Gereja berumur ratusan tahun dirubah menjadi Masjid

London – 1miliarsantri.net : Sungguh menakjubkan bagi kita jika melihat ada sebuah bangunan gereja yang dibangun sekitar tahun 1870 telah diubah menjadi masjid baru, tentu saja sudah dilakukan renovasi besar-besaran setelah beberapa dekade tidak digunakan. Masjid-e-Taqwa di Pleckgate Road menyelenggarakan sholat kali pertama pada pekan ini di gedung, yang dulunya merupakan rumah bagi Gereja St Chad. “Kami mencoba untuk mempertahankan fitur asli bangunan dan mencoba untuk memasukkan ini ke dalam desain baru,” kata juru bicara masjid, dilansir dari About Islam, Rabu (17/5/2023). Yang paling menonjol di dalam aula sholat, ada balok kayu merupakan fitur yang paling menentukan. Pintu dan lengkungan juga merupakan sesuatu yang membantu memberikan karakter unik masjid sendiri. “Kami mengundang orang-orang yang tinggal di daerah tersebut untuk melihat sendiri transformasi dan kami senang mendengar komentar mereka,” kata juru bicara itu. Masjid baru ini menampung 180 jamaah dan mencakup ruang sholat di atas dua lantai dan area untuk wudlu. Di luar masjid, terdapat halaman untuk tempat parkir mobil, fitur pencahayaan dan lanskap telah menghidupkan kembali bangunan itu. “Ini adalah bangunan yang sangat berkualitas tinggi sekarang dan mereka telah benar-benar meningkatkan ini dari sebelumnya,” kata seorang penduduk lokal, Brian, yang mengunjungi masjid. “Itu indah. Saya belum pernah melihat yang seperti itu,” tambahnya. Pemimpin Blackburn dengan Dewan Darwen Cllr Phil Riley mengunjungi masjid baru-baru ini, memuji renovasi masjid yang mengesankan. “Betapa indahnya bangunan itu dan penghargaan atas upaya yang telah dilakukan semua orang,” katanya. “Ini adalah bangunan semi-derelict untuk jangka waktu tertentu dan sekarang menjadi bangunan yang benar-benar indah. Pekerjaan telah dilakukan dengan begitu berkualitas. Ini benar-benar mengesankan untuk komunitas lokal,” tutup Riley. (yan)

Read More

Persahabatan KH Hasan Mustapa dengan Kolonial

Bandung – 1miliarsantri.net : Haji Hasan Mustapa adalah seorang Sastrawan Sunda terbesar. Lahir di Cikajang, Garut pada tahun 1852 dan menutup usia di Bandung di tahun 1930. Sebagai sastrawan yang tentu banyak menghasilkan karya, mulai dari prosa hingga puisi. Karya nya juga tidak hanya berbahasa Sunda, tetapi juga dalam berbagai bahasa, seperti Arab, Melayu, dan Jawa—walau dalam jumlah yang lebih sedikit dibanding dalam bahasa Sunda. Disamping sebagai sastrawan, Haji Hasan Mustapa juga merupakan salah satu pejabat penting di Pemerintahan Kolonial Belanda. Ia pernah menjabat sebagai penghulu di Aceh dan Bandung hingga pensiunnya. Hidupnya berada di akhir periode Cultuurstelsel dan Politik Etis hingga awal masa pergerakan nasional. Latar belakang sosok Haji Hasan Mustapa adalah pesantren dan tarekat. Sejak kecil dididik dalam lingkungan pesantren dan jaringan tarekat di sekitaran tanah Sunda. Keluarga dari Ibunya pun berasal dari ulama Pesantren sekaligus penganut tarekat, seperti KH. Hasan Basari (Kiarakoneng, Garut) dan Kiai Muhammad (Cibunut, Karangpawitan Garut). Bahkan dalam salah satu karya nya ia menceritakan bagaimana pengalaman ia sebagai santri. Berpindah pindah dari satu pesantren ke pesantren lain—setelah menyelesaikan pendidikan di sana. Berbekal ilmu pesantren yang ia dapat, ia dapat mempelajari ilmu agama lain, seperti Fiqh dan Bahasa Arab. Namun, minat utama Haji Hasan Mustapa adalah kepada mistisme (tasawuf). Hubungan ia dengan guru tarekat nya, Kiai Muhammad membuat ia diminta menggantikan guru nya yang lain setelah meninggal. Mereka kemudian berangkat ke Mekkah yang kemudian tinggal disana selama 6 tahun. Selama di Mekkah, ia juga berguru kepada banyak ulama tarekat disana. Baik dari kalangan Qadiriyah, Naqsabandiyah, maupun Syattariyah. Bahkan C. Snouck Hurgronje pun pernah menyatakan bahwa Haji Hasan Mustapa pernah berguru kepada Ulama Terkenal Asal Banten, Syaikh Nawawi Al-Bantani. Singkatnya, Haji Hasan Mustapa tidak bisa dilepaskan dari poros jaringan Sayyid Ulama Hijaz. Pertemuan pertama antara Haji Hasan Mustapa denga C. Snouck Hurgronje diperkiran ketika Haji Hasan Mustapa tinggal di Mekkah selama belasan tahun (1860-1862, 1869-1873, 1880-1885), pertemuan itu diperkirakan pada tahun 1885 M. Saat C. Snouck Hurgronje ‘menimba’ ilmu selama 6 bulan di Mekkah. Pertemuan itu semakin mempererat keduanya. Komunikasi antar keduanya terus berlanjut. Karena keduanya sama-sama menguasi Bahasa arab, maka korenspondensi antar kedua nya dilakukan dalam Bahasa arab. Hubungan persahabatan itu berlanjut bahkan kedua nya berjanji bertemu di Hindia Belanda. Tahun 1889, C. Snouck Hurgronje tiba di Hindia Belanda. Bahkan istri kedua Snouck di Hindia Belanda, Siti Sadijah adalah putri dari wakil penghulu Priangan saat Haji Hasan Mustapa menjabat sebagai penghulu priangan. Kemudian, karena kedekatan keduanya, C. Snouck Hurgronje pun mengajak Haji Hasan Mustapa berkeliling di daerah Sunda dan Jawa. Mengunjungi Ponorogo, Madiun, Surakarta, Yogyakarta, termasuk ke beberapa pesantren. Haji Hasan Mustapa selepas melakukan perjalanan banyak menyalin berbagai primbon, kitab, dan pustaka jawa yang kemudian diserahkan kepada C. Snouk Hurgronje. Termasuk perihal buku-buku tasawuf. Untuk itu, Haji Hasan Mustapa dibayar sekitar f 50 per bulan. Selanjutnya, ia pun disarankan oleh C. Snouck Hurgronje menjadi Penghulu di Kutaraja Aceh. Sebab C. Snouck Hurgronje kagum terhadap sosok Haji Hasan Mustapa. Menjelang pengangkatan sebagai Penghulu Kutaraja Aceh, C. Snouck Hurgronje mengirimkan surat kepada sekertaris pemerintahan di Buitenzorg yang berisi : Haji Hasan Mustapa telah dikenal sangat dekat sejak kurang lebih 10 tahun dan selama waktu itu rasa hormat C. Snouck terhadap watak dan bakatnya yang benar-benar langka, semakin bertambah. Pemukimannya selama 13 tahun di negara Arab didahului oleh telaah beberapa tahun di Priangan, kampung halamannya, telah menyebabkan ia mencapai tingkat yang luar biasa tingginya mengenai syariat Islam untuk daerah-daerah ini. Di negara Arab maupun sesudah ia pulang ke kampong halamannya pada 1885, ia seorang guru yang dihormati dan dicintai. Beberapa karya telah diterbutkannya dalam Bahasa Arab.. Teks-teks surat dapat dikategorikan menjadi enam jenis berdasarkan isi yang disampaikan. Mulai dari Informasi tentang perkembangan Tarekat di Jawa, Pertemuan Snouck Hurgronje dan Haji Hasan Mustapa, Kabar Keluarga Snouck Hurgronje di Priangan, Kiriman Naskah-naskah Nusantara kepada C. Snouck Hurgronje di Belanda, Kiriman naskah karya Haji Hasan Mustapa kepada Snouck Hurgronje di Belanda, dan perihal persahabatan yang diliputi kerinduan. Pada salah satu suratnya terkait tarekat di jawa. Ia menyampaikan kepada C. Snouck Hurgronje bahwa ia pernah ditanya oleh G. A. Hazeu—penasihan Belanda setelah C. Snouck Hurgronje—perihal aliran tarekat yang dicurigai oleh Pemerintah Kolonial Belanda dapat meresahkan dan membahayakan masyarakat dan pemerintah kolonial Belanda. Hazeu menyatakan khawatir terhadap keberadaan beberapa tarekat. Namun, Haji Hasan Mustapa menjawab bahwa aliran tarekat tidaklah perlu dikhawatirkan dan dianggap berbahaya bagi keamanan negara. Bahkan ia menolak anggapan bahwa ahli tarekat sangat membahayakan keamanan. Menurutnya, itu disebabkan adanya iri dari pada priyayi dan ambtenaar terhadap pengaruh tarekat di kalangan masyarakat. Perihal kabar keluarga C. Snouck Hurgonje di Priangan yang sempat diperdebatkan oleh para kalangan, karena C. Snouck Hurgronje sendiri menolak kabar tersebut. Snouck Hurgronje pun tak pernah menyinggung soal adanya keluraga di Priangan, bahkan dari 1000 surat yang sudah sudah dikaji tidak ditemukan satupun perihal ini. Namun, hal itu terpatahkan dengan adanya kabar-kabar yang dikirimkan oleh Haji Hasan Mustapa lewat korenspondensinya. Salah satu suratnya seperi berikut, Di antara kabar lainnya, suatu hari datang Raden Ayu (Lasamitakusuma) untuk memperlihatkan hasil berobat mata dari daerah Selah, ia bercerita tantang anak perempuan, yaitu Emah, yang batal menikah denga laki-laki yang pernah disebutkan di suratnya. Raden Ayu memikirkan karena ia anak laki-laki Guru (kiai) pesantren yang sebagaian kerabatnya (baru) datang dari haji. Emah adalah nama lengkap dari Emah Salamah salah seorang anak Snouck Hurgronje dari istri beranama Sangkana. Emah bersama saudara-saudarnya (Umar, aminah, Ibrahim) diasuh oleh Raden Ayu Laksimatakusuma di Ciamis setelah C. Snouck Hurgronje kembali ke Belanda tahun 1906. Raden Ayu adalah istri dari bupati Ciamis Arya Kusuma Subrata yang masih saudara dekat dengan R. H. Muhammad Taib, penguhulu Ciamis, Ayah Sangkana (Istri Snouck). Perihal naskah-naskah nusantara yang dikirimkan ada beberapa naskah yang disimpan di UB Leiden diketahui adalah kiriman Haji Hasan Mustapa. Kontribusi Haji Hasan Mustapa adalah memfokuskan karangan tentang adat-istiadat Sunda. Yang memang diminta oleh C. Snouck Hurgronje. Hal itu disinyalir dalam konteks kepentingan politik Kolonial Belanda yang mana memfokuskan penggalian informasi pada adat istiadat asli orang Hindia Belanda dibanding Islam. Yang mana Para Orientalis lebih menempatkan kebudayaan asli diatas teks-teks Islam. Sedangkan permintaan pada Penghulu agar mementingkan kajian mengenai…

Read More

Baiat Para Sahabat dihadapan Rasulullah

Surabaya – 1miliarsantri.net : Dalam membantu dakwah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam, para Sahabat lah yang menjadi garda terdepan. Hal ini dibuktikan dengan ucapan sumpah setia (baiat) para sahabat yang diucapkan langsung di hadapan Rasulullah. Syekh Muhammad Yusuf Al-Kandahlawy dalam Sirah Sahabat membagi macam-macam baiat yang dilakukan sahabat di hadapan Rasulullah: Pertama, baiat untuk Islam. Dari Mujasyi bin Mas’ud dia berkata, “Aku menemui Nabi bersama saudaraku lalu kukatakan kepada beliau, ‘Kami hendak berbaiat untuk hijrah’. Beliau bersabda, “Hijrah telah berlalu, diperuntukkan bagi orang-orang yang melakukannya,”. Aku bertanya, “Lalu untuk apa engkau membaiat kami?”. Beliau menjawab, “Untuk Islam dan jihad,”. Kedua, baiat untuk melaksanakan amal-amal Islam. Ahmad mentakhrij dari Jarir, dia berkata, “Aku berbaiat kepada Rasulullah untuk melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, dan memberikan nasihat kepada setiap orang Muslim,”. Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, dan Ibnu Asakir dari Ubadah bin Ash-Shamit, dia berkata, “Aku termasuk salah satu dari 11 orang yang ikut dalam baiat Aqabah yang pertama. Kami berbaiat kepada Rasulullah SAW seperti baiat para Muslimah Makkah yang hendak hijrah, sebelum beliau mewajibkan perang kepada kami. Kami mengucapkan baiat kepada beliau untuk tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membuat-buat kedustaan di antara tangan dan kaki kami, tidak membunuh anak-anak kami, tidak mendurhakainya dalam hal yang makruf. Siapa yang memenuhinya maka baginya surga, dan siapa yang melanggar sebagian di antaranya, maka urusannya kembali kepada Allah. Apabila menghendaki, maka Allah akan mengadzabnya dan jika menghendaki maka Allah akan mengampuninya,”. Ketiga, baiat untuk hijrah. Dari Al-Harits bin Ziyad As-Sa’idy dia berkata, “Aku menemui Nabi sewaktu perang Khandaq. Saat beliau sedang membaiat orang-orang untuk hijrah. Kami mengira bahwa orang-orang selain mereka itu (dari kalangan Anshar) juga diminta untuk berbaiat,”. Keempat, baiat untuk memberikan pertolongan. Dari Jabir, dia berkata, “Rasulullah SAW berada di Makkah selama 10 tahun menyeru manusia dengan cara mendatangi tempat-tempat yang biasanya mereka jadikan untuk berkumpul seperti di PAsar Ukazh dan Majannah serta pada waktu musim haji. Beliau berseru, “Siapakah yang mau melindungiku? Siapakah yang mau menolongku agar aku dapat menyampaikan risalah Rabb-ku, dan dia akan mendapatkan surga?”. Namun beliau tidak mendapatkan seorang pun yang mau. Sebelum akhirnya terdapat tujuh orang laki-laki yang berangkat ke Makkah pada musim haji untuk menghadap Nabi. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, untuk apa kami berbaiat kepada engkau?”. Nabi menjawab, “Kalian berbaiat kepadaku untuk mendengar dan taat saat bersemangat atau malas. Untuk mengeluarkan harta saat sulit atau mudah, untuk menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar,”. Mereka kemudian berkata, “Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan baiat ini dan sama sekali tidak akan menyia-nyiakannya,”. Kelima, baiat untuk jihad. Dari Anas dia berkata, “Rasulullah SAW pergi ke Khandaq. Sementara orang-orang Muhajirin dan Anshar sedang menggali parit pada pagi yang dingin. Mereka tidak mempunyai orang upahan untuk mengerjakannya. Ketika melihat keadaan mereka yang letih dan kelaparan, maka beliau bersabda, “Ya Allah, ini adalah kehidupan akhirat. Ampunilah dosa orang-orang Muhajirin dan Anshar,”. Kemudian mereka menyahut, “Kamilah yang berbaiat kepada Muhammad untuk berjihad selagi kami masih hidup,”. Keenam, baiat untuk mendengar dan taat. Dari Ubadah dia berkata, “Kami berbaiat kepada RAsulullah SAW layaknya baiat perang untuk mendengar dan taat pada saat sulit dan mudah, kuat dan lemah, lebih mementingkan hal ini, tidak menentang perintah, berkata dengan benar di mana kami berada dan tidak takut celaan orang yang suka mencela karena Allah,”. (fat)

Read More