Taliban Ingatkan AS soal Perjanjian Doha Usai Trump Desak Ambil Alih Pangkalan Bagram

Indramayu – 1miliarsantri.net: Pemerintah Taliban menolak keras pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang kembali mendesak agar Washington mengambil alih Pangkalan Udara Bagram. Klaim Trump ini muncul empat tahun setelah penarikan penuh pasukan AS dari Afghanistan pada 2021, yang dianggap sebagai salah satu titik balik paling dramatis dalam politik internasional abad ke-21. Dalam pernyataannya pada Sabtu (20/9), Trump menyebut adanya pembicaraan dengan pihak Afghanistan mengenai kemungkinan mengembalikan kehadiran militer AS di Bagram.  Ia bahkan menyatakan, “Kami ingin Bagram kembali, dan kami ingin itu segera terjadi.” Namun, Trump tidak menjelaskan apakah hal itu berarti pengerahan pasukan baru atau strategi diplomasi dengan Taliban. Taliban Tegas Ingatkan Perjanjian Doha Pernyataan Trump langsung ditanggapi oleh juru bicara utama Taliban, Zabihullah Mujahid, pada Minggu (21/9). Ia menekankan bahwa Amerika Serikat terikat dengan komitmen Perjanjian Doha 2020, yang ditandatangani pada masa pemerintahan Trump sendiri. “AS telah berjanji tidak akan menggunakan atau mengancam kekuatan terhadap integritas teritorial maupun kemerdekaan politik Afghanistan, serta tidak mencampuri urusan internal negara kami,” tulis Mujahid di platform X. Nada serupa juga disampaikan oleh Kepala Staf Kementerian Pertahanan Taliban, Fasihuddin Fitrat, yang menolak kemungkinan menyerahkan Bagram atau wilayah lain kepada pihak asing. “Menyerahkan sejengkal pun tanah kami kepada siapa pun adalah sesuatu yang tidak mungkin,” tegasnya dalam pidato televisi lokal. Penolakan keras Taliban juga tidak lepas dari fakta bahwa Bagram memiliki nilai simbolis dan strategis. Pada Agustus 2023, Taliban merayakan tiga tahun penguasaan pangkalan itu dengan parade militer besar-besaran, memamerkan peralatan peninggalan militer AS. Acara tersebut sempat memancing perhatian Gedung Putih, sekaligus mempertegas kontrol Taliban atas infrastruktur strategis peninggalan Amerika. Trump, Kritik Penarikan Pasukan, dan Kepentingan Politik Sejak awal, Trump kerap mengkritik proses penarikan pasukan yang dilakukan oleh Presiden Joe Biden pada 2021. Ia menyebut keputusan itu penuh “ketidakmampuan besar” dan menciptakan kekosongan strategis yang menguntungkan Taliban maupun kelompok ekstremis lain. Dalam kunjungannya ke Inggris pekan lalu, Trump bahkan memberi sinyal bahwa Taliban mungkin bersedia membuka jalan bagi kembalinya pasukan AS. Alasannya, Taliban kini menghadapi krisis ekonomi, minimnya legitimasi internasional, konflik internal, serta ancaman dari kelompok militan saingan seperti ISIS-K. “Kami mencoba mendapatkannya kembali karena mereka membutuhkan sesuatu dari kami,” kata Trump, merujuk pada kemungkinan kesepakatan baru dengan Taliban. Namun, analis menilai pernyataan ini juga memiliki muatan politik domestik. Isu Afghanistan kerap dipakai Trump untuk menyerang Biden, sekaligus menegaskan citranya sebagai pemimpin yang lebih tegas dalam urusan keamanan nasional. Baca Juga: Total Ada 25 Hari! Berikut SKB 3 Menteri tentang Daftar Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama 2026 Komunikasi AS–Taliban Masih Berjalan Meskipun Amerika Serikat tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Taliban, komunikasi melalui jalur khusus tetap berlangsung. Isu yang sering menjadi jembatan adalah kasus sandera dan pertukaran tahanan. Maret lalu, Taliban membebaskan seorang warga negara Amerika yang diculik lebih dari dua tahun sebelumnya. Taliban juga mengaku telah mencapai kesepakatan pertukaran tahanan dengan utusan AS, meski Gedung Putih tidak pernah mengumumkan detail perjanjian tersebut. Foto-foto yang dirilis Taliban memperlihatkan Menteri Luar Negeri Amir Khan Muttaqi duduk berdampingan dengan Adam Boehler, utusan khusus Trump untuk urusan sandera. Potret ini menunjukkan bahwa meskipun secara politik berseteru, kedua pihak masih membuka ruang komunikasi ketika menyangkut kepentingan praktis. Kontroversi terbaru mengenai Pangkalan Bagram menyoroti betapa rapuhnya hubungan antara Taliban dan Amerika Serikat pasca-penarikan 2021. Bagi Taliban, mempertahankan kedaulatan penuh atas Afghanistan adalah syarat mutlak untuk mendapatkan legitimasi domestik. Sementara bagi Trump, isu ini menjadi senjata politik untuk menekan Biden sekaligus memperlihatkan ketegasan menjelang pemilu. Perjanjian Doha masih menjadi landasan hukum yang dikutip Taliban untuk menolak segala bentuk intervensi. Namun, dinamika krisis Afghanistan dari ekonomi, legitimasi politik, hingga ancaman terorisme mungkin membuka ruang bagi negosiasi baru. Pertanyaannya, apakah langkah Trump murni strategi diplomasi, atau sekadar manuver politik dalam negeri? Baca Juga: Peringatan Hari Jantung Sedunia 2025, Sejarah hingga Cara Memperingati Penulis: Rodatul Hikmah Editor: Glancy Verona Ilustrasi by AI

Read More

Foto Udara Pelabuhan Gaza Sebelum dan Sesudah Agresi: Bukti Kehancuran yang Tak Bisa Disembunyikan

Foto Bukti Kehancuran Pelabuhan Gaza, Suara yang Lebih Jujur dari Propaganda Gaza, Palestina – 1miliarsantri.net: Foto udara Pelabuhan Gaza sebelum dan sesudah agresi menjadi saksi bisu kehancuran. Khaled Safi menyerukan agar dunia menyebarkan kebenaran dan menyingkap propaganda penjajah Israel. Kehancuran Gaza-Palestina, Suara yang Lebih Jujur dari Propaganda Zionis Israel Khaled Safi, influencer Palestina, kembali mengingatkan dunia bahwa apa pun yang dilakukan penjajah untuk mempercantik citranya, fakta kehancuran Gaza tidak bisa disembunyikan. Dalam unggahan terbarunya, ia membagikan foto udara pelabuhan Gaza sebelum dan sesudah agresi, sebagaimana ditulis Free Palestine. Sebarkan kebenaran dan singkap kepalsuan propagandanya. Kehancuran Gaza berbicara lebih keras daripada semua retorika mereka dan lebih jujur ​​daripada semua klaim mereka.” dikutip dari t.me/freepalestine. Mengungkap Kepalsuan Propaganda Khaled Safi menegaskan bahwa dunia harus terus mengungkap kebenaran. Foto-foto seperti ini penting untuk: Seruan untuk Dunia Foto udara pelabuhan Gaza sebelum dan sesudah agresi adalah bukti visual yang tak terbantahkan tentang penderitaan rakyat Gaza. Seperti kata Khaled Safi, kehancuran ini lebih jujur daripada semua klaim propaganda. Dunia harus terus menyuarakan kebenaran, mendukung keadilan, dan tidak membiarkan tragedi ini terlupakan. Kehancuran Gaza bukan sekadar berita. Ini adalah realitas kemanusiaan yang harus disaksikan dunia. Setiap foto, setiap bukti, adalah panggilan untuk bertindak—agar genosida berhenti dan Palestina bisa hidup merdeka.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Sumber : Channel WhatsApp Free Palestine Foto : Abdallah El Hajj

Read More

Krisis Kemanusiaan Gaza: Penghancuran dan Blokade Sistemik dan Masif

65 ribu warga Gaza tewas, rumah sakit hancur, bayi tanpa inkubator. Kesaksian parlemen Italia bongkar strategi kelaparan yang disengaja. Dunia ditantang: sampai kapan hanya diam tanpa beraksi? Suara Saksi Mata di Tengah Krisis Sistemik Italia, Palestina – 1miliarsantri.net | KRISIS kemanusiaan di Gaza bukan sekadar deretan angka statistik. Ia adalah kisah manusia, penuh luka dan kehilangan, yang terkuak melalui kesaksian seorang anggota parlemen Italia di hadapan majelisnya. Pidato tersebut mengguncang ruang sidang: bukan hanya karena deskripsinya yang memilukan, tetapi juga karena keberaniannya mengungkap pola kebijakan yang disengaja—bukan sekadar “dampak sampingan perang.” Kesaksian ini menyingkap tiga dimensi utama yang saling berkaitan: penghancuran infrastruktur sipil, blokade bantuan kemanusiaan, dan kelumpuhan institusi internasional. Tiga pilar inilah yang menopang analisis, sekaligus memperlihatkan wajah krisis yang jauh melampaui tragedi lokal—ia adalah ujian moral bagi dunia internasional. Infrastruktur Sipil: Target yang Disengaja Rumah sakit, sekolah, jaringan air, hingga kamp pengungsian adalah fondasi kehidupan masyarakat. Namun di Gaza, fondasi ini nyaris seluruhnya diruntuhkan. Kesaksian itu menyebut: 90% fasilitas kesehatan hancur, sekolah-sekolah rata dengan tanah, jaringan air tak lagi mengalir, bahkan kamp pengungsi ikut menjadi sasaran serangan. Akibatnya, penyakit yang bisa dicegah berubah menjadi penyebab kematian massal. Luka ringan bisa berakhir tragis karena ketiadaan fasilitas medis. Dari catatan parlemen Italia, lebih dari 65.000 warga sipil telah terbunuh. Namun yang lebih mengerikan: jumlah kematian tak langsung akibat runtuhnya layanan kesehatan dan sanitasi diprediksi melampaui korban serangan bom itu sendiri. Kelaparan sebagai Senjata Perang Kesaksian yang paling mencengangkan datang dari perbatasan Rafah. Seorang anggota parlemen Italia menceritakan bagaimana ia melihat konvoi truk bantuan sepanjang 15 kilometer dihentikan. Barang-barang yang ditolak masuk sungguh mencengangkan: kasur, inkubator bayi, hingga obat bius. Blokade ini bukan masalah logistik, melainkan keputusan politik yang disengaja. Dan dampaknya langsung terasa pada nyawa manusia: Barang Bantuan yang Diblokir Implikasi Kemanusiaan Langsung Kasur / Matras Pengungsi tidur di lantai dingin, rentan hipotermia, penyebaran penyakit meningkat. Inkubator Bayi Bayi prematur kehilangan akses perawatan kritis, angka kematian neonatal melonjak. Bahan Anestesi Operasi darurat dilakukan tanpa bius, melahirkan praktik medis yang kejam dan tidak manusiawi. Ketika barang-barang yang jelas bersifat kemanusiaan dianggap “ancaman,” maka jelas tujuannya bukan lagi keamanan, melainkan penghukuman kolektif. Asimetri Konflik yang Tak Terbantahkan Banyak pihak menyebut konflik ini sebagai “perang.” Namun kesaksian parlemen Italia menolak istilah itu. Bagaimana mungkin menyebutnya perang, jika di satu sisi ada “tentara paling kuat dan canggih di dunia,” sementara di sisi lain ada warga sipil tak bersenjata yang dibombardir tanpa henti? Penghancuran fasilitas kesehatan hingga penolakan inkubator bayi tidak bisa dianggap “pertempuran seimbang.” Ia adalah ekspresi asimetri kekuatan yang brutal. Dalam konteks ini, aturan hukum yang berlaku bukan sekadar hukum perang tradisional, melainkan Konvensi Jenewa Keempat—yang mewajibkan kekuatan pendudukan melindungi rakyat sipil, bukan memusnahkannya. Seruan untuk Akuntabilitas Pidato itu lalu bergeser dari narasi penderitaan menjadi seruan politik: dunia internasional harus berhenti sekadar mengecam dan mulai bertindak nyata. Pertanyaan retoris yang ditujukan kepada Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni, mengena di jantung persoalan: “Apa batas maksimal Anda? Kapan waktunya Anda akan mengatakan ‘ya’ untuk sanksi?” Pertanyaan itu menunjukkan absurditas situasi: puluhan ribu nyawa melayang, namun tindakan nyata dari komunitas global masih sebatas pernyataan. Kesaksian ini menuntut bukan sekadar sanksi simbolis terhadap individu, tetapi sanksi menyeluruh terhadap pemerintah yang mengkoordinasikan kebijakan penghukuman kolektif tersebut. Dari Kesaksian ke Imperatif Global Kesaksian anggota parlemen Italia ini mengubah cara kita memandang krisis Gaza. Ia menyingkap bahwa penderitaan bukanlah bencana alam, melainkan hasil strategi yang terencana. Dari penghancuran infrastruktur hingga penggunaan kelaparan sebagai senjata, semua menunjukkan pola yang jelas. Satu kesimpulan muncul: komunitas internasional tak lagi bisa bersembunyi di balik retorika. Ada imperatif moral sekaligus strategis untuk bertindak. Implementasi sanksi menyeluruh terhadap pemerintah Israel menjadi langkah mendesak—bukan demi politik, tetapi demi kemanusiaan itu sendiri. Krisis Gaza bukan sekadar tragedi regional; ia adalah cermin global. Apa yang dipilih dunia hari ini akan menentukan wajah peradaban kita esok: apakah berani menegakkan nilai kemanusiaan universal, atau membiarkan suara saksi mata terkubur di balik puing-puing. (***) Penulis: Abdullah al-Mustofa Editor: Toto Budiman Sumber: Kanal Youtube Aljazeera Mubasher Foto: Kanal Youtube AlJazeera Mubasher, Plan International, ABC News

Read More

Di Balik Ilusi Solusi Dua Negara, Rakyat Palestina Masih Bertahan

Palestina – 1miliarsantri.net | Solusi dua negara kerap dijual sebagai jalan keluar konflik, namun bagi rakyat Palestina, ia lebih mirip ilusi yang menambah luka lama. Di balik jargon diplomasi, mereka hidup dalam trauma kolektif, kehilangan arah, dan keputusasaan yang merayap. Meski begitu, di tengah reruntuhan, harapan masih tumbuh: kekuatan rakyat yang menolak menyerah, serta solidaritas dunia yang mulai melihat perjuangan Palestina sebagai isu kemanusiaan sejati. Manusia di Balik Narasi Politik Ketika para pemimpin dunia sibuk berdebat tentang solusi politik, dari meja perundingan hingga ruang sidang internasional, ada hal mendasar yang sering terlupakan: manusia. Bukan sekadar angka korban atau statistik di layar televisi, melainkan kehidupan yang terkoyak, keluarga yang tercerai-berai, dan komunitas yang kehilangan arah. Semua jargon diplomasi kerap menutupi kenyataan pahit di lapangan: penderitaan yang tiada henti. Bencana yang Lebih dari Sekadar Angka Konflik yang berkepanjangan melahirkan luka kemanusiaan yang tak tertandingi. Ia bukan hanya soal rumah yang hancur atau ekonomi yang runtuh. Yang lebih menakutkan adalah jejak psikologis yang melekat—trauma kolektif yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebuah masyarakat dipaksa hidup dengan rasa takut, kehilangan, dan harapan yang dikubur hidup-hidup setiap hari. Trauma ini tak hanya melumpuhkan jiwa, tetapi juga melemahkan kemampuan rakyat untuk berperan dalam menentukan masa depan politik mereka sendiri. Gelombang Putus Asa Dalam kondisi serba tertekan, keputusasaan menjadi wabah yang merayap cepat. Ketika janji politik tak kunjung ditepati, ketika pihak yang seharusnya membela justru dituding ikut melanggengkan sistem kolonial, rakyat merasa terbuang. Mereka hidup tanpa kompas, seolah ditinggalkan untuk mengarungi masa depan sendirian. Frustrasi ini bukan hanya melemahkan semangat perjuangan, tapi juga merusak tatanan sosial yang menjadi penopang kehidupan sehari-hari. Ilusi Politik yang Tak Pernah Usai Di meja diplomasi, istilah “solusi dua negara” kerap disebut sebagai jalan keluar. Namun bagi banyak rakyat, itu lebih mirip ilusi ketimbang solusi. Syarat-syarat yang tidak adil hanya akan melahirkan versi baru dari perjanjian lama yang gagal. Energi, waktu, dan dana terbuang untuk sesuatu yang sudah terbukti rapuh, sementara di lapangan, pembersihan etnis terus berjalan tanpa henti. Harapan rakyat pun semakin terkikis, tergantikan oleh rasa skeptis pada semua bentuk kesepakatan yang lahir dari luar suara mereka. Harapan yang Tumbuh dari Akar Rumput Namun, di tengah reruntuhan harapan, ada cahaya kecil yang terus menyala: kekuatan rakyat. Gerakan rakyat di Palestina, meski penuh keterbatasan, tetap menjadi sumber energi yang tak tergantikan. Lebih dari itu, opini publik global mulai bergeser. Dari jalan-jalan kota di Barat hingga ruang-ruang akademik, muncul gelombang solidaritas yang menyoroti Palestina bukan sekadar isu politik, melainkan perjuangan kemanusiaan melawan kolonialisme. Rakyat Sebagai Penentu Dukungan global tentu penting, tetapi kunci utama tetap ada pada kebangkitan rakyat di tanah mereka sendiri. Perlawanan sipil yang otentik, terhubung dengan energi solidaritas internasional, menjadi jalan paling nyata untuk merebut kembali martabat. Inilah cara rakyat menemukan kembali kompas perjuangannya—bukan dengan mengandalkan koordinasi luar yang melemahkan, tetapi dengan meyakini bahwa keadilan adalah hak yang mereka miliki sepenuhnya. Hidup yang Menolak Menyerah Pada akhirnya, kekuatan sejati tidak lahir dari meja perundingan, melainkan dari rakyat yang menolak menyerah pada keputusasaan. Dari keluarga yang tetap menyalakan lampu di rumah yang setengah runtuh, dari anak-anak yang tetap belajar meski sekolah mereka hancur, dari doa-doa yang terus dipanjatkan di balik deru bom. Mereka adalah benih kehidupan yang membuktikan bahwa meski bekas luka menganga, harapan tak pernah benar-benar padam. (***) Penulis: Abdullah al-Mustofa Editor: Toto Budiman Sumber:  ملتقى فلسطين (Palestine Forum) Foto: ABC News, IRNA

Read More

Pengakuan Dunia, Derita Gaza: Legitimasi di Atas Kertas, Air Mata di Bawah Reruntuhan

Gaza – 1miliarsantri.net | Saat para pemimpin dunia berkumpul, memberikan pengakuan resmi atas status kenegaraan Palestina—sebuah kabar yang disiarkan di seluruh penjuru dunia—timbul sebuah pertanyaan krusial dari balik puing-puing: Apakah pengakuan di atas kertas bisa menghentikan kesengsaraan? Pergerakan diplomatik dari negara-negara Barat seperti Prancis, Inggris, Kanada, dan lainnya yang mengakui negara Palestina memang disambut sebagai penegasan legitimasi. Namun, bagi mereka yang hidup di tengah operasi militer yang masih berlangsung dan kelaparan hebat, pengakuan itu terasa “tidak berharga”. Fokus utama, jauh melampaui peta dan batas negara, adalah kebutuhan paling mendasar: diakui sebagai manusia biasa. Suara di Tengah Fajar yang Kelabu Kenyataan di Gaza saat ini adalah medan perang yang menghancurkan. Seluruh wilayah berada dalam reruntuhan. Hampir semua penduduk Palestina telah mengungsi. Dalam konteks penderitaan ini, Adeeb Abu Khalid, seorang pengungsi dari Kota Gaza, menyampaikan inti dari harapan mereka: “Yang penting bagi kami adalah perang berhenti,”. Ia menambahkan bahwa saat ini, mereka hidup dalam kelaparan, diliputi kesengsaraan. Data Kementerian Kesehatan Gaza menunjukkan betapa parahnya situasi ini, dengan setidaknya 65.000 orang tewas, di mana sekitar setengahnya adalah perempuan dan anak-anak. Di tengah statistik yang mengerikan ini, pengakuan internasional terasa begitu jauh. Huda Masawabi, seorang pengungsi lainnya, mengungkapkan perasaannya secara lugas, menyatakan bahwa yang ia harapkan hanyalah agar Allah membuat orang-orang di luar sana mengakui mereka, atau setidaknya memperlakukan mereka sebagai “manusia biasa semata”. Air Mata dan Drama ‘Serial TV’ Bagi banyak orang, pergerakan diplomatik ini hanyalah sebuah tontonan yang tidak memiliki dampak jangka pendek di lapangan. Di Tepi Barat, wilayah yang diimpikan menjadi jantung negara Palestina masa depan, kenyataan dipertentangkan dengan perluasan permukiman Israel dan peningkatan kekerasan pemukim. Tragedi kemanusiaan terekam dalam momen yang tak terlupakan, seperti tangisan pilu Omar Al-Zaqzouq, yang berusia 7 tahun, yang berduka di atas jenazah adik laki-lakinya, Malek, yang baru berusia 2 tahun, terbunuh dalam serangan militer. Melihat pemandangan ini, Murad Banat, seorang pria Palestina yang mengungsi, merasakan keputusasaan atas janji-janji yang diberikan dunia. Ia menyebut pengakuan terbaru ini “hanya omong kosong”. Ia membandingkan dunia yang menonton mereka dengan teater: “Semua orang menonton kami seperti drama. Seperti serial TV, setiap hari ada serial TV,”. Mohammad Hammad dari Kamp Jenin juga merasakan hal serupa, menegaskan bahwa semua pengakuan ini “tidak ada artinya,” karena mereka masih berada di bawah pendudukan. Secercah Harapan di Tengah Keteguhan Meskipun keraguan menyelimuti, ada juga yang menemukan sedikit penghiburan dari dukungan global ini. Bagi sebagian orang, pengakuan negara ini memperkuat tekad mereka. Saeed Abu Elaish, seorang petugas medis yang kehilangan banyak anggota keluarga, termasuk istri dan dua putrinya, percaya bahwa pengakuan tersebut merupakan seruan untuk menghentikan genosida dan pembantaian di Gaza, serta penghentian perambahan pemukim di Tepi Barat. Naser Asaliya, seorang pengungsi dari Kota Gaza, berharap pengakuan ini akan memberikan dampak positif, apa pun keadaannya. “Kami adalah orang-orang yang terlanda musibah, dan kami mengharapkan apa pun yang membuat kami bahagia, tidak peduli betapa sederhananya, apa pun yang mendukung kami, memperkuat keteguhan kami di tengah blokade yang tidak adil ini,” katanya. Intinya, apa yang diinginkan oleh rakyat Palestina bukanlah sekadar negara nominal, tetapi negara yang berdaulat penuh yang menjaga perbatasannya, idealnya berdasarkan batas 5 Juni 1967. Selama perang belum berhenti dan kesengsaraan masih membayangi, legitimasi sejati yang mereka dambakan bukanlah pengakuan diplomatik, melainkan pengakuan atas hak mereka untuk hidup, dalam damai, sebagai manusia yang utuh dan berdaulat.  (***) Penulis: Abdullah al-Mustofa Editor: Toto Budiman Sumber: The Associated Press Foto: The New Arab, Anadolu Ajansi, The Wall Street Journal Youtube Channel

Read More

Peringatan Hari Jantung Sedunia 2025, Sejarah hingga Cara Memperingati

Jakarta – 1miliarsantri.net : Penyakit jantung masih menempati penyebab kematian tertinggi di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Untuk diketahui, penyakit jantung atau kardiovaskular merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia, dengan sekitar 17,9 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit ini. Dikutip dari situs ayosehat.kemkes.go.id, penyakit jantung merujuk pada kondisi yang mempengaruhi fungsi normal jantung yang berkaitan dengan kemampuan jantung untuk memompa darah dengan efektif sehingga menyebabkan gangguan pada sirkulasi darah serta berpotensi menjadi ancaman yang serius bagi Kesehatan. Faktor Penyebab Penyakit Jantung? Penyebab penyakit jantung dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah sebagai berikut: Banyaknya kasus kematian global akibat penyakit jantung, melatarbelakangi Federasi Jantung Dunia (WHF) untuk meningkatkan kesadaran serta memberikan edukasi pada masyarakat tentang pencegahan dan mempromosikan gaya hidup sehat melalui peringatan Hari Jantung Sedunia pada tanggal 29 September. Peringatan ini menjadi wadah untuk membuka wawasan dan pemahaman mengenai betapa vitalnya menjaga kesehatan jantung dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya Hari Jantung Sedunia juga terletak pada perannya sebagai pengingat bagi masyarakat akan urgensi menjaga kesehatan jantung. Dalam menyikapi fakta ini, maka penting bagi setiap individu untuk mengambil tindakan pencegahan. Beberapa langkah untuk menjaga kesehatan jantung meliputi mengonsumsi makanan sehat, berolahraga secara teratur, tidak merokok, dan mengontrol tekanan darah serta kolesterol. Baca juga: BI Jaga Momentum, Bunga Acuan Diturunkan Bertahap dari 5 hingga 4,75 Persen Hari Jantung Sedunia 2025 Peringatan Hari Jantung Sedunia pertama kali digelar pada tahun 2000 oleh Federasi Jantung Dunia (World Heart Federation). Sejak itu, setiap tahun, tema berbeda diusung untuk meningkatkan kesadaran dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang pentingnya kesehatan jantung. Peringatan Hari Jantung Sedunia 2025 mengangkat tema “Jangan Lewatkan Detak Jantung” (Don’t Miss A Beat), yang bermakna mengajak masyarakat untuk tidak mengabaikan kesehatan jantung serta mengambil tindakan nyata dalam mencegah penyakit kardiovaskular. Tidak hanya itu, peringatan Hari Jantung Sedunia 2025 ini juga sebagai bentuk kewaspadaan dini dalam mendeteksi masalah jantung sedini mungkin sehingga mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan preventif seperti melakukan gaya hidup sehat serta melakukan tindakan positif untuk menjaga kesehatan jantung. Cara Memperingati Hari Jantung Sedunia Pada Hari Jantung Sedunia, berbagai organisasi kesehatan dan rumah sakit menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti seminar, kampanye kesehatan, dan pemeriksaan kesehatan gratis. Hal ini bertujuan untuk memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang kesehatan jantung. Pemeriksaan kesehatan gratis yang dilakukan adalah untuk membantu masyarakat memantau kondisi jantung mereka serta mengambil langkah-langkah pencegahan jika diperlukan. Oleh karena itu, mari manfaatkan peringatan Hari Jantung Sedunia untuk memperbaiki pola hidup, menjaga kesehatan jantung, dan membawa dampak positif bagi kesejahteraan diri sendiri dan masyarakat pada umumnya. Selamat Hari Jantung Sedunia 2025! Semoga peringatan ini membawa dampak positif dalam upaya menjaga kesehatan jantung dan mengurangi angka penyakit kardiovaskular di seluruh dunia. Baca juga: Ekonomi Kreatif: Kekuatan Baru Indonesia dalam Persaingan Global Penulis: Gita Rianti D Pratiwi Editor: Glancy Verona Ilustrasi by AI

Read More

Yaman Sukses Serang Israel, Bom Jatuh Tepat Di Jantung Pelabuhan Kota Eliat

Pertahanan Israel Iron Dome kembali jebol oleh serangan Drone Houthi dari Yaman Eliat, Israel -1miliarsantri.net: Ketegangan di Timur Tengah kembali memanas setelah serangan yang diklaim oleh kelompok Houthi di Yaman berhasil menembus sistem pertahanan udara Israel. Sebuah drone bermuatan bahan peledak dilaporkan jatuh di pelabuhan Kota Eilat, wilayah strategis yang terletak di pesisir Laut Merah. Sebuah pesawat tak berawak (drone) yang diluncurkan dari Yaman mengenai kawasan pusat Kota Eilat, Israel, hingga menyebabkan puluhan orang luka dan menimbulkan gangguan operasional di area pelabuhan. Kelompok Houthi di Yaman mengklaim serangan tersebut, sementara Israel menyatakan akan menanggapi insiden ini. Video serangan dipublikasikan oleh channel Telegram PalestinaPost. Insiden ini bukan hanya menimbulkan korban luka, tetapi juga memicu kekhawatiran baru tentang keamanan maritim dan pariwisata di kawasan tersebut. Detik-detik serangan Dikutip dari Reuters, Pada Rabu malam, sebuah drone asal Yaman dilaporkan jatuh di wilayah dekat pelabuhan Eilat—kawasan yang strategis di pesisir Laut Merah. Petugas medis setempat dan layanan darurat melaporkan puluhan korban luka, termasuk beberapa yang berada dalam kondisi serius. Laporan awal menyebutkan sistem pertahanan udara Israel sempat mencoba mencegat tetapi gagal sepenuhnya menghentikan objek tersebut sebelum memasuki area kota. Klaim dan respons Kelompok Houthi yang berbasis di Yaman mengklaim bertanggung jawab atas peluncuran drone sebagai bagian dari aksi solidaritas terhadap Palestina dan sebagai balasan atas operasi udara Israel di wilayah Yaman. Pihak Israel mengecam serangan ini dan memperingatkan akan ada respons militer jika ancaman terhadap infrastruktur dan warga negaranya terus berlanjut. Pernyataan resmi dan kecaman internasional mengikuti insiden ini. Serangan Yaman Berdampak Pada Pariwisata Menurut The Guardian, Pelabuhan Eilat—yang juga melayani aktivitas komersial dan wisata—mengalami gangguan sementara. Aktivitas penumpang dan kargo dipengaruhi karena upaya evakuasi dan pemeriksaan keamanan yang meningkat. Kota Eilat, sebagai tujuan wisata, menghadapi kekhawatiran turis dan operator hotel terkait keamanan jangka pendek. Potensi Eskalasi Pemerintah zionis Israel belum merespon serangan tersebut, timbul pertanyaan “Israel akan membalas langsung ke Yaman, atau memilih strategi diplomatik melalui sekutu internasional?” Potensi eskalasi dapat terjadi dengan skenario: Operasi Militer Terbatas: Israel melancarkan serangan udara ke basis Houthi di Yaman, Eskalasi Regional: Konflik meluas dengan melibatkan Iran secara lebih langsung, atau Tekanan Diplomatik: Israel bersama AS mendorong Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi lebih keras terhadap Houthi.. Serangan drone Houthi ke pelabuhan Kota Eilat menjadi titik balik dalam konflik Timur Tengah. Bukan hanya menimbulkan kerusakan fisik dan korban luka, tetapi juga memperlihatkan kerentanan Israel terhadap serangan jarak jauh. Peringatan Keras untuk Israel Kerentanan Pertahanan Iron Dome Bagi Israel, serangan ini menjadi peringatan keras bahwa keamanan nasional tidak hanya terancam dari utara (Lebanon) atau barat (Gaza), tetapi juga dari selatan yang selama ini dianggap relatif aman. Dampak terhadap perdagangan, pariwisata, dan keamanan regional diperkirakan masih akan terasa dalam waktu lama. Dengan keterlibatan aktor-aktor besar seperti AS dan Iran, konflik ini berpotensi berkembang menjadi krisis internasional yang lebih serius.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Sumber :  PalestinaPost

Read More

Drone Peledak Yaman Hantam Kota Eilat-Israel: Puluhan Warga Terluka dan Ketakutan

Serangan drone peledak dari Yaman menghantam kota Eilat-Israel. Puluhan warga terluka, pertahanan Israel dipertanyakan. Apa dampaknya ke depan? Eliat, Israel – 1miliarsantri.net: Militer Yaman membuktikan keseriusannya dalam mendukung perjuangan Palestina, Yaman kembali menyerang wilayah yang dikuasai oleh zionis Israel. Kota Eilat, atau dikenal dalam bahasa Arab sebagai Umm Al-Rashrash, diguncang serangan udara yang mengejutkan. Sebuah drone bersenjata yang diduga berasal dari Yaman meledak di wilayah tersebut, memicu gelombang kepanikan di kalangan penduduk sipil. Rekaman CCTV Ungkap Detik-Detik Serangan Mengutip PalestinaPost Rekaman dari kamera pengawas yang beredar di media memperlihatkan momen dramatis saat drone meledak di tengah kota. Ledakan keras tersebut langsung memicu kepanikan warga, dengan suara sirene dan teriakan terdengar jelas dalam rekaman. Lebih dari 50 Warga Terluka, Helikopter Dikerahkan Menurut laporan Zionist Broadcasting Corporation, lebih dari 50 orang mengalami luka-luka akibat ledakan tersebut. Mayoritas korban terkena pecahan peluru. Dua helikopter evakuasi medis segera dikerahkan untuk menangani korban dalam kondisi kritis. Serangan Ketiga dalam Dua Minggu, Pemerintah Israel Angkat Bicara Wali Kota Eilat, Eli Lankri, menyampaikan kekhawatiran mendalam atas rentetan serangan yang terjadi. Ia mengungkapkan bahwa Serangan drone Yaman ini adalah serangan ketiga dalam kurun waktu kurang dari dua minggu. “Yaman tampaknya berusaha mengganggu stabilitas dan kehidupan warga di Eilat,” ujarnya. 90 Rudal & 41 Drone Diluncurkan Sejak Maret Media Zionis Times of Israel melaporkan bahwa sejak pertengahan Maret—seiring meningkatnya konflik di Gaza—Yaman telah meluncurkan 90 rudal balistik dan sedikitnya 41 drone ke wilayah Israel. Serangan ini menunjukkan eskalasi konflik yang mengkhawatirkan. Kelemahan Sistem Pertahanan Israel Mulai Terlihat? Dalam analisanya, The Jerusalem Post menyoroti celah besar dalam pertahanan Israel. Serangan dari Yaman disebut mampu menembus sistem pertahanan udara yang selama ini dianggap kuat. “Yaman tampaknya tak terbendung,” tulis laporan tersebut, seraya menambahkan bahwa solusi jangka panjang hanyalah menghentikan konflik. Serangan drone bersenjata dari Yaman ke kota Eilat menjadi sinyal serius atas melemahnya pertahanan Israel terhadap ancaman jarak jauh. Warga sipil menjadi korban utama dalam konflik yang semakin memanas ini. Jika tidak ada upaya damai yang konkret, serangan serupa bisa terus terjadi dan memperburuk situasi di kawasan tersebut.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Sumber : PalestinaPost

Read More

Presiden Komisi Eropa Dorong Stop Dukungan Bilateral dengan Israel, Serukan Donor untuk Palestina

Tegal – 1miliarsantri.net : Dukungan internasional untuk Palestina kembali menguat. Kali ini, giliran Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, yang menyampaikan langkah tegas terhadap Israel terkait situasi kemanusiaan di Gaza. Dalam pidato tahunan di hadapan Parlemen Uni Eropa, Rabu (10/9/2025), von der Leyen menegaskan Komisi Eropa akan menyiapkan paket kebijakan baru. Salah satunya dengan menghentikan dukungan bilateral dan sebagian perjanjian asosiasi dengan Israel, sekaligus mengusulkan sanksi terhadap menteri-menteri ekstremis di negara itu. “Saya akan mengajukan paket langkah untuk membuka jalan ke depan. Pertama, Komisi Eropa akan melakukan semua yang bisa dilakukan secara mandiri. Kami akan menghentikan dukungan bilateral kepada Israel. Kami akan menghentikan semua pembayaran di bidang ini tanpa memengaruhi kerja sama dengan masyarakat sipil Israel,” tegas von der Leyen, dikutip dari AFP. Selain itu, ia juga mendorong pemberlakuan sanksi terhadap para pemukim Israel yang terlibat dalam aksi kekerasan, serta penangguhan sebagian perjanjian dagang yang selama ini berlaku antara Uni Eropa dan Israel. Luka Gaza dan Seruan Kemanusiaan Di hadapan para anggota parlemen, Von der Leyen tidak bisa menyembunyikan keprihatinannya atas tragedi kemanusiaan yang terus terjadi di Gaza. Ia menyesali perpecahan internal negara-negara Uni Eropa yang membuat respons Benua Biru terkesan lambat. “Apa yang terjadi di Gaza telah mengguncang hati nurani dunia. Orang-orang terbunuh saat mengemis makanan. Para ibu menggendong bayi-bayi yang tak bernyawa. Gambaran-gambaran ini sungguh bencana,” ujarnya dengan nada emosional. Ia pun menekankan, “Demi anak-anak, demi kemanusiaan ini harus dihentikan,” ujarnya menyikapi kondisi Gaza terkini. Baca Juga : PBB Nilai Israel Persulit Distribusi Bantuan Kemanusiaan di Gaza Dorongan untuk Donor Palestina Dalam kesempatan yang sama, von der Leyen mengumumkan rencana membentuk kelompok donor internasional khusus untuk Palestina, terutama Gaza. Kelompok ini ditargetkan terbentuk pada Oktober 2025 dengan fokus pada rekonstruksi wilayah yang hancur akibat agresi militer Israel. “Kami akan membentuk kelompok donor Palestina bulan depan, termasuk instrumen khusus untuk rekonstruksi Gaza. Ini akan menjadi upaya internasional dengan mitra regional, dan akan melanjutkan momentum konferensi New York yang diselenggarakan Prancis dan Arab Saudi,” jelasnya. Von der Leyen juga menyerukan pembebasan sandera, akses penuh tanpa hambatan bagi bantuan kemanusiaan, serta gencatan senjata segera. Solusi Dua Negara Menurut von der Leyen, solusi jangka panjang yang realistis tetaplah solusi dua negara, di mana Palestina dan Israel bisa hidup berdampingan dengan aman. Namun, untuk mewujudkan itu, dibutuhkan persetujuan dari 27 negara anggota Uni Eropa—yang hingga kini masih terpecah dalam menyikapi langkah terhadap Israel. “Saya sadar akan sulit menemukan suara mayoritas. Dan saya tahu bahwa tindakan apa pun akan terlalu berat bagi sebagian orang. Terlalu ringan bagi yang lain. Namun, kita semua harus memikul tanggung jawab kita sendiri,” tegasnya. Baca Juga : Dewan Keamanan PBB Desak Kirim Bantuan Darurat ke Gaza Gaza di Bawah Serangan Israel telah melancarkan serangan militer besar-besaran ke Jalur Gaza sejak Oktober 2023, menyusul serangan Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober tahun yang sama. Aksi balasan tersebut terus berlangsung hingga kini, dengan korban jiwa yang terus bertambah. Data terbaru mencatat, sejak Oktober 2023, setidaknya 64.605 orang tewas di Gaza, mayoritas adalah warga sipil. (***) Penulis: Satria S Pamungkas Editor: Toto Budiman & Glancy Verona Ilustrasi by AI

Read More

Pos-pos Pemukim Israel Cekik Kehidupan Warga Palestina di Tepi Barat

Tegal – 1miliarsantri.net : Di tengah terik musim panas, Farhan Ghawanmeh (33) seorang warga palestina berdiri di hadapan kandang-kandang kosong yang dulu berisi ratusan domba dan kambing. Kini hanya tersisa sepi, menyisakan bayang-bayang tentang komunitas Baduinya yang kian terancam punah. “Pos-pos terdepan pemukim Israel semakin dekat, semakin intens, semakin ganas, dan kami warga palestina semakin terkepung,” ujar Ghawanmeh, dikutip dari Al-Jazeera. Dulu, masyarakat di Ras Ein al-Auja, desa penggembala Badui di timur Tepi Barat, memiliki 24.000 ternak. Kini hanya sekitar 3.000 ekor yang tersisa. Serangkaian serangan, pencurian, hingga tekanan ekonomi membuat banyak warga palestina terpaksa menjual ternaknya. Dikepung Pos-pos Pemukim Israel Pada Agustus 2025 lalu, pemukim Israel membangun pos terdepan baru hanya 100 meter dari rumah-rumah warga. Desa dengan 900 penduduk ini kini terkepung di tiga sisinya. Sama seperti permukiman Israel lainnya di tanah Palestina, pos-pos itu ilegal menurut hukum internasional. Keluarga yang tinggal paling dekat bahkan berniat meninggalkan rumah karena takut anak-anak mereka menjadi korban kekerasan. Para pemukim datang setiap hari membawa ternak, meniru gaya hidup penggembala lokal, dan kerap dipimpin remaja di bawah 18 tahun. Posisi ini membuat warga Palestina serba salah—jika mereka melawan, bisa dituduh “menyerang anak-anak” dan berakhir ditangkap. “Yang kita alami saat ini adalah bencana,” lanjut Ghawanmeh. “Beralih dari mengakses lahan seluas 20.000 dunum menjadi tidak memiliki akses apa pun, dan dari memiliki sumber air gratis menjadi tidak memilikinya sama sekali, sungguh melumpuhkan.” Baca Juga : Setahun Konflik Palestina-Israel Telan 42.000 Korban Jiwa Kehidupan yang Diputus Paksa Ras Ein al-Auja dulu adalah komunitas penggembala terbesar di Area C, wilayah yang sepenuhnya dikontrol Israel. Mereka punya akses ke mata air subur Wadi al-Auja, hingga akhirnya pemukim melarang warga menggunakannya tahun lalu. Tentara Israel, kata warga, membiarkan pemukim menutup akses tersebut. Kini, listrik dan air hanya ada sebatas harapan. Kabel listrik yang dipasang swadaya bersama lembaga kemanusiaan pun kerap diputus “lima atau enam kali seminggu,” jelas Ghawanmeh. Makanan membusuk di lemari es, ternak tak bisa lagi digembalakan, dan warga dipaksa membeli air serta pakan dengan biaya besar. Ibrahim Kaabneh (35), misalnya, kini hanya punya 40 ekor domba dan kambing dari 250 yang dulu ia miliki. “Bahkan ternak yang masih kami miliki pun, kami merasa seperti bukan milik kami. Kapan saja, mereka bisa dicuri. Kapan saja, mereka bisa diserang,” katanya. Baca Juga : Standar Ganda di Gaza Jadi Lampu Hijau Lanjutkan Genosida Hidup dalam Ketakutan Jalan masuk ke desa, yang dulunya dibangun dengan dana Amerika Serikat, kini dijaga blok beton bergambar bendera Israel. Warga harus melewati pelecehan setiap kali keluar masuk desa. “Begitu kita keluar rumah, rasanya seperti kita melakukan sesuatu yang salah atau ilegal,” kata Ghawanmeh. “Anak-anak, perempuan, dan semua orang di sini selalu berada dalam ketakutan.” Kaabneh menambahkan, ia sulit tidur karena ancaman serangan pemukim. Perempuan dan anak-anak kini membatasi diri, jarang keluar rumah lebih dari satu atau dua jam. Baca Juga : Israel kuasai Kota Gaza Ancaman Pengungsian Massal Menurut data PBB, dalam enam bulan pertama 2025 saja tercatat 759 serangan pemukim terhadap warga Palestina, angka yang diperkirakan memecahkan rekor tahun 2024. Para aktivis melihat pola yang jelas: pos-pos pemukim sengaja dibangun di dekat desa-desa Palestina untuk menciptakan “kontiguitas Yahudi” dan memaksa warga pergi. Dror Etkes, pendiri LSM Israel Kerem Navot, menyebut, “Sangat jelas bahwa tujuan utama mereka adalah memaksa warga Palestina ke wilayah yang sudah dibangun dan menghancurkan budaya serta gaya hidup penggembalaan di Tepi Barat.” Bagi warga, ancaman itu nyata. “Ini bukan soal apakah kami ingin pergi atau tidak,” kata Kaabneh. “Sekalipun kami pergi, kami tetap akan menghadapi serangan. Tidak ada tempat yang aman di Tepi Barat.” Jeritan dari Tanah Tercekik Sliman Ghawanmeh, saudara Farhan, menegaskan bahwa warga membutuhkan perlindungan internasional. “Saya sudah di sini selama 43 tahun. Saya lahir di sini. Tidak ada pemukim di sekitar sini. Dan sekarang, seorang anak datang dari Eropa dan mengancam saya untuk meninggalkan rumah saya dalam 24 jam. Siapa kamu?” ujarnya geram. “Beginilah status quo,” pungkasnya. “Kita tak punya apa-apa selain nyawa, dan kini nyawa pun terancam.”(***) Penulis: Satria S Pamungkas Editor: Toto Budiman & Glancy Verona Ilustrasi by AI

Read More