Pengakuan Dunia, Derita Gaza: Legitimasi di Atas Kertas, Air Mata di Bawah Reruntuhan

Gaza – 1miliarsantri.net | Saat para pemimpin dunia berkumpul, memberikan pengakuan resmi atas status kenegaraan Palestina—sebuah kabar yang disiarkan di seluruh penjuru dunia—timbul sebuah pertanyaan krusial dari balik puing-puing: Apakah pengakuan di atas kertas bisa menghentikan kesengsaraan?
Pergerakan diplomatik dari negara-negara Barat seperti Prancis, Inggris, Kanada, dan lainnya yang mengakui negara Palestina memang disambut sebagai penegasan legitimasi. Namun, bagi mereka yang hidup di tengah operasi militer yang masih berlangsung dan kelaparan hebat, pengakuan itu terasa “tidak berharga”. Fokus utama, jauh melampaui peta dan batas negara, adalah kebutuhan paling mendasar: diakui sebagai manusia biasa.
Suara di Tengah Fajar yang Kelabu
Kenyataan di Gaza saat ini adalah medan perang yang menghancurkan. Seluruh wilayah berada dalam reruntuhan. Hampir semua penduduk Palestina telah mengungsi. Dalam konteks penderitaan ini, Adeeb Abu Khalid, seorang pengungsi dari Kota Gaza, menyampaikan inti dari harapan mereka: “Yang penting bagi kami adalah perang berhenti,”. Ia menambahkan bahwa saat ini, mereka hidup dalam kelaparan, diliputi kesengsaraan.
Data Kementerian Kesehatan Gaza menunjukkan betapa parahnya situasi ini, dengan setidaknya 65.000 orang tewas, di mana sekitar setengahnya adalah perempuan dan anak-anak. Di tengah statistik yang mengerikan ini, pengakuan internasional terasa begitu jauh. Huda Masawabi, seorang pengungsi lainnya, mengungkapkan perasaannya secara lugas, menyatakan bahwa yang ia harapkan hanyalah agar Allah membuat orang-orang di luar sana mengakui mereka, atau setidaknya memperlakukan mereka sebagai “manusia biasa semata”.
Air Mata dan Drama ‘Serial TV’

Bagi banyak orang, pergerakan diplomatik ini hanyalah sebuah tontonan yang tidak memiliki dampak jangka pendek di lapangan. Di Tepi Barat, wilayah yang diimpikan menjadi jantung negara Palestina masa depan, kenyataan dipertentangkan dengan perluasan permukiman Israel dan peningkatan kekerasan pemukim.
Tragedi kemanusiaan terekam dalam momen yang tak terlupakan, seperti tangisan pilu Omar Al-Zaqzouq, yang berusia 7 tahun, yang berduka di atas jenazah adik laki-lakinya, Malek, yang baru berusia 2 tahun, terbunuh dalam serangan militer.
Melihat pemandangan ini, Murad Banat, seorang pria Palestina yang mengungsi, merasakan keputusasaan atas janji-janji yang diberikan dunia. Ia menyebut pengakuan terbaru ini “hanya omong kosong”. Ia membandingkan dunia yang menonton mereka dengan teater: “Semua orang menonton kami seperti drama. Seperti serial TV, setiap hari ada serial TV,”. Mohammad Hammad dari Kamp Jenin juga merasakan hal serupa, menegaskan bahwa semua pengakuan ini “tidak ada artinya,” karena mereka masih berada di bawah pendudukan.
Secercah Harapan di Tengah Keteguhan

Meskipun keraguan menyelimuti, ada juga yang menemukan sedikit penghiburan dari dukungan global ini. Bagi sebagian orang, pengakuan negara ini memperkuat tekad mereka. Saeed Abu Elaish, seorang petugas medis yang kehilangan banyak anggota keluarga, termasuk istri dan dua putrinya, percaya bahwa pengakuan tersebut merupakan seruan untuk menghentikan genosida dan pembantaian di Gaza, serta penghentian perambahan pemukim di Tepi Barat.
Naser Asaliya, seorang pengungsi dari Kota Gaza, berharap pengakuan ini akan memberikan dampak positif, apa pun keadaannya. “Kami adalah orang-orang yang terlanda musibah, dan kami mengharapkan apa pun yang membuat kami bahagia, tidak peduli betapa sederhananya, apa pun yang mendukung kami, memperkuat keteguhan kami di tengah blokade yang tidak adil ini,” katanya.
Intinya, apa yang diinginkan oleh rakyat Palestina bukanlah sekadar negara nominal, tetapi negara yang berdaulat penuh yang menjaga perbatasannya, idealnya berdasarkan batas 5 Juni 1967. Selama perang belum berhenti dan kesengsaraan masih membayangi, legitimasi sejati yang mereka dambakan bukanlah pengakuan diplomatik, melainkan pengakuan atas hak mereka untuk hidup, dalam damai, sebagai manusia yang utuh dan berdaulat. (***)
Penulis: Abdullah al-Mustofa
Editor: Toto Budiman
Sumber: The Associated Press
Foto: The New Arab, Anadolu Ajansi, The Wall Street Journal Youtube Channel
Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.