Ziswaf untuk Perubahan Iklim: Potensi Solusi dari Filantropi Islam

Malang – 1miliarsantri.net : Isu perubahan iklim kini memasuki fase darurat yang membutuhkan solusi konkret dan kolaboratif. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang rentan terdampak krisis iklim, masih menghadapi tantangan besar dalam memperoleh pembiayaan adaptasi dan mitigasi. Padahal ziswaf untuk perubahan iklim sangat berpotensi besar. Di tengah belum optimalnya dukungan negara maju, potensi ini menjadi alternatif dari dalam negeri namun belum dimaksimalkan dengan baik. Zakat, infak, sedekah, dan wakaf sebagai bagian dari filantropi Islam menawarkan solusi pendanaan yang tidak hanya etis dan inklusif, tetapi juga berkelanjutan secara sosial. Potensi Ziswaf untuk Perubahan Iklim di Indonesia Indonesia adalah negara dengan tingkat kedermawanan tinggi dan mayoritas penduduk Muslim. Berdasarkan data resmi, potensi zakat nasional bisa mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Di sisi lain, potensi wakaf tunai juga sangat besar. Namun, selama ini sebagian besar dana tersebut disalurkan untuk keperluan konsumtif, respons kebencanaan, dan pengentasan kemiskinan jangka pendek. Padahal, ziswaf untuk perubahan iklim membuka ruang baru untuk pembiayaan program jangka panjang yang fokus pada pelestarian lingkungan dan pemulihan sumber daya alam. Agar efektif, diperlukan transformasi dalam pendekatan pengelolaan ziswaf. Lembaga-lembaga filantropi Islam perlu mulai mengembangkan skema pembiayaan yang diarahkan untuk upaya mitigasi dan adaptasi iklim, seperti konservasi air, penghijauan, restorasi hutan, serta penggunaan energi terbarukan. Dengan memperluas definisi Asnaf yang relevan dengan dampak perubahan iklim seperti mereka yang kehilangan mata pencaharian akibat krisis lingkungan, ziswaf untuk perubahan iklim dapat diterjemahkan ke dalam program-program yang relevan dan kontekstual dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang rentan bencana. Strategi Implementasi Ziswaf untuk Perubahan Iklim Penerapan ziswaf untuk perubahan iklim memerlukan pendekatan kolaboratif antara lembaga zakat, pemerintah, komunitas lokal, dan sektor swasta. Program prioritas dapat mencakup rehabilitasi pesisir, penanaman mangrove, penguatan ketahanan masyarakat sekitar hutan, pengelolaan air permukaan, serta pengembangan infrastruktur hijau seperti rumah ibadah hemat energi dan sekolah ramah lingkungan. Dengan memanfaatkan wakaf produktif, lembaga filantropi dapat menciptakan program-program berkelanjutan tanpa bergantung pada donasi musiman. Perubahan paradigma dalam pengelolaan filantropi Islam akan sangat menentukan keberhasilan upaya adaptasi terhadap krisis iklim. Saatnya ziswaf untuk perubahan iklim tidak lagi diposisikan sebagai opsi pelengkap, melainkan sebagai salah satu pilar utama dalam strategi nasional menghadapi darurat iklim. Perluasan pemahaman masyarakat terhadap isu lingkungan juga penting agar partisipasi tidak sekadar berdasarkan kewajiban agama, tetapi juga kesadaran ekologis.Dengan menggali potensi zakat, infak, sedekah, dan wakaf secara maksimal dan mengarahkannya ke sektor lingkungan, Indonesia dapat menghadirkan solusi lokal terhadap tantangan global. Filantropi Islam dapat menjadi instrumen keuangan sosial yang strategis, tidak hanya untuk pengentasan kemiskinan tetapi juga dalam menjawab krisis iklim. Oleh karena itu, sudah saatnya ziswaf untuk perubahan iklim menjadi prioritas dalam agenda keumatan dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Penulis : Ramadani Wahyu Editor : Iffah Faridatul Hasanah & Toto Budiman

Read More

Titik Balik Iklim: Terumbu Karang Dunia Hadapi Kemunduran Besar

Surabaya – 1miliarsantri.net : Sebuah laporan internasional terbaru yaitu Global Tipping Points Report 2025, menyimpulkan bahwa ekosistem terumbu karang air hangat global telah melewati tipping point termal yang tak lagi memungkinkan pemulihan normal. Laporan ini disusun oleh sekitar 160 ilmuwan dari 23 negara bekerja sama dengan institusi seperti University of Exeter dan Stockholm Resilience Centre. Menurut publikasi pendukung, ambang tipping point terumbu karang diperkirakan di kisaran 1,0-1,5 Celsius pemanasan global dibanding era pra-industri, dengan nilai pusat sekitar 1,2 Celsius. Dengan kondisi pemanasan global saat ini yang telah mencapai kurang lebih 1,4 Celsius, sistem karang berada dalam fase overshoot, yaitu kondisi di mana tekanan lingkungan telah melewati batas toleransi mereka. Laporan menyatakan bahwa peluang untuk mempertahankan terumbu karang yang sehat dalam skala besar setelah melebihi 1,5 Celsius adalah sangat rendah (kemungkinan > 99% telah melewati batas aman). Meningginya Angka Kematian Karang secara Massal Sejak Januari 2023, lebih dari 80% terumbu karang di berbagai negara mengalami peristiwa bleaching hebat akibat lonjakan suhu laut. Dalam kondisi semacam ini, alga simbion (zooxanthellae) yang hidup di dalam jaringan karang keluar, menyebabkan karang kehilangan warna (memutih) dan dalam banyak kasus, mati jika stres suhu berlanjut. Fenomena ini telah menjadi peristiwa pemutihan global terburuk dalam catatan modern, dan banyak karang tidak memiliki waktu untuk pulih sebelum gelombang panas laut berikutnya. Akibatnya, struktur ekosistem mulai rusak seperti karang mati digantikan oleh alga atau substrat kosong, mengurangi keanekaragaman dan produktivitas biologis. Baca juga: Santri Asal DKI Jakarta Tembus Final MQK Internasional 2025 Dampak pada Masyarakat Pesisir Terumbu karang merupakan pondasi ekosistem pesisir yang menyediakan habitat bagi ikan, pelindung pantai dari gelombang, dan tulang punggung pariwisata laut. Hingga 1 miliar orang bergantung secara langsung atau tidak langsung pada kondisi karang sehat untuk mata pencaharian. Jika kerusakan terus meluas, sektor perikanan lokal bisa mengalami penurunan tangkapan, wisata pantai menurun, dan pantai menjadi lebih rentan terhadap erosi atau bencana laut. Situasi ini menempatkan masyarakat pesisir pada risiko sosial-ekonomi tinggi. Sebagai indikasi lokal, Great Barrier Reef Australia melaporkan penurunan karang terbesar dalam 39 tahun terakhir. Validasi dan Tantangan Metodologi Para ilmuwan laporan menyadari bahwa menentukan tipping point untuk terumbu karang bukan hal mudah, karena banyak faktor stres bersamaan, termasuk pengasaman laut (ocean acidification), polusi, penangkapan ikan berlebih, dan penyakit. Dalam artikel Considerations for Determining Warm-Water Coral Reef Tipping Points, para penulis mendukung ambang ~1,2 Celsius sebagai batas pusat, tetapi menyatakan bahwa jika stres tambahan diperhitungkan, ambang efektif dapat lebih rendah untuk banyak sistem lokal. Artinya, meskipun laporan menyebut bahwa dunia telah melewati tipping point, batas pasti per wilayah tetap menjadi pertimbangan aktif dalam penelitian kelautan. Di sisi lain, Zoological Society of London (ZSL) menyebut laporan ini sebagai “peringatan keras” agar dunia segera bertindak. Profesor Tim Lenton, salah satu penulis utama laporan, menyatakan: “Kita tidak lagi dapat membicarakan titik kritis sebagai risiko di masa depan … proses awal dari kematian massal terumbu karang air hangat yang meluas sudah mulai terjadi” (diterjemahkan oleh penulis). Ia juga menegaskan bahwa dampak kerusakan karang telah mempengaruhi ratusan juta orang yang bergantung pada ekosistem tersebut. Laporan Global Tipping Points 2025 memberikan alarm nyata: ekosistem terumbu karang air hangat global telah melewati tipping point termal. Kematian karang massal kini tidak sekadar prediksi, tapi sedang terjadi. Ancaman ini bukan hanya ekologis, tetapi juga sangat manusiawi, yang mana jutaan orang di kawasan pesisir berada di ujung kerentanan. Meski masih ada ketidakpastian ilmiah, tren dan data yang saling mendukung mempertegas bahwa kita berada di titik kritis, dan pilihan kita ke depan menentukan apakah kita dapat menghindari keruntuhan sistem laut yang lebih luas atau melewati era baru yang drastic. Baca juga: Rocky Gerung Wanti-Wanti Presiden Prabowo Soal Ancaman Civil Disobedience Jika Demokrasi Diabaikan Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Ilustrasi by AI

Read More