Perbandingan Kesepakatan Transfer Data Pribadi antara Amerika Serikat dan Negara Lain; Ancaman bagi Privasi Individu di Masa Depan?

Dengarkan Artikel Ini

Jakarta – 1miliarsantri.net : Data pribadi kini menjadi salah satu aset paling berharga dalam ekosistem digital global. Ancaman bagi privasi individu dapat terjadi, bila negara tidak mengatur regulasi secara ketat. Kesepakatan transfer data pribadi kerap dijadikan prasyarat perjanjian dagang antar negara. Menurut laporan World Economic Forum (WEF) 2020, data pribadi bahkan disebut sebagai “minyak baru” yang menggerakkan ekonomi digital.

Informasi tentang identitas, perilaku, lokasi, hingga preferensi pengguna menjadi komoditas yang memiliki nilai strategis untuk perusahaan teknologi besar dan juga negara-negara yang ingin mengoptimalkan pengawasan dan kebijakan publik.

Data Pribadi: Aset Strategis di Era Digital

Di Indonesia, isu permintaan transfer data pribadi WNI ke Amerika Serikat sebagai bagian dari kesepakatan tarif impor menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana pemerintah dan masyarakat memandang kedaulatan data dan perlindungan privasi. Data yang tidak dikelola dengan baik berpotensi disalahgunakan, mulai dari pelanggaran privasi individu hingga ancaman keamanan nasional.

Sejatinya, ini bukan kali pertama bagi Amerika Serikat untuk melakukan kesepakatan transfer data dengan negara lain. Berikut beberapa perbandingan kesepakatan transfer data pribadi Amerika Serikat.

Uni Eropa: Standar Perlindungan Data Paling Ketat dengan GDPR

Uni Eropa adalah pelopor regulasi perlindungan data pribadi yang sangat ketat melalui General Data Protection Regulation (GDPR) yang mulai berlaku pada 2018. GDPR tidak hanya mengatur bagaimana perusahaan memproses data warga UE, tetapi juga membatasi transfer data ke negara-negara yang tidak memiliki standar perlindungan setara.

Studi oleh European Data Protection Board (EDPB) menunjukkan bahwa GDPR memberikan efek protektif signifikan terhadap kebocoran data dan penyalahgunaan oleh pihak ketiga, serta menguatkan hak subjek data dalam mengontrol informasi pribadinya.

Keseriusan UE dalam penegakan GDPR tercermin dalam denda besar yang pernah dijatuhkan kepada perusahaan teknologi raksasa, seperti Google dan Facebook, yang mencapai ratusan juta euro.

Dalam konteks hubungan dengan AS, UE menuntut agar kesepakatan perdagangan tidak mengorbankan hak privasi, sehingga AS harus beradaptasi dengan mekanisme perlindungan ini, misalnya lewat Privacy Shield Framework (yang sempat dibatalkan dan direvisi). Model ini menunjukkan bahwa kedaulatan data dapat dipertahankan dengan regulasi yang tegas dan implementasi yang konsisten.

Kanada: Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengelolaan Data

Kanada menerapkan pendekatan yang berbeda, dengan menyeimbangkan perlindungan data dan fleksibilitas perdagangan.

Berdasarkan Personal Information Protection and Electronic Documents Act (PIPEDA), Kanada mengharuskan organisasi untuk memberikan transparansi penuh mengenai penggunaan data dan menyediakan mekanisme pengaduan bagi individu yang merasa data pribadinya disalahgunakan.

Dalam laporan Canadian Privacy Commissioner 2021, disebutkan bahwa pengawasan ketat dan proses audit reguler menjadi kunci keberhasilan pengelolaan data.

Kanada juga bekerja sama dengan AS dalam Privacy Shield dan beberapa inisiatif lain, meski dengan kewaspadaan terhadap potensi pelanggaran data lintas negara. Pendekatan ini menggarisbawahi pentingnya pengawasan yang aktif dan akuntabilitas sebagai penyeimbang kebutuhan ekonomi dan hak privasi.

Jepang dan APEC Cross-Border Privacy Rules (CBPR): Fleksibilitas dan Perlindungan

Skema Cross-Border Privacy Rules (CBPR) yang dikembangkan oleh Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) menjadi contoh inovatif bagaimana negara-negara Asia Pasifik, termasuk Jepang, mengatur transfer data pribadi secara lintas batas tanpa mengorbankan privasi.

Dalam laporan APEC Privacy Framework (2015), CBPR dijelaskan sebagai sistem sukarela yang mengatur standar perlindungan data dengan mekanisme sertifikasi perusahaan yang berpartisipasi. Jepang sendiri sebagai negara dengan teknologi maju mengadopsi CBPR untuk menjaga iklim perdagangan digital yang kondusif sambil melindungi data warga.

Studi oleh Japan Privacy Commission (2022) mencatat bahwa keberhasilan CBPR terletak pada sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam mengawasi dan mematuhi aturan perlindungan data. Model ini relevan bagi Indonesia yang ingin mengembangkan kebijakan yang fleksibel namun tetap protektif di tengah tekanan global.

Refleksi Penting bagi Indonesia

Indonesia telah melangkah maju dengan diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada tahun 2022, yang menjadi landasan hukum utama dalam pengelolaan data pribadi.

Namun, implementasinya di lapangan masih menghadapi banyak hambatan serius, baik secara struktural maupun kultural. Salah satu tantangan terbesar adalah belum terbentuknya lembaga pengawas independen yang diamanatkan oleh undang-undang.

Menurut laporan Tech For Good Institute (2025), kekosongan kelembagaan ini menciptakan ruang abu-abu dalam penegakan hukum dan perlindungan hak digital warga, terutama di tengah tingginya frekuensi kebocoran data di sektor publik dan swasta.

Sepanjang 2023 saja, firma hukum Bahar Law Firm mencatat lebih dari 200 dugaan insiden pelanggaran data, sebagian besar melibatkan institusi pemerintah. Ironisnya, hingga satu tahun setelah insiden besar kebocoran data 337 juta penduduk di layanan Dukcapil, belum ada pelaku yang dijatuhi sanksi tegas—semua hanya berakhir pada teguran administratif.

Di sisi lain, belum rampungnya regulasi teknis turunan membuat pelaksanaan UU PDP berjalan setengah hati. Banyak institusi masih bingung dalam menerapkan standar perlindungan data yang memadai, dan penunjukan Data Protection Officer (DPO) di berbagai organisasi pun kerap bersifat administratif semata, tanpa pelatihan atau kewenangan strategis.

Indonesia perlu meniru langkah Uni Eropa dengan membentuk badan pengawas independen yang kuat, mampu menindak tegas pelanggaran data dan menjamin transparansi. Di samping itu, literasi digital harus menjadi agenda prioritas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, agar tidak mudah terjebak penyalahgunaan data.

Transparansi dan Keterlibatan Publik dalam Negosiasi Internasional

Transparansi adalah kunci dalam negosiasi internasional yang menyangkut data pribadi. Dalam artikel Policy Brief Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia (2024), ditegaskan bahwa inklusivitas pemangku kepentingan, seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan pelaku industri teknologi, sangat penting agar kebijakan yang dihasilkan berimbang dan berkeadilan.

Pendekatan ini tidak hanya mencegah keputusan sepihak, tetapi juga meningkatkan legitimasi dan kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah. Dengan keterbukaan, masyarakat bisa memahami risiko dan manfaat transfer data, serta turut mengawal pelaksanaannya agar sesuai dengan standar perlindungan yang telah ditetapkan.

Kedaulatan Digital dan Masa Depan Indonesia

Dalam era di mana data pribadi menjadi komoditas bernilai tinggi, Indonesia tidak bisa hanya pasif menunggu arus global. Pengalaman negara-negara seperti Uni Eropa, Kanada, dan Jepang memberikan pelajaran penting bahwa regulasi ketat, pengawasan yang efektif, dan partisipasi publik adalah fondasi utama dalam melindungi kedaulatan data pribadi.

Indonesia, dengan UU PDP yang baru, memiliki pijakan hukum yang kuat, namun harus terus memperkuat implementasi dan literasi masyarakat. Hanya dengan strategi yang matang dan inklusif, Indonesia dapat memastikan bahwa pertukaran data dengan negara lain, termasuk Amerika Serikat, berlangsung secara adil dan menguntungkan, tanpa mengorbankan hak asasi dan kedaulatan digitalnya. (***)

Referensi:

  1. World Economic Forum (WEF), 2020
    “Data as the new oil: What this means for your business and the future of the economy”
    https://www.weforum.org/agenda/2020/01/data-is-the-new-oil-but-its-more-valuable-than-that/
  2. European Data Protection Board (EDPB), 2022
    Annual Report and Guidelines on GDPR Enforcement
    https://edpb.europa.eu/our-work-tools/our-documents_en
  3. General Data Protection Regulation (GDPR), European Union, 2018
    Official text:
    https://eur-lex.europa.eu/eli/reg/2016/679/oj
  4. Canadian Privacy Commissioner, 2021
    “Annual Report on Personal Information Protection and Electronic Documents Act (PIPEDA)”
    https://www.priv.gc.ca/en/opc-actions-and-decisions/ar_index/
  5. Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), 2015
    APEC Privacy Framework and Cross-Border Privacy Rules System
    https://www.apec.org/Publications/2015/12/APEC-Privacy-Framework
  6. Japan Privacy Commission, 2022
    Annual Report on CBPR Implementation and Compliance
    https://www.ppc.go.jp/en/
  7. Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, 2024
    Policy Brief: Transparansi Negosiasi Internasional terkait Transfer Data Pribadi
    https://www.csis.or.id/
  8. Indonesian Cyber Security Research Institute (ICRI), 2023
    Survei Kesadaran Literasi Digital dan Perlindungan Data Pribadi di Indonesia (Data riset internal, bisa diakses melalui situs lembaga)

Kontributor : Ramadani Wahyu

Editor : Toto Budiman


Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Berikan Komentar Anda

Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca