Scroll Terus Sampai Otak Nge-lag: Dilema ‘Konten Receh’ Candu Bagi Gen Z

Jakarta – 1miliarsantri.net: Fenomena yang makin umum kebiasaan Gen Z mengakses media sosial dengan aktivitas scrolling yang tak berujung. Di tengah tumpukan tugas, tekanan sosial, dan ekspektasi hidup yang kian kompleks, Gen Z kerap mencari pelarian singkat seperti pada “konten receh” di TikTok. Mereka sering menjadikan video absurd 10 detik tentang kucing nabrak tembok, lipsync random, atau curhat iseng yang tak berkesudahan menjadi sumber hiburan cepat. Namun di balik tawa singkat itu, muncul pertanyaan, “Mengapa kita merasa sulit berhenti scroll?” Konten Receh “Cemilan Digital” Menjadi Candu “Konten receh” di media sosial sama halnya dengan junk food—enak di mulut, tapi bikin eneg. Pasalnya, ia mampu menawarkan hiburan ringan, instan, dan tidak memerlukan perhatian mendalam, dan berpotensi menjadi candu yang sulit dihilangkan. Gen Z yang hidup di era produktivitas tanpa jeda menggunakan konten semacam ini sebagai ruang jeda mental. Bukan sekadar hiburan, tapi juga strategi bertahan di tengah kepenatan mental yang tak selalu bisa dijelaskan. Studi dari Frontiers in Psychology (2020) menemukan bahwa penggunaan humor lewat media—terutama konten ringan dan lucu—justru mampu menekan efek buruk stres dan kecemasan. Fokus dari riset tersebut adalah pola konsumsi media selama pandemi, dan menyimpulkan bahwa humor sebagai bentuk coping berkaitan erat dengan kesejahteraan mental yang lebih baik, sedangkan coping yang lebih bersifat avoidant (menghindar secara pasif) justru berhubungan dengan penurunan kualitas mental. Bahkan, studi oleh Chloe Partlow dan Patricia Talarczyk dalam Journal of Student Research (2021) menunjukkan bahwa Gen Z cenderung menilai konten absurd sebagai lebih lucu dan menyenangkan dibanding bentuk humor yang lebih konvensional. Semakin tidak masuk akal sebuah meme, justru semakin efektif sebagai pengalih stres. Ini menjadi petunjuk menarik bahwa humor digital tak hanya sekadar pemanis linimasa, tetapi juga punya fungsi psikologis yang nyata. Otak yang Nge-lag: Ketika Hiburan Jadi Candu? Istilah brain rot—yang ditetapkan Oxford sebagai “Word of the Year” 2024—mengacu pada penurunan fungsi kognitif akibat konsumsi pasif konten trivial, seperti doom scrolling dan short-form feed tanpa muatan makna. Ini bukanlah alarm yang berlebihan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa paparan berulang terhadap konten pendek, cepat, dan dangkal dapat menciptakan kebiasaan otak mengharapkan stimulasi instan. Akibatnya, otak menjadi “malas” untuk terlibat dalam proses berpikir reflektif, konsentrasi mendalam, bahkan pengolahan ingatan jangka panjang. Fenomena ini sangat terlihat dalam kebiasaan konsumsi Gen Z terhadap media sosial. Platform seperti TikTok dan Instagram Reels dirancang secara algoritmik untuk mempertahankan atensi pengguna melalui konten berdurasi sangat pendek, diiringi audio menarik, dan efek visual yang menggugah. Pola ini memicu pelepasan dopamin secara cepat—senyawa kimia di otak yang berkaitan dengan rasa senang dan kepuasan. Semakin sering seseorang mengonsumsi konten semacam ini, semakin besar kecenderungannya untuk mencari sensasi serupa—bukan karena kebutuhan informasi, melainkan karena dorongan fisiologis yang menyerupai efek candu. Peneliti dari University of California, Irvine dalam studi berjudul “The Cost of Interrupted Work: More Speed, More Stress” menemukan bahwa interupsi digital yang konstan, termasuk dari notifikasi dan konten cepat dapat membuat otak lebih sulit kembali ke fokus penuh. Penelitian Microsoft dalam Time.com (2015) menunjukkan bahwa rentang perhatian manusia telah menyusut drastis—dari rata-rata 12 detik pada tahun 2000 menjadi hanya delapan detik pada 2013—sebagian besar disebabkan oleh gaya hidup berbasis layar dan konsumsi konten impulsif seperti media sosial dan notifikasi terus-menerus. Bahkan ketika seseorang tidak lagi aktif menonton, otaknya tetap mencari stimuli pengganti—semacam keresahan digital—yang mendorongnya untuk terus scroll tanpa arah. Dampaknya tidak selalu terlihat secara dramatis, tapi pelan-pelan mengikis. Konsumsi yang terus-menerus terhadap konten dangkal dapat melemahkan kemampuan berpikir kritis, memperpendek rentang fokus, dan membentuk pola pikir reaktif ketimbang reflektif. Kita menjadi cepat bosan dengan informasi yang butuh pemrosesan, dan lebih tertarik pada sensasi instan yang menyenangkan tapi tidak membangun. Dilema Play–Pause: Hiburan Sehat atau Ketergantungan? Rentang antara hiburan sehat dan ketergantungan digital sangat tipis. Konten receh bisa menjadi pereda stres sesaat, membantu mengalihkan pikiran dari tekanan hidup yang terus datang bertubi-tubi. Namun ketika konsumsi semacam ini menjadi rutinitas otomatis—terjadi tanpa sadar, setiap kali stres datang, setiap kali jeda muncul di sela aktivitas—kita sesungguhnya sedang bergerak menuju zona abu-abu: bukan lagi sekadar pengguna, tapi terikat oleh pola. Zona ini berbahaya karena kerap tidak terasa. Menonton video lucu sebelum tidur, membuka TikTok sambil makan, atau scroll Instagram saat istirahat tampak seperti hal kecil yang wajar. Tapi ketika semua momen diam kita diisi oleh konsumsi konten—dan hanya itu—maka jeda bukan lagi momen reflektif, melainkan pelarian yang menumpuk.Alih-alih menghadapi stres, kita menekannya. Alih-alih mengolah emosi, kita menundanya dengan tawa sementara. Lama-lama, tubuh dan pikiran tidak lagi tahu cara istirahat tanpa hiburan eksternal. Dalam psikologi, pola seperti ini disebut sebagai compulsive coping—strategi bertahan hidup yang awalnya sehat, tapi menjadi maladaptif ketika dilakukan secara berlebihan. Sejumlah studi telah mencatat keterkaitan antara screen time berlebih dan peningkatan gejala kecemasan, kelelahan mental, hingga gangguan tidur, terutama pada kelompok usia muda. Rekomendasi untuk Membuka Ruang Jeda yang Lebih Sehat So, sobat Gen Z 1miliarsantri.net, apakah kalian akan terjebak dalam scrolling yang menjadi candu tanpa mampu memanajemennya dengan bijak, atau sejak dini mengatur pola dalam aktivitas scrolling sebagai bentuk hiburan semata tanpa meninggalkan efek ketergantungan.** Penulis : Ramadani Wahyu Foto ilustrasi AI Editor : Thamrin Humris

Read More

Cara Efektif Menggunakan YouTube Sebagai Sumber Belajar Berkualitas

Situbondo – 1miliarsantri.net: Di zaman serba digital seperti sekarang, belajar tidak lagi hanya bergantung pada buku dan ruang kelas. Tapi juga melalui berbagai media, dan salah satu platform yang paling sering digunakan adalah YouTube. Saat ini Youtube dimanfaatkan untuk menambah pengetahuan oleh banyak orang. Siapa sangka, platform yang mulanya dikenal sebagai tempat hiburan ini, ternyata juga memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai sarana edukasi. Tak sedikit pelajar, mahasiswa, bahkan pekerja profesional yang menjadikan YouTube sebagai “kelas virtual” mereka. Tapi, tentu saja ada cara efektif menggunakan YouTube agar manfaat belajarnya benar-benar terasa, bukan sekadar terjebak scroll video hiburan yang tak berujung. Jika kalian ingin memanfaatkan YouTube sebagai sarana belajar, maka penting untuk mengetahui cara menggunakannya dengan bijak dan strategis. Karena, tanpa kendali, YouTube bisa menjadi tempat distraksi yang sangat kuat. Namun jika digunakan dengan cara yang tepat, platform ini bisa jadi mentor pribadi yang luar biasa. Menjadikan YouTube Sebagai Ruang Belajar Pribadi Belajar dari YouTube memang terasa fleksibel. Kita bisa memilih sendiri topik, waktu, dan gaya belajar yang cocok. Tapi agar prosesnya benar-benar efektif, maka sangatlah penting untuk memiliki strategi. Langkah pertama yang bisa kamu lakukan adalah menentukan tujuan belajarmu. Apakah kamu ingin memperdalam materi pelajaran sekolah, belajar skill baru seperti desain grafis atau coding, atau sekadar mencari inspirasi dalam bidang yang kamu minati? Setelah tahu apa yang ingin dipelajari, cari channel yang kredibel. Jangan asal pilih video hanya berdasarkan banyaknya view atau thumbnail yang menarik. Perhatikan juga siapa pembuat kontennya, apakah dia ahli di bidangnya? Apakah ada referensi atau sumber yang jelas? Review dari penonton lain juga bisa jadi pertimbangan. Gunakan fitur playlist untuk mengatur video-video yang ingin ditonton. Playlist membantu kamu belajar secara bertahap dan runtut, bukan acak. Banyak channel edukatif yang sudah menyediakan playlist berdasarkan topik atau tingkatannya. Ini sangat membantu agar kita tidak merasa bingung atau kehilangan arah saat belajar. Satu lagi tips penting: jangan hanya menonton pasif. Catat poin penting, pause jika perlu, ulangi bagian yang sulit dimengerti, dan coba praktekkan apa yang kamu pelajari. Ini adalah bagian dari cara efektif menggunakan YouTube membuat proses belajarnya aktif dan interaktif, seperti sedang belajar langsung dari guru. Selain itu, YouTube juga memiliki fitur subtitle otomatis dan transkrip. Fitur ini sangat berguna untuk memperjelas bagian yang sulit dimengerti, apalagi jika video tersebut menggunakan bahasa asing. Buat Jadwal Belajar, Hindari Overload Informasi Satu tantangan terbesar dalam belajar dari YouTube adalah ‘terlalu banyak pilihan’. Terkadang satu video bisa membawa kita ke video lain, dan kemudian tanpa disadari waktu belajar kita berubah menjadi waktu menonton konten hiburan. Karena itu, penting banget untuk punya jadwal dan batasan. Cara efektif menggunakan YouTube juga berarti tahu kapan harus berhenti. Maka buatlah jadwal dan tentukan durasi belajar setiap harinya, misalnya 30 menit dalam sehari atau 1 jam saja. Gunakan alarm atau reminder jika perlu. Saat waktu habis, tutup aplikasi, dan lanjutkan aktivitas lainnya. Ingat, kualitas lebih penting daripada kuantitas. Kalau kamu punya waktu luang lebih, gunakan fitur “Watch Later” untuk menyimpan video menarik yang belum sempat ditonton. Jangan buru-buru nonton semua sekaligus. Tapi, coba untuk fokus pada satu topik dalam satu waktu, langkah ini akan jauh lebih efektif dibanding menonton berbagai topik dalam satu hari sekaligus. Untuk menjaga motivasi belajar tetap tinggi, kamu juga bisa gabung ke komunitas pembelajar. Banyak channel YouTube memiliki komunitas tersendiri di kolom komentar atau grup media sosial mereka. Di sana kamu bisa berdiskusi, bertanya-jawab, dan saling menyemangati satu sama lain. Dengan cara ini maka, belajar jadi tidak terasa sendiri. Dan yang tak kalah penting, coba untuk berlangganan channel yang benar-benar bermanfaat. Dengan begitu, kamu akan terus mendapatkan update terbaru yang sesuai dengan minat dan tujuan belajarmu. Ini salah satu cara efektif menggunakan YouTube agar terus konsisten dan berkembang. Akhiri dengan Tujuan, Lanjutkan dengan Aksi Setiap orang punya cara belajar yang berbeda, dan YouTube memberi ruang besar untuk menyesuaikan gaya belajar itu. Tapi, yang membuat perbedaan adalah bagaimana kita menggunakannya. Apakah hanya sebagai hiburan sesaat, atau sebagai jendela ilmu yang bisa membuka banyak kesempatan? Dengan mengetahui cara efektif menggunakan YouTube, kita bisa menjadikannya lebih dari sekadar platform video. Ia bisa menjadi guru digital, mentor skill, hingga sumber inspirasi yang bisa mengubah masa depan. Semua kembali ke bagaimana kita memanfaatkannya. Jadi, yuk ubah cara pandang kita terhadap YouTube. Mulailah dengan niat belajar yang serius, pilih konten yang tepat, buat jadwal yang realistis, dan konsisten untuk menjalankannya. Karena di balik layar itu, ada lautan ilmu yang siap kita selami, asal kita tahu cara menyelamnya. Cara efektif menggunakan YouTube bukan tentang seberapa banyak video yang ditonton, tapi seberapa dalam kita bisa memahami, menyerap, dan mempraktikkan ilmunya. Semoga kamu bisa mulai menjadikan YouTube sebagai sahabat belajar yang sesungguhnya. Selamat mencoba! Penulis : Iffah Faridatul Hasanah Editor : Toto Budiman

Read More