Mengintip Sejarah Kejadian Malari di Era Orde Baru

Jakarta — 1miliarsantri.net : Salah satu fase penting dalam lintasan sejarah perjalanan bangsa Indonesia terjadi persis setengah abad lalu. Peristiwa itu dilabeli malapetaka 15 Januari 1974 alias Malari. Ada ketidakpuasan, gerakan sosial, protes terhadap arah pembangunan, sekaligus perlawanan balik dari Orde Baru terhadap para pengkritiknya.
Malari terjadi ketika Soeharto belum genap 10 tahun berkuasa. Orde Baru di bawah kendalinya dianggap sudah melenceng dari cita-cita awal, terutama dalam kebijakan terkait perekonomian. Investasi asing yang mendapat kemudahan pajak dan pungutan lainnya ini masuk dengan deras. Pertumbuhan ekonomi menjadi “dewa” sebagai acuan.
Adalah Hariman Siregar, tokoh penting yang saat itu berstatus sebagai mahasiswa Universitas Indonesia (UI) menjadi motor penggerak protes. Ia lantas ditangkap bersama ratusan orang lainnya. Dalam catatan, peristiwa Malari menewaskan 11 orang, 297 cedera, 820 orang ditahan, 144 gedung terbakar, dan sekitar 1.000 mobil dan motor buatan Jepang dibakar.
Selain korban jiwa dan kerusuhan sosial, rangkaian peristiwa Malari juga berbuntut pada pemberedelan surat kabar. Dalam kesaksian yang dituliskan Alwi Shahab, beberapa petinggi koran dipanggil ke Bina Graha. Abah Alwi, saat peristiwa Malari, bertugas sebagai wartawan yang meliput kegiatan kepresidenan di pusat kekuasaan negara.
Dengan dihadiri sejumlah pimpinan redaksi, diumumkanlah di Bina Graha bahwa ada surat kabar yang surat izin terbitnya (SIT) dihentikan alias diberedel. Seperti Harian Nusantara, Indonesia Raya, Abadi, Pedoman, The Jakarta Times, Mahasiswa Indonesia, serta mingguan Wenang dan Ekspress.
Kesenjangan ekonomi, kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat lapis bawah, terlalu “memanjakan” investor asing, adalah sekian dari banyak isu yang dipilih publik sebagai bentuk koreksi terhadap pemerintah saat itu. Protes atau kritik dari publik itu termanifestasi menjadi gerakan turun ke jalan yang melibatkan massa. Aksi ini menimbulkan gejolak politik dan kerusuhan di Ibu Kota.
Dengan kata lain, kritik publik terhadap kebijakan pemerintah sebenarnya sudah terjadi sejak dulu, bukan barang baru. Hanya cara atau ekspresi publik mungkin berbeda. Yang sebenarnya menjadi pembeda adalah respons pemerintah. Orde Baru jelas merespons peristiwa itu dengan represif. Menangkap para tokoh motor penggerak aksi, hingga melakukan pemberedelan terhadap media massa.
Semua yang terjadi pada peristiwa Malari adalah potret atau wajah “demokrasi” Indonesia saat itu. Protes publik dijawab dengan penahanan terhadap pengkritiknya. Koran-koran yang kritis pun diberedel untuk memutus rantai informasi agar tak sampai ke masyarakat. Cara terakhir ini sangat efektif zaman itu. Media massa menjadi alat komunikasi paling efektif untuk menyampaikan “keresahan” yang terjadi kepada rakyat.
Lantas, bagaimana wajah demokrasi di era kiwari? Pola sebuah kritik dari publik terhadap jalannya sebuah pemerintahan sebenarnya tidak ada yang berubah. Jika laku pemerintah dinilai tidak berada di relnya, kritik akan muncul. Sebuah proses yang sangat alamiah dalam negara yang memilih jalan demokrasi. Yang barangkali berubah, mungkin cara atau alat yang digunakan untuk menyampaikan kritiknya.
Perkembangan teknologi telah mengubah dan mempengaruhi banyak sekali cara-cara publik menyampaikan kritik. Medsos telah meruntuhkan sekat ketakutan yang dulu sangat tebal. Orang kini bebas bicara apa saja secara terbuka, selama tidak menghina personal. Maka kemudian, memberedel media massa zaman sekarang mungkin tidak perlu dan tidak akan dilakukan.
Di sisi lain, publik menjadi sangat sensitif ketika kritik yang dilontarkan diseret polisi ke ranah hukum. Di wilayah ini, pemerintah harus berhati-hati betul. Sekali salah langkah, kepercayaan publik bisa turun. Pemerintah kini tak bisa lagi menggunakan cara-cara model usang seperti zaman Orde Baru yang “diperhalus” menjadi “proses hukum”. Selain sudah tidak zaman, cara itu tak akan efektif. Di era yang sangat terbuka seperti sekarang, menutup-nutupi kebijakan adalah pilihan paling tidak rasional bagi pemerintah. Publik selalu punya jalan keluar.
Ketika demokrasi sudah menjadi kesepakatan bersama sebagai cara yang dipilih dalam bernegara, maka pemerintah harus konsekuen. Setidaknya ada beberapa aspek yang mesti diperhatikan. Pertama, pelibatan publik dalam setiap kebijakan harus dilakukan. Kedua, pemerintah wajib tidak alergi kritik. Ketiga, tidak semena-mena.
Respons pemerintah terhadap pengkritiknya inilah yang membedakan satu pemimpin dengan yang lain. Jika tak berubah, atau sekadar “memodifikasi” ancaman berdasarkan zaman, bisa dikata artinya sama saja. (yan)
Baca juga :
- Hidup Ala Rasulullah : Sederhana, Produktif, dan Penuh Makna
- Kecerdasan Buatan (AI) Masuk Kurikulum ; Cetak Gen Z yang Memiliki Talenta Digital?
- Mengukir Langkah Bersama: Haflah Akhirussanah ke-VI Pondok Tahfidz Modern Al-Imam
- Badge Pahala : Bisakah Ibadah Di-Gamifikasi Tanpa Kehilangan Ikhlas
- Gunung Berbalut Hijab – For some, lifestyle is the source of life
Discover more from 1miliarsantri.net
Subscribe to get the latest posts sent to your email.