikan saat bercanda untuk meminimalisir perselisihan. Dalam sebuah riwayat, ada sahabat, Nu’aiman, yang selalu membuat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tertawa. Nu’aiman dikenal sebagai sahabat yang usil namun kehadirannya membuat hati semua orang senang. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah RA, seorang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, “Wahai Rasulullah! Apakah engkau juga bersenda gurau bersama kami?” Rasulullah menjawab, “Benar. Hanya saja, saya selalu berkata benar.” (HR Ahmad). Ada beberapa tuntutan bercanda dalam Islam, yaitu: Senda gurau yang berlebihan akan menjatuhkan kehormatan dalam pandangan manusia. Kehormatan dan harga diri manusia dalam Islam sama dengan kehormatan darah dan hartanya. “Setiap muslim dengan muslim lain diharamkan darah, harta, dan harga dirinya” (HR Muslim). Allah Ta’ala berfirman, يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ۝ Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim. (QS. Al-Hujurat: 11). Kesungguhan dan keseriusan adalah karakter pribadi muslim, sedang kelakar hanya sekadar jeda, rehat dari kepenatan. Isi guyonan bukan hal yang bohong dan tidak dibuat-buat. Celakalah orang yang berbicara lalu mengarang cerita dusta agar orang lain tertawa, celakalah!” (HR Abu Dawud). Allah Ta’ala berfirman, وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ Artinya: Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja. Katakanlah, Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kami minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS at-Taubah: 65). لَا تَعْتَذِرُوا۟ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَٰنِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن طَآئِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَآئِفَةًۢ بِأَنَّهُمْ كَانُوا۟ مُجْرِمِينَ Artinya: Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS at-Taubah: 65-66). (yan) Baca juga :

Read More

Kiai Cholil Nafis: Penjual Teh Itu Cari Rezeki Halal

Jakarta — 1miliarsantri.net : Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Cholil Nafis menyebut orang yang mencemooh penjual tanda tidak memiliki etika. Rais Syuriyah PBNU ini pun mengimbau untuk tidak meniru perilaku tersebut. Melalui akun X, Kiai Cholil mengatakan, pedagang yang berjualan teh adalah orang yang sedang mencari rezeki yang halal. Menurutnya, orang jualan teh itu sedangmencari rezeki dengan kasab yang halal. Tentu sesuai dengan kapasitas masing-masing orang mencari rezeki. “Yang (ngustadz) kaya’ begitu jangan ditiru ya Dekk… goblok-goblokin orang jualan itu tanda tak belajar etika. Apalagi di depan umum saat pengajian. Astaghfirullah,” ucap Kiai Kholil. Meski tak menyebut nama langsung, namun warganet langsung mengaitkan cuitan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Indonesia ini dengan video viral Gus Miftah. Dalam video yang beredar, memperlihatkan Gus Miftah yang secara gamblang menyebut goblok ke salah satu pedagang teh di tengah orang ramai. “Es tehmu sih akeh (masih banyak) nggak? ya sana jual gob*lok! Jual dulu, nanti kalau belum laku ya udah, takdir,” ujar Gus Miftah seraya terbahak-bahak. Lontaran kata kasar dari Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan itu pun membuat si penjual terdiam. Mirisnya, orang-orang yang berada di dekat Gus Miftah adalah para pemuka agama di daerah tersebut dan terlihat ikut tertawa terbahak-bahak. Dari tayangan video viral itu, Gus Miftah tampak didampingi oleh Gus Yusuf Chudlori dan Habib Zaidan Bin Yahya di acara Magelang Bersholawat yang digelar di Lapangan Drh. Soepardi Kota Mungkid, Kab Magelang, Rabu, (20/11/2024). (yan) Baca juga :

Read More

Ketika Imam Syafi’i Dakwahi Baghdad

Jakarta — 1miliarsantri.net : Pada abad ke-2 Hijriah, Baghdad menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan Islam yang menarik banyak ulama dari berbagai wilayah. Salah satu tokoh yang meninggalkan pengaruh besar di kota ini adalah Imam Syafi’i, yang tiba di Baghdad pada tahun 195 H. Kala itu, ulama kenamaan yang lahir di Gaza tersebut membawa mazhab fikihnya yang telah ia rumuskan selama berada di Makkah. Kedatangan Imam Syafii disambut hangat oleh masyarakat dan ulama Baghdad, menjadikan manhajnya cepat diterima dan digemari. Keberhasilan Imam Syafi’i menarik perhatian di Baghdad tidak lepas dari keunikannya dalam menyatukan dua pendekatan utama dalam menyimpulkan hukum Islam. Metode pertama adalah pendekatan Ahli Hadis, yang ia pelajari dari Imam Malik di Madinah. Metode ini menekankan pada pentingnya hadis sebagai sumber utama hukum Islam. Metode kedua adalah pendekatan Ahli Ra’yi yang lebih rasional dan berbasis logika, yang ia kuasai setelah berguru kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, di Baghdad. Penguasaan dua metode ini membuat Imam Syafi’i mampu menawarkan solusi hukum yang seimbang, memperhatikan dalil naqli (teks) dan aqli (logika). Pendekatan ini menjadikan mazhabnya relevan di kalangan ulama Baghdad, yang sebelumnya lebih condong kepada metode Ahli Ra’yi. Kehadiran Imam Syafi’i di Baghdad segera mengubah lanskap keilmuan di kota itu. Menurut ulama Ibrahim al-Harbi, sebelum kedatangan Imam Syafi’i, terdapat sekitar 20 majelis ilmu yang mengajarkan metode Ahli Ra’yi. Namun, hanya dalam waktu dua pekan setelah dia tiba, jumlah majelis tersebut berkurang drastis menjadi hanya tiga atau empat majelis, karena banyak ulama dan pelajar beralih ke majelis Imam Syafi’i. Selama di Baghdad, Imam Syafi’i tidak hanya mengajarkan mazhabnya tetapi juga aktif menulis. Di antara karyanya yang terkenal adalah Kitab al-Hujjah, yang memuat pendapat fikihnya (Qaul Qadim), dan Ar-Risalah, sebuah kitab penting tentang Ushul Fiqh. Karya-karya ini menjadi rujukan utama dalam fikih Islam hingga kini. Selain itu, Imam Syafi’i dikenal karena keberaniannya membantah pandangan yang lebih mengutamakan qiyas, istihsan, dan istishlah dibanding hadis. Upayanya mempertahankan sunah Nabi SAW membuat beliau diberi gelar Nashiru al-Sunnah (Penolong Sunah). Keberhasilan Imam Syafi’i di Baghdad tidak hanya disebabkan oleh keilmuan yang mendalam, tetapi juga pendekatan uniknya yang menggabungkan tradisi ahli hadis dan ahli Ra’yi. Dengan karya-karya monumental dan pengaruh besar dalam waktu singkat, manhaj Syafi’i menjadi salah satu mazhab yang paling diminati di Baghdad, sekaligus meletakkan dasar bagi penyebaran luasnya di dunia Islam. (yan) Baca juga :

Read More

80 Persen Disabilitas Netra Muslim tak Bisa Baca Alquran Braille

Jakarta — 1miliarsantri.net : Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) mengungkap jika sebanyak 80 persen dari dua juta tunanetra Muslim di Indonesia tidak bisa membaca Alquran Braille. Ketua ITMI Yogi Madsuni menjelaskan, dari sekitar empat juta tunanetra yang ada di Indonesia, separuhnya adalah Muslim. “Kami melakukan identifikasi dan melakukan assessment, yang dari dua juta itu baru sekitar 20 persen. Bahkan mungkin kurang dari 20 persen yang bisa baca Alquran. Selebihnya belum bisa,” jelas Yogi Yogi menjelaskan, tingginya jumlah buta huruf Alquran Braille bukan disebabkan sulitnya akses terhadap Alquran Braille. Menurut Yogi, mushaf standar braille masih sangat cukup mengingat banyak komunitas yang memberikan wakaf Alquran berhuruf timbul tersebut. Beberapa diantara mereka bahkan melakukan pencetakan Alquran Braille. Menurut Yogi, permasalahannya ada pada jumlah guru pengajar Alquran Braille yang masih sangat sedikit. Dia mencontohkan, jumlah tunanetra Muslim di daerah Bogor sekitar 500 orang. Mayoritas belum bisa membaca Alquran Braille akibat minimnya pengajar di daerah tersebut. Begitu pula, ujar dia, jumlah pengajar Alquran Braille di Jakarta yang dapat dihitung dengan jari. “Belum lagi yang daerah-daerah lainnya. Apalagi kalau kita sudah bicara di Pulau Jawa, karena kami (ITMI) sudah ada di 27 provinsi dan di 167 kabupaten-kota,” jabarnya. Padahal, dia menjelaskan, Indonesia butuh setidaknya satu juta orang pengajar Alquran Braille untuk mengajar dua juta tunanetra Muslim. Untuk mengentaskan buta aksara tersebut, ITMI bersama Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Kementerian Agama pun telah merumuskan modul pembelajaran Alquran Braille. Modul pembelajarannya berjenjang dari tingkat dasar hingga mahir. Selain itu, menurut dia, ITMI menggelar training of traniner (ToT) di berbagai daerah untuk melahirkan para pengajar Alquran Braille untuk tunanetra. Dia menargetkan, program tersebut bisa mencetak setidaknya seribu trainer. “Jadi selama ini lebih banyak pengadaan Alqurannya daripada trainingnya atau pembinaannya. Padahal ini sangat penting,” ujar dia. Permasalahan yang diungkapkan Yogi terbukti di lapangan. Sekolah Luar Biasa (SLB) Al Irsyad Al Islamiyyah yang berada di Kota Bogor, harus memindahkan anak-anak tunanetra ke sekolah lain karena sulitnya menemukan guru khusus untuk mereka. Sekolah yang mengasuh 112 siswa disabilitas ini kini tinggal mendidik anak-anak tunarungu, tunagrahita, tunadaksa dan autis. Kepala SLB Al Irsyad Al Islamiyyah di Kota Bogor, Susan Azis Thalib mengungkapkan, jangankan untuk guru yang mengajari Alquran Braille, guru untuk siswa disabilitas netra saja sulit ditemukan. Dia menjelaskan, guru Alquran Braille bukan sekadar sulit tetapi langka. “Sangat pak, sangat, sangat pak, sangat membutuhkan guru membaca Alquran braille, di Bogor Kota bisa dihitung dengan jari jumlah guru SLB yang mengajar membaca Alquran Braille dan mengajar membaca huruf braille,” terang Susan. Ia menyampaikan, untuk mengatasi kekurangan guru SLB, direkrutlah guru sekolah umum untuk mengajar di SLB. “Guru SLB sangat kekurangan, jadi kita terpaksa rekrut guru-guru yang non-SLB, padahal guru SLB itu khusus (yang punya kemampuan khusus mengajar siswa disabilitas),” ujar Susan. Dia mengungkapkan, perhatian pemerintah terhadap guru dan siswa SLB dirasa sangat minim khususnya terhadap mereka yang tunanetra. Susan menaruh harapan besar terhadap Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) yang sekarang. Dia merasa menteri sebelumnya kurang perhatian terhadap siswa dan guru SLB. Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Baharudin menjelaskan, langkanya pengajar Alquran Braille terjadi karena jumlah SLB yang khusus menerima peserta didik disabilitas netra saat ini hanya sedikit. Kalaupun ada SLB yang sudah menerima peserta didik dengan ragam kekhususan pun, dia mengatakan, jumlah peserta didik disabilitas netra hanya sedikit. Di sisi lain, ujar dia, jumlah guru yang memahami sistem simbol braille Indonesia itu diantaranya sistem simbol Arab braille masih sangat kurang. Baharuddin mengungkapkan, pihaknya sudah mencetak banyak buku braille kemudian bekerja sama dengan Kementerian Agama khusus Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ). Hanya saja, belum ada tenaga khusus untuk Alquran Braille. ”Pada prinsipnya pemerintah terus berusaha untuk memenuhi kebutuhan guru pengajar Alquran braille. Hanya saja penerimaan atau ketika dibuka misalnya lowongan terkait dengan guru-guru ini, tidak banyak yang memenuhi kuota,” sambungnya. Lebih lanjut, dia menjelaskan, penambahan jumlah guru SLB merupakan kewenangan di provinsi. Sementara itu, penambahan jumlah guru agama SLB merupakan tanggung jawabnya Kementerian Agama. “Tanggung jawabnya tidak hanya di Kemendikdasmen,” pungkasnya. (wink) Baca juga :

Read More

Bagaimana Hukum Mendoakan Non Muslim Yang Meninggal Dunia

Jakarta — 1miliarsantri.net : Sebagai seorang muslim diperintahkan untuk berhubungan sosial dengan baik pada siapa pun tanpa memandang status sosial, ras, suku, bahkan agama. Berperilaku baik terhadap non-muslim sama wajibnya dengan berperilaku baik terhadap sesama muslim. Interaksi ini tentu akan menumbuhkan ikatan emosional dan membawa kesedihan saat terjadi perpisahan. Kesedihan saat ditinggal orang terdekat adalah perasaan yang manusiawi. Jika orang yang meninggal tersebut beragama islam, tentu kita akan mendoakannya agar Allah mengampuni dosanya, memberikannya nikmat kubur dan menempatkannya di surga. Namun, jika orang yang meninggal itu adalah non-muslim, apakah boleh mendoakannya? Menurut Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo, Ustadz Rif’an Haqiqi, pembahasan tentang hukum mendoakan non-muslim yang sudah meninggal banyak ditemukan di kitab-kitab fikih pada bab Pemulasaraan Jenazah. Dalam hal ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa mendoakan non-muslim yang sudah meninggal hukumnya haram, sebagaimana disampaikan oleh Imam An-Nawawi (w. 676 H) dan Imam Ar-Ramli (w. 1004 H), berikut ini: وَأَمَّا الصَّلَاةُ عَلَى الْكَافِرِ وَالدُّعَاءُ لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ فَحَرَامٌ بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَالْإِجْمَاعِ Artinya: “Adapun menshalati orang kafir dan mendoakannya agar mendapat ampunan, hukumnya haram berdasarkan nash Al-Qur’an dan Ijma’ (konsensus ulama)” (Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ [Beirut: Darul Fikr, tt] juz V, halaman 258). وَتَحْرُمُ) الصَّلَاةُ (عَلَى الْكَافِرِ) وَلَوْ ذِمِّيًّا لِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا} [التوبة: ٨٤] ؛ وَلِأَنَّ الْكَافِرَ لَا يَجُوزُ الدُّعَاءُ لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ} [النساء: ٤٨ Artinya: “Haram hukumnya menshalati non-muslim meskipun berstatus dzimmi karena firman Allah: Dan janganlah kamu sekali-kali menshalati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka (At-taubah: 84). Dan dikarenakan tidak boleh mendoakan non-muslim untuk mendapatkan ampunan karena firman Allah: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (An-Nisa’: 48)” (Imam Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj [Beirut: Darul Fikr, 1984], juz II, halaman 493). Imam Al-Bukhari menceritakan sebuah kisah: menjelang Abu Thalib wafat, Rasulullah saw mendampinginya dan memintanya agar mengucap syahadat, namun di tempat itu hadir pula Abu Jahl, ia meyakinkan Abu Thalib agar tidak mengucap syahadat. Abu Thalib pun wafat tanpa mengucap syahadat. Rasulullah SAW bersabda: أَمَا وَاللهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ. فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى فِيهِ: ﴿مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ﴾ الْآيَةَ Artinya: “Demi Allah sungguh aku akan memintakan ampunan untukmu selagi aku tidak dilarang. Lalu Allah menurunkan ayat 113 surah At-Taubah” (Shahihul Bukhari [Beirut: Dar Thuqin Najah, 2001], juz II, halaman 95). Berikut ini ayat yang dimaksud dalam hadits tersebut: مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسْتَغْفِرُوا۟ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوٓا۟ أُو۟لِى قُرْبَىٰ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَٰبُ ٱلْجَحِيمِ Artinya: “Tidak ada hak bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik sekalipun mereka ini kerabat(-nya), setelah jelas baginya bahwa sesungguhnya mereka adalah penghuni (neraka) Jahim.” Namun, beberapa ulama berpandangan lain. Larangan memintakan ampunan bagi non-muslim hanya berlaku pada dosa kekufuran. Artinya, kita boleh memintakan ampunan bagi non-muslim untuk dosa-dosa selain dosa kekufurannya. Syekh Ahmad Al-Qalyubi (w. 1068 H) mengatakan: وَيَجُوزُ الدُّعَاءُ لَهُ وَلَوْ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ، خِلَافًا لِمَا فِي الْأَذْكَارِ إلَّا مَغْفِرَةَ ذَنْبِ الْكُفْرِ مَعَ مَوْتِهِ عَلَى الْكُفْرِ فَلَا يَجُوزُ Artinya: “Boleh mendoakan non-muslim meskipun dengan doa memintakan ampunan dan rahmat. Pendapat ini berbeda dengan yang disampaikan Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar. Kecuali memintakan ampunan atas dosa kekufuran bagi orang yang meninggal dalam keadaan kufur, maka tidak boleh.” (Syekh Ahmad Al-Qalyubi, Hasyiyah Qulyubi ‘alal Mahalli [Beirut: Darul Fikr, 1995], juz I, halaman 367). Senada dengan Al-Qalyubi, Syekh ‘Ali Syabromallisi (w. 1087 H) memberi anotasi atas apa yang disampaikan Ar-Ramli sebelumnya: الْآيَةَ إنَّمَا تَدُلُّ عَلَى مَعْنَى مَغْفِرَةِ الشِّرْكِ، وَرُبَّمَا تَدُلُّ عَلَى مِغْفَرِة غَيْرِهِ لِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى: وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ [النساء: ٤٨] وَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الدُّعَاءِ لَهُ بِمَغْفِرَةِ غَيْرِ الشِّرْكِ Artinya: “Surat An-Nisa ayat 48 hanya menunjukkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan bisa saja berarti bahwa dosa selain syirik bisa diampuni karena di akhir tersebut ayat Allah berfirman: Dan mengampuni dosa selain syirik bagi siapapun yang Ia kehendaki (An-Nisa: 48). Hal tersebut menunjukkan bolehnya mendoakan non-muslim untuk mendapatkan ampunan dosa selain dosa syirik” (Syekh ‘Ali Syabromallisi, Hasyiyah Syabromallisi [Beirut: Darul Fikr, 1984], juz II, halaman 493). Pernyataan-pernyataan senada juga diungkapkan oleh Syekh Sulaiman Al-Jamal (w. 1204 H) Dalam kitab Hasyiyatul Jamal ‘alal Manhaj (Beirut: Darul Fikr, t.t/III:382), Syekh Sulaiman Al-Bujairimi (w. 1221 H) dalam kitab Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Khathib [Beirut: Darul Fikr, 1995/III:117), dan Syekh Abdul Hamid Asy-Syarwani (w. 1301 H) dalam kitab Hasyiyah Syarwani [Beirut: Dar Ihya’it Turatsil ‘Araby, 1983/V:255). Beliau bertiga menukil keterangan yang sama, yaitu: وَبَقِيَ مَا لَوْ اغْتَابَ ذِمِّيًّا فَهَلْ يَسُوغُ الدُّعَاءُ لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ لِيَتَخَلَّصَ هُوَ مِنْ إثْمِ الْغِيبَةِ أَوْ لَا وَيَكْتَفِي بِالنَّدَمِ لِامْتِنَاعِ الدُّعَاءِ بِالْمَغْفِرَةِ لِلْكَافِرِ كُلٌّ مُحْتَمَلٌ وَالْأَقْرَبُ أَنْ يَدْعُوَ لَهُ بِمَغْفِرَةِ غَيْرِ الشِّرْكِ أَوْ كَثْرَةِ الْمَالِ وَنَحْوِهِ مَعَ النَّدَمِ Artinya: “Jika seorang muslim menggunjing (ghibah) non-muslim dzimmi (yang tidak memusuhi umat Islam), apakah ia boleh memintakan ampunan untuk non-muslim tersebut agar ia terbebas dari dosa menggunjing? atau taubatnya cukup dengan merasa menyesal, karena terdapat larangan memintakan ampunan bagi non-muslim?. Keduanya memiliki kemungkinan benar. Yang paling mendekati benar adalah yang pertama, ia memintakan ampunan untuk dosa selain syirik atau mendoakannya berlimpah harta, disertai penyesalan atas tindakannya (ghibah) tersebut.” Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ulama berbeda pendapat dalam masalah boleh dan tidaknya mendoakan non-muslim dengan memintakan ampunan. Mayoritas ulama berpendapat tidak boleh, namun beberapa ulama berpendapat boleh memintakan ampunan baginya untuk selain dosa kufur. (yan) Baca juga :

Read More

AA Gym: Musibah Bisa Jadi Teguran Penuh Kasih dari Allah

Jakarta — 1miliarsantri.net : Mubaligh KH Abdullah Gymnastiar atau yang akrab disapa AA Gym menyampaikan pesan mendalam tentang makna di balik setiap musibah yang menimpa seseorang. Dalam ceramahnya, beliau mengajak umat Islam untuk menjadikan setiap kesulitan sebagai momentum evaluasi diri. “Setiap ketidaknyamanan dalam hati, setiap musibah yang datang, maka ajaklah diri untuk segera merenung. Bisa jadi itu adalah tanda dari dosa yang tak sengaja kita lakukan.” tulis AA Gym dalam instagram pribadinya, dikutip Senin (2/12/2024). Pendakwah yang berbasis di Bandung ini menekankan pentingnya introspeksi diri ketika menghadapi cobaan. Beliau mendasari pandangannya pada Al-Quran Surat Asy-Syura ayat 30 yang berbunyi وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ” “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu.” Dalam perspektif Islam, musibah bukanlah semata-mata hukuman, melainkan bentuk kasih sayang Allah SWT untuk mengingatkan hamba-Nya. Setiap ujian yang datang membawa hikmah tersendiri dan menjadi kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. AA Gym menggarisbawahi bahwa kunci menghadapi musibah adalah dengan perbaikan diri secara berkelanjutan dan selalu berharap pada ampunan Allah SWT. Sikap optimis dan tawakal menjadi landasan penting dalam menghadapi setiap cobaan. (yan) Baca juga :

Read More

Mushaf Alquran Rusak, Apa yang Harus Dilakukan?

Jakarta — 1miliarsantri.net : Mushaf Alquran, sebagai kitab suci umat Islam, memiliki kedudukan yang sangat mulia sehingga memerlukan perlakuan khusus, bahkan ketika kondisinya tidak memungkinkan lagi untuk digunakan. Banyaknya masyarakat yang belum mengetahui cara memperlakukan mushaf yang rusak sesuai tuntunan syariat. Menjawab persoalan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan Fatwa Nomor 21 Tahun 2023 tentang Hukum dan Pedoman Penanganan Mushaf Alquran yang Rusak dan/atau Tidak Layak Guna. Islam mengajarkan umatnya untuk memuliakan Alquran sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Waqiah ayat 77-80: إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌفِي كِتَابٍ مَكْنُونٍلَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ “Sesungguhnya ia adalah Alquran yang mulia. Di dalam kitab yang terpelihara. Tidak boleh menyentuhnya selain orang yang suci, wahyu yang turun dari Tuhan semesta alam.” (QS Al – Waqiah 77-80). Ayat ini menunjukkan bahwa kesucian dan kemuliaan Alquran harus dijaga, bahkan ketika mushaf tersebut tidak lagi dapat digunakan sebagaimana mestinya. Selain itu fatwa ini menegaskan bahwa memuliakan mushaf Alquran merupakan kewajiban setiap Muslim, termasuk mushaf yang rusak atau tidak layak guna. Segala bentuk tindakan yang merendahkan mushaf, seperti menginjaknya, menjadikannya pembungkus, atau bahan kerajinan, dinyatakan haram. Rasulullah SAW juga mengingatkan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi yang artinya; Dari Amir bin Saad bin Abi Waqqash dari bapaknya, sesungguhnya Nabi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala itu baik (dan) menyukai kebaikan, bersih (dan) menyukai kebersihan, mulia (dan) menyukai kemuliaan, bagus (dan) menyukai kebagusan. Oleh sebab itu, bersihkanlah lingkunganmu.” (HR At-Tirmidzi) Hadits ini memberikan pesan untuk menjaga kehormatan dan kebersihan, termasuk dalam memperlakukan mushaf yang sudah rusak. Di dalam fatwa ini juga dijelaskan bahwa terdapat dua metode utama yang dapat dilakukan untuk penanganan mushaf Alquran yang rusak dan tidak laik guna, yakni pelenyapan dan pendaurulangan. Pelenyapan dilakukan dengan cara membakar atau mencacah mushaf hingga tidak dapat lagi dikenali sebagai mushaf, kemudian residunya dipendam atau dilarutkan. Sementara itu, pendaurulangan dilakukan dengan menghilangkan tulisan pada mushaf, mencacahnya, dan memanfaatkan hasil daur ulang dengan tetap menjaga kemuliaannya. Lebih lanjut, di dalam fatwa ini juga menyerukan kepada produsen dan penerbit mushaf untuk ikut bertanggung jawab dalam menjaga kemuliaan mushaf, termasuk saat kondisinya sudah tidak laik pakai. Tidak hanya itu, tokoh agama diharapkan terus mengedukasi masyarakat agar lebih memahami pentingnya penghormatan terhadap mushaf, baik yang masih digunakan maupun yang rusak. Dengan hadirnya Fatwa MUI Nomor 21 Tahun 2023, diharapkan umat Islam di Indonesia memiliki panduan yang jelas dalam memperlakukan mushaf yang rusak atau tidak layak guna. Langkah ini tidak hanya menjaga kesucian Alquran, tetapi juga memperkuat kesadaran masyarakat untuk terus menghormati kitab suci mereka dalam setiap keadaan. (yan) Baca juga :

Read More

Kunci Terkabulnya Hajat Setelah Salat Tahajud

Jakarta — 1miliarsantri.net : Kegelisahan dan berbagai permasalahan hidup kerap membuat umat Muslim mencari jalan keluar melalui doa. Dalam sebuah kajian spiritual, Ustaz Adi Hidayat mengungkap kekuatan doa Nabi Yunus yang dapat menjadi perantara terkabulnya hajat, khususnya ketika dibaca setelah melaksanakan salat tahajud. “Doa Nabi Yunus memiliki kekuatan luar biasa karena mengandung tiga elemen penting: pengakuan keesaan Allah, pensucian Allah, dan pengakuan atas kelemahan diri sebagai manusia. Doa ini terbukti ampuh dalam situasi apapun, baik saat menghadapi kesulitan maupun ketika mengejar kesuksesan,” urai Ustaz Adi Hidayat, dikutip Ahad (30/11/2024). Doa yang termaktub dalam Surah Al-Anbiya ayat 87 ini berbunyi: لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ “Lā ilāha illā anta subḥānaka innī kuntu minaẓ-ẓālimīn” yang memiliki arti “Tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.” Ustaz Adi Hidayat menekankan bahwa kalimat pertama dalam doa tersebut merupakan inti dari seluruh perjuangan seorang Muslim di dunia. Kalimat tauhid ini bahkan menjadi kunci surga bagi mereka yang gugur di jalan Allah. Dimensi kedua dari doa ini adalah pengakuan akan kesucian Allah melalui kata “Subhanallah”. Kalimat ini menegaskan bahwa tidak ada yang setara dengan keagungan Allah SWT. “Saat kita mengucap Inni kuntu minaz-zalimin, kita menunjukkan kesadaran akan keterbatasan diri dan memohon ampunan-Nya. Ini adalah bentuk kerendahan hati yang paling murni,” ujar dia. Dalam penjelasan lebih lanjut, sang ustaz mengaitkan doa ini dengan janji Allah yang tertuang dalam ayat berikutnya. Allah SWT berjanji akan mengabulkan permohonan siapa saja yang berdoa dengan ketulusan seperti Nabi Yunus. Waktu paling ideal untuk mengamalkan doa ini adalah setelah melaksanakan salat tahajud. Keheningan malam dan suasana khusyuk menciptakan momen sempurna untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. “Setelah tahajud, awali dengan istighfar lalu bacalah doa ini dengan penuh penghayatan. Jangan sekadar melafalkan, tetapi resapi setiap maknanya sambil menyerahkan segala urusan kepada Allah,” pungkasnya. (yan) Baca juga :

Read More