Mengenal Pergerakan Intifadah

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Penyebab langsung munculnya gerakan Intifadah adalah serangan yang dilakukan Israel terhadap para warga Palestina pada 8 Desember 1987.
Intifadah merupakan sebuah istilah yang mengingatkan kita akan perjuangan kemerdekaan Palestina.

Dalam histori, Infifadah merujuk pada gerakan perlawanan rakyat Palestina, terutama di Jalur Gaza, untuk melepaskan diri dari penindasan Zionis. Mereka pun menyuarakan tuntutan akan hak-hak mereka yang hilang selama ini.

Menurut Ensiklopedi Islam, penyebab langsung munculnya gerakan Intifadah adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada 8 Desember 1987. Ketika itu, para buruh Palestina baru saja kembali dari tempat kerjanya. Tiba-tiba, muncul sebuah truk yang berisikan tentara Israel, melaju ke arah jalan raya dan menghantam mobil yang dikendarai orang-orang Palestina tersebut.

Dalam peristiwa ini, tentara Israel melukai sembilan orang dan menewaskan empat orang Palestina. Tiga dari empat buruh Palestina yang terluka kemudian meninggal di rumah sakit. Pemakaman orang-orang Palestina yang gugur itu diiringi sekitar 100 ribu warga.

Awal gerakan Intifadah terjadi usai upacara pemakaman tersebut. Kaum Muslimin yang terdiri atas berbagai lapisan menyerang para serdadu Israel dengan batu dan bom bensin (molotov). Ensiklopedia Islam merangkum, sistem perjuangan Intifadah terbagi ke dalam beberapa kelompok.

Pertama, Al-Majmu‘ah al-Muraqibah, yakni kelompok pengintai yang umumnya diisi kaum remaja. Tugasnya menyelidiki kedatangan tentara Israel.

Kedua, Al-Majmu‘ah al-Mutadarrijah, yakni kelompok pengumpan, yang bertugas memancing tentara Israel agar memasuki perkampungan orang Palestina.

Ketiga, Al-Majmu‘ah ar-Ramiyah, yaitu kelompok pelempar, bertugas melempar tentara Israel setelah memasuki perkampungan Palestina. Dalam aksinya, mereka menggunakan miqlah, yakni alat pelempar berisi batu, telur busuk, dan bom molotov.

Keempat, Al-Majmu‘ah al-Musyagilah dan Al-Majmu‘ah al-Ish’ab; masing-masing bertugas memicu kerusuhan agar mengalihkan fokus serdadu Israel dan menyelamatkan para pejuang Palestina yang terluka. Dua kelompok yang disebut terakhir itu baru beraksi bila terjadi penangkapan terhadap warga Palestina.

Masjid al-Aqsa sering kali digunakan sebagai tempat musyawarah kaum Muslimin. Di sana, mereka menyusun strategi perlawanan menghadapi tentara pendudukan Israel.

Intifadah itu mulai mereda kala memasuki tahun 1990. Dua negara adidaya, Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet, mendesak Israel dan Palestina berunding. Spanyol menjadi tuan rumah Konferensi Madrid yang digelar pada 1991. Akan tetapi, Israel tidak menghormati Palestina. PM Israel saat itu, Yitzhak Shamir, berasal dari Partai Likud yang radikal menolak eksistensi Negara Palestina.

Jatuh bangun perundingan

Menjelang perundingan itu, dia menolak perwakilan PLO atau unsur-unsur Palestina di luar Gaza dan Tepi Barat. Akhirnya, delegasi Palestina di Madrid mengikuti desakan itu, meski pada praktiknya tetap mengadakan komunikasi yang rutin dengan PLO di Tunisia.

Hasil dari Madrid tidak begitu meyakinkan tetapi setidaknya membuka jalan bagi pengakuan timbal balik (mutual recognition) pertama antara Palestina dan Israel. Seiring dengan melemahnya Partai Likud di pemerintahan Zionis, pada awal 1993 PLO mengadakan komunikasi rahasia dengan Israel untuk menjajaki pertemuan.

Yasser Arafat mulai berkirim surat kepada Yitzhak Rabin, perdana menteri dari Partai Buruh. Isinya memuat komitmen untuk tidak mengutamakan kekerasan serta mengakui hak-hak Israel akan kedamaian dan keamanan.

Pada 13 September 1993, Arafat dan Rabin meratifikasi perjanjian di Washington DC, AS. Keduanya berjabat tangan, sementara Presiden AS Bill Clinton berdiri merangkul mereka. Momentum historis itu menandakan dimulainya Perundingan Oslo I yang bertempat di Norwegia. Barulah dua tahun kemudian, hasil konferensi ini tercapai. Untuk Palestina, Oslo I membuatnya diakui sebagai otoritas yang berwenang penuh mengatur Gaza dan Tepi Barat.

Namun, Hamas sebagai faksi dominan di Gaza menolak keputusan Perjanjian Oslo I. Di pihak Israel, gejolak muncul dari kelompok Yahudi radikal. Puncaknya, Rabin dibunuh pemuda Yigal Amir di tengah pawai perdamaian di Tel Aviv.

Pada 1996, ketua Partai Likud Benjamin Netanyahu menang tipis di pemilihan umum sehingga menjadi perdana menteri (PM) Israel. Sejak awal, dia menolak perundingan Oslo I. Visinya tidak lain terus dan terus membangun permukiman Yahudi, termasuk di Tepi Barat yang de facto teritori Palestina.

Netanyahu juga terus mendesak Yasser Arafat agar meredam faksi Hamas yang berpusat di Gaza. Menurut Martin Bunton dalam The Palestinian-Israel Conflict: A Very Short Introduction, desakan itu menimbulkan kesan buruk dari rakyat Palestina, seakan-akan Arafat adalah petugasnya Israel.

Pada Juli 1999, pemimpin Partai Buruh Ehud Barak memenangi pemilu sehingga menggantikan Netanyahu sebagai PM Israel. Setahun kemudian, dia dan Arafat memenuhi undangan Presiden Clinton untuk menjajaki perundingan damai Camp David II. (Sebelumnya, Camp David I merupakan kesepakatan damai antara Mesir dan Israel pada 1978.)

Hingga Juli 2000, Camp David II menemui jalan buntu. Pada 28 September tahun yang sama, tokoh Partai Likud Ariel Sharon dengan dikawal ratusan aparat polisi Israel berupaya memasuki kompleks Masjid al-Aqsha.

Kunjungan ini memprovokasi puncak kemarahan penduduk Palestina. Sehari kemudian, aksi protes terjadi. Aparat Zionis menanggapinya secara membabi-buta.

Sebanyak 18 warga Palestina gugur. Tidak menunggu waktu lama, riak itu membesar menjadi Intifada Kedua. Hingga tahun 2003, tidak kurang dari 2.400 orang Palestina meninggal dunia, sedangkan 800 tentara Israel tewas dalam peristiwa tersebut.

Di sisi Palestina, insiden itu memperbesar rivalitas antara Fatah dan Hamas. Sementara itu, bagi Israel, ada dinamika politik di mana Partai Buruh lagi-lagi dikalahkan Partai Likud. Per Maret 2001 pemimpin Likud, Ariel Sharon, naik sebagai PM Israel.

Pensiunan militer Zionis itu membangkitkan lagi mimpi Israel Raya yang mencakup penjajahan atas daerah-daerah antara Sungai Nil di Mesir dan Sungai Efrat di Irak.

Karenanya, Sharon terus memborbardir wilayah Palestina, termasuk menyasar penduduk sipil tak bersenjata. Sejak tragedi Menara Kembar WTC 9/11, dia merasa didukung penuh negara-negara Barat, utamanya AS, yang menggelorakan propaganda Perang Melawan Teror.

Sejak Juni 2002, tokoh fundamentalis Yahudi ini membangun tembok pemisah di perbatasan Tepi Barat. Dengan panjang mencapai 708 km dan tinggi rata-rata delapan meter, dinding ini praktis mengisolasi akses 25 ribu warga Palestina. Sampai saat ini, bangunan tersebut menyimbolkan Israel sebagai rezim rasis dan apartheid di tengah komunitas internasional.

Sementara itu, Yasser Arafat meninggal dunia saat dirawat di sebuah rumah sakit di Paris, Prancis, pada 11 November 2004. Hingga kini, kematiannya dicurigai sebagai hasil operasi intelejen Israel yang telah berkali-kali menjadikannya target buruan.

Pada Januari 2005, Mahmoud Abbas terpilih menjadi presiden Palestina. Setahun kemudian, dunia dikejutkan kemenangan Hamas atas Fatah dalam pemilu legislatif Palestina. Akan tetapi, Fatah menolak bergabung dengan pemerintahan yang hendak dibentuk Hamas. (mif)

Baca juga :


Discover more from 1miliarsantri.net

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Berikan Komentar Anda

Discover more from 1miliarsantri.net

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading