Tegal – 1miliarsantri.net : Di tengah kondisi ekonomi yang masih serba sulit, generasi muda Nepal kini semakin geram dengan gaya hidup mewah keluarga pejabat dan politisi. Fenomena flexing alias pamer harta yang dilakukan anak-anak elite politik menjadi salah satu pemicu gelombang protes besar di negara pegunungan Himalaya itu.
Di media sosial, istilah “anak-anak nepo” Nepal plesetan dari nepotisme mendadak viral beberapa pekan sebelum demonstrasi Senin lalu (08/09). Istilah ini ditujukan pada anak-anak pejabat tinggi dan menteri yang hobi pamer barang mewah di TikTok maupun Instagram.
Para politisi Nepal sebenarnya sudah lama dituding korupsi, tidak transparan dalam penggunaan dana publik, dan menikmati gaya hidup yang jauh dari wajar jika dibandingkan dengan gaji resmi mereka. Kecurigaan itu semakin kuat ketika muncul berbagai video yang memperlihatkan kerabat pejabat bepergian dengan mobil mahal, nongkrong di restoran kelas atas, atau berpose dengan merek fesyen desainer internasional.
Didorong kemarahan, kaum muda Nepal menjuluki anak-anak politisi sebagai “nepo babies”. Salah satunya, Saugat Thapa, anak seorang pejabat daerah. (sumber IG / SGTTHB)
Menurut seorang asisten profesor di Sekolah Bisnis Universitas Pokhara Nepal bernama Yog Raj Lamichhane, kemarahan atas ‘anak-anak nepo’ tersebut mencerminkan frustrasi publik Nepal yang mendalam. Dirinya juga terkejut dengan kenyataan bahwa para politisi yang dulu dikenal hidup sederhana saat masih berjuang sebagai aktivis partai, kini justru tampil bak kaum jetset.
“Kini memamerkan gaya hidup mewah layaknya tokoh mapan,” ujarnya kepada Al Jazeera, dikutip dari international.sindonews.com, Kamis (11/9/2025).
Tak heran bila para demonstran menuntut dibentuknya komisi investigasi khusus untuk menelusuri harta kekayaan para politisi. Bagi publik, hal ini bukan sekadar soal pamer harta, tetapi simbol dari masalah yang lebih besar: korupsi dan kesenjangan ekonomi.
Menurut Dipesh Karki, asisten profesor di Universitas Kathmandu, fenomena ini tak bisa dilepaskan dari sejarah Nepal sebagai masyarakat feodal yang baru dua dekade lalu meninggalkan sistem monarki. “Sepanjang sejarah, mereka yang berkuasa memegang kendali atas sumber daya dan kekayaan bangsa, yang mengakibatkan apa yang bisa kita sebut sebagai perebutan kekuasaan oleh elit,” ujarnya.
Video yang beredar di TikTok makin menambah bara kemarahan publik. Salah satunya menampilkan Sayuj Parajuli, putra mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal Gopal Parajuli, sedang berpose dengan mobil dan jam tangan mewah. Video lain memperlihatkan Saugat Thapa, anak Menteri Hukum dan Urusan Parlemen Bindu Kumar Thapa, sedang asyik di restoran mahal.
Menurut Karki, tak mengherankan jika kesenjangan makin terasa. Sebab kekayaan, bisnis perkotaan, hingga kesempatan pendidikan sebagian besar terkonsentrasi di kalangan keluarga elit Nepal, terutama mereka yang memiliki koneksi politik.
Kontras dengan kemewahan elite, kondisi rakyat justru sebaliknya. Pendapatan per kapita Nepal hanya sekitar USD 1.400 per tahun, salah satu yang terendah di Asia Selatan. Tingkat kemiskinan masih di atas 20 persen, sementara pengangguran pemuda mencapai 32,6 persen pada 2024, jauh lebih tinggi dibandingkan India yang hanya 23,5 persen
Tak heran banyak warga Nepal memilih mencari nafkah ke luar negeri. Pada 2021, sekitar 7,5 persen populasi tinggal di luar negeri, angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan India (1 persen) dan Pakistan (3,2 persen). Perekonomian Nepal bahkan sangat bergantung pada remitansi: pada 2024, uang kiriman pekerja migran mencapai 33,1 persen dari PDB, salah satu yang tertinggi di dunia.
“Kenyataan pahitnya adalah sebagian besar penduduk miskin berada di luar Nepal, mengirimkan remitansi ke Nepal,” jelas Karki.
Sementara itu, kepemilikan tanah tetap timpang. Menurut Karki, 10 persen rumah tangga teratas memiliki lebih dari 40 persen tanah. Di sisi lain, sebagian besar penduduk miskin perdesaan Nepal justru tidak memiliki tanah sama sekali. (***)