Umar bin Khattab: Pilar Keadilan dan Ketegasan dalam Sejarah Islam

Jakarta – 1miliarsantri.net: Ketika berbicara tentang tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam, maka nama Umar bin Khattab pasti menjadi salah satu yang akan terlintas di benak. Sosok yang dikenal tegas, adil, dan penuh keberanian ini bukan hanya seorang Khalifah, tapi juga simbol nyata dari kekuatan iman dan integritas dalam memimpin. Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan hidupnya, terutama soal bagaimana menghadirkan keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Artikel ini akan mengajak kalian mengenal lebih dekat tentang siapa Umar bin Khattab dan apa perannya dalam sejarah Islam. Mengenal Umar bin Khattab dalam Lintasan Sejarah Ketika bicara soal sejarah Islam, tak lengkap rasanya tanpa menyinggung peran besar Umar bin Khattab. Beliau adalah khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan juga termasuk dalam kelompok al-Khulafaur Rasyidin, yakni para pemimpin Islam yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Baca juga: Dari Syirik Menuju Tauhid! Revolusi Spiritual Nabi Muhammad SAW dan Lahirnya Peradaban Islam Umar bin Khattab mulanya dikenal sebagai penentang Islam yang keras. Tapi siapa sangka, hidayah menyapanya dalam momen yang begitu dramatis dan emosional. Setelah memeluk Islam, Umar bin Khattab menjadi salah satu pembela yang paling berani. Ia tidak lagi bersembunyi dalam menjalankan ajaran Islam, bahkan secara terbuka menyatakan keislamannya di depan kaum Quraisy yang pada masa itu sangat menentang Islam. Sebagai khalifah, Umar bin Khattab memimpin selama sekitar 10 tahun, dan dalam waktu yang terbilang singkat itu, ia berhasil membawa Islam ke masa keemasannya. Wilayah kekuasaan Islam pada masa itu meluas hingga ke Persia, Romawi Timur bahkan berbagai daerah di luar Jazirah Arab. Dan yang tak kalah penting Umar juga dikenal karena prinsip keadilan dan ketegasannya yang luar biasa. Ia tidak segan mengoreksi aparatnya sendiri, bahkan bersedia menerima kritik dari rakyat jelata. Umar Bin Khattab, Pilar Keadilan dan Ketegasan yang Menginspirasi Umar bin Khattab tidak hanya dikenal karena ekspansi wilayah kekuasaan Islam, tetapi lebih karena prinsip keadilan yang ia pegang erat. Keadilan bagi Umar adalah nilai inti dari kepemimpinan. Dalam menegakkan hukum Ia tidak pernah memandang status sosial, harta kekayaan, atau kedekatan pribadi. Semua orang, tanpa terkecuali, harus diperlakukan sama dan adil. Ada satu kisah yang sangat populer dengan sifat keadilan Umar bin Khattab. Ketika seorang putra gubernurnya berselisih dengan rakyat biasa dan berlaku sewenang-wenang, Umar langsung bertindak. Ia tidak membiarkan jabatan atau kedudukan menjadi alasan pembenaran atas tindakan yang salah. Baca juga: Warisan Ilmuwan Muslim yang Bepengaruh Pada Peradaban Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Modern Sang gubernur pun tidak lolos dari teguran. Bahkan, rakyat yang dirugikan diberikan hak untuk membalas sesuai hukum yang berlaku pada masa itu. Tak hanya adil, Umar bin Khattab juga dikenal tegas dan tidak mudah goyah dalam mengambil keputusan. Tapi di balik ketegasan itu, hatinya sangat lembut. Ia sering berkeliling pada malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya secara langsung dan memastikan bahwa tidak ada yang kelaparan atau dizalimi. Dalam salah satu kisah juga pernah diceritakan bahwa Umar bahkan memikul sendiri karung gandum, untuk diberikan pada seorang ibu miskin yang kelaparan bersama anak-anaknya. Sungguh luar biasa, Ia sebagai seorang pemimpin besar yang wilayahnya membentang luas ribuan kilometer, justru memilih untuk hadir langsung di tengah rakyatnya bahkan tanpa pengawalan. Umar bin Khattab benar-benar menjadi gambaran pemimpin sejati yang kuat, tegas, tapi penuh kasih dan rendah hati. Dalam dunia yang sering kali diliputi oleh ketidakadilan, Umar hadir sebagai inspirasi yang membakar semangat. Dari kisah hidup hingga gaya kepemimpinannya, Umar bin Khattab telah menunjukkan kepada kita semua apa arti sesungguhnya menjadi seorang pemimpin yang adil dan amanah. Dalam lintasan sejarah Islam, namanya akan selalu dikenang sebagai sosok yang tidak hanya memperluas wilayah kekuasaan, tapi juga memperluas keadilan dan kebaikan bagi umat. Semoga semangat dan prinsip hidup Umar bin Khattab bisa terus menginspirasi kita semua dalam menghadapi tantangan zaman dan membangun peradaban yang lebih baik.** Penulis : Iffah Faridatul Hasanah Foto ilustrasi Editor : Thamrin Humris

Read More

5 Fase Penulisan Al-Qur’an Sejak Masa Rasulullah Hingga Saat Ini

Bekasi – 1miliarsantri.net: Al-Qur’an adalah kalam Allah, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui Malaikat Jibril. Al-Qur’an bukanlah ciptaan manusia, melainkan wahyu illahi yang menjadi pedoman hidup bagi umat manusia, khususnya seluruh umat Islam. Banyak yang bertanya, apakah Al-Qur’an saat ini sama dengan Al-Qur’an saat diterima Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam ataukah berbeda? Baca juga : Investasi Akhirat ‘Bantu Bebaskan Lahan’ Untuk Pondok Pesantren Al Quran Fajar Ashshiddiq Patut diketahui, secara prinsip Isi Al-Qur’an sejak Rasulullah menerima wahyu pertama hingga saat ini adalah sama. Firman Allah yang diterima Nabi Muhammad selama 23 tahun itu tercatat dengan baik dari masa ke masa dan dalam pemeliharaan Allah. “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9). 5 Fase Penulisan Al-Qur’an Sejak pertama kali Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad, terdapat 5 (lima) fase penulisan kitabullah yang perlu dipahami. Tidak ada perbedaan isi Al-Qur’an, yang berbeda hanya cara penulisannya. Fase Pertama: Penulisan Langsung, yang mana penulisan setiap potongan ayat saat itu juga ketika wahyu diturunkan, Rasulullah ﷺ kemudian memanggil para sahabat untuk menuliskan dihadapannya. Ada 4 sahabat nabi yang menuliskan ayat-ayat Allah yang diterima oleh Nabi Muhammad, diantara mereka ada yang merupakan penghafal Al-Qur’an. Para sahabat itu, Zaid bin Tsabit, Muawiyah Ibn Abi Sufyan, Ubaid bin Ka’ab (penghafal qur’an) dan Zubair Nawab. Baca juga : ‘Spirit Mencetak Pemimpin Qurani Menuju Indonesia Emas 2045’, Dipilih Jadi Tema ‘Wisuda Akbar Ke-XI’ Ponpes Darul Hijrah se Jawa Timur Zaid bin Tsabit mengatakan, Rasul mendiktekan Al-Qur’an dan meminta sahabat membaca sesudahnya, lalu Rasulullah mengkoreksi bacaannya/tulisannya. Lalu diijinkan untuk disampaikan kepada sahabat-sahabat dan kaum muslimin Madinah saat itu. Pada fase tersebut, ayat-ayat Qur’an ditulis dalam bentuk potongan pada media seperti pelepah kurma, papan, batu, kulit binatang dan lainnya, belum dalam bentuk buku yang tersusun rapi seperti saat ini. Fase Kedua: Pengumpulan tulisan-tulisan sebelumnya dalam 1 shuhuf, kemudian ditulis ulang dalam lembaran kertas dikumpulkan menjadi satu / mushaf induk. Kegiatan penulisan tersebut dilakukan zaman Abubakar Siddik Radhiyallahu’Anhu (atas saran Umar Bin Khattab Radhiyallahu’Anhu). Baca juga : Ikatan Keluarga Minangkabau ‘IKM’ Ende Buka Taman Pendidikan Al-Qur’an ‘Al Istiqomah’ Fase Ketiga: Disalin Ulang, Mushaf induk zaman Abubakar, mushaf induk tersebut disalin ulang, atau diperbanyak istilah sekarang dicopy menjadi mushaf-mushaf yang banyak. Kegiatan tersebut berlangsung pada masa sahabat Utsman Bin Affan Radhiyallahu’Anhu. Kemudian mushaf-mushaf dikirim atau disebar ke negeri-negeri atau kota-kota kaum muslimin bersama qari yang mutkin (mumpuni keilmuannya). Seperti kota Makkah, Syam, Basyrah, Kuffah dan lainnya. Fase Keempat: Kaum Muslimin Menulis Ulang / Memperbanyak Mushaf. Mushaf yang dikirim dari Madinah bersama qari yang mutkin, misal ketika ada di Syam kemudian diperbanyak lagi / ditulis ulang (disalin) dan berlanjut seterusnya, namun tetap terjaga keasliannya. Baca juga : Gratis! ‘Pelatihan Guru Ngaji’ Pusat AlQuran Indonesia, Terbatas Untuk 100 Orang Fase Kelima: Muncullah Kitab-kitab yang ditulis para Ulama yang memberikan penetapan tentang kekhususan-kekhususan penulisan Qur’an (Ilmu Rasmil Masail). Mushaf meskipun dalam bahasa Arab ada pembahasan kaidah-kaidah antara penulisan dan pembacaannya. misalnya ayat “Maalikiyaumiddin” dalam penulisan tidak ada alif (hanya Mim, Lam, Kaf), namun mim dibaca panjang, ada yang juga yang dibaca pendek. inilah yang disebut kaidah-kaidah penulisan mushaf. Inilah lima fase penulisan Al-Qur’an, semoga artikel ini menjadi salah satu literasi bagi kaum muslimin bahwa Al-Qur’anul Karim ditulis dalam beberapa fase hingga saat ini.** Sumber: Catatan Pribadi Redaksi Dalam Kelas Khusus Tajwid Mushawwar Batch 4, Qothrunnadaa Learning Center (https://qothrunnadaa.id/). Penulis dan Editor : Thamrin Humris Foto : Ilustrasi

Read More