Napak Tilas Pesantren di Selatan Jawa

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Didunia Pesantren, hubungan antara murid (santri) dan guru (kiai) itu bukan perkara sepele. Dan, manfaatnya bukan hanya untuk pribadi masing-masing, tapi berpengaruh pada masyarakat secara keseluruhan.

Bisa dibayangkan betapa rumitnya hubungan antar pesantren atau jaringan ulama, secara khusus dalam hal ini adalah wilayah selatan Jawa (sebagian wilayah Mataram/Jawa Pedalaman). Di sana ada pertalian sosial yang rumit, ada hubungan darah, perkawinan, transfer keilmuan, politik, hingga hubungan yang sifatnya spiritual melalui laku ajaran tarikat.

Bahkan jaminan ikatan jaringan ulama itu sangat kuat, yakni tidak hanya dirangkai ketika mereka hidup di atas dunia, namun diyakini jalinan ini dibawa sampai alam akhirat. Sedangkan bila terus dirunut ke mana ujung awal ajarannya, maka rujukannya sampai ke Rasullah SAW.

Memang setelah melakukan ‘blusukan’ langsung ke berbagai pesantren, untuk menuliskan jaringan ulama yang ada di selatan Jawa ini bukan perkara yang mudah. Apalagi, banyak sumber yang ada di literatur sudah tak bisa dikenali. Ketika mengunjungi berbagai pesantren yang bisa dikatakan berumur tua dan penting, para pengasuh pesantrennya mengaku sudah tak paham lagi detail sejarahnya.

”Pesantren kami berdiri bersamaan dengan pendirian Keraton Solo, yakni saat ‘palihan negari’ (Pembelahan kekuasaan Kerajaan Mataram menjadi Solo dan Yogyakarta tahun 1755). Alumni santri kami sudah tak terhitung lagi dan menyebar ke mana-mana,” kata Suntoro, pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, Solo (Surakarta) kepada 1miliarsantri.net

Adanya kerumitan di dalam mengkaji jaringan ulama di wilayah Selatan Jawa ini diakui pakar sejarah politik Islam Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, DR Hermanu Joebagio. Hal ini karena jaringannya sudah begitu saling memintal serta bersilangan layaknya rajutan tentunan benang yang sudah menjadi selembar kain. Sepintas kesan dari luar, seolah-olah jaringan ulama itu sudah tak ada lagi.

Menurut Hermanu, bila ditelisik lebih dalam, di sana akan segera terlihat bahwa ‘pohon’ jaringan ulama di wilayah itu akhirnya akan terkait dengan pesantren yang didirikan Sunan Giri, di Prapen, Gresik (Jawa Timur), pada abad ke 15 M. Namun, selain terpengaruh pesantren Sunan Giri, jaringan ulama di selatan Jawa juga terkait dengan jaringan ulama yang berasal dari Demak, Makassar (Sulawesi Selatan), Sumatra, Cirebon, hingga berbagai pesantren di Jawa Timur, seperti Pacitan dan Jombang.

Bukan hanya itu, di dalam jaringan itu juga sudah dari dulu terkoneksi dengan jaringan ulama internasional, seperti dari Yaman, Arab Saudi, Mesir, Maroko, Sudan, India, dan Campa. Ini bisa dimengerti karena usia jaringan ini melampaui banyak zaman karena sudah terpintal semenjak abad ke-15 M itu. Salah satu buktinya adalah dengan mengacu pada prasasti pendirian Pesantren Al Kahfi di Somalangu di Kebumen yang berdiri pada 4 Januari 1475 M.

”Jadi, menurut saya, asal jaringan ulama di Jawa itu berasal dari ‘satu pohon’, yakni bermula dari Maulana Malik Ibrahim (Sunan Giri) yang berada di Jawa Timur itu. Jadi, asal usul pemikiran pesantren berasal dari sana,” tutur Hermanu menegaskan.

Menurut Hermanu, Islam masuk ke Indonesia itu ada dalam dua versi. Pertama, versi Islam yang masuk ke Sumatra, dan satu versi lainnya masuk dari Campa ke Jawa. Sedangkan, khusus Islam yang berada di wilayah selatan Jawa tersebut kemudian mempunyai mempunyai tiga kultur, yakni kultur Arab, Cina, dan Jawa.

”Tiga kultur ini menjadi satu kesatuan dalam kehidupan masyarakat yang ada di selatan Jawa itu. Inilah yang harus dipahami dulu karena memang ada perbedaan masyarakat Jawa yang tinggal di pantai utara dan selatan tersebut,” ujarnya seraya menyatakan bila ciri masyarakat di pesisir utara Jawa itu mempunyai ciri egalitarian dan kosmopolitan, sedangkan yang di pesisir selatan Jawa berciri tertutup dan feodal.

Ditegaskan Hermanu, fakta yang selama ini belum banyak diketahui secara luas oleh publik adalah mengenai melalui jalur apa Islam bisa merembes begitu luas di wilayah selatan Jawa itu. Tampaknya tak hanya berkat usaha keras dan sabar dari para ulama, serta berkat ikatan jaringan tarikat, maupun disolidkan dengan jaringan kawin mawin antarkeluarga ulama serta santrinya, peran jalur perdagangan melalui Sungai Bengawan Solo yang memanjang dari Surabaya hingga Surakarta jelas tak bisa diabaikan.

”Harap diketahui sepanjang Sungai Bengawan Solo itu dari zaman dahulu tersebar begitu banyak pesantren. Pusat Kerajaan Mataram yang berada di pedalaman Jawa dihubungkan dengan sungai itu. Selama masih aktif dilayari dari Surabaya ke Solo itu ada 40 tempat persinggahan pedagang (bandar). Bandar terakhirnya itu berada di Mojo (pinggiran Solo) yang merupakan kampung komunitas keturunan Arab,” kata Hermanu.

Peran ulama dan pesantren yang ada di pinggiran sungai itu makin penting ketika para penguasa Kerajaan Mataram juga ikut belajar agama Islam di tempat itu. Bahkan, kerap kemudian terjadi hubungan yang sangat erat antara dunia pesantren dan kerajaan.

”Harap diketahui Paku Buwono IV adalah raja yang pernah belajar di sebuah pesantren yang letaknya tak jauh dari Bengawan Solo. Dia bahkan dikenal sebagai raja Jawa yang sangat santri. Setiap Jumat pergi ke masjid dan di setiap harinya, ia selalu memakai baju jubah berwarna putih. Kesantrian ini kemudian dilanjutkan oleh Raja Paku Buwono VI, IX, dan X.Bahkan, Paku Buwono X malah dikenal raja yang sangat melindungi pergerakan Sarekat Islam,” ujar Hermanu.

Namun, memang sewaktu era sebelumnya, yakni Sunan Amangkurat I dan II, hubungan ulama dengan kerajaan sempat memercikkan masalah. Saat itu, antara ulama dan Raja Amangkurat I (Raden Mas Sayidin) malah terlibat perbedaan pendapat serius soal suksesi kekuasaan. Para ulama dianggap membangkang kepada raja dan kemudian banyak di antara mereka beserta anggota keluarganya (konon sampai 5.000 orang) dihabisi nyawanya.

”Para ulama yang selamat menyingkir dari pusat kerajaan. Mereka memang banyak pergi ke arah selatan dan barat, seperti Kedu, Banyumas, dan Cilacap. Di sana mereka mendirikan pesantren baru. Jadi, meski para ulama ini dihabisi, jaringan mereka secara diam-diam terus bergerak. Jaringan ini semakin solid dan kemudian muncul kembali dalam perlawanan Pangeran Diponegoro. Jaringan itu terus ada sampai sekarang,” katanya.

Sisa jaringan ulama itu masih bisa teraba sekarang ketika mengunjungi Pesantren Somalangu, Desa Sumber Adi, di Kebumen, yang terkait dengan Kesultanan Demak dan Mataram. Bahkan karena berusia sangat tua, hampir 600 tahun, pesantren Somalangu yang didirikan Syekh Abdul Kahfi al-Hasani (ulama berasal dari Yaman yang datang ke Jawa sekitar tahun 1475 M) ternyata punya ikatan yang kuat dengan banyak pesantren yang kemudian muncul di wilayah Banyumas dan Cilacap.

Pada kenyataan lain, kuatnya ikatan jaringan ulama di wilayah ini yang sama juga terasa ketika mengunjungi pesantren di Leler Banyumas, Kesugihan Cilacap, hingga pesantren di Banyumas Barat-Utara. Namun, khusus di Banyumas Utara, di sana terasa ada peran dari jaringan ulama Kesultanan Cirebon dan Demak. Belakangan ikatan jaringan ulama di pantai utara Jawa, seperti Jepara dan Rembang, juga ikut andil di dalamnya.

Luas dan liatnya jaringan ulama di wilayah selatan Jawa itu kini pun tecermin dengan sangat jelas ketika melihat jumlah pesantren yang kini eksis yang ternyata mencapai 1.039 buah.

Data dari Kementerian Agama diketahui di Cilacap ada 133 pesantren, Banyumas (22 pesantren), Purbalingga (57 pesantren), Banjar Negara (98 pesantren), Kebumen (67 pesantren), Purworejo (91 pesantren), Wonosobo (148 pesantren), Magelang (126 pesantren), Boyolali (77 pesantren), Klaten (30 pesantren), Sukoharjo (27 pesantren), Wonogiri (21 pesantren), Karanganyar (24 pesantren), dan Sragen 68 pesantren.

”(Namun) Sampai kini di wilayah selatan Jawa itu saya melihat Islam sebagai kekuatan yang tidak diberdayakan oleh negara. Bahkan, kerap dimusuhi seperti di zaman Soeharto yang lebih memilih mengakomdasi kekuatan militer dan Cina daripada menggandeng mereka,” pungkas Hermanu. (tho)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *