Mimbar Rasulullah di Masjid Nabawi yang Selalu Dirindukan

Surabaya – 1miliarsantri.net : Awal tahun lalu ketika mengunjungi Raudhah tidak semudah dibayangkan. Telat beberapa menit saja, sudah tidak bisa masuk. Sesak sekali ketika gagal masuk, rasanya patah hati seperti ditolak masuk oleh Nabi Muhammad SAW.
Tapi sekalinya masuk pertama kali di Raudhah, tumpah semua air mata dan suara hati yang selama ini terpendam.
Hanya 15 menit, shalat dan berdoa begitu mendamaikan. Apalagi dengan mata terpejam, terasa ada bayangan sosok mulia yang hadir menyapa dan mendengarkan keluh kesah.
Rasanya nggak mau ini berakhir. Tapi askar sudah berteriak menyuruh keluar. Keluar dari Raudhah saja, sudah rindu ingin kembali.
Bukan hanya Raudhah yang membuat hati tak ingin beranjak, tetapi Mimbar Rasulullah yang ada di dekatnya.
Mimbar itu bukan hanya struktur kayu, ia adalah simbol cinta, perjuangan, dan pengajaran dakwah nabi Muhammad yang Rahmatan Lil Alamin.
“Antara rumahku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Awal Sejarah Pembangunan Mimbar
Pada masa awal hijrah, Rasulullah belum memiliki mimbar. Ketika khutbah, beliau biasa bersandar pada batang kayu kurma yang telah ditancapkan ke tanah.
Suatu ketika terjadi perubahan fisik Nabi, hal itu mendorong Tamim Ad-Dari untuk membuat mimbar Rasulullah dengan dua anak tangga saja.
Di lain sisi dakwah nabi Muhammad yang menyejukkan dan mencerahkan telah menarik banyak perhatian jamaah muslim bahkan mualaf. Mereka berbondong ke Masjid Nabawi untuk menyimak khutbah Nabi.
Mimbar yang sudah ada kurang cukup menjangkau jemaah yang melimpah. Nabi berniat untuk membuat mimbar lebih tinggi.

Dikisahkan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi bahwa nabi Muhammad meminta tolong kepada para sahabat untuk menyampaikan amanahnya kepada budak perempuan dari kaum Anshar agar membuat mimbar dengan tiga anak tangga.
Dalam prosesnya, mimbar rasulullah dibuat dengan kayu dari Tharfa’ Al Ghabah Madinah. Mimbar itulah yang pertama kali digunakan pada tahun 8 hijriah hingga akhir hayatnya.
Semenjak Nabi Muhammad menggunakan mimbar bertingkat itu, ada batang kurma yang menangis (sebelumnya dijadikan sandaran nabi ketika khutbah). Peristiwa itu yang membuat jamaah terkejut mendengarnya.
Rasulullah pun langsung turun dari mimbar dan memeluk batang kurma sembari berpesan, “Jika aku tidak mendekapnya, ia akan terus menangis hingga hari kiamat.”, sebuah kisah yang ada dalam Shahih Ibnu Majah.
Batang kurma saja menangis ketika tak lagi dijadikan sandaran Nabi Muhammad, apalagi kita umatnya yang selalu dibimbing walau beliau sudah tiada melalui ajaran Islam.
Fungsi Mimbar Nabi dalam Dakwah
Mimbar Rasul tidak hanya menjadi tempat khutbah Jumat. Ia juga menjadi pusat komunikasi kenabian.
Melalui mimbar, Rasul menjawab pertanyaan umat, menyampaikan wahyu yang turun, dan merencanakan pembangunan masyarakat.
Di mimbar ini merupakan simbol kepemimpinan agama dan pemerintahan yang saling beriringan. Fungsi mimbar inilah yang kemudian dilanjutkan oleh para khulafa ar-rasyidin setelah Rasul wafat.
Mimbar yang menjadi saksi perjalanan dakwah Islam, disinilah tempat yang penuh berkah karena mimbar ini terekam semua suara Nabi Muhammad yang menyentuh hati, membakar semangat untuk senantiasa menjadi umat yang berakhlak, berilmu dan bermanfaat.
Mengunjunginya dapat membayangkan bagaimana orang-orang sholeh terdahulu berkumpul, bersatu demi tujuan mulia, rasanya ingin kembali ke masa Nabi Muhammad, menjadi salah satu jamaahnya.
Lokasi Mimbar Nabi Muhammad SAW
Ketika mengunjungi Raudhah akan terlihat sebuah tempat yang tinggi, disitulah mimbar rasulullah berdiri tepat di bagian barat Raudhah.
Mimbar itu memiliki ketinggian sekitar 5 meter. Di bagian pintu masuk mimbar ada tertulis kalimat tauhid, “La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah.”
Tempat Nabi Muhammad berkhotbah ini memiliki 2 anak tangga dengan lapisan karpet, pintu kayu dan pagar berlapis emas.

Perkembangan Mimbar di Masjid Nabawi
Setelah berpulangnya Nabi Muhammad, mimbar di Masjid Nabawi tetap dilestarikan oleh para khalifah: Abu Bakar, Umar dan Utsman dengan sedikit perubahan.
Pada masa Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan dari Dinasti Umayyah, mimbar yang tadinya hanya 2 anak tangga kemudian dibangun dengan 6 tangga yang mudah dipindah dan ada tempat duduknya.
Kemudian masa Abbasiyah dan Mamluk, mimbar dibuat indah dengan menghias ukiran yang lebih indah tanpa mengganti nilai simboliknya.
Selanjutnya pada masa Utsmaniyah (Ottoman) mulai ada pergantian bahan pada mimbar. Mimbar diganti dengan marmer dan dihias ukuran islami tapi tidak menghilangkan bentuk asli mimbar.
Dan pada masa para raja Saudi ini mimbar yang digunakan di Masjid Nabawi merupakan replikasi bentuk asli dengan desain yang modern. Sedangkan mimbar asli Nabi Muhammad disimpan sebagai bangunan bersejarah dan sakral.
Merindukan Mimbar dan Keteladanannya
Ziarah ke Masjid Nabawi tidak lengkap tanpa berdoa di Raudhah dan menatap mimbar Rasulullah.
Di sanalah terasa betapa Islam dibangun dengan cinta, ilmu, dan amanah. Mimbar itu mungkin tak lagi digunakan oleh Nabi, tapi suaranya masih menggema dalam hati yang rindu dakwah penuh kelembutan.
Mari kita terus menjadikan mimbar Rasul sebagai inspirasi dalam tutur, sikap, dakwah, dan hidup kita sehari-hari.(***)
Referensi
- https://share.google/SCd4DTpReQYTTcftD
- https://share.google/i49OAsP2dfrJ65vQF
- https://share.google/1cdBjcD6uJFIBdIQQ
- https://share.google/mcI2VLoJjfgB8zllZ
Penulis : Iftitah Rahmawati
Foto Ilustrasi AI
Editor : Toto Budiman, Iffah Faridatul Hasanah
Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.