Rocky Gerung Wanti-Wanti Presiden Prabowo Soal Ancaman Civil Disobedience Jika Demokrasi Diabaikan

Indramayu – 1miliarsantri.net : Pengamat politik Rocky Gerung memberikan peringatan keras terkait dinamika politik Indonesia pasca-reshuffle kabinet Presiden Prabowo Subianto. Dilansir dari YouTube pribadinya, menurut Rocky, keputusan pemerintah yang dianggap tidak responsif terhadap tuntutan demokrasi dan aspirasi generasi muda berpotensi memicu gelombang protes atau civil disobedience yang tak terbendung. Rocky menyoroti pengaruh gerakan pemuda global, khususnya Generasi Z, yang kerap menggunakan media sosial untuk menyalurkan aspirasi politik dan menekan pemerintah agar lebih transparan dan demokratis. Ia menyinggung fenomena di Nepal dan Timor Leste sebagai contoh di mana ketidakpedulian elit politik terhadap tuntutan demokrasi berujung pada bentrokan dengan aparat. Menurut Rocky, Indonesia memiliki risiko yang serupa, bahkan lebih besar, karena adanya sinyal ketidakpekaan kabinet terhadap nilai demokrasi. “Gerakan Agustus” dan Gelombang Digital Rocky mengingatkan soal “Gerakan Agustus”, sebuah inisiatif tanpa pemimpin yang terkoordinasi melalui media sosial. Bagi Rocky, pola gerakan ini menunjukkan bagaimana anak-anak muda bisa dengan cepat menyuarakan ketidakpuasan politik. “Prerogatif presiden itu bisa dibatalkan oleh opini netizen yang menilai bahwa yang seharusnya menjadi prioritas adalah demokrasi, bukan pengangkatan menteri secara sepihak,” ujarnya. Rocky menilai, meski reshuffle adalah hak presiden, opini publik tetap dapat menentukan arah legitimasi politik. “Value demokrasi harus dijadikan pedoman dalam setiap kebijakan, bukan pragmatisme politik atau oportunisme,” tegasnya. Baca juga: UMKM Syariah Laris Manis Di FESyar Jawa, Omzet Tembus Hingga Rp6,8 Miliar Media Sosial, Antara Partisipasi dan Ancaman Peringatan Rocky tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang menyoroti fenomena media sosial di Indonesia. Dalam jurnal Fenomena Media Sosial: Antara Hoax, Destruksi Demokrasi, dan Ancaman Disintegrasi Bangsa karya Febriansyah dan Nani Nurani Muksin, disebutkan bahwa media sosial memang menjadi ruang baru bagi publik untuk berpartisipasi. Namun, ruang ini juga paling rawan dimanfaatkan untuk penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Penelitian itu menemukan bahwa isu politik adalah materi hoaks yang paling sering beredar. Dampaknya tidak hanya membuat gaduh, tapi juga merusak kualitas demokrasi bahkan berpotensi menimbulkan perpecahan. Dengan kata lain, media sosial bisa menjadi pedang bermata dua: wadah aspirasi sekaligus medium yang mempercepat polarisasi. Generasi Z di Pusat Tekanan Publik Kondisi ini membuat analisis Rocky semakin relevan. Generasi Z, yang hidup dengan media sosial sebagai ruang utama, bukan hanya menjadi penonton politik, tetapi juga aktor penggerak. Ketika merasa suara mereka diabaikan, mereka dapat dengan cepat menggalang opini publik dan mendorong aksi massa di lapangan. Jika pemerintah tidak mampu mengelola aspirasi tersebut dengan respons yang demokratis, ketidakpuasan yang lahir di dunia digital dapat bertransformasi menjadi gerakan nyata: unjuk rasa, boikot, hingga bentuk civil disobedience. Tantangan bagi Pemerintahan Prabowo Rocky menegaskan bahwa pilihan ada di tangan Presiden Prabowo: apakah ingin meninggalkan warisan otoritarian dari rezim sebelumnya, atau justru terjebak dalam pragmatisme politik yang akhirnya memicu kemarahan publik. Sementara itu, penelitian akademis menekankan perlunya literasi digital dan penegakan hukum yang adil untuk mengurangi dampak destruktif media sosial. Tanpa langkah-langkah itu, pemerintah berisiko menghadapi protes besar yang tidak hanya mengguncang stabilitas politik, tetapi juga meretakkan kohesi sosial bangsa. Dengan demikian, peringatan Rocky bukan sekadar retorika. Ia bersandar pada realitas baru politik digital di Indonesia: demokrasi tidak lagi hanya dipertaruhkan di ruang sidang atau kantor kabinet, melainkan juga di layar ponsel jutaan anak muda. Baca juga: PBB Sebut 562 Pekerja Bantuan Tewas di Gaza Sejak 2023, Termasuk 376 dari Staf PBB Penulis: Durotul Hikmah Editor: Glancy Verona Ilustrasi by AI

Read More

Bahasa Politik: ‘Memaki dan Memuji sebagai Deskripsi Politik’ dalam Debat Rocky Gerung dan Mahasiswa S2 Hukum UGM

Memaki Dan Memuji Bukan Sekadar Emosi, Tetapi Cara Menggambarkan Kekuasaan, Nilai, Dan Identitas Dalam Politik Jakarta – 1miliarsantri.net : Deskripsi dalam politik, “pujian adalah penggambaran positif, sementara makian adalah penggambaran negatif. Keduanya sah dalam demokrasi, tapi punya muatan emosional dan politis. Memaki dan memuji dalam politik adalah cara menggambarkan kekuasaan, nilai, dan identitas, bukan sekadar emosi. Dalam dunia politik, kata-kata bukan sekadar suara yang terlontar tanpa makna. Memaki dan memuji, dua bentuk ekspresi yang sering muncul dalam wacana politik, sejatinya bukan hanya luapan emosi, melainkan strategi komunikasi yang sarat makna. Melalui bahasa, para aktor politik berusaha menggambarkan kekuasaan, meneguhkan nilai, sekaligus membentuk identitas. Kuliah Umum dengan narasumber Rocky Gerung – Akademikus & Filsuf Indonesia dan Dr. Yance Arizona – Ketua PANDEKHA FH UGM, sangat menarik untuk disimak dan menjadi rujukan akademis, dengan moderator Mayang Anggi Pradita (CLS FH UGM). Dalam diskusi publik yang dikutip dari mimbar bebas YouTube Pusat Kajian Konstitusi, Demokrasi dan HAM, Rocky Gerung menunjukkan bagaimana kritik dapat dibalik menjadi narasi baru yang menegaskan posisi dan norma. Pujian menciptakan legitimasi, sedangkan makian mendorong kritik dan perubahan. Bagi publik, penting menjaga etika bahasa, menyampaikan kritik berbasis fakta, memahami audiens, dan siap menerima balasan kritik. Rocky Gerung berbicara dalam forum terbuka “Notonagoro Public Lecture, dengan Tema Filosofi Negara dan Demokrasi”. Forum ini merupakan Kuliah umum menghadirkan pemikiran kritis tentang filsafat negara dan demokrasi, mengulas relevansinya dalam konteks sosial-politik Indonesia masa kini, berlangsung di Auditorium Gedung B, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM). Mahasiswa S2 Mengkritisi Pemilihan Kata-Kata RG Yang Dinilai Tidak Pantas Sang Mahasiswa S2 Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan menganggap Rocky terlalu kontroversial. Dia mengingatkan bahwa RG terkenal dulu dengan “kitab suci fiksi seperti itu ya, dan banyak yang gagal paham, dan sudah diterangkan mereka itu salah-presumption fallacy,” meskipun tidak ada dalam kamus, ungkap Lintang. Diapun mengingatkan RG bahwa “di UGM memiliki buku pegangan “Relasi Sehat”, mohon maaf, jadi saya tidak sependapat dengan kata-kata umpatan, di UGM ada ke-UGM-manan, jadi mohon maaf “bodoh, dungu, body shaming” itu tidak boleh-tidak boleh-tidak boleh, saya tidak suka,” tegasnya mengkritik RG. Jawaban Rocky Gerung Terhadap Ketidaksetujuan Mahasiswa Hukum RG mengawali jawaban dan tanggapannya dengan pertanyaan, “Rencana DO semester berapa?” disambut tawa peserta kuliah umum tersebut. RG berkata, “saya terima kritikmu sejauh saya tidak pernah mengkritik manusia, yang saya bilang dungu itu adalah presiden bukan Jokowi.” RG melanjutkan, “yang saya bilang tolol Bahlil sebagai menteri,” dan disambut tepuk tangan hadirin. Lebih lanjut dia mengatakan, “seandainya saya hapus kata ‘dungu’ dari kamus, lalu kata ‘pintar’ artinya apa?” Rocky menerangkan, “semua kata itu ada pasangannya, ada pifurkasi.” “Dungu, disebut dungu karena kita memuliakan si pintar, pintar disebut pintar karena kita mengingat kedunguan, apa yang salah disitu?, dua-duanya ada deskripsi.” Ada lagi kata “Amok” (kejadian Pati) dan “Orang Utan” yang merupakan sumbangan dari Indonesia untuk perbendaharaan bahasa Inggris. Jadi dalam bahasa politk yang harus dilihat konteksnya apa, “Sopan santun adalah bahasa tubuh, pikiran yang disopan-santunkan itu namanya kemunafikan”, pungkas Rocky.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Foto : tangkapan layar YouTube PANDEKHA

Read More