Filantropi Islam di Era Digital, Mari Jadikan Donasi sebagai Gaya Hidup

Bogor – 1miliarsantri.net : Perkembangan teknologi tidak hanya mengubah cara manusia berkomunikasi, tetapi juga cara mereka berbuat baik. Dalam konteks Islam, muncul kembali istilah yang semakin relevan dengan zaman yaitu filantropi Islam yang menjadikan donasi sebagai gaya hidup. Filantropi Islam adalah bentuk kepedulian sosial yang diatur dalam ajaran agama, dengan tujuan menyeimbangkan distribusi kekayaan dan menumbuhkan kesejahteraan umat. Namun di era digital ini, makna filantropi tidak berhenti pada kegiatan amal tradisional. Ia berkembang menjadi sistem sosial yang lebih terstruktur, transparan, dan berkelanjutan menjembatani kebaikan antara mereka yang mampu dan mereka yang membutuhkan melalui teknologi. Dalam Islam, filantropi merupakan instrumen penting dalam menjaga keadilan sosial. Zakat menjadi kewajiban bagi yang mampu, infak dan sedekah menjadi bentuk kepedulian sukarela, sementara wakaf berfungsi menjaga manfaat jangka panjang bagi masyarakat. Melalui instrumen-instrumen ini, Islam mengajarkan bahwa kekayaan bukan untuk ditimbun, tetapi untuk disalurkan agar menciptakan keseimbangan ekonomi dan mengurangi kesenjangan sosial. Yang menarik, konsep filantropi Islam tidak hanya berbicara tentang memberi, tetapi juga tentang memberdayakan. Artinya, penerima manfaat tidak hanya menerima bantuan, tetapi juga memperoleh kesempatan untuk mandiri. Inilah esensi sosial ekonomi yang menjadi dasar dari setiap gerakan ziswaf  membangun kesejahteraan umat dengan cara yang berkelanjutan. Transformasi Filantropi di Era Digital Era digital menghadirkan perubahan besar pada cara beramal. Kini, filantropi Islam memasuki babak baru dengan kehadiran platform digital seperti aplikasi zakat, dompet donasi online, hingga gerakan crowdfunding yang mengusung nilai kemanusiaan dan keagamaan sekaligus.   Teknologi menjadikan proses berbagi lebih mudah, cepat, dan transparan. Donatur dapat memantau penyaluran dana, lembaga dapat memperluas jangkauan, dan masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam program sosial tanpa terhalang jarak dan waktu. Lebih jauh lagi, digitalisasi juga menumbuhkan kesadaran baru bahwa berbagi kini bukan sekadar tindakan spontan, tetapi bagian dari tanggung jawab sosial yang bisa dilakukan secara konsisten. Setiap klik donasi bukan hanya transaksi keuangan, melainkan bentuk nyata dari semangat tolong-menolong yang dihidupkan kembali dalam konteks modern. Menjadikan Donasi sebagai Gaya Hidup Menjadikan donasi sebagai gaya hidup berarti membawa semangat filantropi ke dalam keseharian. Ia bukan lagi kegiatan insidental saat ada bencana, melainkan kebiasaan sadar yang tumbuh dari rasa empati dan tanggung jawab sosial. Dalam perspektif Islam, gaya hidup ini bukan tren, melainkan manifestasi keimanan dalam bentuk nyata dari rasa syukur atas rezeki yang dimiliki dan keyakinan bahwa memberi tidak akan mengurangi, tetapi justru menambah keberkahan. Ketika generasi muda mulai menjadikan berbagi sebagai bagian dari rutinitas, maka terbentuklah budaya baru: budaya yang menilai keberhasilan bukan dari seberapa banyak yang dimiliki, melainkan dari seberapa besar manfaat yang bisa diberikan. Filantropi bukan lagi urusan lembaga besar, tapi gerakan kolektif masyarakat yang peduli dan sadar akan peran sosialnya. Filantropi Islam menunjukkan bahwa teknologi dan spiritualitas bisa berjalan beriringan. Dunia digital memberikan akses, tapi nilai-nilai ziswaf yang memberikan arah. Dengan menjadikan donasi sebagai bagian dari gaya hidup, kita tidak hanya menolong sesama, tetapi juga membangun peradaban yang lebih adil dan berempati. Kebaikan tidak harus besar untuk bermakna. Kadang, perubahan dimulai dari satu keputusan kecil: untuk memberi, berbagi, dan peduli. Dan dari keputusan itulah lahir peradaban yang berakar pada kasih sayang, keberkahan, dan nilai kemanusiaan yang sejati. Penulis: Salwa Widfa Utami Foto Ilustrasi AI Editor : Iffah Faridatul Hasanah & Toto Budiman baca juga : potensi ziswaf untuk perubahan iklim disini

Read More

Kecerdasan Buatan (AI) Masuk Kurikulum ; Cetak Gen Z yang Memiliki Talenta Digital?

Bekasi – 1miliarsantri.net : Rencana memasukkan kecerdasan buatan (AI) ke dalam kurikulum pendidikan mulai memantik diskusi di berbagai kalangan. Di tengah laju transformasi digital yang kian pesat, langkah ini dinilai strategis untuk membekali generasi muda dengan pemahaman dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan zaman. Namun, muncul pula pertanyaan: sejauh mana kesiapan sekolah, pendidik, dan peserta didik dalam mengadopsi materi berbasis AI? Artikel ini akan mengulas peluang, tantangan, dan dampak potensial dari kebijakan tersebut dalam mencetak generasi yang tangguh menghadapi era digital. Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) telah mengalami perkembangan pesat beberapa tahun terakhir. Dari rumah tangga hingga industrial, AI digunakan untuk berbagai keperluan. Peranan penting teknologi dalam kehidupan mendorong banyak negara mengenalkan pendidikan AI, sepertinya halnya Indonesia yang akan meluncurkan kurikulum AI. Kurikulum AI diwacanakan Kemendikdasmen menyasar peserta didik SD, SMP, SMA/SMK sebagai mata pelajaran pilihan. Rencananya mata pelajaran itu akan direalisasikan pada tahun ajaran 2025/2026. Mengingat pada jenjang pendidikan tersebut masih banyak sekolah yang belum memperkenalkan pendidikan teknologi informasi atau AI. Lantas, apakah kurikulum AI mampu mencetak generasi muda yang siap bersaing di tengah gempuran digitalisasi? Menurut Abbiyu Rafi Eriansyah (22) yang merupakan tenaga pengajar, rencana pemerintah menerapkan kurikulum AI merupakan langkah positif untuk mengenalkan teknologi ke siswa sejak dini. Terlebih mereka akan mendapatkan pengalaman baru mempelajari teknologi. “Kurikulum AI tentunya sangat bermanfaat bagi para siswa, di mana mereka secara tidak langsung bersentuhan dengan teknologi yang canggih. Saya melihat ini seperti jembatan yang dibuat oleh pemerintah agar nantinya siswa berpeluang menciptakan inovasi melalui AI,” kata Rafi saat dihubungi melalui sambungan daring. Ia mengungkapkan saat kurikulum AI terealisasi secara optimal, siswa berpeluang besar menjadi generasi yang dapat bersaing dengan perkembangan teknologi dari dalam maupun luar negeri. Jika menelisik secara jangka panjang, katanya, pendidikan AI menjadi bekal bagi siswa agar bisa mendapatkan pekerjaan di sektor teknologi. Bukan tanpa sebab, banyak perusahaan berlomba menciptakan produk-produk berbasis sistem AI yang memberikan kemudahan bagi konsumen ketika menggunakannya serta memperoleh pengalaman berbeda. “Bagi saya (kurikulum) AI ini strategi yang tepat mengasah keterampilan siswa memanfaatkan teknologi AI. Apalagi anak-anak zaman sekarang lekat banget sama teknologi. Kita bisa lihat sekarang ini  banyak anak-anak menggunakan gawai atau perangkat elektronik lainnya sejak usia dini,” jelasnya. “Jika digunakan hanya untuk menonton video dan bermain game , maka tidak akan berdampak positif. Namun jika pendekatannya lebih edukatif dalam menggunakan gawai dan semacamnya, maka bukan tidak mungkin anak-anak lebih memahami teknologi dibandingkan orangtuanya,” sambungnya. Kurikulum AI, katanya, secara tidak langsung membantu para siswa berpikir secara logis, analitis, dan kritis. Dengan cara pikir seperti ini, siswa akan lebih mudah menemukan jawaban atas suatu masalah. Namun, pemerintah tidak akan bisa mencetak generasi unggul melalui kurikulum AI ketika fasilitas di setiap sekolah belum terpenuhi. Rafi menuturkan fasilitas dan sistem pendidikan di Indonesia perlu dibenahi agar penerapan kurikulum AI berjalan baik dan para siswa mendapatkan pembelajaran dengan maksimal. “Kurikulum ini akan sia-sia jika pemerintah tidak memenuhi fasilitas sekolah lebih dulu terutama perangkat elektronik yang memadai. Kalau fasilitas saja tidak terpenuhi, para siswa tidak akan mendapatkan hasil maksimal dari kurikulum tersebut,” tegasnya. Rafi juga menegaskan pemerintah harus memberikan pendidikan ini secara merata ke seluruh sekolah di Indonesia, khususnya yang berada di kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Ia menginginkan pemerintah tidak terpusat dalam memfasilitasi kebutuhan bahan ajar bagi para siswa. “Perlu digaris bawahi bahwa bukan hanya fasilitas yang dipenuhi, tapi para guru juga harus dibekali pelatihan terkait materi AI, khususnya guru-guru yang ‘gaptek’,” pungkasnya Di sisi lain, bagi siswa, penerapan kurikulum AI cukup dinanti karena ingin mempelajari sesuatu yang baru. Hal itu diungkapkan oleh Muhammad Asadel (15). Baginya jika pendidikan AI telah dilaksanakan, para siswa akan memperoleh ilmu baru sehingga pembelajaran tidak monoton. “Pendidikan AI cukup penting sih karena belajar nggak terkesan itu-itu aja. Manfaatnya juga bisa buat diri sendiri, sekolah, bahkan negara,” kata Asadel, siswa SMA di salah satu Kab. Bekasi. Asadel menginginkan kurikulum AI dilakukan dengan maksimal karena dirinya memiliki ambisi mendalami ilmu teknologi berbasis AI. Ia juga berharap pembelajaran AI lebih sering dilakukan praktik dibandingkan teori. Karena itu, kurikulum AI berpeluang besar mencetak generasi muda agar mampu bersaing di tengah arus transformasi teknologi. Namun, rencana ini harus dibarengi dengan peningkatan fasilitas sekolah berupa lab. komputer atau lainnya sehingga pembelajaran berjalan maksimal. Pemerintah juga tidak boleh melakukan tebang pilih, di mana setiap sekolah di Indonesia mendapatkan hak yang sama. Kontributor : Muhammad Sulthon Sulung Editor : Toto Budiman

Read More

Dari Tribun Ke Timeline! Fenomena Bersosmed Bagi Supporter Bola Mania Di Era Digital

Surabaya – 1miliarsantri.net: Di era digital yang serba cepat ini, semangat mendukung klub sepak bola tak lagi terbatas hanya di stadion. Kini, bersosmed bagi supporter bola mania telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup penggemar sepak bola. Dari unggahan skor pertandingan hingga adu argumen soal siapa yang lebih hebat antara Messi dan Ronaldo, media sosial menjadi tribun virtual yang dipenuhi emosi, kreativitas, bahkan kontroversi. Tapi, apakah bersosmed bagi supporter bola mania hanya sekadar hiburan? Atau justru menjadi kekuatan baru yang mampu membentuk identitas komunitas fans di seluruh dunia? Mari kita telaah lebih dalam bagaimana dunia media sosial telah mengubah wajah dukungan terhadap tim-tim besar seperti Barcelona, Real Madrid, hingga Persija dan Persib yang punya basis fans besar di Indonesia. Peran Media Sosial dalam Mendekatkan Jarak Emosional Supporter Media sosial kini tak sekadar menjadi ruang berbagi, tapi juga tempat mengekspresikan cinta dan loyalitas pada klub sepak bola kesayangan. Bersosmed bagi supporter bola mania telah membuka peluang bagi siapa pun untuk terhubung langsung dengan pemain idola, mengikuti update klub, hingga terlibat dalam kampanye atau diskusi komunitas. Misalnya, penggemar Barcelona di Indonesia bisa mengikuti akun resmi klub dan tahu informasi latihan tim secara real-time. Demikian juga fans Real Madrid bisa menonton highlight pertandingan hanya beberapa menit setelah laga usai. Hal ini menciptakan kedekatan emosional yang sebelumnya sulit dicapai jika hanya mengandalkan media konvensional. Komunitas Supporter yang Aktif dan Solid di Platform Sosial Kehadiran media sosial memperkuat komunitas online para fans. Bersosmed bagi supporter bola mania membuat interaksi antar sesama fans jadi lebih intens dan terorganisir. Bahkan, komunitas virtual ini bisa melahirkan berbagai kegiatan positif di dunia nyata. Contohnya: Tanpa media sosial, diskusi seperti ini hanya terjadi di warung kopi atau stadion. Kini, satu unggahan bisa menjangkau ribuan orang dan memicu reaksi global. Tantangan dan Dampak Negatif Bersosmed bagi Supporter Bola Mania Meskipun punya banyak manfaat, bersosmed bagi supporter bola mania juga membawa tantangan tersendiri. Tidak semua interaksi bersifat positif. Tak jarang muncul gesekan antar fans, saling hina, hingga penyebaran hoaks atau provokasi yang bisa memperkeruh suasana. Dan beberapa risiko nyata yang sering muncul, seperti: Fenomena ini menunjukkan pentingnya etika dalam bersosmed, terutama bagi supporter bola mania yang membawa nama komunitas besar. Tips Bersosmed Bijak untuk Supporter Bola Mania Untuk menjaga suasana positif dan tetap produktif di dunia digital, ada beberapa cara bijak yang bisa diterapkan oleh para supporter sepak bola, seperti: Dengan sikap yang bijak, bersosmed bagi supporter bola mania bisa menjadi media yang membangun, bukan menghancurkan semangat sportivitas. Dan tak bisa disangkal, bersosmed bagi supporter bola mania telah menjadi bagian dari budaya sepak bola modern. Fans kini tak hanya bersorak di tribun, tapi juga aktif bersuara di linimasa. Dari Jakarta hingga Barcelona, dari Bandung hingga Madrid, semangat mendukung klub kini punya ruang baru yang lebih luas, lebih cepat, dan lebih beragam. Namun, penting untuk diingat bahwa semangat sportivitas harus tetap dijaga. Media sosial hanyalah alat, bagaimana kita menggunakannya akan menentukan apakah semangat bola akan semakin bersinar atau justru tercoreng. Maka, bersosmed bagi supporter bola mania seharusnya menjadi ajang untuk menyalurkan cinta terhadap sepak bola dengan cara yang cerdas, santun, dan inspiratif. Fenomena bersosial media bagi supporter bola mania di era digital adalah bukti nyata bagaimana teknologi telah meresap ke dalam setiap aspek kehidupan, termasuk passion terhadap olahraga. Dari euforia merayakan kemenangan hingga tensi “perang opini” di linimasa, media sosial telah menjadi panggung baru bagi ekspresi dukungan, identitas, dan bahkan konflik. Ini bukan hanya sekadar tren, melainkan sebuah evolusi dalam cara penggemar berinteraksi dengan tim kesayangan mereka dan sesama penggemar. Memahami dinamika ini penting agar kita bisa lebih bijak dalam memanfaatkan platform digital, menjaga semangat sportivitas, dan tetap menjadikan sepak bola sebagai pemersatu, bukan pemecah belah.** Penulis : Ainun Maghfiroh Editor : Toto Budiman dan Thamrin Humris

Read More