Kaighla Berjuang Mempertahankan Hijabnya

Jakarta — 1miliarsantri.net : Kaighla Um Dayo merupakan seorang muallaf dan terlibat dalam proyek penulisan buku The New Muslim’s Field Guide (Panduan Lapangan Muslim Baru) yang diterbitkan pada Februari 2018.

Awalnya, Kaighla adalah seorang penganut Kristen dan memiliki gaya berpakaian serba terbuka. Namun, ada satu perasaan yang tidak bisa dia gambarkan saat ‘merasa dekat dengan Tuhan’. Dia memiliki dorongan untuk menutup kepala, meski kala itu masih berstatus sebagai penganut Kristen.

Suatu ketika dia mendapat tugas dari seorang profesor dari World Religions 101 untuk mencoba eksperimen sosial tentang agama. Dia memutuskan untuk mengenakan “hijab”.

“Tentu saja, saya tidak tahu aturannya, jadi saya hanya melilitkan syal jenis shayla (kain persegi panjang yang dililitkan dan disematkan) seperti yang saya lihat di internet, mengenakan t-shirt dan celana jins, lalu pergi ke kelas,” terang Kaighla melalui laman About Islam, Rabu (27/11/2023).

Ketika eksperimen berakhir, anehnya Kaighla merasa tidak ingin melepas hijab. Namun kala itu, teman-teman Kaighla merasa tidak nyaman sehingga terpaksa melepas hijab.

Pada Agustus 2009 dan Kaighla secara resmi memeluk Islam. Semua wanita yang dia kenal memberikan saya shalwar kameez dan abaya. Tak satu pun yang cocok dengan tubuh Kaighla yang tinggi dan gemuk. Tetapi, dia mencoba yang terbaik untuk menyesuaikan diri.

“Pergelangan kaki saya terlihat dan lekuk tubuh saya juga,” tambahnya.

Tak lama setelah muallaf, dia menikah dengan seorang pendakwah dari Al-Azhar Mesir dan menjadi imam masjid di Brooklyn. Pada saat itu, Kaighla mengaku kaget karena harus mengenakan model hijab layaknya orang Timur Tengah. Tidak ada lagi hijab warna-warni. Tidak ada lagi pakaian yang ketat.

“Sekarang yang ada hanyalah abaya dan kain besar berbentuk persegi yang dilipat menjadi segitiga dan disematkan di bawah dagu,” sambungnya.

Seiring berjalannya waktu, dia merasa nyaman dan bersemangat dengan penampilan barunya itu, seperti yang sering dilakukan oleh para mualaf. Pada saat kami pindah ke Mesir untuk lebih dekat dengan keluarganya, dia sudah mengenakan niqab.

“Tetapi satu hal menjadi semakin jelas: Saya tidak merasa lebih dekat dengan Tuhan semakin saya menutup tubuh saya. Saya merasa lebih suci daripada Engkau, dan saya tidak bisa bernapas-secara harfiah,” ujarnya.

Apalagi, dia tidak terbiasa dengan cuaca panas di Timur Tengah. Suatu ketika dia berangkat ke Madinah untuk membeli beberapa fool dan falafel (kacang fava rebus atau goreng) untuk sarapan.

Seperti biasa, orang-orang di kios melongo dan tertawa satu sama lain tentang amrikiyya (orang Amerika) di balad (desa). Salah satu dari mereka mulai mengikuti dan memanggil dalam bahasa Arab, “Anda bukan dari sini? Anda orang asing yang cantik?”

Awalnya dia merasa muak dengan diri sendiri lalu memutuskan mengenakan nigab besar. Tidak ada lagi yang terlihat, termasuk mata hijau-coklatnya. Kendati begitu, dia merasa tenang lantaran tidak ada lagi godaan-godaan dari orang sekitar.

“Kepribadian saya akhirnya terhapus. Saya telah menjadi seperti yang dikatakan oleh semua buku yang diberikan oleh suami saya bahwa saya harus menjadi seorang Muslimah: tidak terlihat, diam, meluncur dengan tenang di dunia, menyembunyikan sifat asli saya sampai saya merasa aman di rumah saya yang nyaman, dengan jendela yang tertutup rapat dan gorden yang tertutup,” imbuhnya.

Beberapa bulan kemudian, Kaighla kembali ke Amerika untuk melahirkan. Dia melepaskan niqab. Dia merasa senang karena para pria Amerika tidak banyak yang tersenyum kepadanya, apalagi mencoba menggoda.

Tetapi dia masih mengenakan abayat saja, dan masih mengenakan warna-warna kusam dan menjemukan, agar tidak menimbulkan daya tarik dengan warna-warna cerah dan bahagia.

“Ketika kami kembali ke Mesir nanti, saya tetap mempertahankan gaya tersebut dan berusaha mengabaikan para pria yang mengganggu saya,” ujarnya.

Kaighla bercerai dengan suaminya dari Mesir. Dia akhirnya tak mengenakan lagi pakaian ala Timur tengah. Namun, mengenakan hijab seperti muslimah biasa dengan jilbab warna warni dengan fashion kekinian.

“Saya melepaskan semua abaya saya dan mulai mengenakan gaun panjang selutut di atas legging, ditambah dengan hijab yang tidak terlalu ketat namun tetap cantik dan kardigan yang sesuai dengan cuaca. Seandainya saja saya menurunkan jilbab saya sedikit saja, saya akan menyatu dengan sempurna dengan tren mode hipster dengan pakaian longgar dan warna-warna kalem,” lugasnya.

Kendati begitu, dia merasa tenang dan nyaman dengan hijab di kepala serta pakaian yang longgar. Dia bisa menunjukkan diri sebagai seorang muslimah yang bisa beradaptasi dengan budaya dan lingkungan sosial.

“Ini adalah jalan yang panjang, dan saya yakin saya akan berkembang lebih jauh lagi di masa depan, tetapi saya sangat bersyukur bahwa saya dapat membiarkan diri saya beradaptasi dengan perasaan saya yang sebenarnya. Saya telah menemukan gaya hijab yang cocok untuk saya tanpa harus mengorbankan kepribadian atau budaya saya,” tutup Kaighla. (Iin)

Baca juga :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *