Viral Budaya Lokal di Era Digital; Potensi Tiktok dan Youtube dalam Melestarikan Budaya

Malang – 1miliarsantri.net : Beberapa waktu lalu, publik dibuat terpukau oleh aksi Rayyan Arkhan Dikha, seorang anak lelaki dari Riau yang menari dengan semangat di ujung perahu pacu jalur. Cuplikan videonya viral di media sosial TikTok dan YouTube Shorts.
Dengan ekspresi khas dan gerakan jenaka, Rayyan memikat jutaan warganet. Tanpa produksi mewah atau promosi resmi, video itu menjadi bukti bahwa budaya lokal bisa hadir secara spontan di panggung digital global.
Tradisi pacu jalur bukan budaya baru. Ia merupakan perlombaan perahu panjang yang diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Kuantan Singingi. Namun baru kali ini, dengan bantuan media sosial, tradisi tersebut mendapat panggung seluas ini.
Viralitas Rayyan menyimpan pesan penting bahwa eksistensi budaya lokal tidak mati. Ia hanya butuh ruang baru untuk dihidupkan kembali oleh generasi muda dengan caranya sendiri.
Ketika Media Sosial Menjadi Kelas Budaya

TikTok dan YouTube tak lagi hanya sebagai ruang hiburan. Kini, keduanya menjadi medium belajar secara tak langsung. Konten budaya lokal yang viral bisa menjadi bahan ajar yang segar dan relevan.
Sekolah sebenarnya memiliki peluang besar untuk mengintegrasikan tren ini dalam pembelajaran. Alih-alih mengandalkan hafalan, guru bisa mengajak siswa mengkaji makna budaya di balik video viral seperti tarian Rayyan.
Siswa dapat diajak membuat proyek digital yang sejenis, mulai dari mendokumentasikan budaya lokal, mewawancarai tokoh adat, hingga membuat narasi visual tentang tradisi di lingkungan mereka.
Dengan pendekatan ini, siswa tidak hanya belajar budaya, tetapi juga mengasah keterampilan literasi digital, berpikir kritis, dan empati sosial.
Literasi Budaya dan Digital Harus Berjalan Bersamaan
Dua hal penting yang dibutuhkan di era sekarang ialah literasi budaya dan literasi digital. Yang satu mengajarkan kita memahami akar dan nilai, yang lain membekali kita dengan cara mengomunikasikannya secara efektif.
Rayyan memberi contoh bahwa anak-anak bisa menjadi penggerak budaya, asal diberi ruang dan dukungan. Namun agar tidak salah arah, pendampingan dari guru dan orang dewasa sangat penting.
Siswa perlu dibantu membedakan antara konten bermakna dan konten sensasional. Mereka harus paham bahwa budaya bukan sekadar bahan tontonan, tapi warisan yang harus dihargai.
Dalam hal ini sekolah bisa menjadi pusat produksi budaya baru. Dengan teknologi yang kini makin terjangkau, siswa dapat menciptakan konten budaya mereka sendiri yang otentik, kreatif, dan kontekstual.
Kurikulum merdeka memberi ruang besar untuk ini. Dalam Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), tema kebudayaan bisa dieksplorasi dalam format digital.
Kolaborasi dengan komunitas lokal akan memperkaya pengalaman belajar. Siswa tidak hanya belajar dari buku, tetapi langsung dari sumbernya yakni dari para pelaku tradisi dan penjaga nilai-nilai lokal.
Perlunya Menghindari Reduksi Budaya

Tentu tidak semua konten budaya yang viral bersifat positif. Ada juga yang menyederhanakan budaya secara berlebihan, bahkan mengejeknya untuk efek lucu.
Risiko ini harus diantisipasi dengan membekali siswa kemampuan berpikir reflektif. Mereka perlu bertanya, siapa yang membuat konten? Untuk siapa? Apa dampaknya bagi pemilik tradisi?
Dengan kesadaran semacam ini, budaya tidak hanya dilihat sebagai barang konsumsi viral, tetapi sebagai narasi yang memiliki sejarah dan makna mendalam.
Rayyan dan pacu jalur-nya adalah simbol kecil dari potensi besar yang kita miliki. Tradisi bisa tumbuh kembali, bukan hanya lewat panggung adat, tapi juga layar digital.
Yang dibutuhkan adalah dukungan kolektif. Sekolah, guru, orang tua, komunitas budaya, dan pelaku teknologi harus bersama-sama mendorong anak-anak untuk menjadi penjaga sekaligus pencerita budaya mereka.
Perlu kita ingat bahwa teknologi bukanlah musuh budaya, Jika digunakan dengan bijak, ia mampu menjadi jembatan antara masa lalu yang kaya, dan masa depan yang kreatif dan inklusif.
Dengan demikian maka dapat kita simpulkan bahwa, viralnya budaya lokal di era digital tetap membutuhkan perhatian khusus dari segala pihak. Guna menghindari kesalahpahaman makna dan fungsinya. Mari kita jaga bersama agar budaya tetap terpelihara dan konsumsi berpikir siswa tetap terarah.
Penulis : Ramadani Wahyu
Foto Ilustrasi
Editor : Iffah Faridatul Hasanah
Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.