Penanganan Kenakalan Anak Setelah Lulus Dari Pesantren

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Pendidikan di pondok pesantren telah lama diakui sebagai salah satu bentuk pendidikan yang membentuk karakter dan akhlak yang kuat pada para santri. Namun, tidak jarang para orangtua merasa khawatir ketika anak-anak mereka tampak berubah menjadi nakal atau kurang terarah setelah menyelesaikan pendidikan di pondok pesantren. Lalu, bagaimana seharusnya orangtua mengatasi tantangan ini? Pakar pendidikan Islam, Ustadz Mohammad Fauzil Adhim, mengungkapkan, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan ketika menghadapi situasi ini. “Nomor satu, kita tidak boleh terlalu kaku dalam mendekati anak-anak yang baru saja menyelesaikan pendidikan di pondok. Ini sama halnya seperti belajar karate, di mana saat pertama kali belajar, sering kali terasa kaku dan belum begitu terampil,” ujar Ustadz Fauzil dalam kajian ‘Positive Parenting’ di Yogyakarta, Rabu (09/08/2023). Dalam konteks ini, Ustadz Fauzil memberikan analogi belajar karate untuk menjelaskan situasi yang dialami anak yang baru lulus dari pondok. Anak-anak yang baru saja lulus dari pondok mungkin masih dalam proses penyesuaian dan perkembangan, sehingga perlu diberi ruang untuk beradaptasi dengan dunia luar. “Semakin banyak kita mengajak dialog yang lebih dalam, semakin banyak kita mendengarkan mereka, maka semakin mudah kita memahami permasalahannya. Ini seperti berwudhu, di mana semakin banyak kita membasuh, semakin bersih dan suci hati kita,” ucapnya. Namun, bukan berarti pendekatan ini akan berjalan dengan sendirinya. Ustadz Fauzil menegaskan pentingnya komunikasi yang terbuka antara orangtua dan anak. Dia mencontohkan ketika salah satu anaknya ingin pindah dari pondok pesantren setelah lulus SMP. “Ketika salah satu anak saya ingin pindah ke SMA yang lain setelah lulus dari pondok, saya tidak langsung menilai atau memojokkan keinginannya. Saya mendengarkan dengan baik dan memahami alasan di balik keinginannya,” ujar Ustadz Fauzil. Ustadz Fauzil juga mengajak para orangtua untuk belajar dari contoh Rasulullah Muhammad SAW dalam mendidik anak-anak muda. Dia merujuk pada kisah ketika seorang remaja datang kepada Nabi Muhammad SAW dengan niat untuk berzina. Rasulullah tidak langsung mengecamnya, tetapi malah mendekat dan mendengarkan keluhannya. “Dalam kasus ini, Rasulullah menunjukkan bagaimana mendekati anak-anak dengan penuh pengertian. Dengan mendengarkan mereka dan memberikan perhatian, kita dapat membantu meredakan gejolak dan kebingungan yang mereka rasakan,” jelas Ustadz Fauzil. Lebih lanjut, Ustadz Fauzil menekankan pentingnya memahami kebutuhan emosional anak dan memberikan dukungan yang mereka perlukan. Anak-anak perlu merasa didengarkan, diterima, dan mendapatkan perhatian dari orangtua mereka. “Dengan begitu, mereka akan lebih termotivasi untuk melakukan kebaikan dan memperbaiki perilaku mereka,” paparnya. Ustadz Fauzil menyarankan agar para orangtua tidak terburu-buru dalam memberikan nasihat atau arahan kepada anak yang baru saja menyelesaikan pendidikan di pondok pesantren. Dia mengutip kata-kata bijak dari Ali Bin Abi Thalib yang mengatakan, mendengarkan adalah langkah awal dalam memahami dan memberikan solusi yang tepat. Dengan pendekatan bijak dan penuh pengertian, orangtua dapat membantu anak-anak yang baru lulus dari pondok pesantren untuk menemukan arah yang benar dalam menjalani kehidupan setelah pondok. “Karena itu kita yang perlu lebih banyak mendengarkan, lalu mengarahkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak menjatuhkan, tidak memojokkan, sehingga anak merasa mendapatkan orang yang mau mendengarkan, merasa mendapatkan orang yang memperhatikan, merasa diterima. Dengan itulah anak-anak akan lebih bersemangat untuk melakukan kebaikan-kebaikan,” tutup Ustadz Fauzil. (mif) Baca juga :

Read More

Gus Kautsar : Tidak Ada Istilah Galau Dalam Islam

Surabaya — 1miliarsantri.net : KH. Muhammad Abdurrahman Al-Kautsar (Gus Kautsar), ulama muda asal Pondok Pesantren Al Falah Ploso, Kediri mengatakan, dalam Islam tidak ada istilah galau. “Galau itu dilarang dalam Islam dengan dua solusi yakni sabar dan syukur. Apa yang disebut galau itu justru solusi, karena bisa mendekatkan kita kepada mencari Allah,” katanya saat mengisi pengajian Majelis Subuh Gen-ZI di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya (MAS), dikutip Selasa (08/08/2023). Dalam pengajian bertema “Merdeka dari Galau” di MAS bersama pendakwah ustadzah Haneen Akira (istri ustadz Hanan Attaki) itu, Gus Kautsar menilai galau merupakan solusi bahwa semua yang ada dan terjadi merupakan garis tangan atas izin Tuhan. “Jadi, kalau Islam secara beneran itu, galau itu nggak ada, karena semuanya atas kehendak Allah dengan tujuan yang indah. Misalnya ketangguhan, memaklumi setiap kejadian, memaafkan siapapun, jadi kalau semuanya dikembalikan kepada Allah akan membuka semua pintu solusi. Semuanya indah, kalau gagal nggak benci, nggak menyalahkan, nggak mencari kambing hitam, tapi muhasabah,” katanya. Di hadapan ribuan jamaah dari kalangan generasi Z Islami dari Surabaya dan sekitarnya itu, putra KH Nurul Huda Djazuli itu mengutip pandangan bijak dari Imam Syafi’i. “Kalau ingin baik ya ikuti orang-orang dulu, seperti Imam Syafi’i. Kalau ikut orang-orang masa kini justru bisa nggak baik,” katanya. Menurut Imam Syafi’i, kata Gus Kautsar, apapun masalah yang menimpa itu dibiarkan saja berlalu dengan membawa masalahnya. Jangan terlalu meratapi masalah yang datang, karena semua masalah itu pasti ada akhir/ending dan semua masalah itu mengajari untuk rela dan sabar. “Imam Syafi’i juga mengajarkan muhasabah kalau menghadapi masalah. Masalah itu merupakan bagian atau jatah dari kehidupan. Kalau sudah jatah untuk kita, dihindari juga nggak mungkin. Kalau bukan jatah kita, dicari juga nggak datang. Yang penting, tetaplah menjadi orang baik, karena masalah itu menunjukkan bahwa manusia itu lemah. Kalau menggugat Allah justru panjang hisabnya,” katanya. (har) Baca juga :

Read More

Pernyataan Para Ulama Mengenai Anak Kecil Menjadi Imam Sholat

Jakarta — 1miliarsantri.net : Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan, para ulama berbeda pendapat tentang orang yang paling utama menjadi imam Sholat Jamaah. Menurut Imam Malik, yang paling utama menjadi imam adalah orang yang paling menguasai pengetahuan ilmu agama dan bukan orang yang paling pandai membaca di antara mereka. Adapun Imam Syafii cenderung pada pendapat bahwa yang paling utama menjadi imam adalah orang yang menguasai ilmu pengetahuan. Namun menurut Imam Abu Hanifah, Ats Tsauri, dan Imam Ahmad, yang lebih utama menjadi imam adalah orang yang paling pandai membaca di antara mereka. Silang pendapat tersebut karena adanya perbedaan pemahaman terhadap sabda Nabi Muhammad SAW, “Yang menjadi imam bagi suatu kaum adalah orang yang paling pandai membaca. Jika dalam bacaan mereka sama, maka yang paling banyak pengetahuannya tentang sunnah di antara mereka. Jika pengetahuan mereka tentang sunnah sama, maka yang paling terdahulu hijrahnya di antara mereka. Dan jika hijrah mereka sama, maka yang paling dahulu masuk Islam di antara mereka. Dan janganlah seorang menjadi imam orang lain di tempat kekeuasaan orang lain tersebut, dan janganlah ia duduk di rumahnya di tempat kehormatannya kecuali dengan izinnya.” Hadits ini telah disepakati kesahihannya tetapi para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya. Di antara mereka ada yang memahami hadits tersebut secara lahiriah, yakni Imam Abu Hanifah. Dan ada yang memahami bahwa yang dimaksud dengan orang yang pandai membaca ialah orang yang menguasai pengetahuan agama. Karena dalam masalah yang menyangkut imam itu lebih membutuhkan orang yang menguasai pengetahuan agama daripada orang yang pandai membaca. Lagi pula pada zaman dahulu sahabat-sahabat yang menguasai ilmu agama sekaligus mereka juga pandai membaca. Berbeda dengan orang-orang di zaman sekarang. Para ulama berselisih pendapat tentang hukum imam anak kecil yang berusia baligh tetapi ia pandai membaca. Ada sebagian ulama yang memperbolehkannya. Hal ini berdasarkan hadits Amr bin Salamah yang menyatakan bahwa ketika masih anak-ana ia pernah menjadi imam kaumnya. Ada sebagian ulama yang melarangnya secara mutlak. Dan ada sebagian ulama yang memperbolehkannya hanya untuk sholat sunnah, bukan untuk sholat fardhu. Inilah pendapat yang dikutip dari Imam Malik. Silang pendapat dalam masalah ini bertolak dari persoalan apakah seseorang yang boleh menjadi imam dalam sholat yang tidak wajib ia boleh menjadi imam dalam sholat yang wajib. Hal itu karena menyakut perbedaan niat imam dan makmum. (pun) Baca juga :

Read More

KH Miftachul Akhyar : Allah Akan Mengabulkan Apapun Permohonan Kita

Surabaya — 1miliarsantri.net : Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya sekaligus Rais aam PBNU, KH Miftachul Akhyar menjelaskan, tidak ada istilah gagal sebuah permohonan jika manusia menyandarkannya kepada Allah SWT. Apalagi Allah sudah berjanji ud’uni astajib lakum (mintalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan). “Tidak pernah ada istilah gagal sebuah permohonan kalau kita memohonnya. bersandar, pasrah kepada Allah. Apalagi Allah sudah berjanji ud’uni astajib lakum,” terang Kiai Miftach. Kiai Miftach menegaskan, intinya harus pasrah kepada Allah. Dikabulkan atau tidak, dikabulkan dalam waktu cepat atau lambat, itu hak Allah. Sebab, Allah itu mutlak. “Jangan kalau minta sekarang harus sekarang, kok Gusti Allah diatur-atur. Ya sudah minta, pasrahkan kepada Allah. Allah tahu yang terbaik. Kalau Allah memandang baik diberi hari ini, akan diberi hari ini. Kalau besok akan diberikan besok, kalau lusa ya lusa, pasti itu. Jadi sebuah permohonan tidak akan pernah gagal kalau disandarkan, dipasrahkan kepada Allah,” jelasnya. Kiai yang pernah menjabat Ketua MUI dalam waktu singkat ini mengungkapkan, sebaliknya permohonan akan mengalami kegagalan atau tidak menghasilkan, jika dipasrahkan kepada selain Allah. “Kalaupun menghasilkan pun ruwet, banyak tuntutan, banyak masalah kalau permohonan-permohonan itu kita sandarkan pada kekuatan kita sendiri, pada otak kita, pada kekayaan kita. Pokoknya kita diciptakan dalam keadaan fakir,” imbuhnya. Lebih lanjut, Kiai Miftach menjelaskan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fakir itu sudah dijelaskan dalam Surat Fatir ayat 15, bahwa manusia itu sangat butuh kepada Allah, faqir kepada Allah. Kemudian jangan jangan sekali-kali manusia mengandalkan kekuatanmu, pengetahuan, harta kekayaanmu, keluargamu, siapa, semua kalian ini faqir kepada Allah. “Al-Qur’an sudah mengingatkan kepada kita. Oleh karena itu, Ibnu Athaillah as-Sakandari menyatakan sekali-kali tidak akan rugi, sekali-kali tidak akan gagal sebuah permohonan, kalau permohonan itu diatasnamakan atau dialamatkan kepada Allah, pada anugerah dan taufik Allah,” ujarnya. Kiai Miftach mengingatkan bahwa bahwa manusia harus sepi dan bersih dari mengingat-ngingat kemampuan, kehebatan, kepandaian dirinya sendiri, yang ada hanya pasrah kepada Allah. “Kalau pasrah kepada selain Allah, Allah akan menyerahkannya kepada selain-Nya. Allah lepas, nggak akan cawe-cawe kepada orang seperti itu, karena Allah sudah dilupakan, condong kepada makhluk. Jadi kalaupun berhasil, berhasilnya orang yang tidak bergantung kepada Allah istidraj namanya. Ini penting, ayo kita bersabar, sabar, sebentar kok di dunia ini,” pungkasnya. (yat)

Read More

Tonggak Kemandirian Bangsa, Bisa Dimulai Dari Pesantren

Jakarta — 1miliarsantri.net : Kombes Pol (Purn) Zainul Anwar mengungkapkan, santri memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Maka, semangat tersebut harus dibawa pada era saat ini. “Saat ini kita tidak lagi berada di era penjajahan fisik. Saat ini kita berada di zaman globalisasi. Kita sekarang dihadapkan oleh berbagai tantangan baru, sekaligus peluang baru,” terang Zainul sesaat setelah menunaikan sholat Jumat di Masjid Istiqlal Jakarta, (04/08/2023). Menurut Zainul, wajah kebangsaan Indonesia dihadapkan banyak tantangan, baik ideologi, politik, sosial maupun budaya serta masalah pertahanan bangsa yang akan menggeser budaya dan peradaban bangsa. Eksistensi pesantren berdasarkan UU Pesantren Nomor 18 Tahun 2019 paling tidak memiliki tiga cakupan wilayah pengabdian dalam konteks pembangunan bangsa. Pertama adalah pendidikan, kedua dakwah, dan ketiga pemberdayaan. Dalam konteks menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan, dakwah dan pemberdayaan, pesantren dalam konteks kekinian menghadapi tantangan besar. Beragam tantangan dan intensitas perubahan zaman. “Dalam posisi inilah santri dituntut mampu berkiprah untuk menghadapi tantangan tersebut, terutama menjadi garda terdepan dalam menguatkan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, guna menjaga keutuhan dan kemandirian bangsa,” ujar Zainul. Sejarah mencatat, pesantren meripakan lembaga yang sangat mandiri, terutama dalam mencetak pemikir-pemikir Islam, mencetak sumber daya manusia unggul dan menjadi kekuatan dalam pemberdayaan masyarakat. “Di era sekarang yang sedang berkembang ini, guna penguatan kemandirian, maka pessantren harus mampu belajar dan mentranfers nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh Kiyai Haji Samanhudi dalam mendirikan syarikat dagang Islam, yang bertujuan diantaranya adalah untuk mengembangkan jiwa dagang dan kesejahteraan serta mengembangkan pendidikan dan pengajaran bagi masyarakat pribumi (nama Indonesia waktu itu belum ada),” kata Zainul. Maka itu, dengan melihat berbagai tantangan sekaligus peluang, maka pesantren harus bertransformasi dengan memasukkan fungsi sosial ekonomi ke dalam program kegiatan pondok pesantren. Langkah ini mendorong perubahan pengelolaan sistem manajerial kemandirian pesantren, dari pesantren tradisional menuju pesantren moderen, serta menjadikan pesantren berkolaborasi terhadap entitas bisnis maupun kemajuan teknologi. “Tranformasi ekonomi itu diarahkan untuk mengembangkan jiwa dagang dan kesejahteraan serta mengembangkan pendidikan dan pengajaran bagi masyarakat santri untuk kemajuan dan kemandirian Indonesia,” ujar Zainul. Kementerian Agama RI mencatat, saat ini sudah banyak pesantren yang melakukan aktivitas bisnis guna menghidupi kegiatan pesantren. Itu sebagai self financing pesantren yang bergerak secara mandiri. Praktik ekonomi pesantren tersebut sudah dibangun dengan manajerial yang baik dan terbukti berpengaruh terhadap kemajuan dan kemadirian pesantren. Dalam rangka mempercepat kemandirian pesantren, saat ini merupakan momentum yang tepat, karena ada tiga siklus kehidupan sebagai pendukung. Pertama, siklus digital. Pandemi Covid-19 memaksa disrupsi digital menjadi lebih cepat di Indonesia, aktivitas ekonomi, pendidikan dan da’wah serta politik sebagian besar mulai beralih platform digital. “Dalam masalah teknologi digital, kita patut bangga sudah banyak pesantren yang mengembangkan bidang teknologi, bahkan melakukan lomba dalam berbagai teknologi, dan santri bisa menjadi juara dalam lomba teknologi tersebut,” ujar Zainul. Kedua, siklus usaha kecil menengah. Dunia usaha yang ada di lingkungan masyarakat sekitar pesantren sebagian besar dari kalangan usaha kecil menengah. Bila terjadi kolaborasi pesantren dan usaha kecil menengah di sekitarnya, maka akselerasi pemberdayaan ekonomi pesantren dan masyarakat akan bisa terjadi lebih cepat. Ketiga, siklus halal. Dalam kurun lima tahun terakhir ini ada peningkatan trend industri halal yang cukup tinggi. Tren seperti ini harus dijadikan peluang oleh Pesantren guna menjawab dan memenuhi tuntutan masyarakat. “Maka, dengan siklus kehidupan tersebut, didukung produktifitas santri dalam berbagai bidangnya, kebijakan kemandirian pesantren yang kita jadikan tonggak kemandirian bangsa akan berjalan dengan sukses yang dampaknya akan bisa dirasakan oleh dunia pesantren, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia,” pungkasnya. (rid)

Read More

Quraish Shihab : Orang Tua Harus Bisa Menjadi Sahabat Bagi Anak

Jakarta — 1miliarsantri.net : Cendekiawan Muslim Indonesia dan juga mantan Menteri Agama pada tahun 1998, Prof Quraish Shihab, menyebutkan sejumlah prinsip yang harus dilakukan para orang tua dalam mendidik anak, diantaranya yakni mau mendengarkan apa yang disampaikan anak, bisa menjadi sahabat yang baik, dan tidak membentak anak begitu saja. “Jangan membebaninya di luar kemampuan. Jangan pula memaki saat anak salah. Sebaiknya hubungan orang tua dengan anak bagaikan hubungan dengan sahabat,” urai Buya Quraish kepada 1miliarsantri.net, Selasa (01/08/2023) Menurutnya, jika hubungan orang tua dengan anak sudah baik, niscaya anak tidak segan dan canggung dalam menyampaikan rahasia terdalamnya kepada orang tua. Dia tidak akan lagi menyampaikan itu kepada temannya yang bisa saja tidak mengerti persoalan. “Orang tua harus pandai-pandai mendengar pendapat anaknya dan berdiskusi mencari solusi,” tuturnya. Menurut pengarang Tafsir Al-Misbah ini, orang tua harus sadar bahwa sebenarnya anak yang salah itu karena terpengaruh oleh faktor luar. Pada dasarnya seorang anak itu masih bersih, sehingga prinsip dasar dalam mendidik anak adalah jangan sekali-kali memukul anak, baik fisik maupun non fisik seperti memaki. “Sebutkan kesalahannya dan doakan agar Allah menjaga dan melindunginya. Di saat marah yang terjadi jalinan cinta itu tidak terputus dan jalinan dengan Tuhan juga tidak terputus,” tandasnya. Orang tua, sambungnya, harus mampu mendidik anak-anaknya, menjelaskan bahaya-bahaya yang mungkin dialami anak seperti saat ini yang sedang marak, yakni isu LGBT. Agama tidak menyetujui itu. Namun, kita bisa bergandengan tangan untuk memberi tahu bahwa hal tersebut berdampak buruk, bukan justru diam. “Orang yang diam dalam menghadapi keburukan itu seperti setan yang membisu. Jadi kita bisa memberitahu anak dengan cara yang baik. Jangan bersikap seperti bangau yang meletakkan matanya di tanah atau menyembunyikan kepalanya. Orang tua harus memberitahu sesuatu yang dirasa ada kekeliruan sehingga dapat diobati,” tuturnya. Buya Quraish menegaskan, yang paling bertanggung jawab atas anak adalah orang tuanya, kemudian baru sekolah. Anak memang semestinya lebih dekat dengan orang tua dibanding gurunya. Prof Quraish melanjutkan, orang tua menjadi salah jika merasa malu tidak mau memberikan pelajaran sekalipun terkait seks. Kita jangan mengandalkan orang lain meskipun itu adalah guru agama. “Di dalam Al-Qur’an cara mengajarkan seksualitas adalah dengan berterus terang tetapi dengan bahasa yang bersih. Kemudian menyadari bahwa itu adalah sesuatu yang normal pada waktunya, sehingga ada pembatasan yang harus dilakukan manusia. Karena kalau tidak dibatasi akan berbahaya,” pungkasnya. (rim)

Read More

Santri Harus Siap Menghadapi Tantangan Teknologi

Surabaya — 1miliarsantri.net : Teknologi yang terus berkembang hingga saat ini memberikan manfaat sekaligus tantangan tersendiri untuk sejumlah kalangan, termasuk bagi kalangan santri. Manfaat yang dimaksud salah satunya kemudahan mengakses aneka kebutuhan secara langsung. Pada dunia santri misalnya, dahulu, para santri di forum bahtsul masail harus membawa puluhan kitab. Namun sekarang cukup dengan membawa laptop (Maktabah Syamilah). Semua dokumen kitab bisa tersimpan di dalamnya. Ini semua merupakan bagian dari fenomena-fenomena teknologi. “Karena salah satu penyebabnya adalah tersedianya instrumen atau alat-alat tujuan di mana semua orang bisa mencari dan mengakses segala informasi dengan cepat,” terang Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa kepada media, Selasa (01/08/2023). Menurutnya, situasi ini di satu sisi tentu akan memaksa seseorang meninggalkan budaya atau tradisi yang dahulu sudah berjalan. Tidak terkecuali budaya di kalangan santri, sebagaimana disinggung sebelumnya. “Bahwa dunia lagi muncul fenomena-fenomena teknologi. Fenomena orang yang sudah mulai satu dari sekian juta meninggalkan tradisi klasik,” imbuhnya. Pada kesempatan ini, Kiai Zulfa juga menyinggung tentang munculnya kecerdasan buatan atau Intelegensi Artifisial (IA) yang lebih canggih daripada google. Kalau google mempunyai fungsi hanya menghimpun data, sedangkan IA bisa mengelola data dan bisa diperintahkan sesuai keinginan pengguna. Fenomena yang mengagetkan dunia baru-baru ini juga akan memberikan konsekuensi tersendiri kehidupan masyarakat. Kiai Zulfa kemudian mencontohkan kecerdasan dari IA. “Kalau dulu orang berkhutbah atau ceramah harus membuka kitab terlebih dahulu, namun sekarang dengan adanya Intelegensi Artifisial. Kita bisa perintahkan untuk membuatkan materi tentang khutbah atau ceramah dengan segala tema dan bahasa,” ucapnya. Kendati situasi semakin canggih, Kiai Zulfa menegaskan bahwa keberadaan pondok pesantren dan segala budaya yang dimiliki harus dipertahankan karena di pesantren inilah menyimpan ajaran dan tradisi yang tidak dimiliki oleh IA sekalipun. Seperti pola pengajaran di pesantren dan sanad keilmuan. “Sehebat-hebatnya google dan intelegensi artifisial (IA) yang membedakan dengan kiai dan ulama adalah sanad. Para kiai dan ulama bisa membimbing dan mendidik kita, sedangkan Google dan IA tidak bisa membimbing dan mendidik kita, karena dia hanya sebuah mesin dan tidak bersanad,” tegasnya. (har)

Read More

UAH : Kekayaan Abdurrahman bin Auf Mencapai Rp 7.200 Triliun

Jakarta — 1miliarsantri.net : Diantara sekian banyak sahabat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, Abdurrahman bin Auf adalah salah satu sahabat Nabi yang dikenal paling kaya di masa tersebut. Ia bisa menjadi kaya karena kepandaian dan kepiawaiannya dalam mengelola bisnis dan berbagai macam usaha nya. Kekayaan Abdurrahman bin Auf yang melimpah, membuat Ustadz Adi Hidayat (UAH) menyebutnya “orang yang kebangetan kaya”. Bahkan, harta Abdurrahman bin Auf bila dikonversikan dengan nilai saat ini bisa mengalahkan kekayaan Elon Musk dan Jeff Bezos. UAH menyampaikan, kekayaan milik Abdurrahman bin Auf jika dikonversi dengan nilai mata uang Indonesia bisa mencapai Rp 72.000 triliun. “Saking kaya bangetnya Abdurrahman bin Auf, kebangetan kayanya. Saya konversi nilai kekayaannya, kalau dulu dikonversi ke sekarang, itu jumlahnya Rp72.000 triliun,” terang UAH. Sementara kekayaan Elon Musk, CEO Tesla, hanya berjumlah Rp3.000 triliun. Itu pun kekayaannya baru mengalami penurunan menjadi Rp2.800 triliun. Begitu pun dengan Jeff Bezos, pendiri Amazon, dengan kekayaan mencapai Rp1.800 triliun. “Orang paling kaya sekarang, (kekayaannya) Rp3.000 triliun. Abdurrahman bin Auf, Rp72.000 triliun. Kebangetan nggak tuh?” lanjut UAH. Meski demikian, Abdurrahman bin Auf dikenal sangat dermawan dan sering memerdekakan budak, sehingga bisa dikata dibalik kekayaan nya, Abdurrahman bin Auf tidak pernah memandang remeh orang lain dan kerap bersedekah. (tin)

Read More

KH Nasaruddin Umar : Generasi Muda Sekarang Harusnya Meniru Apa Yang Pernah Dilakukan Nabi Muhammad SAW

Jakarta — 1miliarsantri.net : Generasi muda di jaman sekarang ini harusnya bisa mencontoh apa saja yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW saat masih muda. Terlahir sebagai anak Yatim Piatu, namun memiliki pribadi dan sosok yang kuat dan amanah. Kuat dan amanah merupakan dua karakter yang saling berkaitan. Demikian uraian Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH. Nasaruddin Umar dalam dalam sebuah Kajian seusai sholat Subuh di Masjid Istiqlal Jakarta, Minggu (30/07/2023) “Sesungguhnya yang paling pantas untuk dipekerjakan adalah orang yang terpercaya (menjaga amanah) dan kuat. Al-amin (orang terpercaya) tanpa Al-Qawiyyu (kuat) tidak menjanjikan, begitupun sebaliknya,” ungkap KH Nasaruddin. KH Nasaruddin menambahkan, antara kejujuran dan kekuatan dapat menimbulkan sinergi, sehingga bisa membentuk suatu kekuatan bagi pemuda dalam memimpin organisasi, ataupun berperan di barisan dakwah. “Sinergi antara al-amin dan al-qawiyyu akan menjanjikan, sehingga jadilah al-amin dan al-qawiyyu, agar memiliki power,” lanjut KH Nasaruddin. Dia mengajak para pemuda untuk meniru Rasulullah SAW yang mendapat gelar Al-amin sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Dia juga memaparkan latar belakang Rasulullah SAW diberi gelar Al-Amin, yaitu saat beliau dimintai pendapatnya terkait pemindahan Hajar Aswad. “Mari kita contoh seorang pemuda yang namanya Muhammad. Beliau sudah mendapat gelar Al-amin saat belum dewasa,” ujarnya. Saat itu terjadi banjir besar di Mekkah. Rasulullah SAW berusia 35 tahun. Kaum Quraisy bermaksud membangun kembali Kabah yang hancur setelah diterjang banjir. Ketika pembangunan Kabah telah selesai, terjadi perselisihan mengenai pihak yang berhak meletakkan Hajar Aswad. Semua kabilah bertekad bisa meletakkan Hajar Aswad. Kemudian Abu Umayyah bin Mughiroh sebagai orang tertua di antara semua kabilah menawarkan jalan keluar. “Barangsiapa yang pertama kali masuk melalui pintu as-Shofa maka ialah yang berhak untuk mengambil kebijakan tentang peletakkan Hajar Aswad tersebut,” katanya. Ternyata Allah SWT menakdirkan orang yang pertama kali memasuki pintu masjid adalah Rasulullah SAW. Ketika melihat Rasulullah SAW, mereka berkata, “Ini adalah al-Amin dan kami ridho terhadap keputusannya.” Mereka pun menjelaskan apa yang terjadi kepada Nabi Muhammad. Kemudian dengan kebijaksanaannya, Nabi Muhammad meminta kain lalu mengangkat Hajar Aswad ke atas kain tersebut dengan tanggannya. Setelah itu, beliau meminta setiap pemimpin kabilah untuk memegang ujung kain tersebut dan bersama-sama mengangkatnya menuju tempat Hajar Aswad. Nabi Muhammad mengangkat Hajar Aswad dari kain lalu meletakkannya di tempat semula. Itulah sosok Al-amin yang bijaksana, sosok tauladan bagi seluruh manusia, Rasulullah SAW. Dari peristiwa di atas juga, KH Nasaruddin berpesan agar menjadi pemuda yang dapat berpikir melampaui zamannya. “Kedepan biasakan diri untuk berpikir yang beragam. (Kalau) macet opsi satu, siap opsi kedua. Loncati masa depan lebih cepat, waktu umur muda, tapi wawasannya sudah dewasa,” pumgkasnya. (rid)

Read More

Zaitun Berkhasiat Cegah Stroke

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Al-Quran menyebut zaitun sebanyak tujuh kali. Dalam surat At-Tin ayat 1-4 disebutkan, “Demi buah ara dan zaitun, demi Gunung Sinai, demi kota keamanan ini. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Rasulullah pun menganjurkan untuk memanfaatkan minyak zaitun karena memiliki banyak khasiat dan dikeluarkan dari pohon yang diberkahi. Dalam sebuah hadist yang diterima dari Abi Darda, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obatnya, dan menjadikan setiap penyakit pasti ada obatnya. Maka berobatlah kalian, tapi jangan dengan yang haram.” (HR Abu Dawud). Anjuran Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam akan minyak zaitun diamini oleh dunia kedokteran. Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialisasi Hematologi Onkologi Medik, Prof dr Zubairi Djoerban, menyebut minyak zaitun atau olive oil memiliki banyak manfaat, di antaranya mencegah stroke dan serangan jantung. Menurut Prof Zubairi, sebuah penelitian ilmiah membuktikan orang yang mengonsumsi minyak zaitun setengah sendok makan per hari risiko Cardiovascular Disease 15 persen lebih rendah dan Coronary Heart Disease 21 persen lebih rendah. “Berkaitan dengan stroke, dari sebuah peninjauan kepada 841.000 orang, terungkap bahwa minyak zaitun adalah satu-satunya sumber lemak tak jenuh tunggal yang berkaitan dengan penurunan risiko stroke dan penyakit jantung,” terang Prof Zubairi, Jumat (28/07/2023) kemarin. Kemudian, dari riset lainnya pada 140.000 peserta, mereka yang mengonsumsi minyak zaitun memiliki risiko stroke yang jauh lebih rendah daripada yang tidak mengonsumsi. Prof Zubairi menerangkan, minyak zaitun memiliki kandungan asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fats) yang tinggi, atau asam oleat, di atas 70 persen. “Asam lemak tersebut membantu menurunkan kolesterol LDL, menurunkan tekanan darah, dan meningkatkan fungsi pembuluh darah,” tambahnya. Selain itu, lanjutnya, asam oleat juga dapat membantu mengurangi kadar penanda peradangan yang penting seperti C-reactive protein (SRP). Di mana peradangan kronis ini dianggap sebagai penyebab utama penyakit jantung, diabetes, hingga alzheimer. Lebih lanjut Prof Zubairi mengungkapkan ada tiga senyawa fenolik utama dalam extra virgin olive oil yang bersifat antioksidan kuat serta dapat mengurangi risiko penyakit kronis. Artinya, minyak zaitun tak hanya bermanfaat meminimalisir risiko stroke dan penyakit jantung saja. Tapi juga membantu menurunkan berat badan, menekan risiko diabetes tipe 2, mengurangi risiko kanker, mengobati rematik, dan sebagai antibakteri. “Jadi (mungkin) untuk Anda yang menggunakan margarin, mentega, dan mayones bisa menggantinya dengan konsumsi minyak zaitun. Tentunya dibarengi dengan pola hidup sehat lainnya seperti olahraga teratur,” saran Prof Zubairi. (yus)

Read More