Makna Sejarah dalam Islam, Beda dengan History ala Sekuler

Jakarta — 1miliarsantri.net : Dalam masyarakat yang tidak bertuhan alias sekuler, sejarah didekati melalui tiga sisi. Pertama, pandangan siklus, artinya sejarah itu berjalan seperti sebuah siklus dan mengalir alami. Tidak ada tuhan atau tujuan dibalik kejadian itu. Pandangan Yunani kuno ini masih diminati oleh Nietzsche atau Spangler.

Kedua, pandangan providensial, artinya sejarah itu sepenuhnya dibimbing oleh Tuhan, dan manusia tidak punya peran yang berarti. Ini bersifat Deterministik. Tapi, pandangan ketiga yang juga deterministik adalah pandangan deterministik Sekuler. Artinya sejarah itu diciptakan bukan oleh kekuatan manusia tapi oleh motif-motif ekonomi (Marxis, Hegel).

Dalam ketiga pendekatan tersebut, manusia dianggap tidak berkehendak, tidak bercita-cita, tidak bertanggungjawab, tidak pula bermoral alias tidak hidup.

Pendiri dan Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) dan Center of Islamic and Occidental Studies (CIOS), Hamid Fahmy Zarkasyi, menjelaskan, dalam Islam makna sejarah sejalan dengan makna realitas.

“Terdapat pandangan dualitas yang tidak dualistis dan bukan pula dualisme. Di satu sisi ada Tuhan yang menciptakan, ada alam semesta yang diciptakan,” kata Hamid.

Akan tetapi, Tuhan tidak menjadi bagian dari alam, karena Dia transenden. Tuhan mengatur dunia tanpa menjadi bagian daripadanya. Di sisi lain terdapat manusia yang juga diciptakan. Manusia, meski diciptakan, ia bukan benda mati.

Manusia diberi petunjuk dan janji, diberi akal dan kehendak, serta diberi kebebasan untuk memilih arah perjalanan hidupnya (sejarahnya). Hanya saja ia juga menggendong amanah, tugas serta kewajiban. Dengan itu semua manusia bebas berinteraksi dengan-Nya.

Sejarah adalah eksposisi fakta dan realitas masa lalu kata James Fenimore Cooper (1789 -1851), seorang novelis dari Amerika. Tapi, James masih kurang teliti, sebab eksposisi atau ekspresi masa lalu bukan sepenuhnya reproduksi dari realitas.

Pikiran sangat berperan dalam melakukan eksposisi, karena memiliki pandangan terhadap realitas. Pandangan itu adalah worldview. Oleh sebab itu, penulis sejarah itulah yang mengarahkan jalannya perjalanan sejarah di masa lalu.

Jadi siapa berkuasa atau yang memenangkan wacana yang menulis sejarah. Persis seperti kata Alex Haley (1921–1992), seorang penulis Amerika bahwa History is written by the winners. Maka dari itu Norman Davies, sejarawan dan penulis Inggris, menasehatkan dengan tegas “Semua sejarawan harus menuturkan ceritanya dengan meyakinkan, kalau tidak maka akan dilupakan”.

Ketika seseorang menulis sejarah ia secara otomatis akan memasukkan data dan fakta secara selektif. Data dan fakta yang sesuai diambil yang tidak dibuang. “Fakta sejarah”, kata Carl Becker (1873 – 1945) sejarawan Amerika, “Tidak ada kecuali diciptakan oleh sejarawan, dan setiap bagian yang diciptakannya itu beberapa bagian dari pengalaman pribadinya pasti masuk”.

Bagi sejarawan Inggris A. J. P. Taylor (1906 -1990), menjadi sejarawan di Perancis, katanya, sama dengan menjadi tentara, politisi dan dalam pengertian kuno menjadi seperti nabi dan guru spiritual dan moral.

Artinya, sejarawan menentukan banyak hal. Sejarah Amerika Serikat yang ditulis oleh pendatang akan jauh berbeda dari yang ditulis oleh suku Amerika asli. Orang kulit putih pasti akan memulai sejarah Amerika, misalnya, dari Declaration of Independence.

Sementara, penulis dari suku asli akan menggali sejak terjadinya pembunuhan masal oleh pendatang. Jadi sejarawan adalah sobyektif. Masing-masing penulis memiliki worldview sebagai basis sobyektifitasnya.

Muhammad Rasulullah sebagai Nabi terakhir adalah fakta. Namun, dia tidak akan menjadi fakta sejarah, kecuali terdapat sejarawan yang mendudukkannya. Bagi sejarawan Muslim, selain fakta ini terdapat fakta metafisis (berdasarkan wahyu) bahwa Tuhan sebelum itu telah mengutus nabi-nabi dengan kitab-kitab.

Hal ini menunjukkan terdapat interaksi antara manusia dengan Tuhan. Manusia memerlukan petunjuk dan Tuhan mengetahui hal itu dan kemudian memberi petunjuk. Tapi, petunjuk Tuhan yang tertulis diakhiri dengan Al-Quran sebagai kitab penutup, Nabi Muhammad sebagai Nabi pamungkas dan Islam sebagai agama yang disempurnakan.

“Akhir dalam pengertian menunjukkan sebuah perjalanan dari awal. Dari fakta-fakta empiris dan non-empiris, dapatlah diangkat sebagai fakta sejarah bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir,” ujar Hamid. (Iin)

Baca juga :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *