Robot Militer Israel Bawa 5 Ton Bahan Peledak, Gaza Hancur Jadi Puing-Puing

Zionis Israel Gunakan Robot Bermuatan 5 Ton Bahan Peledak, 300 Rumah Di Gaza Rata Dengan Tanah Gaza – 1miliarsantri.net: Tindakan barbar dan tidak berperikemanusiaan dipertontonkan militer zionis Israel. Tentara pendudukan Yahudi itu terus melanjutkan agresinya di Kota Gaza dengan cara baru yang mematikan dan menjadikan Gaza ladang pembantaian, sementara dunia dan negara-negara Arab seolah diam membisu menyaksikan Gaza mati perlahan. Militer zionis menggunakan robot jebakan bermuatan bahan peledak hingga 5 ton untuk menghancurkan rumah warga, alun-alun, dan infrastruktur sipil. Serangan intensif ini terutama terjadi di Jabalia Al-Balad, Nazla, Abu Iskandar, serta lingkungan Al-Zaytoun dan Al-Sabra. Mereka menggunakan robot yang M113, yang merupakan kendaraan pengangkut personel buatan Amerika yang sudah tua. Kendaraan ini dimodifikasi sarat bahan peledak dan dikendalikan dari jarak jauh. Tentara Israel mengarahkannya ke lokasi sipil tertentu sebelum diledakkan, sering kali pada larut malam atau saat fajar, untuk memaksimalkan kerusakan sekaligus menyebarkan ketakutan dan memaksa warga mengungsi. Skala Kehancuran Mengutip SAFA Press Agency serangan ini pertama kali tercatat pada invasi ke Kamp Jabalia, Gaza utara, Mei dan Oktober 2024, sebelum meluas ke wilayah lain. Menurut laporan lapangan, lebih dari 85% rumah dan infrastruktur hancur di Shujaiya dan Al-Tuffah, serta sekitar 70% di Al-Zaytoun, Al-Sabra, Jabalia Al-Nazla, dan Al-Balad. Suara ledakan bom mobil ini bisa terdengar hingga 40 km dari pusat ledakan, menandakan daya rusak luar biasa. Sementara itu, Euro-Med Human Rights Monitor mencatat: Israel menghancurkan sekitar 300 rumah per hari di Kota Gaza dan Jabalia, menggunakan sekitar 15 kendaraan peledak dengan total muatan 100 ton bahan peledak. Alat Pembunuhan Massal Direktur Kantor Media Pemerintah di Gaza, Ismail Al-Thawabteh, menyebut robot peledak ini sebagai “alat pembunuhan jarak jauh” yang jelas melanggar hukum humaniter internasional. Menurutnya, praktik ini termasuk kejahatan perang dan genosida sebagaimana diatur dalam Statuta Roma dan Konvensi Jenewa, karena menyasar warga sipil tanpa alasan militer yang sah. Kemudian menghancurkan properti pribadi secara sistematis, dan bertujuan mengubah demografi Gaza melalui pengungsian paksa. Krisis Kemanusiaan Sejak awal agresi di Kota Gaza, lebih dari 1.100 warga terbunuh dan 6.008 terluka. Lebih dari 100 robot peledak diledakkan di jalan dan gang padat penduduk yang menyebabkan jatuhnya ribuan korban jiwa penduduk Gaza. Selain itu, puluhan ribu warga terpaksa mengungsi ke wilayah sempit di barat Gaza, dengan kondisi memprihatinkan: kekurangan makanan, air, obat-obatan, dan meningkatnya penyakit menular. Al-Thawabteh menegaskan bahwa invasi total ke Kota Gaza adalah tahap lanjutan dari kebijakan bumi hangus Israel. Semua struktur perumahan, layanan publik, hingga manusia yang ada dijadikan sasaran. Seruan Internasional Ia menyerukan kepada PBB dan masyarakat internasional untuk Memberikan perlindungan nyata bagi warga Gaza, Memastikan masuknya bantuan kemanusiaan, serta Memaksa Israel bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan. Menurutnya, pengungsian saat ini adalah pengungsian paksa tanpa kepulangan, yang memang menjadi tujuan terbuka Israel. Karena itu, ia mengimbau warga untuk tetap bertahan di Gaza dan utara meski dalam kondisi sulit.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Foto : safa.ps

Read More

Perut Lapar dan Janin Terancam: Kehamilan di Gaza Jadi Pertarungan Hidup-Mati

Di tenda-tenda pengungsian yang lembap dan sempit, perempuan Gaza mengandung dengan tubuh yang lapar, tanpa gizi, tanpa obat, dan tanpa kepastian apakah bayi mereka akan lahir hidup. Gaza – 1miliarsantri.net: Di sebuah tenda pengungsian yang lembap dan sempit di Gaza barat, seorang perempuan hamil berusia tiga puluhan duduk bersandar lemah. Nafasnya terengah, tubuhnya kian menyusut, dan janin dalam kandungannya nyaris tak bergerak. “Saya tidak makan makanan bergizi sejak awal kehamilan. Berat badan saya turun dari 96 kilo menjadi 75. Saya tidak tahu apakah bayi saya akan lahir sehat, cacat, atau bahkan selamat,” ujarnya dengan suara serak. Ia adalah satu dari ribuan perempuan hamil di Gaza yang berjuang bukan hanya melawan rasa sakit, tetapi juga melawan kelaparan, keterbatasan medis, dan hilangnya hak-hak dasar. Kehamilan di sana adalah pertarungan antara hidup-mati. Dalam kata-katanya sendiri, kondisi mereka adalah “bencana”. Tubuh yang Mengikis Diri Sendiri Selama enam bulan kehamilannya, ia tak pernah mencicipi susu, buah, atau vitamin. Tidak ada pemeriksaan USG, tidak ada akses laboratorium untuk mengetahui kondisi janinnya. Pemeriksaan darah terakhir menunjukkan kadar hemoglobin hanya 8, tanda anemia parah. “Saya pusing setiap hari, tubuh saya terasa mengikis dari dalam. Saya tidak tahu apakah bayi saya masih hidup,” katanya sambil mengusap perutnya yang kian tirus. Situasi ini bukan hanya pengalaman pribadi. Menurut data organisasi kesehatan lokal, lebih dari separuh ibu hamil di Gaza mengalami malnutrisi akut, dengan gejala anemia, pusing, hingga kelelahan kronis. Hal itu diperburuk dengan hilangnya fasilitas rumah sakit akibat pemboman, serta hancurnya rantai pasokan makanan dan obat-obatan karena blokade Israel. Ketakutan Melahirkan dalam Kekosongan Di kamp pengungsian yang menampung lebih dari 350 keluarga, tangisan bayi menjadi simfoni duka yang terus terdengar. Tidak karena rewel biasa, melainkan karena perut kecil mereka kosong. Susu formula langka, harganya melonjak hingga tak terjangkau. “Popok sekarang 600 syikal. Susu tidak ada sama sekali. Bayi-bayi di sini tidak bisa tidur karena kelaparan,” kata sang ibu. Ia menyebut dua pekan lalu seorang bayi meninggal di kampnya akibat tidak mendapat susu. Ironisnya, banyak perempuan hamil kini tak lagi menantikan kelahiran dengan harap, melainkan dengan cemas. “Saya bahkan tidak ingin melahirkan. Apa yang akan saya berikan pada bayi saya? Tidak ada susu, tidak ada popok. Kalau lahir, ia hanya akan menderita,” ucapnya dengan getir. Gaza: Kehidupan yang Dimusnahkan Amina Abdulfattah Hammouda, warga kamp Jabalia, menuturkan pengalaman serupa. Ia menggambarkan tubuhnya “seperti memakan dirinya sendiri” akibat kekurangan gizi. Rania Saleh al-Hourani, pengungsi hamil lain, menambahkan bahwa lingkungan tenda pengungsian sama sekali tidak layak untuk melahirkan. “Tidak ada air bersih, tidak ada tempat aman, tidak ada pelayanan kesehatan. Bagaimana mungkin seorang ibu bisa melahirkan dengan selamat di sini?” katanya. Bagi banyak perempuan Gaza, hak dasar seorang ibu hamil—ruang aman, makanan bergizi, pemeriksaan medis—telah lenyap. “Seharusnya sembilan bulan ini saya beristirahat di rumah, menyiapkan pakaian bayi, memastikan ada perawatan yang baik. Tapi sekarang saya tinggal di tenda bocor, tanpa makanan, tanpa obat. Seperti tidak ada hak bagi kami,” ungkap seorang ibu dengan getir. Ancaman Generasi yang Hilang Dokter-dokter Gaza memperingatkan bahwa anak-anak yang lahir di tengah perang ini berisiko tinggi mengalami prematuritas, cacat lahir, dan stunting permanen. Kekurangan gizi kronis sejak dalam kandungan berarti generasi Gaza berikutnya sedang tumbuh dengan tubuh rapuh, otak kurang berkembang, dan kesehatan yang terancam seumur hidup. “Setiap kelahiran kini adalah pertempuran antara hidup dan mati,” kata seorang tenaga medis di kota Gaza. “Kekurangan listrik membuat inkubator berhenti berfungsi, tidak ada obat-obatan, dan para ibu datang dalam keadaan anemia berat. Kami hanya bisa berdoa.” Dihantui Pilihan Mustahil Meski penderitaan terus memburuk, sebagian besar perempuan Gaza menolak meninggalkan tanah air. “Kami diusir dari Jabalia ke Gaza barat. Itu sudah cukup. Tapi meninggalkan Gaza ke luar negeri? Tidak mungkin. Lebih baik mati di tanah kami sendiri daripada terusir,” kata sang ibu hamil yang masih tinggal di tenda. Keputusan itu berakar dari keyakinan mendalam akan hak atas tanah air, meski harus membayar dengan penderitaan pribadi. “Selama masih ada zaitun dan za’atar di Gaza, kami tidak akan pergi. Kami akan tetap bertahan,” tambahnya. Kehamilan yang Berubah Jadi Pertarungan Hidup Di banyak belahan dunia, kehamilan adalah masa penuh harapan: mendekorasi kamar bayi, menyiapkan pakaian mungil, mengantisipasi tangisan pertama. Di Gaza, kehamilan berubah menjadi pertarungan hidup-mati. Setiap hari terasa seperti seratus tahun, penuh dengan ketakutan apakah bayi yang lahir akan bernapas, apakah ia akan mendapat susu, apakah ibunya masih akan hidup setelah persalinan. Situasi ini adalah cermin krisis kemanusiaan yang paling telanjang. Ia menunjukkan bahwa perang bukan hanya menghancurkan bangunan dan jalan, tetapi juga merenggut kehidupan paling murni—janin yang bahkan belum lahir. Gaza: Kehidupan yang Dirampas Sebelum Dimulai Di balik dinding tenda bocor dan tanah becek kamp pengungsian, ibu-ibu hamil Gaza terus menunggu hari kelahiran dengan hati yang diliputi cemas. Mereka menanti bukan dalam sukacita, melainkan dalam doa agar bayi mereka bisa sekadar bertahan hidup. “Setiap hari saya berpikir, mungkin lebih baik bayi saya tetap di dalam kandungan daripada lahir ke dunia yang penuh penderitaan ini,” kata sang ibu sambil menatap kosong ke luar tenda. Di Gaza, kehidupan bukan hanya sulit—ia sering kali dirampas bahkan sebelum sempat dimulai. Penulis : Abdullah al-Mustofa Editor : Thamrin Humris Sumber : Kanal youtube Al Jazeera dan Al Jazeera.net Foto tangkapan layar Kanal youtube : Al Jazeera dan Al Jazeera.net

Read More