Perut Lapar dan Janin Terancam: Kehamilan di Gaza Jadi Pertarungan Hidup-Mati

Di tenda-tenda pengungsian yang lembap dan sempit, perempuan Gaza mengandung dengan tubuh yang lapar, tanpa gizi, tanpa obat, dan tanpa kepastian apakah bayi mereka akan lahir hidup. Gaza – 1miliarsantri.net: Di sebuah tenda pengungsian yang lembap dan sempit di Gaza barat, seorang perempuan hamil berusia tiga puluhan duduk bersandar lemah. Nafasnya terengah, tubuhnya kian menyusut, dan janin dalam kandungannya nyaris tak bergerak. “Saya tidak makan makanan bergizi sejak awal kehamilan. Berat badan saya turun dari 96 kilo menjadi 75. Saya tidak tahu apakah bayi saya akan lahir sehat, cacat, atau bahkan selamat,” ujarnya dengan suara serak. Ia adalah satu dari ribuan perempuan hamil di Gaza yang berjuang bukan hanya melawan rasa sakit, tetapi juga melawan kelaparan, keterbatasan medis, dan hilangnya hak-hak dasar. Kehamilan di sana adalah pertarungan antara hidup-mati. Dalam kata-katanya sendiri, kondisi mereka adalah “bencana”. Tubuh yang Mengikis Diri Sendiri Selama enam bulan kehamilannya, ia tak pernah mencicipi susu, buah, atau vitamin. Tidak ada pemeriksaan USG, tidak ada akses laboratorium untuk mengetahui kondisi janinnya. Pemeriksaan darah terakhir menunjukkan kadar hemoglobin hanya 8, tanda anemia parah. “Saya pusing setiap hari, tubuh saya terasa mengikis dari dalam. Saya tidak tahu apakah bayi saya masih hidup,” katanya sambil mengusap perutnya yang kian tirus. Situasi ini bukan hanya pengalaman pribadi. Menurut data organisasi kesehatan lokal, lebih dari separuh ibu hamil di Gaza mengalami malnutrisi akut, dengan gejala anemia, pusing, hingga kelelahan kronis. Hal itu diperburuk dengan hilangnya fasilitas rumah sakit akibat pemboman, serta hancurnya rantai pasokan makanan dan obat-obatan karena blokade Israel. Ketakutan Melahirkan dalam Kekosongan Di kamp pengungsian yang menampung lebih dari 350 keluarga, tangisan bayi menjadi simfoni duka yang terus terdengar. Tidak karena rewel biasa, melainkan karena perut kecil mereka kosong. Susu formula langka, harganya melonjak hingga tak terjangkau. “Popok sekarang 600 syikal. Susu tidak ada sama sekali. Bayi-bayi di sini tidak bisa tidur karena kelaparan,” kata sang ibu. Ia menyebut dua pekan lalu seorang bayi meninggal di kampnya akibat tidak mendapat susu. Ironisnya, banyak perempuan hamil kini tak lagi menantikan kelahiran dengan harap, melainkan dengan cemas. “Saya bahkan tidak ingin melahirkan. Apa yang akan saya berikan pada bayi saya? Tidak ada susu, tidak ada popok. Kalau lahir, ia hanya akan menderita,” ucapnya dengan getir. Gaza: Kehidupan yang Dimusnahkan Amina Abdulfattah Hammouda, warga kamp Jabalia, menuturkan pengalaman serupa. Ia menggambarkan tubuhnya “seperti memakan dirinya sendiri” akibat kekurangan gizi. Rania Saleh al-Hourani, pengungsi hamil lain, menambahkan bahwa lingkungan tenda pengungsian sama sekali tidak layak untuk melahirkan. “Tidak ada air bersih, tidak ada tempat aman, tidak ada pelayanan kesehatan. Bagaimana mungkin seorang ibu bisa melahirkan dengan selamat di sini?” katanya. Bagi banyak perempuan Gaza, hak dasar seorang ibu hamil—ruang aman, makanan bergizi, pemeriksaan medis—telah lenyap. “Seharusnya sembilan bulan ini saya beristirahat di rumah, menyiapkan pakaian bayi, memastikan ada perawatan yang baik. Tapi sekarang saya tinggal di tenda bocor, tanpa makanan, tanpa obat. Seperti tidak ada hak bagi kami,” ungkap seorang ibu dengan getir. Ancaman Generasi yang Hilang Dokter-dokter Gaza memperingatkan bahwa anak-anak yang lahir di tengah perang ini berisiko tinggi mengalami prematuritas, cacat lahir, dan stunting permanen. Kekurangan gizi kronis sejak dalam kandungan berarti generasi Gaza berikutnya sedang tumbuh dengan tubuh rapuh, otak kurang berkembang, dan kesehatan yang terancam seumur hidup. “Setiap kelahiran kini adalah pertempuran antara hidup dan mati,” kata seorang tenaga medis di kota Gaza. “Kekurangan listrik membuat inkubator berhenti berfungsi, tidak ada obat-obatan, dan para ibu datang dalam keadaan anemia berat. Kami hanya bisa berdoa.” Dihantui Pilihan Mustahil Meski penderitaan terus memburuk, sebagian besar perempuan Gaza menolak meninggalkan tanah air. “Kami diusir dari Jabalia ke Gaza barat. Itu sudah cukup. Tapi meninggalkan Gaza ke luar negeri? Tidak mungkin. Lebih baik mati di tanah kami sendiri daripada terusir,” kata sang ibu hamil yang masih tinggal di tenda. Keputusan itu berakar dari keyakinan mendalam akan hak atas tanah air, meski harus membayar dengan penderitaan pribadi. “Selama masih ada zaitun dan za’atar di Gaza, kami tidak akan pergi. Kami akan tetap bertahan,” tambahnya. Kehamilan yang Berubah Jadi Pertarungan Hidup Di banyak belahan dunia, kehamilan adalah masa penuh harapan: mendekorasi kamar bayi, menyiapkan pakaian mungil, mengantisipasi tangisan pertama. Di Gaza, kehamilan berubah menjadi pertarungan hidup-mati. Setiap hari terasa seperti seratus tahun, penuh dengan ketakutan apakah bayi yang lahir akan bernapas, apakah ia akan mendapat susu, apakah ibunya masih akan hidup setelah persalinan. Situasi ini adalah cermin krisis kemanusiaan yang paling telanjang. Ia menunjukkan bahwa perang bukan hanya menghancurkan bangunan dan jalan, tetapi juga merenggut kehidupan paling murni—janin yang bahkan belum lahir. Gaza: Kehidupan yang Dirampas Sebelum Dimulai Di balik dinding tenda bocor dan tanah becek kamp pengungsian, ibu-ibu hamil Gaza terus menunggu hari kelahiran dengan hati yang diliputi cemas. Mereka menanti bukan dalam sukacita, melainkan dalam doa agar bayi mereka bisa sekadar bertahan hidup. “Setiap hari saya berpikir, mungkin lebih baik bayi saya tetap di dalam kandungan daripada lahir ke dunia yang penuh penderitaan ini,” kata sang ibu sambil menatap kosong ke luar tenda. Di Gaza, kehidupan bukan hanya sulit—ia sering kali dirampas bahkan sebelum sempat dimulai. Penulis : Abdullah al-Mustofa Editor : Thamrin Humris Sumber : Kanal youtube Al Jazeera dan Al Jazeera.net Foto tangkapan layar Kanal youtube : Al Jazeera dan Al Jazeera.net

Read More
Brigade-Al-Qassam-Siap-Tempur

Gaza di Persimpangan: Perlawanan Palestina dan Rencana Pendudukan Israel yang Memicu Badai Kecaman Global

Gaza – 1miliarsantri.net : Langkah terbaru Israel untuk menguasai penuh Kota Gaza menjadi titik balik baru dalam konflik berkepanjangan di Timur Tengah. Keputusan kabinet keamanan Israel ini, yang diumumkan pada Jumat malam, memicu gelombang reaksi keras dari berbagai belahan dunia, sementara para analis memperingatkan dampak kemanusiaan dan politik yang akan semakin memburuk. Rencana tersebut meliputi pendudukan wilayah strategis di timur Gaza, pembentukan pemerintahan sipil non-Hamas, serta pemindahan paksa hingga satu juta warga Palestina ke wilayah selatan. Menurut laporan Al Jazeera (8/8/2025), sejumlah kawasan di Gaza Timur sudah porak-poranda akibat serangan udara dan artileri, sementara penumpukan pasukan Israel di sekitar kota menunjukkan persiapan menuju kontrol total. Pakar Militer: Perlawanan Bersenjata, Pilihan Satu-satunya Brigadir Jenderal Elia Hanna, analis militer asal Lebanon, menegaskan bahwa opsi diplomasi nyaris tertutup. “Perlawanan bersenjata kini menjadi satu-satunya pilihan realistis bagi rakyat Palestina,” ujarnya dalam wawancara dengan Al Jazeera (8/8/2025). Hanna memprediksi pendudukan ini akan memicu perlawanan sengit yang bisa menguras sumber daya militer Israel sekaligus menambah tekanan politik dalam negeri di Tel Aviv. Narasi Sesat Israel: ‘Membebaskan Gaza dari Hamas’ Perdana Menteri Benjamin Netanyahu membela rencana ini dengan mengatakan, “Our goal is not to occupy Gaza, our goal is to free Gaza from Hamas” (AP News, 8/8/2025). Menurut Netanyahu, operasi ini bertujuan “demiliterisasi” dan menciptakan pemerintahan sipil yang tidak terafiliasi Hamas. Namun, banyak pengamat menilai pernyataan ini kontradiktif dengan realitas lapangan, di mana penguasaan penuh Israel berarti kontrol politik, militer, dan administratif yang mendalam. Kecaman Dunia Internasional Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengecam rencana Israel sebagai “eskalasi berbahaya” yang mengancam keselamatan warga sipil (AP News, 8/8/2025). Komisioner Tinggi HAM PBB Volker Türk menegaskan bahwa tindakan ini melanggar hukum internasional, termasuk putusan Mahkamah Internasional tentang hak penentuan nasib sendiri Palestina (DW, 8/8/2025). Sejumlah negara turut mengecam, diantaranya : Australia, Italia, Jerman, Selandia Baru dan Inggris menolak tegas rencana Israel untuk menduduki Kota Gaza di Jalur Gaza, Palestina. Melalui pernyataan bersama, para menteri luar negeri ke lima negara itu menyebutkan operasi militer Israel akan semakin memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah sangat parah serta membahayakan nyawa para sandera. Prancis memperingatkan risiko kebuntuan politik (The Guardian, 8/8/2025). Sementara Inggris menyebut langkah itu “salah” dan kontraproduktif (The Guardian, 8/8/2025). Serta Australia menegaskan pengusiran warga melanggar hukum humaniter internasional (The National, 8/8/2025). Turki menyebutnya ini merupakan “pukulan besar bagi perdamaian” (Anadolu Agency, 8/8/2025). Sedangkan Cina menyerukan gencatan senjata segera (Channel News Asia, 8/8/2025). Kemudian pemerintah Jerman memilih menangguhkan ekspor senjata ke Israel (DW, 8/8/2025). Pemerintah Indonesia sendiri menegaskan tindakan ini ilegal menurut Piagam PBB (Antara News, 8/8/2025). Krisis Kemanusiaan di Depan Mata Data dari badan-badan kemanusiaan menunjukkan ancaman bencana baru. Lebih dari 61.000 warga Palestina telah tewas sejak konflik pecah kembali, dan PBB melaporkan 98 anak meninggal akibat malnutrisi akut. Situasi ini digambarkan sebagai “kelaparan sejati” yang mengintai seluruh Gaza (The Guardian, 8/8/2025). Pemindahan paksa dalam skala besar berpotensi memicu gelombang pengungsi menuju Mesir dan Yordania, mengancam stabilitas kawasan. Ketegangan di Dalam Negeri Israel Meski mendapat dukungan dari sebagian besar menteri sayap kanan, rencana Netanyahu memicu perpecahan internal. Kepala Staf Angkatan Darat Israel, Letjen Eyal Zamir, dilaporkan menolak rencana pendudukan penuh karena khawatir akan “perang tanpa akhir” dan keselamatan sandera yang masih ditahan di Gaza (El País, 8/8/2025). Sementara itu, beberapa menteri menilai Netanyahu justru tidak cukup keras, menuduhnya mengorbankan “keamanan demi politik” (Reuters, 8/8/2025). Motif Politik di Balik Langkah Militer Analis politik yang dikutip The New Yorker menilai ada kemungkinan bahwa eskalasi ini tidak semata didorong pertimbangan militer, tetapi juga untuk memperkuat posisi politik Netanyahu di tengah tekanan domestik. Dengan memusatkan perhatian publik pada ancaman eksternal, kritik terhadap penanganan insiden 7 Oktober dan skandal korupsi yang membelit dirinya dapat teredam. Langkah Selanjutnya: Pertarungan di Arena Diplomasi Dewan Keamanan PBB telah menjadwalkan rapat darurat untuk membahas situasi ini. Beberapa negara Eropa dan negara Teluk mendesak resolusi yang menuntut penghentian rencana pendudukan. Namun, veto dari anggota tetap seperti AS kemungkinan menjadi penghalang utama bagi langkah diplomatik yang efektif. Gaza di Ujung Krisis Pendudukan penuh Kota Gaza oleh Israel berpotensi menjadi babak paling destruktif dalam sejarah konflik Israel–Palestina pasca-1948. Bagi rakyat Palestina, seperti kata Brigjen Elia Hanna, perlawanan bersenjata mungkin menjadi satu-satunya pilihan yang tersisa. Bagi dunia, tantangannya adalah mencegah krisis kemanusiaan yang semakin dalam dan mendorong terciptanya jalur diplomasi yang nyata—sebelum Gaza benar-benar runtuh, bukan hanya secara fisik, tetapi juga sebagai simbol harapan bagi perdamaian di Timur Tengah. (***) Penulis : Abdullah al-Mustofa Editor : Toto Budiman Foto : Al Jazeera, Fox News Channel

Read More

Otoritas Gaza Desak Akses Darat ‘Kecam Pengiriman Bantuan Udara Yang Mematikan’ Dan Kacau

Gaza, Palestina – 1miliarsantri.net: Gaza mengalami kelaparan yang parah sejak blokade terhadap lalulintas bantuan internasional dilakukan oleh militer Israel dengan tidak dibukanya pintu perlintasan Rafah.  Titik Pelintasan Rafah adalah satu-satunya titik pelintasan antara Mesir dan Jalur Gaza. Pelintasan ini terletak di Perbatasan Gaza-Mesir, yang diakui oleh Perjanjian Damai Mesir-Israel 1979. Bantuan Udara Yang Mematikan Kementerian Dalam Negeri dan Keamanan Nasional Palestina di Gaza mengecam praktik penerjunan bantuan kemanusiaan melalui udara, memperingatkan bahwa hal itu justru memicu kekacauan dan membahayakan warga sipil, alih-alih meringankan penderitaan.  Pejabat di Kementerian tersebut menggambarkan penerjunan ini sebagai taktik “mematikan dan kacau” yang digunakan oleh pendudukan Israel untuk memperparah kelaparan dan memicu kekacauan di antara penduduk yang sudah putus asa. Baca juga: 34 Warga Gaza Tewas Ditembak Pasukan Israel, Warga Israel Unjuk Rasa Tolak Rencana Netanyahu “Sistem distribusi bantuan di Gaza telah terjerumus ke dalam kekacauan dan pertumpahan darah, dengan konvoi makanan dan titik distribusi berubah menjadi zona mematikan di bawah tembakan Israel.” (SAFA Press Agency) Paket Bantuan Menimpa Tenda dan Rumah Mengutip Safa News Agency, Kementerian menyoroti insiden-insiden di mana paket bantuan jatuh menimpa rumah dan tenda-tenda keluarga pengungsi, yang mengakibatkan kematian, termasuk perempuan dan anak-anak. Insiden itu juga menghancurkan tempat penampungan dan barang-barang. Kementerian menekankan bahwa jumlah bantuan yang dikirimkan melalui udara sangat minim dan gagal mengatasi bencana kelaparan parah yang melanda Gaza. Keluarga-keluarga terpaksa mempertaruhkan nyawa demi sisa-sisa makanan, sementara rumah sakit, yang sudah kewalahan dan kehabisan tenaga, merawat korban serangan setiap hari di dekat pusat-pusat bantuan. Anak-anak menderita malnutrisi akut, dan para ibu terpaksa memberi bayi mereka air putih, bukan susu, karena rak-rak kosong dan persediaan menipis. Baca juga: Perang Gaza: Netanyahu Ingin Ambil Alih Penuh Gaza Meskipun Militer Israel Tidak Setuju “Titik Pelintasan Rafah adalah satu-satunya titik pelintasan antara Mesir dan Jalur Gaza“. (Wikipedia) Bantuan Darat Solusi Efektif Pengiriman Bantuan Kementerian menegaskan bahwa satu-satunya solusi efektif adalah pembukaan penuh dan permanen penyeberangan darat untuk memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan yang cukup dan aman setiap hari. Otoritas juga mendesak komunitas internasional dan semua pihak yang terlibat untuk mempertimbangkan kembali metode berbahaya tersebut demi perlindungan warga sipil dan untuk mengakhiri kampanye sistematis kelaparan yang dipaksakan kepada rakyat Gaza. Penutupan dan penyegelan perbatasan telah menghentikan masuknya makanan, obat-obatan, dan bahan bakar, sehingga meruntuhkan jalur kehidupan Gaza. Bantuan yang dijatuhkan melalui udara terbukti sama sekali tidak memadai untuk menghadapi skala kebutuhan, karena kelaparan mendorong seluruh penduduk menuju keputusasaan.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Sumber : SAFA Press Agency Foto Istimewa SAFA Press Agency

Read More

34 Warga Gaza Tewas Ditembak Pasukan Israel, Warga Israel Unjuk Rasa Tolak Rencana Netanyahu

Gaza, Palestina – 1miliarsantri.net: Militer Israel kembali berulah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap warga Gaza yang berkumpul di titik distribusi bantuan menunggu bantuan makanan dan air bersih. Warga Gaza ditembak secara acak dan brutal oleh tentara penjajah Israel. Arabnews memberitakan, Badan pertahanan sipil Gaza mengatakan “sedikitnya 34 orang tewas akibat tembakan Israel pada hari Sabtu, termasuk lebih dari selusin warga sipil yang sedang menunggu untuk menerima bantuan.” Menurut catatan otoritas Palestina, “6 orang lainnya tewas sementara 30 orang terluka setelah pasukan Israel menargetkan warga sipil yang berkumpul di dekat titik bantuan di Gaza tengah,” katanya. Bassal mengatakan, Serangan di Gaza tengah juga mengakibatkan banyak korban, dan serangan drone (pesawat tak berawak) di dekat kota selatan Khan Yunis menewaskan sedikitnya tiga orang dan melukai beberapa lainnya. Warga Israel Menentang Rencana Netanyahu Mengambilalih Kota Gaza Sepenuhnya Hal yang tidak diperkirakan oleh rezim Benyamin Netanyahu, warga Israel berunjuk rasa melakukan protes menentang rencana pemerintahnya untuk menduduki Gaza sepenuhnya. Jalan raya Ayalon di Tel Aviv ditutup karena para pengunjuk rasa menyalakan api unggun di jalan; keluarga para sandera meratapi ‘para penghasut perang abadi’ karena memilih untuk ‘mengorbankan’ orang-orang yang mereka cintai Mengutip The Times Of Israel, Puluhan ribu pengunjuk rasa berkumpul di Tel Aviv dan kota-kota di seluruh Israel pada Sabtu malam untuk menuntut kesepakatan penyanderaan dan gencatan senjata sebelum Israel meluncurkan misi yang direncanakan untuk menaklukan Kota Gaza, sementara keluarga para tawanan menyerukan pemogokan umum sebagai bentuk penentangan terhadap rencana tersebut yang mereka peringatkan akan menandai lonceng kematian bagi orang-orang yang mereka cintai. Warga Israel yang dibebaskan Hamas pada Februari lalu sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata-sandera terakhir, berbicara di Hostages Square, Eliya Cohen mengatakan “Keputusan untuk mengambil alih Gaza membuat saya stres. Saya tahu apa yang terjadi pada para sandera ketika pertempuran semakin intensif.” Lonceng Kematian Para Sandera Dan Tentara Jika Rencana Netanyahu Dijalankan Aksi unjuk rasa anti-pemerintah dan pro-kesepakatan penyanderaan di depan pintu masuk Begin Street ke markas besar IDF di Tel Aviv, para pembicara mendesak para prajurit untuk menolak bertugas dalam pertempuran yang meluas, dan menyerukan kepada para pemimpin oposisi serta para pemimpin bisnis, buruh, dan akademisi untuk menghentikan sementara kegiatan negara. Ibu seorang perwira tempur di cadangan IDF, yang diperkenalkan hanya sebagai Bat-El, mengatakan kepada khalayak yang mendengarkan bahwa “para prajurit IDF semakin lemah secara fisik dan mental serta tidak memiliki perlengkapan pertahanan yang memadai.” Rencana pengambilalihan Kota Gaza “menempatkan Israel pada jalur pasti menuju perang abadi yang akan mengakibatkan kematian para sandera, menyebabkan kematian ratusan tentara, dan menyebabkan hancurnya citra Israel,” ujarnya. “Jangan setuju memasuki Gaza,” desaknya. “Tolak berpartisipasi dalam perang yang jelas-jelas ilegal,” tegasnya. Aktivis Sayap Kiri memajang tanda-tanda yang menunjukkan gambar anak-anak Palestina yang dibunuh oleh IDF di Gaza. Dibagian lain kota Tel Aviv, ratusan aktivis sayap kiri mengadakan protes diam-diam, memajang tanda-tanda yang menunjukkan gambar anak-anak Palestina yang dibunuh oleh IDF di Gaza. Mereka memegang foto anak-anak Palestina yang dibunuh oleh Israel di Gaza, di Taman HaMesila. Sejumlah pengunjuk rasa mengangkat obor menyala saat mereka bersiap berbaris di sekitar markas besar IDF untuk memprotes rencana kabinet, bersama ribuan lainnya yang bergabung dari unjuk rasa Hostages Square yang berjarak satu blok. Jumlah pengunjuk rasa makin membludak, semakin banyak masa berkumpul dekat Begin, di sisi lain puluhan orang membanjiri jalan raya Ayalon, menghalangi lalu lintas ke arah utara dan selatan serta menyalakan api unggun, dan kemudian disingkirkan oleh polisi yang membuka kembali jalan raya tersebut. Meskipun mendapat reaksi keras dan rumor perbedaan pendapat dari petinggi militer Israel, Netanyahu tetap teguh pada keputusan tersebut. Dia mengabaikan 61.000 warga Palestina yang syahid dan 1.219 orang warga Israel yang tewas akibat perang sejak 7 Oktober 2023.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Sumber : ArabNews, The Times Of Israel Foto Istimewa ArabNews, The Times Of Israel

Read More

Perang Gaza: Netanyahu Ingin Ambil Alih Penuh Gaza Meskipun Militer Israel Tidak Setuju

Yerusalem, Palestina – 1miliarsantri.net: Meskipun terdapat perbedaan pendapat antara Zamir dan anggota parlemen sebagaimana dilaporkan media Israel, Benyamin Netanyahu tetap mencari dukungan dan persetujuan untuk mengambil alih penuh Gaza. Pemerintahan Israel yang dipimpin PM Benyamin Netanyahu diperkirakan akan meminta persetujuan kabinet keamanan pada Kamis malam untuk rencana militer bertahap baru untuk merebut kendali penuh atas Jalur Gaza. Menurut laporan Media Israel yang dikutip dari arabnews.com, rencana yang didukung oleh Netanyahu berpotensi menggusur hingga satu juta warga Palestina selama lima bulan ke depan. Rencana Menyerang Kota Gaza dan Kamp-Kamp Pengungsi Pusat Rencana mengambil alih penuh Gaza dengan kekuatan militer, menurut laporan The Times of Israel, Militer Israel akan memulai serangan terhadap Kota Gaza dan kamp-kamp pengungsi pusat, mendorong sebagian besar penduduk ke selatan menuju zona kemanusiaan yang ditentukan di Mawasi. Serangan yang direncanakan tersebut menurut laporan tersebut bertujuan untuk membongkar sisa benteng Hamas dan menekan kelompok tersebut agar membebaskan sekitar 50 sandera yang masih ditawan di Gaza, yang sekitar 20 di antaranya diyakini masih hidup. Dalam citra satelit yang terdokumentasi, perbandingan antara situasi sebelum perang (pembantaian) di Gaza timur dan setelahnya menunjukkan kehancuran yang meluas yang telah memusnahkan seluruh lingkungan —termasuk rumah sakit, sekolah, rumah, dan pusat layanan— menjadikannya puing-puing tak bernyawa. Ketegangan Dan Perbedaan Pendapat Internal Elit Kepemimpinan Israel Usulan mengambil alih penuh wilayah Kota Gaza oleh Israel yang didukung PM Netanyahu mendapat penentangan dan penolakan oleh sejumlah petinggi militer IDF. Panglima militer Israel, Letnan Jenderal Eyal Zamir, mengeluarkan pernyataan tegas menjelang rapat kabinet yang dijadwalkan, dia berjanji untuk terus menyampaikan posisi militer menolak rencana Netanyahu “tanpa rasa takut.” Perbedaan pendapat antara Zamir dan anggota kabinet mengenai kelayakan rencana tersebut dan risiko yang ditimbulkannya bagi para sandera. Zamir mengatakan, “Kami akan terus menyampaikan posisi kami tanpa rasa takut, dengan cara yang pragmatis, independen, dan profesional.” Diapun melanjutkan, “Kami tidak sedang membahas teori, kami sedang membahas masalah hidup dan mati, tentang pertahanan negara.” Sementara itu menurut Menteri Pertahanan Israel Katz, meskipun militer berhak menyampaikan pandangannya dan tidak setuju dengan rencana tersebut, pada akhirnya mereka harus melaksanakan kebijakan pemerintah Netanyahu. Krisis Kemanusiaan Dan Kelaparan Meluas Di Gaza Menurut laporan arabnews dan AFP, lembaga-lembaga kemanusiaan telah memperingatkan krisis yang semakin dalam di Gaza. Salah satu lembaga pemantau kelaparan global menggambarkan situasi ini sebagai “skenario kelaparan”, dengan kelaparan yang meluas, anak-anak balita meninggal karena penyebab yang berkaitan dengan kelaparan, dan akses kemanusiaan masih sangat terbatas. Arabnews menulis pernyataan seorang pejabat Uni Eropa yang diberitakan oleh Reuters bahwa terdapat beberapa kemajuan terbatas, termasuk peningkatan pengiriman bahan bakar, pembukaan kembali rute, dan perbaikan infrastruktur. Namun terbatasnya jaminan keamanan dan hambatan terhadap kegiatan penyaluran bantuan kemanusiaan makin meluas dan mempriatinkan. PBB, melalui Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) melaporkan minggu ini bahwa konsumsi pangan di Gaza telah turun ke level terendah sejak perang dimulai. Hingga awal Agustus, 81 persen rumah tangga mengalami konsumsi pangan yang buruk, lebih dari dua kali lipat dari 33 persen yang tercatat pada bulan April.*** Penulis dan Editor : Thamrin Humris Sumber : ArabNews dan AFP Foto Istimewa dari berbagai sumber

Read More

Kepala Militer Israel Tolak Usulan Netanyahu Rebut Sisa Wilayah Gaza

Yerusalem – 1miliarsantri.net: Pertemuan antara Perdana Menteri Israel dengan Kepala Militer yang berlangsung tiga jam berlangsung tegang. Usulan Netanyahu untuk merebut sisa wilayah Gaza ditolak Kepala Staf Militer. Mengutip arabnews.com, Kepala Staf Militer Israel, Eyal Zamir memperingatkan perdana menteri akan bahaya yang ditimbulkan yang bisa menjebak militer zionis dan mengancam keselamatan jiwa para sandera yang ditawan oleh pejuang Palestina. Baca juga: Biadab! Israel Menembakan Rudal Ke Arah Anak-Anak Gaza Yang Sedang Mengambil Air Klaim Israel Kuasai 75 Persen Wilayah Gaza Pemerintah zionis mengklaim berhasil menguasai 75 persen wilayah Gaza setelah hampir dua tahun terjadinya perang yang diawali pada 7 Oktober 2023 silam, ketika pejuang Hamas berhasil menyerang wilayah Israel dan menghancurkan berbagai fasilitas militer zionis yahudi serta menawan tentara israel dan penduduk sipil. Israel menghancurkan rumah, sekolah, masjid serta rumah ibadah umat Kristen, dan rumah sakit, juga fasilitas medis lainnya. Sebagian besar wilayah kantong pesisir yang padat penduduk itu telah hancur akibat pemboman yang dilakukan israel. Pihak militer Israel menuduh Hamas beroperasi di antara warga sipil, terkadang menghindari wilayah-wilayah yang menurut intelijen diduga menjadi tempat para sandera ditawan, dan mantan tawanan mengatakan para penculik mengancam akan membunuh mereka jika pasukan Israel mendekat. Baca juga: Gadis Kecil Gaza: ‘Kembalikan Ibuku Dari Surga’ Menteri Pertahan Israel Pastikan Militer Melaksanakan Keputusan Pemerintahnya Israel Katz melalui pesan tertulisnya mengatakan bahwa “panglima militer memiliki hak dan kewajiban untuk menyuarakan pendapatnya”, dia melanjutkan, “tetapi militer akan melaksanakan keputusan pemerintah hingga semua tujuan perang tercapai”, tegasnya Rabu 6/7/2025. Sementara itu Kantor Perdana Menteri Israel menolak memberikan tanggapan dan komentar terkait pertemuan dengan Zamir dan petinggi militer zionis pada Selasa 5/8/2025. PM Netanyahu pada medio Mei 2025 mengatakan “Israel akan menguasai seluruh Gaza, diapun meenegaskan memimpin pemerintahan koalisi paling dalam sejarah Israel dan bersama mitranya akan mundur jika pemerintah mengakhiri perang.” Media Israel melaporkan bahwa Netanyahu akan mengumpulkan kabinet keamanannya pada hari Kamis untuk membuat keputusan akhir tentang langkah selanjutnya dalam perang di wilayah Palestina. Tekanan Internasional Untuk gencatan Senjata dan Mencegah Bencana Kelaparan Di Gaza Menurut catatan Israel, terdapat 50 sandera yang masih ditahan di Gaza, di mana setidaknya 20 orang diyakini masih hidup. Video yang dirilis oleh Hamas dan Jihad Islam Palestina, kelompok militan lain di Gaza, minggu lalu yang memperlihatkan dua sandera yang sangat kurus memicu kecaman internasional. Disisi lain, dilaporkan setidaknya 200 warga Palestina meninggal dunia karena mal nutrisi dan bencana kelaparan terburuk sejak perang berkecamuk akibat embargo Israel dan penghadangan terhadap konvoi bantuan yang akan memasuki Gaza. Baca juga: Menyedihkan! 1 Dari 10 Anak Di Gaza Menderita Malnutrisi Perluasan serangan militer di daerah padat penduduk kemungkinan akan sangat menghancurkan. Banyak dari 2 juta warga Palestina di Gaza tinggal di tenda-tenda di selatan wilayah itu, mengungsi akibat pemboman selama 22 bulan. Israel Kewalahan Menghadapi Perang Yang Berlangsung Lama Meskipun mengklaim menguasai 75% wilayah Gaza, perang yang berlangsung sejak Oktober 2023 membuat militer zionis itu kewalahan, mereka harus terus memobilisasi pasukan cadangan untuk memperluas wilayah operasinya dan mencaplok lebih banyak wilayah. Israel masih terus melakukan serangan udara terhadap Gaza pada Rabu. Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan dalam serangan itu telah menewaskan sebanyak 135 orang dalam 24 jam terakhir. “jumlah korban tewas sejak awal konflik sekarang mencapai lebih dari 61.000, sebagian besar warga sipil”, pungkas pejabat Kementerian Kesehatan.*** Penulis dan Editor : Thamrin Humris Foto iluistrasi AI Sumber Arab News

Read More

Menyedihkan! 1 Dari 10 Anak Di Gaza Menderita Malnutrisi

Gaza, Palestina – 1miliarsantri.net: Kondisi kesehatan anak-anak di Gaza hingga hari ini sangat memprihatinkan, ini akibat zionis Israel yang memblokade bantuan pangan kemanusiaan yang akan memasuki wilayah Palestina, bahkan menghancurkan alat transportasi untuk mobilisasi bantuan. Dari Jenewa-Swiss, mengutip Safa Press Agency, Direktur Komunikasi Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Juliette Touma menyatakan: “Tingkat kekurangan gizi meningkat di Gaza, terutama sejak pengepungan diperketat lebih dari empat bulan lalu pada 2 Maret.” Baca juga : Biadab! Israel Menembakan Rudal Ke Arah Anak-Anak Gaza Yang Sedang Mengambil Air Diketahui sejak Januari 2024 UNWRA mencatat: Lebih dari 240.000 anak di bawah usia lima tahun mengalami malnutrisi. Yang menyedihkan, satu dari sepuluh menderita kekurangan gizi, beberapa kasus secara tragis mengakibatkan kematian. Kekurangan Bahan Bakar Menghambat Klinik Layanan Kesehatan UNWRA juga mengingatkan tentang kelangkaan dan kekurangan bahan bakar yang parah. Akibat kondisi tersebut melumpuhkan kemampuan tenaga medis untuk mengoperasikan klinik kesehatan, mendistribusikan air bersih, dan memberikan bantuan penting lainnya. Badan ini juga mendesak agar zionis Israel membuka akses dan tidak menghambat konvoi kemanusiaan untuk mengirimkan makanan, pasokan medis, dan bahan bakar. “Tanpa hal-hal penting ini,” Touma memperingatkan, “kondisi yang sudah menjadi bencana akan semakin meningkat, terutama bagi anak-anak Gaza.” Baca juga : Gadis Kecil Gaza: ‘Kembalikan Ibuku Dari Surga’ Sementara itu, beberapa pekan lalu Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell telah memperingatkan krisis gizi yang memburuk di antara bayi-bayi di Jalur Gaza, karena pendudukan Israel terus menghalangi masuknya bantuan yang menyelamatkan jiwa. Russell menggambarkan situasi itu sebagai bencana, dengan anak-anak menderita kekurangan gizi akut karena runtuhnya layanan kesehatan, kekurangan air bersih, dan kerusakan sistem pangan yang meluas.*** Penulis dan Editor : Thamrin Humris Sumber : Safa Agency (Palestina Press Agency) | Foto kolase istimewa Safa Agency

Read More

Gadis Kecil Gaza: ‘Kembalikan Ibuku Dari Surga’

Gaza – 1miliarsantri.net: Tangis sosok gadis kecil Gaza “Kembalikan Ibuku Dari Surga”, seolah mewakili jutaan kesedihan kolektif anak-anak Gaza yang nyaris tiap hari kehilangan orang tua, kehilangan sosok Ibu yang menyayanginya. Nariman Abdullah Al-Eisa yang berusia empat tahun, sosok gadis kecil di Gaza-Palestina, satu diantara ribuan anak dalam cerita yang menyayat hati. Hidupnya telah hancur akibat sebuah serangan udara zionis israel. Momen dimana dia kehilangan ibunya, kehilangan kaki kanan dan mata kanannya. Malam itu 26 Juni, Nariman bercengkrama bersama sang Ibu di rumah mereka, di dekat Al-Samer Junction, saat rudal zionis menghantam rumahnya. Ibundanya syahid (terbunuh) seketika dan Anas saudara laki-lakinya ikut terluka tertimpa puing-puing bangunan yang hancur. Baca juga: Arab Saudi Mengutuk Keras Eskalasi Militer Israel Di ‘Gaza’ Palestina Nariman, Gadis Kecil Gaza “Kehilangan Segala-galanya” Mengutip SAFA Press Agency, sang ayah, Abdullah Al-Eisa mengisahkan ketika nenek Nariman mencoba menenangkan dan menjelaskan kepada sang cucu. “Ibumu pergi bersama Tuhan, dia di surga”, namun Nariman tidak mengerti mengapa pelukan hangat ibundanya tidak ada lagi. Abdullah berupaya memulihkan kondisi fisik Nariman, bekerja sama dengan pihak Palang Merah (Red Cross) dan Médecins Sans Frontières untuk mendapatkan penanganan dan tindakan medis mendesak di luar negeri. Dia berharap Nariman dapat menerima prostetik, perawatan psikologis dan mungkin merebut kembali fragmen masa kecil yang telah dicuri perang. Baca juga: Negara-negara Eropa Mulai Mengakui Kemerdekaan Palestina Data Tentang Anak-Anak Gaza Yang Syahid (Tewas) Dan Terluka Selama perang berkecamuk sejak 7 Oktober 2023, data medis di Gaza menunjukan satu dari setiap sepuluh anak yang cedera selama perang saat ini telah mengakibatkan amputasi, dan setengah dari kasus tersebut adalah anak-anak. Tim medis tidak hanya berjuang untuk penyembuhan korban secara fisik, tetapi juga menghadapi trauma psikologis yang parah, terutama pada anak-anak dan perempuan. Kondisi perempuan dan anak-anak di Gaza (Foto dok. SAFA Press Agency) Menurut laporan UNICEF, lebih dari 50.000 anak-anak di Gaza telah tewas atau terluka sejak perang dimulai. Sementara itu, lebih dari 14.000 orang dengan cedera kritis atau penyakit tetap, dalam daftar tunggu untuk perawatan di luar negeri. Tindakan zionis israel yang menutup total penyeberangan perbatasan sejak 2 Maret, membuat penduduk Gaza terisolir dari dunia luar.*** Editor : Thamrin Humris Sumber dan Foto Istimewa: SAFA Press Agency

Read More

Konvoi Solidaritas Untuk Gaza Kembali Ke Tunisia, Dan Menyerukan Pembebasan Tahanan Di Libya Timur

Libya – 1miliarsantri.net: Konvoi Solidaritas Afrika Utara untuk Mematahkan Pengepungan di Gaza memutuskan untuk kembali ke Tunisa, ditengah ketidakpastian izin dari Mesir. Mereka yang tergabung dalam Konvoi Solidaritas terpaksa kembali ke Tunisia, dan menyerukan kepada pihak Libya Timur untuk membebaskan rekan-rekan mereka yang masih ditahan. Konvoi Solidaritas Afrika Utara untuk Mematahkan Pengepungan di Gaza mengumumkan pada hari Senin 16 Juni 2025, bahwa mereka akan kembali ke Tunisia setelah menerima pemberitahuan resmi dari otoritas Libya bahwa Mesir menolak memberikan izin yang diperlukan untuk melintasi perbatasan Salloum. Juru bicara konvoi tersebut menjelaskan bahwa ketidakmampuan untuk melanjutkan perjalanan melalui darat, bersama dengan ketidakpraktisan rute laut dari Libya, menyebabkan keputusan untuk kembali. Namun, mereka menekankan bahwa pemulangan hanya akan dimulai setelah semua peserta yang ditahan dibebaskan. Jadwal Keberangkatan Kembali Ke Tunisia Safa Agency melaporkan, konvoi tersebut telah mengonfirmasi bahwa keberangkatan akan diatur mulai Selasa pagi dan mendesak mereka yang ingin pergi untuk berkoordinasi terlebih dahulu dengan Koalisi. Mereka juga melaporkan bahwa beberapa tahanan telah dibebaskan, sementara itu negosiasi terus berlanjut untuk membebaskan tahanan lainnya. Dan konvoi tersebut juga menyatakan tidak akan lagi menerima peserta baru di Libya sampai semua tahanan dibebaskan dan langkah selanjutnya diklarifikasi. Sementara itu, empat organisasi besar Tunisia termasuk Asosiasi Pengacara Nasional dan Serikat Buruh Umum Tunisia mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan kepada otoritas Libya timur untuk membebaskan semua tahanan dari Tunisia, Libya, Aljazair, dan Sudan. Pernyataan tersebut menyoroti bahwa konvoi tersebut mencerminkan aspirasi bersama masyarakat Afrika Utara untuk mendukung perjuangan Palestina. Koalisi juga menyerukan protes di luar kedutaan besar Libya di Tunis dan mendesak tindakan diplomatik segera untuk mengamankan pembebasan para tahanan dan mendukung misi konvoi tersebut, tulis Safa Agency.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Toto Budiman Sumber dan Foto : Safa Press Agency

Read More

Arab Saudi Mengutuk Keras Eskalasi Militer Israel Di ‘Gaza’ Palestina

Riyadh – 1miliarsantri.net: Kerajaan Arab Saudi menegaskan kembali kecamannya dan kecaman terhadap semua operasi darat yang dilakukan oleh pasukan pendudukan israel yang membabibuta menyebabkan korban jiwa warga sipil di Gaza. Tindakan militer israel yang melanggar kesepakatan gencatan senjata masif dilakukan, seolah tidak bergeming dan tidak perduli terhadap kecaman internasional, bahkan melanggar berbagai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kecaman negara teluk tersebut akibat berbagai pelanggaran yang dilakukan israel, karena hal ini menurut Arab Saudi mengancam kehidupan warga sipil Palestina dan memperburuk penderitaan kemanusiaan penduduk Gaza. Kementerian Luar Negeri menyampaikan kecaman keras Arab Saudi atas meningkatnya pendudukan militer Israel di Gaza utara dan selatan, serta perluasannya ke sebagian besar wilayah tersebut, yang makin memperburuk situasi dan meningkatkan ketegangan di Timur Tengah. Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan oleh Saudi Press Agency, Kemenlu Arab Saudi menegaskan, “Hal ini bertentangan dengan keinginan masyarakat internasional, hukum hak asasi manusia, dan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta menghambat tercapainya perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut.” Arab Saudi kembali mengecam dan mengecam semua operasi darat yang dilakukan oleh pasukan pendudukan Israel karena mengancam nyawa warga sipil Palestina. Otoritas Saudi, tindakan militer Zionis israel makin memperburuk penderitaan kemanusiaan rakyat Palestina di Gaza. Kementerian memperingatkan bahaya melanjutkan pelanggaran yang mencolok dan tidak dapat dibenarkan ini terhadap rakyat Palestina. Menurut Otoritas resmi Palestina, disebutkan hingga Sabtu 17 Mei 2025 terdapat 153 orang syahid dalam kurun waktu 24 jam. Otoritas melanjutkan, korban tewas sejak 7 Oktober 2023 mencapai 53.272 jiwa rakyat Palestina, ini belum termasuk yang hilang dan luka-luka. Editor : Thamrin Humris Sumber : Saudi Gazette Foto : Istimewa (ilustrasi)

Read More