Kisah Arungbinang dan Cikal Bakal Menjadi Kota Kebumen

Kebumen — 1miliarsantri.net : Kisah Arungbinang di Kebumen ini dikutip Nusantara62 dari buku Cerita Rakyat Jawa Tengah, yang diterbitkan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (2013).

Berikut Kisah Arungbinang di Kebumen, Cerita Rakyat Jawa Tengah:

Di wilayah Kebumen, nama Tumenggung Arungbinang menjadi tokoh yang melegenda. Tumenggung Arungbinang adalah cikal bakal bupati Kebumen yang memerintah secara turun temurun.

Setelah meninggalnya Sultan Agung Hanyokrokusumo di tahun 1645, kekuasaan Mataram diserahkan kepada Sunan Amangkurat I. Sunan Amangkurat I bersifat otoriter, keras kepada siapa saja yang menentangnya. Keadaan ini menjadikan Mataram tidak menentu.

Melihat kondisi kerajaan yang tidak menentu, para pemimpin Mataram, termasuk dewan penasihatnya, berjalan sendiri-sendiri.

Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan kebijakan raja. Kelompok yang setuju hidup dengan nyaman tinggal di wilayah kerajaan. Kelompok yang tidak setuju, sebagian berdiam diri dan lainnya menyingkir ke luar kota supaya terhindar dari hukuman.

Salah satu anggota dewan penasihat yang menyingkir adalah Pangeran Bumidirjo yang merupakan salah satu adik Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Pangeran Bumidirjo pergi ke arah barat. Tujuannya untuk menghindari pengejaran dan penangkapan petugas kerajaan.

Salah satu caranya adalah dengan melepaskan seluruh jabatan dan pakaian kerajaan serta mengganti nama dirinya dengan sebutan Ki Bumi.

Perjalanan Ki Bumi sampai ke wilayah Panjer yang saat itu dipimpin oleh Ki Gede Panjer II. Oleh Ki Gede Panjer II, ia diberi tanah di sebelah utara Sungai Luk Ulo untuk dijadikan tempat tinggal.

Kepergian Pangeran Bumidirjo diketahui oleh Sunan Amangkurat I. la lalu mengirim utusan untuk mencari Pangeran Bumidirjo dengan tugas membawanya kembali ke Mataram.

Perjalanan utusan itu sampai ke wilayah Panjer. Mereka menyebar orang untuk mencari informasi keberadaan Pangeran Bumidirjo. Akhirnya salah satu dari mereka pun menemukannya di wilayah Panjer.

“Maafkan kami, Pangeran, Sunan Amangkurat menghendaki Pangeran kembali ke Mataram,” kata utusan tersebut.

“Engkau pasti tahu, Prajurit. Aku tidak mungkin kembali ke Mataram selama Sunan Amangkurat masih bersikap sewenang- wenang” jawab Pangeran Bumidirjo atau Ki Bumi tegas.

“Tetapi kami harus membawa Pangeran pulang” kata utusan itu lagi.

“Pulanglah kalian! Sia-sia kalian membujukku kembali ke Mataram. Aku tidak mungkin kembali,” ucap Pangeran Bumidirjo.

Utusan itu semakin bingung. Di satu sisi, sebenarnya ia sangat menghormati Pangeran Bumidirjo, namun di sisi lain ia juga takut dengan hukuman Sunan Amangkurat I jika pulang tanpa membawa hasil.

Akhirnya karena takut dihukum mati, utusan tersebut memilih tidak kembali ke Mataram. la kemudian menjadi pengikut Pangeran Bumidirjo atau Ki Bumi.

Karena sudah diketahui keberadaannya, Ki Bumi dan pengikutnya pindah ke arah timur dan sampai di Lerep.

Sepeninggal Ki Bumi, pimpinan di daerah itu diserahkan kepada pembantu setianya, yaitu Diporejo, Basek, Tromo, Taman, Banar, Mangun, dan Ketug.

Diporejo tinggal di rumah Ki Bumi, sedangkan yang lainnya tersebar di sekitarnya. Bekas tempat tinggal Ki Bumi dinamakan Kabumian.

Awalan ka- dan akhiran -an itu dalam bahasa Jawa berarti tempat. Dengan demikian, kata kabumian berarti tempat Ki Bumi.

Selanjutnya, Kabumian dalam lidah Jawa disebut Kabumen, atau Kebumen.

Tempat tinggal Basek menjadi Kebasekan.

Tempat tinggal Tromo menjadi Ketraman.

Tempat tinggal Taman menjadi Ketamanan.

Tempat tinggal Ba- nar menjadi Kebanaran.

Tempat tinggal Mangun menjadi Ke- mangunan.

Demikian pula tempat tinggal Ketug menjadi Ke- tugan.

Sementara itu, dari Lerep Ki Bumi pindah ke Desa Lundong. Di desa ini ia tinggal sampai akhir hayatnya. Jenazahnya dimakamkan di Desa Lundong, Kecamatan Kutowinangun.

Ki Bumi sendiri memiliki anak bernama Kyai Gusti, Nyai Ageng, dan Kyai Bekel. Kedudukan Ki Bumi digantikan oleh Kyai Bekel.

Selanjutnya, Kyai Bekel berputra Kyai Ragil. Kyai Ragil berputra Ki Hanggayuda. Ki Hanggayuda ini menjadi demang di Kutowinangun.

Anak Ki Bumi yang lain, yaitu Nyal Ageng kawin dengan Demang Wernagaya dari Wawar dan melahirkan dua orang putri.

Putri yang pertama menjadi istri Demang Hanggayuda.

Sefangkan Putri yang kedua menjadi istri Pangeran Puger dari Mataram.

Dari perkawinan putri Nyai Ageng dengan Pangeran Puger itu lahirlah seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Jaka Sangkrib yang semasa kecil nya diasuh oleh Demang Hanggayuda.

Akan tetapi, karena memiliki penyakit kulit, Jaka Sangkrib dikucilkan oleh saudara-saudaranya. Akibat perlakuan itu, Jaka Sangkrib mengembara untuk menyembuhkan penyakitnya.

Setelah mengalami berbagai peristiwa dan bertapa di perut kerbau serta mandi air Bejl Kuwarasan, ia sembuh dari penyakitnya.

Setelah sembuh, Jaka Sangkrib melanjutkan pengembaraannya. la mengunjungi Gua Menganti, Karangbolong, Pantai Brecong, dan menyusuri pantal selatan untuk menambah ilmu kesaktiannya.

Pengembaraan itu berakhir saat bertemu dengan ibunya di Kademangan Wawar. Jaka Sangkrib kemudian membantu memadamkan pemberontakan Demang Pekacangan terhadap Demang Hanggayuda di Kutowinangun.

Beberapa saat kemudian, Jaka Sangkrib mengembara kembali dengan tujuan masuk ke istana Mataram. Pada waktu bertapa di Gunung Bulupitu, Jaka Sangkrib bertemu dengan Dewi Nawangwulan.

Dewi Nawangwulan bersedia membantunya untuk bertemu dengan ayahnya di Mataram. Saat itu Pangeran Puger sudah menjadi raja di Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwana I.

Dewi Nawangwulan memberi cara kepada Jaka Sangkrib, yaitu dengan mencegat petugas pembawa upeti yang akan ke istana Mataram.

Jaka Sangkrib juga berganti nama menjadi Surawijaya. Usaha ini berhasil melancarkan perjalanannya ke istana Mataram.

Sebelum diakui sebagai keluarga istana, Surawijaya diminta memadamkan pemberontakan di Banyumas.

Setelah berhasil memadamkan pemberontakan itu, Jaka Sangkrib atau Surawijaya diangkat menjadi Mantri Gradag dengan gelar Hangabehi Hanggawangsa.

Selanjutnya, Hangabehi Hanggawangsa diberi gelar Tumenggung Arungbinang. Tumenggung Arungbinang memiliki jasa yang besar, salah satunya mencari tempat untuk memindahkan istana Mataram dari Kartasura.

Sesuai dengan perhitungan, Tumenggung Arungbinang menetapkan Solo sebagai ibu kota yang baru.

Dinasti Arungbinang berlangsung dalam delapan turunan. Arungbinang I dan Arungbinang II menjadi bupati Sewunumbakanyar di Surakarta.

Arungbinang III menjabat bupati Gunung di Kutowinangun. Arungbinang IV-VIII menjadi Bupati Kebumen.(hen)

Baca juga :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *