Kedekatan Raja Mataram Dengan Generasi Utsmani Turki Serta Keinginan Pangeran Diponegoro Meninggal di Makkah

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Meski Pemilihan Presiden (Pilpres) masih delapan bulan mendatang, nama Pangeran Diponegoro ramai disebut-sebut. Prabowo Subianto ketika memaparkan visi dan misinya di depan para wali kota se-Indonesia di Makassar menyatakan akan memindahkan makam Pangeran Diponegoro ke Jawa.
Sontak pernyataan ini memicu banyak komentar. Sayangnya, komentar yang keluar negatif. Baik masyarakat di Makassar dan para anak keturunan Pangeran Diponegoro yang ada di Yogyakarta menolak keras.
Raja Ngayogyakarto Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X tegas menolak wacana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang ingin memindahkan makam pahlawan nasional Pangeran Diponegoro dari Makassar kembali ke kampung halamannya di Yogyakarta.
“Kalau saya enggak usah, Pangeran Diponegoro di sana [Makassar] juga dihargai oleh masyarakat,” ujar Sultan di Yogyakarta, Minggu (16/07/2023).
Sultan menilai warga Makassar pun menjaga sekaligus menghormati keberadaan makam sosok pahlawan dengan nama asli Bendara Raden Mas Antawirya. Oleh karena itu, menurut Sultan, wacana pemindahan itu tak perlu dilaksanakan.
Melihat itu tampaknya usulan pemindahan makam Diponegoro akan mentok. Publik lebih menyukai sekaligus bangga bila Pangeran Diponegoro di makamkam di Makssar. Apalagi anak cucu dan keturunan nya pun sampai kini banyak tetap berada di tempat itu. Mereka bangga dan menjaga makam leluhurnya yang sangat dihormati. Meminjam istilah pangeran Diponegoro itu sebagai ‘takdir’.
Perlu diketahui pula, sosok Pangeran Diponegoro muncul sebagai semangat perjuangan politik kemerdekaan itu selepas 50 tahun dari wafatnya di Makasar pada tahun 1850. Diponegoro ‘bangkit dari kuburnya’ setelah Sarikat Islam menggaungkan nama dan jasa perjuangannya dalam setiap rapat-rapatnya. Mulai saat itu poster Pangeran Dipoengoro tersebar luas. Rakyat yang sebelumnya hanya tahu dari mulut kemulut, kini dapat mengetahui sosok Pangeran Diponegoro secara lebih jelas. Pangeran Diponegoro bukan lagi nama khayali. Tapi nyata dan ada!
Bila dibaca pada serat ‘Babad Diponegoro’ yang ditulis sang pangeran sendiri, dia tak secara jelas menunjuk tempat dia dimakamkan kelak bila tutup usia. Dalam buku ‘Kuasa Ramalan’ karya sejarawan Inggris Peter Carey, obsesi masa tua Pangeran Diponegoro adalah mengakhiri hidupnya di Makkah. Yang paling unik adalah kebiasannya meminum Air Zamzam.
Pada bagian itu jelas di sebut Pangeran Diponegoro dalam babadnya. Pater Carey pun menulis bila sang Pangeran ketika berada di pembuangan Makassar berkali-kali meminta agar diizinkan pergi ke Makkah untuk berhaji.
Obesesi Pangeran Diponegoro untuk berhaji dan tinggal di Makkah tampak pada beberapa peristiwa ketika pangeran ini menjalani masa awal penangkapan, berlayar menuju tanah pengasingan, dan tinggal di pembuangan. Catatan komandan tentara De Stuers melaporkan betapa pangeran itu pergi berangkat ke pengasingan dengan tetap memakai pakaian ala ulama atau haji:
‘’Diponegoro tampak senang mengamati banyak orang di dermaga. Karena rasa ingin tahu ia menutupi muka dengan ujung sorbannya, yang justru membuat kerumunan merasa lebih tertarik kepadanya…’’
Bahkan guna menunjang semangatnya, Diponegoro sempat meminum sebotol air zamzam yang diberikan kepadanya di Magelang oleh seorang haji yang baru kembali dari tanah suci. Menurut Dipongero: air ini (zamzam) yang diminum para Muslim terkemuka yang telah memahami rahasia agung ajaran agama Rasul.”
Tak hanya itu, selama dalam perjalanan menuju tanah pengasingan, di atas kapal dari Semarang ke Jakarta, Diponegoro selalu menuntut hak atas kepastian di mana dia akan diasingkan.”Orang tahu bahwa saya ingin mendapat kepastian mengenai hak-hak legal saya apakah akan dikirim ke Makkah atau ke tempat lain.”
Soal Makkah dan tanah suci, juga ditunjukan ketika Diponegoro berlayar dari Jakarta menuju Manado (Sulawesi Utara). Sembari menunggu kapal melepas sauh, Diponegoro sempat berkata kepada ajudan militer Van den Bosch yang bernama Knoerle menyatakan: “Sesampai di Manado ia akan meminta uang dan kapal kepada Gubernur Jendral untuk pergi ke Makkah begitu kekuataannya pulih dan hatinya merasa tenang serta damai kembali. Dan keinginan pergi ke Makkah ia kerap tunjukan selama di atas kapal dengan meminta kapten kapal menunjukkan letak pulau-pulau sekaligus jalur kapal menuju Jeddah.”
Pangeran Diponegoro selaku putra raja — bahkan oleh Belanda sempat ditawari sebagai Sultan Mataram — paham sekali hubungan antara kerajaan Mataram dengan Makkah.
Apa arti Makkah dan haji bagi Diponegoro semakin nyata ketika dia tinggal bersama eyang putrinya yang berada di kawasan Tegal Rejo. Di sana dengan kepemilikan lahan sawahnya yang sangat luas, sang eyang yang merupakan bangwasan dari Kraton Madura terbiasa memberangkatkan haji para abdi dalemnya.
Bahkan di rumahnya terbiasa pula menerima kedatangan berbagai orang yang datang dari Makkah. Maka soal Makkah dan haji serta seputaran masalah itu sudah tertanam di benaknya sejak masa kecil. Perlu diketahui pangeran Diponegoro sangat piawai menulis ‘Jawi’ dan ini terjejak dalam karya babadnya yang kini dinyatakan Unesco sebagai warisan dunia, tidak mengunakan huruf Jawa, namun memakai tulisan Arab pegon.
Bagi Kraton Mataram sendiri soal keberadaan dan arti Makkah sendiri sangat penting. Dari catatan sejarah, ‘orang Jawa’ yang pertama kali berangkat ke tanah suci Makkah tercatat diantaranya adalah utusan pada masa kekuasaan Sultan Agung yang saat itu pusatnya masih berada di Kota Gede (kota kecil di selatan Yogyakarta).
Kepergian mereka ke Makkah itu diperkirakan terjadi pada tahun 1620-an. Namun kepergian mereka sebenarnya merupakan rombongan resmi kenegaraan yang kedua, setelah sebelumnya rombongan asal Kerajaan Banten mendahului kepergian mereka.
Apa tujuan kepergian mereka ke Makkah? Jawabnya, selain untuk menunaikan ibadah haji, utusan tersebut juga hendak meminta izin untuk memakai gelar ‘Sultan’ di depan nama atau gelaran raja mereka. Selain itu juga diindikasikan kepergian mereka untuk menemui ‘syarif Makkah’ adalah untuk meminta ‘perlindungan’ bahwa mereka itu adalah mitra atau bahkan sekutu dari imperium Ottoman Turki (Turki Usmani).
Dan ketika pulang dari tanah suci, selain membawa oleh-oleh tanah pasir gurun yang ada di Makkah, rambut nabi, bendera kerajaan Ottoman, mereka pun mendapat restu dari ‘Syarif Makkah’ untuk memakai gelar Sultan di depan nama rajanya. Maka mulai saat itu gelar Raja Mataram memakai nama Sultan, atau tak lagi menggunakan gelar Sunan (Susuhunan) seperti gelar raja pada era Majapahit.
Kenyataan sejarah itu sejalan dengan isi pidato Sultan Hamengku Bawono ke X saat membuka Konggres Umat Islam pada awal Februari 2015. Pada forum itu Sultan menegaskan kembali soal kaitan Kraton Yogyaarta dengan Kerajaan Turki Usmani dan juga kaitan orang dari Kraton Jogjakarta yang dibiayai pergi ke Makkah atas restu Sultan Yogyakarta.
‘’Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka’bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya kini tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki,’’ terang Sultan.
Soal kebiasaan Kraton mengirimkan abdi dalemnya pergi haji ke Makkah yang juga dilakukannya hingga pada ‘masa moderen’, Sultan menyatakan:
’Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa keberangkatan KH Ahmad Dahlan, yang saat itu adalah abdi dalem Kraton, justru atas dorongan dan dukungan Sri Sultan HB VII. Bakda membaca dalam “Tafsir AL Manaar” karya Abduh, pada 1912 ia pun mendirikan perserikatan Muhammadiyah di Yogyakarta.’’ (yus)