Menata Sandal Kyai, Ladang Berkah Santri

Surabaya – 1miliarsantri.net: Sangat mafhum dikalangan Pesantren bahwa santri tidak hanya berfokus pada belajar saja, tapi juga harus disertai dengan khidmah, khidmah kepada ilmu, khidmah kepada guru, khidmah kepada pondok dan sebagainya, berkhidmah merupakan ladang barokah yang menjadi bahan buruan para santri. Khidmah sendiri sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para ulama’ lainnya, Seperti halnya Sahabat Ibn Abbas saat masih kecil menjadi Pelayan Nabi dengan melayani menyiapkan Air Wudhu’ untuk nabi, lalu nabi mendoakan Ibnu Abbas dengan doa yang juga sudah familiar di kalangan kita yakni “ اللّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ “(Ya Allah… Berilah Pemahaman Agama kepada Ibn Abbas dan Pengetahuan Takwil”. Tentu itu mungkin hal sepele hanya menyiapkan air tapi hasil berkahnya sangat luar biasa, sahabat Ibn Abbas menjadi sahabat yang paham agama luas dan pemahaman Tafsir Takwil yang luar biasa. Menata Sandal Guru/Kyai/Ulama Ada hal sepele yang mungkin juga jadi perhatian kita di pesantren namun banyak diburu santri, yakni Menata Sandal Guru/Kyai/Ulama. Ini sudah menjadi tradisi turun temurun sebagai ladang berkah, bagi santri ini menjadi hal yang harus dilakukan, menata sandal kyai, setiap hari menanti/menunggu terlebih dahulu di depan tempat dimana kyainya beranjak pergi atau masuk ke rumah. Mungkin bagi orang yang tidak pernah mondok, budaya santri membalik sandal kyai ini dinilai berlebihan. Entahlah, tapi yang pasti budaya santri membalik sandal kyainya sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah hingga hari ini. Rasululullah Mendoakan Anak Kecil Yang Merapikan Sandalnya Suatu ketika ada seorang bocah namanya Salman, mungkin usianya masih belasan tahun. Dia selalu datang ke masjid ketika Rasulullah belum tiba di sana. Setelah Rasulullah tiba, dia dengan segera membalikkan dan merapikan sandal Rasulullah. Perbuatan itu dilakukannya setiap hari, sehingga membuat Rasulullah menjadi penasaran siapa sebetulnya yang selalu membalikkan sandalnya. Untuk mengetahui siapa gerangan yang membalik sandalnya, Rasulullah sengaja bersembuyi untuk mengetahui siapa yang selalu merapikan dan membalik sandalnya. Saat itu Rasulullah mendapati seorang anak kecil berusia belasan tahun yang tidak lain adalah Salman. Mengetahui hal itu, Rasulullah berdoa memohon kepada Allah agar Salman dijadikan orang alim dan ahli fikih. Singkat cerita, setelah Salman dewasa dia benar-benar menjadi orang alim dan seorang fuqaha atau ahli fikih. Kisah Pendiri Muhammadiyah Dan Pendiri Nahdlatul Ulama Kisah lelaku menata sandal ini juga pernah terjadi pada dua ulama besar Indonesia, masing-masing dari mereka mendirikan ormas terbesar di Indonesia, yaitu KH. Ahmad Dahlan, pendiri ormas Muhammadiyah dan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Beliau berdua waktu nyantri di tempat Kiai Sholeh Darat Semarang selalu berebut untuk menata sandal Kiai Sholeh Darat. Melihat perbuatan kedua santrinya tersebut. Kedua santri ini akhirnya memperoleh tempat istimewa di mata Kiai Sholeh Darat. Dari hal yang mungkin dirasa sepele namun menyimpan rahasia keberkahan yang besar, sebuah sandal yang ditempelkan ke Guru bisa menjadi Relasi dan Wasilah mulia bagi yang mau untuk berkhidmah.Karena menurut ulama, lebih dari separuh ilmu didapat karena kuatnya hubungan emosional antara santri dan gurunya. قال بعضهم: سبعون فى مائة أنّ العلم ينال بسبب قوة الرابطة بين المريد وشيخه Bahwa tujuh puluh persen ilmu itu didapat karena kuatnya hubungan batin antara santri dan kyai_nya. Santri boleh ragu atas dirinya, tapi jangan sekali-kali seorang santri mempunyai keraguan atas gurunya, atas keberkahan gurunya. Dan alhamdulillah tradisi menata sandal kyai dengan cara membaliknya masih terus dilakukan dan dilestarikan para santri kepada gurunya di mana pun berada. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan keberkahan untuk kita semua dengan wasilah kecintaan & kepatuhan kita terhadap guru-guru. Penulis : Mukhid Khoirul AzibPesantren Mahasiswa AnnawawiJum’at 13 Juni 2026 Editor : Thamrin Humris dan Toto Budiman

Read More

Keluarnya Madzi Tidak Diikuti dengan Kenikmatan

Jakarta — 1miliarsantri.net : Madzi, mani, dan wadi adalah cairan yang keluar dari kemaluan manusia. Namun ketiga cairan ini memiliki perbedaan yang cukup krusial, baik dari makna hingga perlakuan terhadapnya. Madzi merupakan cairan bening dan lengket yang keluar saat muncul syahwat. Kendati demikian keluarnya madzi tidak diikuti dengan kenikmatan dan tidak pula diikuti dengan kelemasan. Sedangkan mani merupakan cairan yang keluar dari kemaluan dengan disertai pancaran dan kenikmatan. Dalam buku Panduan Shalat an-Nisa Menurut Empat Madzhab karya Abdul Qadir Muhammad Manshur, terkadang madzi keluar tanpa terasa. Madzi bisa keluar dari kemaluan laki-laki maupun perempan, tetapi lebih sering keluar dari kemaluan perempuan. Adapun penyebab keluarnya madzi adalah keinginan untuk bersetubuh. Sama dengan madzi, mani juga dapat keluar dari kemaluan laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, terdapat perbedaan dari mani laki-laki dengan perempuan. Mani laki-laki berwarna putih dan bertekstur kental, sedangkan mani perempuan berwarna kuning dan encer. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Rasulullah dalam hadis riwayat Muslim yang artinya: “Sesungguhnya air mani laki-laki kental dan (berwarna) putih, sementara air mani perempuan encer dan (berwarna) kuning,”. Sedangkan Wadi adalah cairan putih dan kental yang keluar dari kemaluan setelah kencing. Para ulama sepakat bahwa hukum madzi adalah najis. Apabila ia mengenai tubuh, maka ia wajib dibasuh sebab Rasulullah SAW telah memerintahkan untuk membasuhnya. Hal ini sebagaimana yang terekam dalam hadis yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib: “Aku adalah seorang laki-laki yang banyak mengeluarkan madzi. Dan aku malu untuk bertanya kepada Rasulullah SAW karena kedudukan putri beliau. Aku pun menyuruh Miqdad bin Aswad untuk bertanya kepada beliau (Nabi Muhammad SAW), dan beliau menjawab: hendaklah dia membasuh zakarnya (kemaluan laki-laki) dan berwudhu,”. Adapun apabila madzi mengenai pakaian, maka ia cukup disiram dengan air demi menghilangkan kesulitan. Sebab, madzi sangat sulit dihindari dan sering mengenai pakaian pemuda yang masih bujang. Kesulitan itu sebagaimana yang diceritakan Sahal bin Hanif: “Aku dulu mendapatkan kesulitan dan kesusahan dari madzi. Dan aku sering mandi karenanya. Kemudian, aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW dan beliau pun bersabda: cukup bagimu berwudhu karena hal itu. Lalu, aku bertanya lagi pada Rasulullah bagaimana dengan madzi yang mengenai pakaianku. Rasul menjawab: cukup bagimu mengambil air sepenuh telapak tangan lalu menyiramkannya pada pakaianmu di mana kamu lihat madzi itu telah mengenainya,”. Hadis tersebut berstatus shahih dan diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, serta Imam Tirmidzi. Ditambahkan, dalam riwayat Atsram Rasul juga berkata: “Cukup bagimu mengambil air sepenuh dua telapak tangan, lalu menyiramkannya pada pakaianmu,”. Sedangkan untuk mani, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menghukuminya sebagai benda yang najis. Sementara jumhur ulama menyatakan sifatnya adalah suci. Meskipun jumhur ulama mengatakan suci, hanya saja umat Islam dianjurkan untuk membasuhnya apabila ia lembab dan menggaruknya apabila ia kering. Mengenai cara membersihkan mani, Rasulullah SAW bersabda: “Huwa bimanzilati al-mikhathi walbushaqi wa innama yakfika an tamsahahu bikhirqatin,”. Yang artinya: “Ia (mani) sama seperti ingus dan ludah. Sesungguhnya cukup bagimu untuk mengusapnya dengan sesobek kain,”. Hadis ini merupakan riwayat dari Daraquthni, Imam Baihaqi, dan Thahawi. Adapun wadi, dihukumi para ulama berupa najis. Berdasarkan hadis riwayat Ibnu Mundzir, Aisyah berkata: “Adapun wadi, ia keluar setelah kencing. Laki-laki yang mengeluarkannya harus membasuh zakar dan kedua biji kemaluannya lalu berwudhu. Dia tidak perlu mandi,”. Sedangkan Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang wadi dan madzi, yang artinya: “Basuhlah zakarmu dan berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat,”. (yan) Baca juga :

Read More

Umat Islam Seperti Buih di Lautan

Jakarta — 1miliarsantri.net : Rasulullah Muhammad SAW telah memperingatkan bagaimana situasi umat Islam di akhir zaman. Bahkan dalam sebuah riwayat, beliau SAW juga memberitahukan tentang apa yang menjadi kelemahan umat Muslim di akhir zaman kelak. Diriwayatkan dari Tsauban RA, Rasulullah SAW bersabda: يُوشِكُ الأممُ أن تداعَى عليكم كما تداعَى الأكَلةُ إلى قصعتِها . فقال قائلٌ : ومن قلَّةٍ نحن يومئذٍ ؟ قال : بل أنتم يومئذٍ كثيرٌ ، ولكنَّكم غُثاءٌ كغُثاءِ السَّيلِ ، ولينزِعنَّ اللهُ من صدورِ عدوِّكم المهابةَ منكم ، وليقذِفَنَّ اللهُ في قلوبِكم الوهْنَ . فقال قائلٌ : يا رسولَ اللهِ ! وما الوهْنُ ؟ قال : حُبُّ الدُّنيا وكراهيةُ الموتِ “Bangsa-bangsa di dunia akan memperebutkan kalian (umat Islam), seperti memperebutkan makanan yang berada di mangkuk.” Seorang laki-laki berkata, “Apakah kami (umat Muslim) pada waktu itu berjumlah sedikit?” Beliau SAW menjawab, “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, tapi seperti buih di genangan air . Sungguh Allah akan mencabut rasa takut para musuh kepada kalian, dan menanamkan Al Wahn ke dalam hati kalian.” Seseorang lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu Al Wahn?” Beliau SAW menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Daud) Dari hadits tersebut diketahui, ketika umat Muslim meninggalkan ketakwaan kepada Allah SWT, menjadi tertarik pada dunia dan mencintainya sertai membenci kematian, maka saat itulah musuh-musuh Allah SWT akan berusaha untuk menggoyahkan umat Muslim. Hal pertama yang disampaikan Nabi SAW dalam hadits tersebut, bermakna bahwa bangsa-bangsa kafir berkumpul dan bersatu melawan kaum Muslimin. Mereka, bangsa-bangsa kafir itu, seolah sedang berkumpul di sekitar mangkuk makan, lalu memperebutkan makanan pada mangkuk tersebut. Ini isyarat betapa mudahnya musuh-musuh Allah SWT dalam menyudutkan umat Islam. Lalu seorang sahabat bertanya apakah perebutan oleh kaum kafir terhadap umat Muslim itu dikarenakan jumlah umat Muslim yang sedikit. Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan bahwa justru sebaliknya, yaitu jumlah umat Muslim sangat banyak, tetapi seperti buih yang mengapung. Ini artinya, ambisi kaum kafir terhadap umat Muslim bukan karena jumlahnya yang sedikit, melainkan karena jumlahnya yang banyak tetapi lemah, yakni penakut dan begitu kerasnya perpecahan yang ada di tengah umat Muslim. Saat itu pulalah, tidak ada lagi rasa takut dalam diri musuh-musuh Islam terhadap umat Muslim. Allah SWT menanamkan wahn ke dalam hati setiap Muslim. Al Wahn yang dimaksud yaitu cinta dunia dan takut mati. Al Wahn di sini menunjukkan bahwa banyak dari umat Muslim yang meninggalkan amalan akhirat. Dalam kondisi inilah, umat Muslim menjadi takut mati dan mencintai kenikmatan dunia daripada akhirat. Akibatnya, mereka pun meninggalkan jihad di jalan Allah SWT. Rasulullah ﷺ telah mengabarkan kepada umatnya bahwa pada akhir zaman, Islam akan kembali datang dalam keadaan terasing. Dan orang-orang yang masuk ke dalam keterasingan itu akan lebih beruntung. Dikutip berdasakan laman Saaid dari kitab Al-Ghurabaa karya Imam Al-Ajuri, dalam sebuah riwayat disebutkan: إن الإسلام بدأ غريبا وسيعود كما بدأ فطوبى للغرباء» قيل: من الغرباء يا رسول الله؟ قال: ” النزاع من القبائل Dari Abdullah dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Islam muncul pertama kali dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” Abdullah berkata, “Dikatakan, “Siapakah orang-orang yang terasing itu?” beliau menjawab: “Orang-orang yang memisahkan diri dari kabilah-kabilah (yang sesat).” Dari Abdullah bin Amru, dia berkata, “Pada suatu hari saat matahari terbit aku berada di dekat Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda: «يَأْتِي قَوْمٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ نُورُهُمْ كَنُورِ الشَّمْسِ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: نَحْنُ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: لاَ وَلَكُمْ خَيْرٌ كَثِيرٌ وَلَكِنَّهُمْ الْفُقَرَاءُ وَالْمُهَاجِرُونَ الَّذِينَ يُحْشَرُونَ مِنْ أَقْطَارِ اْلأَرْضِ، ثم قَالَ: طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ، طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ، قِيْلَ مَنْ الْغُرَبَاءُ؟ قَالَ: نَاسٌ صَالِحُونَ فِي نَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ “Akan datang suatu kaum kepada Allah pada hari kiamat nanti. Cahaya mereka bagaikan cahaya matahari. Abu Bakar berkata, “Apakah mereka itu kami wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Bukan, tapi kalian mempunyai banyak kebaikan. Mereka adalah orang-orang fakir yang berhijrah. Mereka berkumpul dari berbagai penjuru bumi”. Kemudian beliau bersabda, “Kebahagian bagi orang-orang yang terasing, kebahagiaan bagi orang-orang yang terasing”. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang terasing itu?” Beliau ﷺ bersabda, “Mereka adalah orang-orang shalih, yang jumlahnya sedikit di antara manusia yang buruk. Orang yang menentang mereka lebih banyak dari pada orang yang menaatinya.” (yan) Baca juga :

Read More

Dua Doa Nabi yang Sederhana, Namun Sarat Makna

Rembang — 1miliarsantri.net : Ulama terkenal KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih dikenal Gus Baha mengungkap tentang cara berdoa Nabi Muhammad SAW yang sederhana namun sarat makna. “Nabi itu cara berdoa itu indah sekali,” kata Gus Baha dikutip dari salah satu ceramahnya yang beredar dikutip Senin (16/12/2024). Pertama, doa Nabi yang diungkap Gus Baha adalah sebagai berikut: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي. وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي Allahumma ahyini ma kaanatil hayatu khairan li. Wa tawaffani idza kanatil wafatu khairan li. Artinya: “Ya Allah hidupkanlah aku selama hidup adalah lebih baik bagiku. Dan wafatkanlah aku apabila kematian adalah lebih baik bagiku.” Gus Baha juga mengutip potongan doa nabi yang terdapat dalam hadits Nabi berikut ini: اللَّهُمَّ اجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَالْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ Allahummaj’alil hayata ziyadatan li fi kullk khoirin wal mauta rohatan li min kulli syarrin Artinya: “Ya Allah jadikanlah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala kejahatan” (HR Muslim: 7078) Berdasarkan doa di atas, menurut Gus Baha, Nabi Muhammad sangat mudah memandang kehidupan dan kematian. “Segampang itu Nabi melihat kehidupan dan mati, mengajarkan kita, tentu mengajarkan kita,” ucap Gus Baha. Gus Baha mengatakan, mungkin saat ini tidak berbuat Zina atau melakukan korupsi. Namun, kata Gus Baha, semua potensi untuk melakukan perbuatan itu tetap ada. “Yang bisa mengakhiri potensi itu apa? Ya mati,” kata Gus Baha. Maka, tambah dia, mati bukanlah sebuah problem bagi orang-orang baik. “Kalau sampean anggap problem berarti agak kurang baik,” kata Gus Baha yang kemudian disambut dengan tawa jamaahnya. (hud) Baca juga :

Read More

Mengenal Murtad dan Dua Hal Penentunya

Jakarta — 1miliarsantri.net : Jika ada orang non Muslim masuk Islam, maka itu disebut mualaf. Maka, apakah sebutan orang Muslim yang memutuskan keluar dari agama Islam? Jawabannya adalah murtad. Murtad berasal dari akar kata riddah atau irtidad yang berarti kembali. Istilah murtad berarti keluar dari agama Islam dalam bentuk niat, perkataan, atau perbuatan yang menyebabkan seseorang menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali. Pada awal sejarah Islam, istilah riddah dihubungkan dengan kembalinya beberapa kabilah Arab, selain Quraisy dan Saqif, dari Islam kepada kepercayaan lama setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW. Saat itu, sejumlah kabilah yang murtad menuntut dihilangkannya kewajiban sholat dan meminta dihilangkannya kewajiban membayar zakat. Khalifah Abu Bakar as-Sidiq memerangi kabilah-kabilah yang murtad itu sehingga meletuslah Perang Riddah. Menurut Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baroe Van Hoeve, beberapa perbuatan yang dikelompokkan sebagai perilaku murtad antara lain adalah pengingkaran adanya pencipta, peniadaan rasul-rasul Allah SWT, dan penghalalan perbuatan yang disepakati haram serta pengharaman perbuatan yang disepakati halal. Kemurtadan, menurut Ensiklopedia Islam, berarti batalnya nilai religius perbuatan orang yang bersangkutan. Kembali kepada kekafiran setelah beriman berarti terputusnya hubungan dengan Allah SWT. Hal itu antara lain dijelaskan dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 217: وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَاُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۚ وَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ wa may yartadid mingkum ‘an dînihî fa yamut wa huwa kâfirun fa ulâ’ika ḫabithat a‘mâluhum fid-dun-yâ wal-âkhirah, wa ulâ’ika ash-ḫâbun-nâr, hum fîhâ khâlidûn Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu mati dalam kekafiran, mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” Seseorang dianggap murtad apabila telah mukalaf dan menyertakan kemurtadannya secara terang-terangan atau kata-kata yang menjadikannya murtad atau perbuatan yang mengandung unsur-unsur kemurtadan. Menurut Ensiklopedia Islam, berlakunya kemurtadan ditentukan oleh dua hal. Pertama, berakal. Tidak sah kemurtadan orang gila atau anak kecil yang belum berakal. Kedua, memiliki kebebasan dan kemerdekaan bertindak serta menentukan pilihan. Seseorang yang dipaksa murtad, sedangkan hatinya masih tetap dalam keadaan beriman, tak bisa disebut murtad. Orang yang murtad, menurut fikih, kehilangan hak perlindungan atas jiwanya. Selain itu, orang yang murtad juga gugur dan hilang hak-hak perdatanya, kepemilikannya, dan batal perkawinannya. Para ulama menetapkan, jika orang tersebut masuk Islam lagi, semua haknya yang hilang akan dikembalikan. Dalam hal waris, secara umum orang murtad tak dapat mewarisi dari pihak mana pun, baik dari pihak Muslim maupun kafir, karena tak mempunyai wali dan tak diakui oleh Islam. Sebagian ulama berpendapat, kemurtadan merupakan penghalang khusus atas pewarisan, bukan perbedaan agama. Menurut jumhur (kesepakatan) ulama, harta benda orang murtad tak dapat diwarisi. Namun, sebagian pengikut Abu Hanifah berpendapat hartanya boleh diwarisi. Harta, menurut Abu Hanifah, adalah yang didapatkan dalam keadaan Islam, sedangkan yang didapatkan dalam keadaan murtad menjadi rampasan (fai) bagi kas negara. (yan) Baca juga :

Read More

Sah atau tidak ketika Salah Membaca Al Fatihah Saat Sholat

Jakarta — 1miliarsantri.net : Membaca Surat Al Fatihah termasuk salah satu rukun shalat. Penulis kitab Lanatuth Thalibin menyebutkan jumlah huruf di dalam surat Al Fatihah adalah 141 huruf. Setiap huruf yang tertulis di dalam surat ini wajib dibaca sesuai dengan makhraj dan tajwidnya. Lalu bagaimana ketika salah membacanya ketika sholat, apa yang harus dilakukan? Anggota Komisi Fatwa MUI KH Muhammad Alvi Firdausi menjelaskan, kesalahan secara sengaja di dalam membaca huruf yang tidak sesuai dengan makhrajnya dapat berpotensi menjadi penyebab batalnya bacaan surat Al Fatihah. ‘’Maka bacaan tersebut harus segera diperbaiki sebelum berpindah ke rukun berikutnya, yaitu ruku. Apabila perbaikan bacaan tidak dilakukan maka shalatnya terancam batal dan wajib mengulang,’’ kata Kiai Alvi. Kiai Alvi menjelaskan, kesalahan yang tidak disengaja dalam membaca Al Fatihah ketika sholat telah dijelaskan oleh Imam Nawawi Al Bantani di dalam kitab Nihayatuz Zain. Menurut kitab tersebut bahwa kesalahan bacaan yang disebabkan faktor lupa, tidak sengaja, tidak tahu atau kesalahan ringan yang tidak merubah makna maka shalatnya dianggap sah. Ketidaksengajaan, lupa, ketidaktahuan dianggap terbebas dari mukallaf atau pembebanan syariat disebutkan dalam surat surat Albaqarah: 2: 286: لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَاۚ Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa,) “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah.” Nabi bersabda di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي: الخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa, dan dipaksa.” (yan) Baca juga :

Read More

Cara Menentukan Najis atau Bukan Menurut Islam

Jakarta — 1miliarsantri.net : Para ulama merumuskan kaidah-kaidah untuk menentukan suatu benda tergolong najis atau tidak. Kaidah-kaidah ini dibuat untuk membantu umat Islam memahami dan menerapkan hukum-hukum tentang najis dengan lebih mudah dalam kehidupan sehari-hari. Meski demikian, para ulama sering kali berbeda pendapat dalam menghukumi suatu benda, tergantung pada kaidah yang mereka gunakan. Dalam buku Najis yang Dimaafkan, Isnawati, Lc., mengungkapkan, Madzhab Al-Hanafiyah membagi najis ke dalam dua kategori utama, yaitu najis mughaladzah atau berat, dan najis mukhaffafah atau ringan. Najis mughaladzah mencakup benda-benda seperti darah, mani, wadi, madzi, nanah, muntah, tinja, air kencing, termasuk air kencing bayi laki-laki maupun perempuan, baik yang sudah makan atau belum. Selain itu, kotoran binatang, baik yang boleh dimakan dagingnya maupun tidak, juga termasuk dalam kategori ini, seperti kotoran sapi, ayam, tikus, dan kucing. Khamar, daging bangkai, air liur anjing, serta darah yang mengalir juga digolongkan ke dalam najis berat. Sementara itu, najis mukhaffafah mencakup air kencing binatang yang dagingnya boleh dimakan, seperti unta, dan kotoran burung yang dagingnya tidak boleh dimakan, seperti burung elang. Namun, ada beberapa benda yang dianggap suci, seperti potongan bangkai yang tidak dialiri darah, termasuk tulang, tanduk, gigi, bulu, rambut, dan kuku. Madzhab Al-Malikiyah memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Mereka menetapkan bahwa hukum asal seluruh bangkai adalah najis, kecuali yang dikecualikan oleh Nabi Muhammad SAW, seperti bangkai manusia, ikan, dan belalang. Selain itu, hukum asal semua binatang yang hidup dianggap suci, kecuali yang telah jelas ditetapkan najis dalam Alqur’an atau hadis, seperti babi dan anjing. Hukum asal benda mati juga dianggap suci kecuali yang memabukkan atau yang telah dinyatakan najis secara jelas. Hewan yang darahnya tidak mengalir, seperti semut atau ulat pada buah-buahan, dianggap suci, sehingga keberadaannya tidak menyebabkan kenajisan. Pandangan Madzhab Asy-Syafi’iyah menekankan bahwa hukum asal semua makhluk yang ada di bumi adalah suci. Namun, mereka memberikan rincian lebih lanjut bahwa beberapa makhluk atau benda dinyatakan najis berdasarkan dalil Alqur’an dan hadis. Anggota tubuh yang terputus dari binatang yang masih hidup dihukumi seperti bangkai, sementara semua bangkai dinyatakan najis kecuali bangkai manusia, ikan, belalang, dan binatang buruan yang tidak sempat disembelih. Kaidah-kaidah yang dibuat oleh para ulama ini sangat membantu umat Islam dalam menentukan hukum kenajisan suatu benda, terutama ketika tidak ada penjelasan yang jelas dalam Alqur’an atau hadis. Dengan memahami panduan ini, umat Islam dapat lebih mudah menjalankan ibadah secara syar’i dan sesuai dengan tuntunan agama. (yan) Baca juga :

Read More

3 Fase Tazkiyatun Nafs Menurut Said Hawwa

Jakarta — 1miliarsantri.net : Gagasan Said Hawwa tentang keteguhan jiwa (nafs) dapat dikatakan lebih dikenal luas. Karyanya, Tarbiyatuna ar-Ruhiyah, mengeksplorasi lebih jauh pemikiran Imam Ghazali tentang jiwa. Menurutnya, jiwa manusia dapat dibagi dalam tiga keadaan, yakni an-nafs al-muthmainnah, an-nafs al-lawwamah, dan an-nafs laammarat bis su`. Penjelasan keadaan pertama merujuk pada Alquran surah al-Fajr ayat 27-30. Jiwa yang tenang (an-nafs al-muthma`innah) bertujuan pada ridha Allah SWT. Caranya melalui keikutsertaan pada golongan kebaikan. Bila menjauh dari golongan ini, (jiwa) seseorang akan merasa resah. Sementara itu, jiwa yang amat menyesali diri sendiri (an-nafs al-lawwamah)—seperti diilustrasikan dalam surah al-Qiyamah ayat 2. Munculnya keadaan ini yakni ketika seseorang rentan terhadap hawa nafsu, sehingga lalai dari perintah Tuhannya. Jiwa yang lalai akan terperosok kepada keadaan ketiga, yakni nafsu yang selalu menyuruh pada kejahatan (an-nafs laammarat bis su), seperti disinggung dalam surah Yusuf ayat 53. Surah ini menuturkan keadaan Nabi Yusuf AS ketika terbebas dari fitnah di lingkungan istana Mesir. Putra Nabi Ya’qub AS itu terbukti tidak bersalah. Yang terjadi, justru istri penguasa Mesir yang menggoda Nabi Yusuf AS. Bagaiamanapun, seperti dijelaskan dalam tafsir ayat tersebut, Nabi Yusuf AS tidak mengklaim diri suci. Sebab, secara naluri jiwa manusia selalu condong kepada kesenangan, yakni menganggap indah keburukan dan kejahatan. Dia bersyukur Allah SWT menjaganya dari terpedaya nafsu. Hanya jiwa yang dijaga atau diberi rahmat oleh Allah SWT (“maa rahima rabbii”) yang akan dihindarkan dari kejelekan. Dengan menyadari tiga kondisi jiwa (nafs), maka dirasakan perlu adanya penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Menurut Said Hawwa, tazkiyatun nafs pada hakikatnya menjauhkan diri dari kemusyrikan, yakni mengakui dengan setulus hati dan sebenar-benarnya tentang keesaan Allah SWT. Tidak hanya itu, seseorang hendaknya meneladani akhlak Rasulullah SAW. Ada tiga fase yang mesti dilalui, yaitu tathahhur, tahaqquq, dan takhalluq. Tahap pertama berarti memfokuskan hati dan pikiran hanya kepada Allah SWT. Kuncinya adalah zikir, baik secara lisan, batin, maupun perbuatan. Kepaduan zikir ini digambarkan dalam surah Ali Imran ayat 191. Di dalamnya, Allah menyinggung orang-orang yang mengingat-Nya baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring. Mereka itu menyadari tanda-tanda kekuasaan Allah di langit dan bumi. Tahap kedua dapat diartikan sebagai perwujudan sifat-sifat Allah yang mulia dalam aktivitas seorang Muslim. Semboyannya adalah “Berakhlak sebagaimana akhlak Tuhan.” Misalnya, salah satu sifat Allah adalah ar-Rahmaan dan ar-Rahiim. Maka dari itu, seseorang hendaknya cenderung bersifat pengasih dan penyayang terhadap sesama. Tahap ketiga adalah membiasakan akhlak-akhlak baik ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah puncak perwujudan disiplin diri, sehingga jiwa cenderung pada kondisi ideal, an-nafs al-muthma`innah. Demikianlah gagasan-gagasan sang salik, Said Hawwa. (yan) Baca juga :

Read More

Bahaya Menumpuk Harta Secara Berlebihan

Jakarta — 1miliarsantri.net : Pada suatu hari, Rasulullah Muhammad SAW keluar rumah sambil memegang tangan sahabatnya, Abu Dzar al-Ghifari. Kemudian, beliau bersabda, “Wahai Abu Dzar, tahukah kamu bahwa di depan kita ada sebuah tanjakan yang sulit yang hanya bisa dilalui oleh orang-orang yang ringan beban?” Abu Dzar pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah saya ini termasuk orang-orang yang ringan atau sarat beban?” Rasulullah SAW menjawab dengan pertanyaan, “Apakah kamu punya makanan untuk hari ini?” “Ya.” Rasulullah bertanya lagi, “Untuk esok pagi?” “Ya,” jawabnya lagi. Rasulullah kembali bertanya, “Untuk besok lusa?” “Tidak.” Kemudian, Rasulullah SAW menegaskan, “Kalau kamu mempunyai makanan yang cukup untuk tiga hari, maka kamu termasuk orang-orang yang sarat beban.” Yang dimaksud dengan “tanjakan yang sulit” oleh hadis tersebut adalah jalan menuju kebahagiaan akhirat. Adapun yang dimaksud dengan “beban” adalah harta. Hal itu, karena proses materialisasi membuat angan-angan menjadi panjang. Setiap hari sibuk menumpuk harta. Tidak sebatas untuk diri sendiri. Bahkan dipikirkan pula agar bisa mewariskannya dalam jumlah besar, khawatir kalau anak kelak melarat. Karena itu, segala sesuatunya disiapkan sekarang. Harta yang menumpuk lalu terasa belum memenuhi seluruh keinginan. Sehingga semakin kaya semakin kikir. Yang dipikirkan, bagaimana harta bertambah, bukan bagaimana memanfaatkannya untuk bekal menuju akhirat yang sulit itu. Rasulullah SAW sendiri tak meninggalkan harta. Seluruh tanah dan hartanya telah diwakafkan. Kata Beliau, “Kami para nabi tidak mewariskan warisan harta kecuali semuanya telah menjadi sedekah” (HR Bukhari). Dalam hidup ini, kadang-kadang kita ini bertindak sebagai Tuhan. Ingin menetapkan pembagian rezeki kalau perlu sampai tujuh keturunan. Sebab, rasa waswas yang berlebihan tentang masa depan keturunan. Padahal, yang berhak menetapkan pembagian rezeki itu adalah Allah. Kita lupa bahwa tugas terhadap anak bukan semata mewariskan harta yang memang diperlukan. Lebih penting lagi, mewariskan pendidikan yang baik. Ali bin Abi Thalib berkata, “Kebaikan itu bukan ada pada banyaknya harta dan anak, tetapi pada banyaknya pendidikan, besarnya kepekaan sosial, dan perasaan terhormat dengan ibadah.” Karena itu, menurut sahabat Nabi itu, harta hanya baik buat pendosa yang bertobat dan orang yang senang bergegas dalam kebaikan. Pengalaman mengajarkan, betapa banyak anak seorang miskin lalu menjadi kaya dan baik hanya lantaran orang tua tadi mewariskan pendidikan yang baik kepada anaknya. Namun sebaliknya, betapa banyak anak yang menerima harta warisan banyak tetapi tak berbekal pendidikan yang baik, atau berbekal tetapi pendidikan yang melulu berurusan dengan keduniaan, lalu menjadi bangkrut, miskin, dan sesat jalan. (yan) Baca juga :

Read More

Abu Dzar Al-Ghifari Rela Oposisi untuk Membela Kaum Fakir Miskin

Jakarta — 1miliarsantri.net ” Abu Dzar al-Ghifari adalah sahabat Rasulullah Muhammad SAW. Ia termasuk yang paling awal masuk Islam (Assabiqunal Awwalun). Nama lengkapnya Jundub bin Junadah bin Sakan bin Sufyan bin Ubaid bin Waqi’ah bin Haram bin Ghifar bin Malil bin Dhamr bin Bakr bin Abdi Manat bin Kinanah. Pada saat Utsman bin Affan menjadi khalifah, ia memilih oposisi. Salah seorang pemuka ahli hadis ternama ini menganjurkan Khalifah Utsman memperbaiki dan mengurangi kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin di kalangan Muslimin. Soalnya, karena orang-orang Arab yang bermigrasi ke negeri-negeri yang sudah dibebaskan memperoleh kekayaan besar, sementara di samping mereka ada sebagian kaum Muslimin yang hidup miskin dan sangat kekurangan. Muhammad Husein Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul “Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan” (Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menuturkan Abu Dzar juga mengecam kebijakan Utsman dalam soal pengangkatan dan pemberhentian pejabat. Sesudah Utsman memerintahkannya pergi ke Syam, ia berangkat dan apa yang dikatakannya di Madinah dikatakannya juga di Syam, dan menganjurkan untuk menyantuni kaum fakir miskin. Sementara ia menyebarkan seruannya itu Mu’awiyah bin Abi Sufyan berpendapat akan menguji kesungguhan niat Abu Dzar itu. Suatu malam ia mengutus orang membawa uang buat dia seribu dinar. Keesokannya ia memberi isyarat kepada utusan itu untuk mengambil kembali uang tersebut disertai permintaan maaf bahwa uang itu dimaksudkan untuk yang lain. Akan tetapi ternyata Abu Dzar sudah membagi-bagikan uang itu kepada kaum fakir miskin. Dengan demikian Mu’awiyah yakin bahwa Abu Dzar memang bersungguh-sungguh dengan seruannya itu. Mu’awiyah merasa khawatir penduduk Syam akan terbawa oleh seruan Abu Dzar itu. Sudah banyak keluhan orang-orang kaya sehubungan dengan usahanya itu menjumpai kaum fakir miskin. Ia menulis surat kepada Khalifah Utsman mengadukan hal itu. Sebagai balasannya Utsman meminta Mu’awiyah mengirimkannya kembali kepadanya. Sesudah tiba di Madinah Abu Dzar diizinkan tinggal di Rabzah, dan terus diberi tunjangan sampai meninggalnya. (yan) Baca juga :

Read More