Pengorbanan dan Perjuangan Nyai Hj. Madichah di wilayah Banten

Jakarta – 1miliarsantri.net : Sejarah kisah perjuangan bangsa Indonesia yang dipelopori oleh kaum perempuan, ternyata sangat menarik untuk diangkat kisah nya, seperti hal nya kisah dua pendekar perempuan Banten, yakni Nyimas Gamparan dan Nyimas Melati. Keduanya adalah dua tokoh yang sangat terkenal di masa itu. Nyimas Gamparan dikenal dalam perang Cikande yang terjadi sekitar 1892 hingga 1830.

Nyimas Gamparan dikenal pejuang yang sangat gigih dalam melawan kolonial Belanda. Sementara Nyimas Melati tak kalah heroiknya dalam melawan Belanda. Ia tercatat dalam sejarah perjuangan sebagai pahlawan perempuan dalam merebut kemerdekaan di wilayah Tangerang.

Di luar dua tokoh pejuang tersebut, ada satu tokoh lainnya dari Cilegon Banten yang patut dijadikan panutan bagi perempuan-perempuan sekarang ini. Ia adalah Nyi Hj. Madichah, seorang ulama yang memiliki ilmu agama yang mumpuni.

Nyi Madichah memiliki nama panjang Nyi Hj. Madichah binti KH. Abdul Latief. Ia adalah salah satu putri KH Abdul Latief dari penikahan istri kedua yakni Nyi Hj. Rahmah binti KH. Anhar. KH. Abdul Latief mendapatkan sokongan moral dan materil dari mertuanya dalam membangun pesantren, tarbiyatul athfal dan majelis taklim.

Sosok Nyi Madichah sangat dikenal di Cilegon karena aktivitasnya memberikan bimbingan melalui majelis taklim ibu-ibu dan pengajaran di madrasah serta pesantren. Kiprah Nyi Madichah dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu kiprah ke dalam dan ke luar.

Kiprah ke dalam adalah aktivitasnya mengasuh 300 santriwati dari pagi hingga malam. Sedangkan kiprah ke luar yaitu kegiatannya dalam mengisi pengajian di berbagai majelis taklim. Nyi Madichah juga mempunyai pemikiran nasionalisme yang kuat.

Pemikirannya tersebut tampak dalam aktivitasnya di Muslimat NU. Namun sulit menemukan jejak pemikiran nasionalisme karena sumber yang terbatas. Sedangkan jejak pemikirannya tentang Islam Nusantara dapat ditelusuri dalam karya-karyanya yang bertulisan Arab dengan bahasa Nusantara.

Dosen tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanudin Banten, Nihayatul Maskuroh dalam artikelnya berjudul “Nyi Hj. Madichah: Ulama Perempuan Cilegon dan Tradisi Maulid Fatimah menyebut Nyi Madichah merupakan ulama perempuan berpengaruh di Banten.

Menurut Maskuroh tak ada catatan secara khusus yang menjelaskan kapan dan di mana Nyi Madichah dilahirkan. Hanya saja terdapat disebutkan bahwa KH Badul Latief menikah dengan Nyi Rahmah sepulang dari perjalanan ibadah haji di Makkah.

KH Abdul Latief berada di Makkah selama 6 tahun dan berada di sana sejak tahun 1912 lalu kembali ke Indonesisa pada 1918. Dalam rentan waktu antara 1918 sampai 1924, KH Abdul Latief memberikan pengajian kepada masyarakat di Cibeber, Cilegon.

Banyak masyarakat yang tertarik untuk mengikuti pengajiannya, bahkan dari masyarakat luar Banten, tapi juga dari daerah luar lain sering mengikuti pengajian nya. Sehingga tahun 1924, KH Abdul Latief mendirikan pesantren atas sumbangan mertuanya. Dari pernikahannya dengan Nyi Rahmah, hanya disebutkan bahwa dikaruniai empat orang anak yakni Nyi Hj. Ma’ajah, Nyi Hj. Madichah, KH. Ahmad Najiullah Latiefie dan KH. Ridwan Abdul Latief.

“Dari penjelasan tersebut, dapat dijelaskan bahwa Nyi Hj. Madichah merupakan putri kedua dari KH. Abdul Latief. Nyi Hj. Madichah lahir 4 tahun kemudian setelah pernikahan kedua orang tuanya pada penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda,” tukas Maskuroh.

Dari data tersebut, Maskuroh memperkirakan Nyi Madichah lahir pada tahun 1922. Menurutnya, pada waktu itu belum banyak masyarakat yang mengenyam pendidikan formal kecuali dari kalangan bangsawan.

Nyi Madichah waktu itu hanya mengenyam pendidikan nonformal yaitu di pesantren orang tuanya. Akibatnya, ia disebutkan tak bisa menulis latin dan hanya bisa menulis tulisan Arab. Ayah Nyi Madichah merupakan sosok yang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangannya.

Mulai dari di pesantren hingga kegiatan majelis taklim, ia mendapatkan ilmu dari ayahnya. Ia selalu ikut kegiatan majelis taklim ayahnya baik di daerah di Cibeber maupun di luar Cibeber. Materi yang diberikan oleh ayahnya tentang pemikiran madzhab as-Syafi’yah yaitu berhaluan dengan ahlusunnah wal jama’ah.

Dari ilmu-ilmu yang didapatkan dari ayahnya tersebut, Nyi Madichah kemudian meneruskan peran ayahnya tersebut baik di madrasah maupun di majelis taklim. Sekitar tahun 1970-an ia telah membina santriwati sekitar 300 orang.

Ia lalu dinikahkan dengan salah satu putra dari murid ayahnya, KH Ahmad Matin, yakni KH Arifudin dari Jombang. Kendati sudah menikah dan sibuk mengurus keluarga, Nyi Madichah tetap tidak meninggalkan aktivitas mengajarnya di pesantren dan di majelis-majelis taklim. (her)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *