Penderitaan KH Ali Alhamidi Semasa Menjadi Tahanan Politik Orde Lama

Jakarta – 1miliarsantri.net : Ketika masa pemerintahan Orde Lama (Orla), terdapat beberapa organisasi kemasyarakatan Islam yang memiliki banyak tokoh ulama ternama, diantaranya Organisasi Persatuan Islam (Persis) yang memiliki banyak ulama produktif. Di antara nama-nama yang cukup masyhur adalah Ustaz A Hassan (1887-1958) dan Syekh Ahmad Surkati (1875-1943).
Dari sekian banyak nya tokoh ternama, ada satu figur lagi yang patut dikenang sebagai ahli prolifik. KH Muhammad Ali Alhamidi, seorang penggerak Persis di Tanah Betawi.
Di sepanjang hayatnya, tokoh yang akrab disapa Kiai Ali Alhamidi Matraman ini telah menghasilkan banyak karya tulis. Di antaranya adalah Jalan Hidup Muslim, Islam dan Perkawinan, Perbaikan Akhlak, Ruhul Mimbar, Adabul Insan fil Islam, Hidayatullah, Manasik Haji, Al-Wahyu wa Al-Qur’an, serta Godaan Sjetan. Menurut Ketua Divisi Kajian Aliran Pemikiran PP Persis Ustaz Artawijaya, kepiawaian tokoh tersebut dalam menulis muncul terutama berkat persahabatannya dengan A Hassan.
Pada masa pemerintahan presiden Sukarno, KH Ali Alhamidi termasuk ulama yang vokal menyuarakan kegelisahan umat Islam. Terlebih lagi, sejak 1960-an Bung Karno cenderung memerintah secara otoriter. Pada saat yang sama, Partai Komunis Indonesia (PKI) kian merapat dan terkesan dilindungi oleh penguasa Orde Lama tersebut.
KH Ali Alhamidi pernah merasakan dinginnya sel penjara. Ia menjadi tahanan politik yang dibelenggu Orde Lama dengan tuduhan yang tidak jelas. Ustaz Artawijaya mengungkapkan, penangkapan atas tokoh Persis itu terjadi karena hasutan kelompok kiri, terutama PKI pada waktu itu.
Nasib yang sama juga terjadi pada tokoh-tokoh Muslim lainnya. Sebut saja, Prof Buya Hamka, yang dituduh ikut merencanakan plot pembunuhan terhadap Bung Karno. Bahkan hingga tumbangnya sang presiden, tudingan itu tidak pernah terbukti, apalagi dibawa ke pengadilan. Pada puncak kekuasaan, Orde Lama memang begitu terpengaruh oleh agitasi kaum komunis.
Dalam hal KH Ali Alhamidi, pemenjaraan terhadapnya begitu janggal. Bukan hanya ketiadaan bukti-bukti yang mendukung penahanan. Antara dirinya dan Bung Karno pun sesungguhnya terjadi hubungan pertemanan yang baik.
Pada era 1950-an, Kiai Ali turut berjuang mengobarkan api revolusi kemerdekaan RI. Ia pun ikut mendampingi Bung Karno dalam rapat-rapat akbar bersama rakyat di Jakarta, semisal pidato presiden tersebut di Lapangan IKADA pada 1957.
“Pak Kiai (Ali Alhamidi) berkawan dengan Bung Sukarno meski akhirnya Bung Karno yang memenjarakannya. Bung Sukarno itu pernah main ke rumah Pak Kiai di Matraman Dalam II Nomor 56,” terang Ustad Artawijaya kepada 1miliarsantri.net, Kamis (25/5/2023).
Seperti halnya Buya Hamka, KH Ali Alhamidi pun tetap produktif menulis di dalam penjara. Bila ulama Minangkabau tersebut menghasilkan karya monumental Tafsir al-Azhar dari dalam rumah tahanan, dai Persis itu menulis beberapa karangan. Salah satunya adalah buku berjudul Godaan Sjetan. Buah penanya itu lahir saat dirinya ditahan di Gedung Departemen Kepolisian, Kebayoran Baru, serta Rindam Condet, Jakarta.
Saat di penjara ini lah Kiai Ali Alhamidi melahirkan sebuah buku berjudul Godaan Sjetan. Menurut Ustaz Artawijaya, buku tersebut adalah salah satu karya Kiai Ali Alhimidi yang terkenal.
“Ini adalah buah karya beliau yang ditulis dari balik ruang tahanan rezim Nasakom. Hanya tiga bulan, buku setebal 230 halaman yang cukup best seller pada masanya ini, ditulis oleh beliau. Sampul buku ini pun sudah beberapa kali mengalami perubahan,” urai Ustad Artawijaya.
Dalam bagian pengantar buku tersebut, Kiai Ali Alhamidu menyampaikan bahwa karya ini disusun dalam kamar tahanan polisi. Dimulai dari tanggal 28 Juni 1962 jam 8 pagi, dan berakhir pada tanggal 1 Agustus 1962 jam 07.00 pagi.
Lebih lanjut, Kiai Ali Alhamidi menceritakan suasana ruang tahanan, tempat buku ini ditulis.
“Di dalam kamar tahanan polisi, di Departemen Kepolisian Kebayoran Baru, Jakarta, seluas kira-kira tiga meter persegi lebih, disinari lampu listrik yang cukup terang, diperlengkapi dengan kakus dan bak mandi yang bersih serta selalu tersedia air, dan satu dipan tempat tidur,” tulisnya.
“Di dalam kamar yang sederhana itu, dan mendapat penjagaan yang cukup kuat, tidak bisa bertemu anak isteri dan kawan sahabat, sehingga waktu saya tidak tertanggu, maka dengan memohonkan perlindungan dan permohonan kepada Allah SWT, mulailah saya mengarang.”
Kiai Ali Alhamidi mengatakan, “Saya ditahan karena fitnah, bukan karena bersalah. Lamanya tiga bulan sepuluh hari, atau seratus hari.”
Selain Kiai Ali Alhamidi, Ustaz Artawijaya juga menyebut kehebatan tokoh Masyumi lainnya, Buya Hamka. Peraih doktor honoris causa dari Universitas al-Azhar Mesir itu juga melahirkan karya besar dari dalam tahanan rezim Nasakom,yakni Tafsir Al-Azhar.
Selain aktif di Persis, Kiai Ali Alhamidi juga ikut menjadi aktivis Partai Masyumi dan banyak menulis artikel di Suara Masjumi. Semasa hidupnya, ia juga terlibat dan aktif dalam kegiatan dakwah di Masjid Said Naum Tanah Abang, Petojo, Pedurenan, Pos Pengumben, dan di Masjid Jami’ Matraman. Sang tokoh wafat pada 22 Agustus 1985. Jenazahnya dikebumikan di Kompleks Permakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Pusat. (Zak)