13 Tokoh Ulama Bawean Yang Dikenal Masyarakat

Gresik — 1miliarsantri.net : Sebenarnya banyak ulama Bawean zaman dulu yang berperan dalam mensyiarkan agama Islam, baik di Bawean maupun di luar Bawean. Namun, hanya ada 13 ulama Bawean yang fotonya ditemukan dan berhasil ditelusuri jejak kehidupannya.
Dalam sejarah Bawean sendiri telah terekam para ulama besar yang lahir di pulau kecil ini. Semua ini berkat penelitian yang dilakukan sejarawan Islam-Bawean, Burhanuddin Asnawi dan kita harus berterima kasih kepada. Dia adalah putra Bawean asli yang telah berhasil menulis biografi para ulama Bawean, termasuk yang berkiprah hingga ke Tanah Suci Makkah. Para ulama tersebut adalah sebagai berikut :
- KH Muhammad Hasan Asy’ari bin Abdurrahman al-Baweani al-Fasuruani

Ulama Bawean generasi pertama ini muncul pada abad ke-19 M. Dia adalah seorang alim yang lahir di Pulau Bawean sekitar 1820-an. Ibunya berasal dari Bawean, sedangkan ayahnya berasal dari Pasuruan, Jawa Timur.
Kiai Asy’ari menghabiskan masa mudanya dengan belajar dari pesantren satu ke pesantren lainnya di Tanah Jawa. Setelah itu, jejak rihlah ilmiahnya bisa ditemukan sampai ke Maroko, sebelum akhirnya hijrah ke Makkah pada 1892 dan juga ke Mesir.
Kiai Asy’ari dikenal sebagai maestro ahli falak dari Nusantara. Kiai Asya’ri wafat di Pasuruan pada 1921 M. Namun, ada juga yang mencatat tahun wafatnya pada 1918 M. Jenazahnya dimakamkan di daerah Sladi Kejayan Pasuruan, tepatnya di belakang Pondok Pesantren Besuk, di samping makam Wali Kemuning.
- KH Dhofir bin Habib

KH Dhofir merupakan putera dari pasangan Kiai Habib dengan Hj Khadijah. Keluarga ini berasal dari Desa Patar Selamat atau Dissalam yang kemudian menetap di Dusun Bengko Sobung, Desa Kota Kusuma, Kecamatan Sangkapura, Bawean, Gresik.
Kiai Dhofir lahir sekitar 1885-an atau pada penghujung abad ke-19. Pada periode ini, Islam di Bawean sedang memasuki fase keemasannya. Saat itu pula lahir generasi emas Bawean yang sulit dicarikan gantinya hingga sekarang.
Kiai Dhofir dikenal sebagai ulama berdarah Bawean hafal Alquran. Dia wafat di Jakarta pada 19 Agustus 1971 dan dimakamkan di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Namun, setahun kemudian, jenazahnya diterbangkan dari Jakarta menuju Surabaya, lalu dimakamkan di komplek pemakaman Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan.
- Syekh Muhammad Zainuddin al-Baweani

Syekh Muhammad Zainuddin al-Baweani adalah salah seorang ulama bedar yang pernah menjadi pengajar di Masjidil Haram, Makkah. Ulama beradarah Bawean ini kerap dipanggil Syekh Zein. Dia lahir di Makkah pada 1334 Hijriah atau 1915 Masehi.
Ayahnya adalah Syekh Abdullah bin Muhammad Arsyad bin Ma’ruf bin Ahmad bin Abdul Latif al-Baweani. Penisbatan al-Baweani merupakan keterangan berharga yang tidak bisa dipisahkan dengan nama Syekh Zein.
Syekh Zein mewarisi ilmu ulama Hijaz lintas generasi. Ia adalah generasi terbaik yang telah mengharumkan nama Nusantara sebagai seorang ulama yang berpengaruh di negeri Hijaz. Syekh Zein wafat di Makkah pada 1426 Hijriah atau 2005 Masehi.
- KH Abdul Hamid Thabri

KH Abdul Hamid Thabri lahir di Desa Sidogedungbatu pada 20 September 1899 M. Dia adalah putera dari KH Thabri bin Nur bin Abdul Muthallib. Dari segi usia, Kiai Hamid lebih tua dari Syekh Zein. Tetapi, Syekh Zein lebih dahulu tiba di Makkah dan sejak kecil telah menetap di Tanah Suci.
Periode Makkah menjadi catatan penting bagi perjalanan karir Kiai Hamid. Dia berada di Makkah untuk pertama kalinya pada 1921-19-25 dan berguru kepada Syekh Khalid bin Halil, seorang alim asal Makkah yang kelak hijrah ke Desa Tambak, Pulau Bawean.
Selain mendirikan pesantren di Bawean, Kiai Hamid juga pernah menjadi komandan Hizbullah, sebuah badan kelaskaran dari barisan pemuda NU dalam perjuangan kemerdekaan. Kiai Hamid wafat di Dusun Pancor, Desa Sidogedungbatu pada 25 April 1981. Jenazahnya dimakamkan di komplek pesarean keluarga di Pondok Pesantren Nurul Huda Pancor.
- KH Subhan bin Rawi

KH Subhan bin Rawi juga termasuk seorang ulama Bawean yang pernah menuntut ilmu hingga ke Makkah. Kiai Subhan lahir di Dusun Iliran, Desa Daun, Kecamatan Sangkapura, Bawean. Namun, tidak diketahui tanggal dan tahun kelahirannya.
Nama kecilnya adalah Asrari. Pada 1927, untuk pertama kalinya dia bertolak dari Pulau Bawean menuju Tanah Suci Makkah. Dia berangkat ke Makkah mengikuti neneknya yang bernama Hj Ruqayyah binti Anwar.
Pda 1957, Kiai Subhan kemudian pulang ke Pulau Bawean dan mulai merintis pengajian. Melalui pengajian tradisional, sarjana Hijaz ini terus mengabdikan hidupnya selama lebih dari 20 tahun. Penerusnya, KH Badrus Surur kemudian mendirikan Pondok Pesantren Darussalam Daun.
Kiai Subhan tutup suia pada 1978. Ia menjadi salah seorang ulama penting yang mempengaruhi tradisi keagamaan di Desa Daun dan dikenal sebagai ulama yang pakar dalam bidng ilmu Faraidh.
- Syekh Ahmad Hasbillah bin Muhammad al-Baweani

Nama Syekh Ahmad Hasbillah bin Muhammad atau Syekh Ahmad Hasbullah bin Muhammad al-Maduri al-Habsyi ditemukan dalam silsilah tarekat Qadiriyah wan Nasqsyabandiyah. Dia adalah seorang ulama asal Makkah yang hijrah ke Nusantara dan kemudian tinggal untuk beberapa waktu di pulau Bawean. Karena itu lah dia dimasukkan sebagai ulama Bawean.
Namun, dalam penelitiannya, Burhanuddin Asnawi belum berhasil mencatat tahun kelahirannya maupun tahun wafat Syekh Ahmad Hasbillah.
- Syekh Khalid bin Khalil

Tahun kelahiran ulama Bawean yag satu ini juga tidak diketahui, begitu pun tahun wafatnya. Dari silsilahya, Syekh Khalid merupakan putra dari Syekh Khalil bin Khalifah. Ayahnya, Syekh Khalil kemudian menginjakkan kakinya di Pulau Bawean. Dia tinggal di Desa Tambak hingga tutup usia, sebelum kembali ke Makkah.
Syekh Khalid tercatat memiliki hubungan dengan para ulama asal Pulau Bawean yang tinggal di Singapura. Karena itu, dia pun berkeinginan untuk mengunjungi Pulau Bawean. Dia juga ingin mengunjungi pusara sang ayah, Syekh Khalil yang terletak di Desa Tambak. Hingga pada akhirnya, takdir membawa Syekh Khalid ke Bawean dan menetap di Desa Tambak hingga akhir hayatnya.
- KH Abdul Hamid Satrean (Mas Doel)

KH Abdul Hamid Satren juga merupakan seorang ulama keturunan Pulau Bawean. Dia adalah putra dari KH Ramli asal Desa Kebuntelukdalam, Kecamatan Sangkapura. KH Abdul Hamid kemudian menikahi seorang wanita asal Desa Diponggo, Kecamatan Tambak dan ikut tinggal bersama istrinya.
Di Desa Diponggo, Kiai Abdul Hamid atau yang dikenal dengan Mas Doel, kemudian merintis pesantren. Akan tetapi, takdir berkata lain, ia harus hijrah ke Pulau Jawa, tepatnya di sebuah perkampungan bernama Satrean di Probolinggo, Jawa Timur. Karena itu lah dia dikenal sebagai Kiai Abdul Hamid Satrean.
Mas Doel dikenal sebagai ulama alumni Hijaz yang aktif sebagai guru di Makkah. Namanya juga dikenang sebagai Rijal al-Makkah. Hingga akhir hayatnya, Mas Doel tidak dikaruniai anak. Dia dimakamkan di Satrean.
- Kiai Muhammad Amin

Kiai Muhammad Amin bin Sawar merupakan tokoh kunci perkembangan kehidupan intelektual di Desa Sukaoneng, Kecamatan Tambak, Bawean, Gresik. Pada masanya, Kiai Amin pun menjadi ulama karismatik dan disegani oleh masyarakat Bawean.
Dia dikenal tegas menjalankan fikih dalam kesehariannya. Kiai Amin juga selalu mengajarkan keikhlasan dalam mengabdi kepada masyarakat, serta dikenal gigih dalam memperjuangkan pendidikan dan pengetahuan keagamaan.
Hingga memasuki masa tuanya, Kiai Muhammad Amin masih terlihat intensitasnya menjalin hubungan dengan ulama di Pulau Bawean dan para sahabatnya yang tinggal di Singapura dan Malaysia. Aktivitas intelektual dan pemikiran keagamaannya ia buktikan pula dengan melahirkan karta tulis.
- KH Khatib bin Syahar

Nama lengkapknya adalah KH Khatib bin Ahmad Syahar. Dia adalah ulama karismatik yang lahri pada 1886 di Kampung Kolpo, Desa Pekalongan, Kecamatan Tambak, Bawean. Dia berhasil mendidik dan menghimpun ulama-ulama sekitarnya dalam membangun dinamika intelektual melalu dakwah di langgar atau mushalla.
Di kampung Kolpo ini pula Kiai Khatib merintis Madrasah Awwaliyah pada 1927. Dia juga dikenal sebagai inspirator terbitnya kitab klasik tiga bahasa, yaitu bahasa Bawean, bahasa Jawa, dan bahasa Malaysia. Namun, tahun wafatnya belum diketahui.
- KH Muhammad Yasin

Dia merupakan ulama Bawean yang lahir pada penghujung abad ke-19 sekitar tahun 1890-an di Desa Kepuh Teluk, Kecamatan Tambak Bawean. Masyarakat kerap memanggilnya dengan Datuk Yasin.
Ia banyak menghabiskan waktunya di Tanah Jawa dengan menuntut ilmu dari satu guru ke guru lainnya. Sebagai alumni pesantren, Datuk Yasin telah mengabdikan dirinya untuk mengembangkan tradisi keilmuan di kampung halamannya.
Datuk Yasin menjadi figure ulama bersahaja. Dia merintis pesantren untuk menampung para santri dan menjalani kehidupannya dengan penuh kesederhanaan. Datuk Yasin wafat pada 1965 M di Desa Kepuh Teluk.
- Kiai Hatmin bin Buahdan

Kiai Hatmi bin Buahdan lahir di Dusun Laccar, Desa Kepuhtelukdalam, Kecamatan Sangkapura, Bawean pada 1904 M. Ayahnya, Buahdan adalah sepupu dari Kiai Abu Kahar atau Kiai Bukkak, ulama dan pejuang dakwah Islamiyah di Desa Daun. Sedangkan ibunya bernama Misri’ah.
Pada 1927, pemuda Hatmin nyantri ke Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Dalam bidan keilmuan, dia mendalami ilmu falak. Dengan kejenusaannya di bidang ilmu falak, dia pun banyak menjadi rujukan para ulama di Pulau Bawean.
Selain menguasai ilmu agama, Kiai Hatmin juga turut melestarikan pencak silat Bawean. Hingga akhirnya, Kiai Hatmin dipanggil oleh Allah. Dia wafat pada 16 Syawal 1382 Hijriah atau bertepatan dengan 8 September 1961 Masehi.
- Kiai Asyiq Mukri

Kiai Muhammad Asyiq atau dikenal sebagai Kiai Asyiq Tua menjadi ulama berpengaruh di Desa Telukjati, Kecamatan Tambak, Bawean. Dia menjadi ulama yang disegani karena kadekatannya dengan masyarakat kecil, khususnya kalangan petani dan nelayan.
Kiai Asyiq Tua kemudian memiliki seorang cucu yang menjadi ulama, yaitu Kiai Asyiq Mukri. Ulama Bawean ini dikenal memiliki hubungan dekat dengan pendiri NU, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari Jombang. Sebagai santri di Tebuireng, pemuda Asyiq dikenal menguasai kajian hadits.
Ketika di Singapura, Kiai Asyiq Mukri sempat memelopori berdirinya GP Ansor dan Fatayat NU cabang Singapura. Sayangnya, kondisi politik di Singapura kurang menguntungkan organisasi nahdliyin ini, sehingga organisasi tersebut tidak bertahan lama di Negeri Singa.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, Kiai Asyiq Mukri juga terlibat aktif dalam setiap gerakan untuk membantu pemerintah mengusir penjajah. Dia wafat pada 1952 di Pulau Bawean. (dil)
Salam dari malaysia mohon bantuan untuk dicarikan maklumat seorang kiai asal desa suwari kecamatan sangkapura bawean jika ada ada yg kenal atau pernah berlajar dengannya dahulu