Mengenal Sosok Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Khalidi, Kakek Proklamator Mohammad Hatta

Jakarta — 1miliarsantri.net : Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Khalidi lahir pada 1783 M di Desa (Nagari) Batuhampar–kini bagian dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatra Barat. Ada pula yang menyebut, tahun kelahirannya ialah 1777 M. Sang alim wafat pada 23 Oktober 1899.

Seperti tampak pada gelarnya, tokoh tersebut merupakan seorang pemimpin aliran tarekat, tepatnya Naqsyabandiyyah Khalidiyah. Dalam sejarah, namanya juga dicatat sebagai kakek sang proklamator RI, Mohammad Hatta.

Maulana Syekh Abdurrahman al-Khalidi merupakan anak tunggal dari pasangan Abdullah alias Rajo Intan dan Ibu Tuo Tungga. Menurut Mansur Malik dalam buku Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat (1981), sejak kecil Abdurrahman sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan.

Abdurrahman muda mengadakan rihlah intelektual ke berbagai kota pusat keagamaan Islam; mulai dari daerah Minangkabau hingga Aceh Darussalam. Bahkan, dirinya pun pernah belajar di Makkah al-Mukarramah, Jazirah Arab.

Abdurrahman pertama kali berpamitan kepada ibundanya untuk pergi menuntut ilmu saat berusia 15 tahun. Setelah mendapat restu dari sang ibu, ia pun berangkat ke Batusangkar untuk belajar kepada Syekh Galogandang. Bekal yang ia bawa saat itu hanya berupa sedikit beras, uang sepiak, dan satu mushaf Alquran.

Setelah bertahun-tahun belajar kepada Syekh Galogandang, Abdurrahman kemudian pamit, untuk menuju Tapak Tuan, Aceh. Dirinya hendak berguru kepada Syekh Abdurrauf Singkil.

Usai delapan tahun belajar kepada Syekh Abdurrauf, pemuda ini memulai perjalanan haji. Kemudian, ia berguru pada sejumlah masyayikh termuka di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW. Hingga tujuh tahun lamanya, putra daerah Batuhampar tersebut menuntut ilmu di Tanah Suci.

Bila ditotal, 48 tahun lamanya Syekh Abdurrahman belajar dari satu guru ke guru lainnya. Usai nyaris setengah abad menghabiskan usia dalam tholabul ‘ilmi, ia akhirnya pulang ke kampung halaman. Kala itu, umurnya mencapai 63 tahun.

Satu hal yang merisaukannya, masyarakat Batuhampar saat itu masih jauh dari akhlak Islam. Banyak warga setempat yang sering bermaksiat secara terang-terangan.

Sebagai seorang alim, hatinya tergerak untuk membina umat. Dalam berdakwah, Syekh Abdurrahman melakukan pendekatan secara bertahap. Sikap ramah dan pemurah menjadi langkah awal baginya untuk mendekati masyarakat.

Syekh Abdurrahman menjalankan misi dakwahnya dengan lembut. Syiar Islam disampaikannya dengan sopan santun. Alhasil, orang-orang yang diajaknya untuk berbuat baik tak merasa sedang dihakimi.

Dalam tulisannya yang berjudul “Dakwah Kelembutan Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Khalidi Batuhampar”, Apria Putra menuturkan sebuah kisah. Pernah suatu ketika, ada segerombolan pemuda datang kepada Syekh Abdurrahman. Mereka membawa beberapa ayam aduan. Kepada sang alim, mereka meminta doa agar ayam-ayam itu nantinya menang di gelanggang.

Bukannya marah, Syekh Abdurrahman justru hanya tersenyum. Dengan ramah, ia menerima kedatangan mereka. Mulailah dipegang ayam-ayam itu. Lisannya tampak menggumamkan sesuatu. Namun, doa yang dirapalkan Syekh Abdurrahman sejatinya adalah munajat kepada Allah SWT, agar para pemuda tersebut diberikan hidayah.

Setelah didoakan, ayam-ayam itu diserahkan kepada mereka. Amatlah gembira orang-orang itu. Sesampainya di arena aduan, ayam yang telah “didoakan” itu ternyata menang.

Anak-anak muda ini semakin percaya dan hormat kepada Syekh Abdurrahman. Rasa respek itu menimbulkan kedekatan. Dan, lambat laun, hari demi hari perangai mereka berubah menjadi lebih baik. Kebiasaan sabung ayam ditinggalkannya sama sekali.

Untuk kepentingan syiar Islam, Syekh Abdurrahman mendirikan kompleks pendidikan tradisional Islam. Kalau di Jawa, lembaga demikian disebut sebagai pesantren. Namun, orang-orang Sumatra Barat menamakannya surau.

Pembangunan surau itu sangat didukung masyarakat Nagari Batuhampar. Mereka bergotong royong untuk mewujudkannya.

Rumah-rumah penduduk menjadi ramai karena diinapi santri Syekh Abdurrahman. Karena sudah tak muat di rumah penduduk, sang alim pun memperluas kompleks surau itu. Kawasan ini perlahan namun pasti menyerupai sebuah desa baru, yang akhirnya dinamakan Kampung Dagang (kampung para perantau; perantau penuntut ilmu).

Kampung Dagang memiliki fasilitas yakni surau gadang (masjid utama). Di depannya, terdapat kolam ikan. Kemudian, di sekitarnya sebuah rumah gadang didirikan. Pada sekeliling surau dan rumah gadang itu, ada surau-surau kecil yang umumnya bertingkat dua. Jumlahnya mencapai 30 unit.

Puluhan surau kecil itu menjadi tempat tinggal anak-anak muda yang menuntut ilmu pada Syekh Abdurrahman. Mereka disebut sebagai orang siak–sepadan dengan sebutan santri. Mereka tidak dimintai biaya. Menurut Mansur Malik, jumlah murid yang belajar pada Syekh Abdurrahman mencapai dua ribu orang.

Dalam buku Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Prof Azyumardi Azra menjelaskan, sistem yang dibangun Syekh Abdurrahman merupakan surau besar. Secara garis besar, metode pengajaran yang diterapkan di sana tak ubahnya kebanyakan pesantren di Jawa. (yan)

Baca juga :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *