Tarif AS 19% Bebani Ekspor RI, Buka Peluang Baru

Dengarkan Artikel Ini

Jakarta – 1miliarsantri.net : Mulai 7 Agustus 2025, Amerika Serikat resmi menerapkan tarif resiprokal 19 % atas produk asal Indonesia, menurunkan tarif sebelumnya dari 32 % berkat negosiasi diplomatik intensif, yang mana kebijakan tarif ini merupakan kelanjutan dari pola pola proteksionis Donald Trump sejak periode pertamanya pada 2018 lalu.

Ekspor RI Tertekan, Peluang Terjaga

Beberapa sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik diprediksi mengalami penurunan volume ekspor karena melemahnya daya saing harga. Menurut Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eisha Maghfiruha Rachbini, tarif tinggi akan langsung menekan volume ekspor RI, terutama di sektor tekstil, alas kaki, furnitur, elektronik, hingga produk pertanian seperti kelapa sawit dan karet.

Studi DPR memperkirakan bahwa kenaikan 1 % tarif dapat menurunkan ekspor hingga 0,8 %, berisiko menyebabkan PHK di sektor padat karya dengan risiko PHK mencapai 191.000 pekerja di sektor tekstil dan 28.000 tenaga kerja di sektor kelapa sawit. Namun, dibandingkan tarif negara ASEAN seperti Thailand (36 %) dan Malaysia (25 %), tarif RI tetap lebih kompetitif dan harga RI juga lebih rendah dari pesaing seperti Vietnam atau Kamboja menjadikan alasan AS masih memilih produk kita.

Tarif ini dapat menjadi pemicu inflasi di AS. Proyeksi Bloomberg Economics menunjukkan bahwa tarif 10-41 % secara umum bisa menggerus pertumbuhan AS hingga 1,8 % dan menaikkan inflasi inti sebesar 1,1 % dalam 2-3 tahun ke depan. Meski demikian, menurut Kontan, efek terhadap inflasi domestik AS diperkirakan minimal, tetapi tetap membutuhkan kewaspadaan agar tidak dimanfaatkan sebagai justifikasi inflasi lebih lanjut.

Tarif ini bukan tanpa konsekuensi domestik. Studi menunjukkan bahwa kenaikan tarif AS secara umum memicu inflasi dan mengganggu stabilitas harga ritel mereka. Bahkan, kebijakan proteksionis ini bisa mendorong konsumen AS mengambil langkah penghematan, menunda pembelian impor, serta mengurangi konsumsi barang ekspor RI.

Ekonom UGM, Muhammad Edhie Purnawan, menyatakan:

“Tarif ini memang mengancam ekspor, tetapi juga membuka peluang: pangsa pasar RI kemungkinan tetap hinggap AS karena tarif kita lebih rendah daripada pesaing utama.” ujarnya

Indonesia perlu merespons dengan diplomasi ekonomi, diversifikasi pasar, serta memperkuat iklim investasi dan kebijakan domestik. Lebih lanjut, DPR mencatat bahwa kebijakan ini menjadi pemicu penting bagi percepatan diversifikasi pasar hingga menuju UE, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Sementara itu, Kemenkeu menyebut risiko tekanan ekonomi bisa menurunkan pertumbuhan nasional 0,3–0,5 poin persentase.

Dalam wawancara Tempo, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno, memberikan sudut pandang kritis:

“Teori tarif Trump tak ada di buku ekonomi” yang mana mengindikasikan bahwa efek kebijakan ini sering kali tidak sesuai harapan: ekspor mungkin tetap bertahan jika kualitas dan hubungan perdagangan RI solid.

Hasil Negosiasi Positif, Aliran Modal Terjaga, dan Risiko Ganda di Dalam Negeri RI

Gubernur BI Perry Warjiyo menyambut baik hasil negosiasi yang menurunkan tarif ke 19 %, menganggapnya sebagai “positif” untuk prospek ekspor dan stabilitas ekonomi. BI akan terus mendalami dampak kebijakan ini terhadap pertumbuhan, neraca perdagangan, dan pasar keuangan. 

Menurut analis di Jawapos, kesepakatan tarif 19 % diimbangi dengan tarif 0 % bagi ekspor AS ke RI, yang memungkinkan banjir produk impor, tekanan neraca pembayaran, dan pelemahan rupiah. Khawatir terjadi inflasi dan penurunan daya beli masyarakat. Jawa Pos juga menekankan bahwa ketimpangan struktural (tarif balance) bisa membuat sektor domestik RI rawan digerus kompetisi, jika tidak didukung proteksi dan reformasi industri yang matang.

Ringkasan Inti Aspek Dampak bagi Indonesia & AS

Ekspor RI ke ASTekanan harga dan volume, tapi tarifnya relatif kompetitif di ASEAN pada sektor padat karya
Inflasi di ASPotensi meningkat, tapi proyeksi dampak minor secara jangka pendek 
Sektor Industri RIAncaman PHK dan penurunan produksi jika ekspor menurun
Aspek Ekonomi RINegosiasi dianggap positif; BI optimis ekspor dan aliran modal tetap stabil
Risiko Domestik RIProduk impor AS tanpa tarif bisa mengikis pasar lokal dan memperlemah rupiah
Risiko Makro EkonomiPertumbuhan domestic melemah; perlu proteksi industri dan dukungan UMKM
Strategi RIDiversifikasi pasar, diplomasi ekonomi agresif, adaptasi kebijakan

Tarif 19 % bukan hanya “tampang baru” dari proteksionisme Trump, tarif ini adalah persimpangan ekonomi bagi Indonesia. Di satu sisi, tekanan turun. Di sisi lain, peluang adaptasi dan diplomasi global terbuka lebih lebar. Strategi diversifikasi dan peningkatan daya saing adalah kunci agar Indonesia tidak sekadar bertahan, tetapi bergerak maju. 

Tarif 19 % adalah hasil diplomasi yang membuka ruang bagi eksistensi ekspor RI tetapi bukan tanpa risiko. Inflasi di AS bisa naik, tetapi kemungkinannya terbatas. Bagi Indonesia, tantangan utamanya ada di menjaga daya saing domestik sambil memperluas pasar dan memperkuat struktur industri.

Penulis: Faruq Ansori

Editor: Glancy Verona

Foto by AI


Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Berikan Komentar Anda

Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca