Musala Pondok Ambruk di Sidoarjo, Bayang Keemasan Cordoba yang Terlupakan

Sidaorja – 1miliarsantri.net | KETIKA lantai musala di komples Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo ambruk saat waktu salat, bukan hanya beton yang patah — tetapi juga rasa aman, kepercayaan, dan martabat lembaga pendidikan Islam bisa ikut terguncang. Peristiwa tragis itu tak sekadar menggores duka, tetapi menelanjangi satu kenyataan getir: bahwa membangun tempat ibadah dan thalabul ilmi tak cukup dengan niat baik, melainkan harus ditegakkan di atas ilmu, amanah, dan tanggung jawab profesional.
Pondasi yang Lemah, Nilai yang Runtuh
Analisis teknis menunjukkan bahwa ambruknya musala disebabkan oleh kombinasi kegagalan struktural: fondasi yang lemah, desain penopang yang tak memadai, dan penambahan beban pengecoran yang melampaui kapasitas struktur. Lebih buruk lagi, bangunan tersebut berdiri tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan tanpa pengawasan ahli sipil bersertifikat. Diduga pula bahwa pengecoran belum cukup matang saat diberi beban tambahan — membuat struktur rapuh meski tampak kokoh di luar.
Namun di balik setiap kesalahan teknis, tersimpan kegagalan moral. Ketika efisiensi biaya lebih diutamakan daripada keselamatan, maka yang roboh bukan sekadar dinding, tapi nilai amanah yang menjadi ruh pendidikan Islam. Dalam pandangan syariat, setiap kelalaian yang menelan nyawa bukan sekadar keteledoran, tetapi juga dosa sosial yang menodai makna tanggung jawab.
Tatapan Dunia dan Nama Baik yang Diuji
Tak butuh waktu lama, berita itu menembus sekat wilayah dan waktu. Media massa mainstream nasional seperti Kompas dan Tempo, melaporkan insiden itu secara luas dan beruntun. Di beberapa portal media massa besar internasional seperti Al Jazeera, The Associated Press dan Reuters, berita serupa muncul dengan judul menyedihkan: collapse of an Islamic boarding school building in Indonesia. Dunia menatap, dan yang tampak bukanlah cahaya ilmu para santri, melainkan reruntuhan kelalaian manusia.
Persepsi ini menyakitkan. Sebab pesantren sejatinya adalah benteng amanah dan etika, bukan simbol kerapuhan tata kelola. Ketika bangunan rumah ibadah dan madrasah runtuh karena human error, maka yang retak bukan hanya bangunannya, tetapi juga bisa dalam hal kepercayaan umat terhadap profesionalitas lembaga Islam di tanah air.
Bayang-Bayang Keemasan Arsitektur Islam

Ironisnya, umat Islam yang dahulu dikenal membangun masjid megah di Cordoba, madrasah megah di Baghdad, dan universitas berwibawa di Fez dan Kairo, kini justru kehilangan ruh keahlian dan kehati-hatian itu. Pada masa keemasan Islam, arsitek dan insinyur Muslim menggabungkan iman, ilmu, etika dan estetika dalam satu kesatuan yang utuh. Kubah, menara, dan jendela bukan sekadar ornamen — melainkan hasil perhitungan ilmiah yang memuliakan Sang Pencipta.
Bangunan mereka berdiri berabad-abad karena adanya kejujuran teknik dan kesungguhan niat. Mereka membangun bukan untuk cepat jadi, tapi untuk tahan diuji. Sementara kini, banyak proyek pembangunan lembaga Islam terjebak dalam logika praktis: murah, cepat, dan tampak megah — meski rapuh dari dalam.
Dari Reruntuhan Menuju Kesadaran Baru
Tragedi ini seharusnya menjadi titik balik bagi dunia pesantren dan seluruh lembaga Islam. Setiap pengelola, pengurus, donatur, pemerintah daerah dan stakeholder lainya mesti menegakkan standar baru dalam pembangunan: wajib melibatkan tenaga ahli bersertifikat, memastikan kepatuhan perizinan, dan menegakkan audit keselamatan secara berkala. Sebab IMB bukan formalitas, melainkan bagian dari tanggung jawab syar’i dan sosial.
Lebih dari itu, musibah ini mengajarkan bahwa setiap batu bata yang diletakkan di rumah Allah dan madrasah adalah amanah spiritual. Ibadah tidak berhenti di sajadah, tetapi juga hidup dalam setiap tiang yang kokoh karena kejujuran perhitungan dan ketelitian kerja.
Menegakkan Kembali Amanah yang Runtuh
Musala Al-Khoziny mungkin telah hancur, tapi dari puing-puingnya kita bisa membangun kesadaran baru. Bahwa kualitas bangunan masjid dan madrasah adalah cermin kualitas iman, ilmu dan adab pembangunnya. Jika amanah ditegakkan setegak dinding yang kokoh, maka tak akan ada lagi santri dan jamaah yang tertimbun reruntuhan, dan tak akan ada lagi doa yang terhenti di tengah debu bangunan yang gagal.
Dalam setiap krisis, ada cermin bagi umat. Musala Al-Khoziny telah menjadi cermin besar bagi dunia pesantren — memantulkan wajah kita sendiri: kadang lalai, kadang tergesa, kadang terlalu yakin tanpa perhitungan. Kini saatnya belajar lagi, bukan hanya dari kitab, tapi juga dari “beton yang retak”. Karena sesungguhnya, iman sejati adalah yang menegakkan bangunan masjid dan madrasah dengan tangan ilmu dan hati amanah. Wallahu a’lam. *
Penulis: Abdullah al-Mustofa
Editor: Toto Budiman
Sumber: The Guardian, Kompas
Foto: The Guardian, REZAMIR
Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.