
Badge Pahala : Bisakah Ibadah Di-Gamifikasi Tanpa Kehilangan Ikhlas
Surabaya -1miliarsantri.net : Di era digital yang serba interaktif, beribadah tidak lagi hanya soal sajadah, mushaf, dan masjid. Kini, gawai seperti smartphone pun ikut sibuk membantu kita khatam Al-Qur’an, menghitung rakaat, hingga mengingatkan dzikir. Lewat berbagai aplikasi dengan konsep gamifikasi, merambah hampir semua aspek kehidupan termasuk aspek spritual. Fungsi badge (lencana), streak (rekor beruntun), dan leaderboard (papan peringkat), menjadikan sebagian Muslim semakin terpacu untuk rajin beribadah, setidaknya secara angka atau simbol pencapaian. Tapi pertanyaannya: di mana letak keikhlasan, kalau ibadah pun mulai diukur dengan lencana digital? Artikel ini akan mengulas potensi dan tantangan gamifikasi ibadah, serta bagaimana kita bisa memanfaatkannya secara bijak agar tetap menjaga kemurnian tujuan spiritual. Tren Gamifikasi Ibadah Gamifikasi atau pendekatan seperti permainan memang fenomena menarik. Di satu sisi, ia menawarkan motivasi baru: membuat rutinitas spiritual lebih terasa menantang dan seru. Di sisi lain, ia juga memunculkan kekhawatiran: apakah kita benar-benar melakukannya karena Allah, atau demi poin dan pengakuan sosial? Prinsip gamifikasi sendiri sederhana: mengambil elemen permainan, seperti poin, peringkat, atau badge lalu menempelkannya pada aktivitas non-permainan. Dalam konteks ibadah, tren ini lahir dari kebutuhan generasi digital yang butuh dorongan visual untuk disiplin. Aplikasi seperti Muslim Pro, Quran Companion, Umma, hingga Habitica (yang multi-agama) memanfaatkan ini. Pengguna bisa melihat statistik tilawah harian, jumlah rakaat yang tercatat, atau progres khatam. Beberapa bahkan mengirim notifikasi jika streak (rekor berturut-turut) terputus. Bagi sebagian orang, badge ‘30 hari tanpa bolong shalat’ terasa membanggakan. Ada sensasi achievement unlocked mirip main game, hanya saja ini berbalut ibadah. Singkatnya fungsi badge sebagai penghargaan personal, fungsi streak sebagai pemicu konsistensi dan leaderboard sebagai penyemangat kompetisi sosial. Apa Kata Agama? Dalam Islam, niat menjadi kunci pembeda. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya…” (HR. Bukhari-Muslim). Artinya, dua orang yang sama-sama shalat bisa mendapat balasan berbeda tergantung isi hati mereka. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan panjang lebar tentang bahaya riya’ — pamer amal supaya dipuji manusia. Dalam dunia fisik, bentuknya bisa beribadah supaya dipandang saleh. Di dunia digital, bisa jadi riya’ tampil dalam bentuk ‘flex’ streak tilawah di Instagram Story. Ayat Al-Qur’an pun mengingatkan: “Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 148). Tapi perlombaan ini bukan di ruang publik semata, melainkan di ruang batin: siapa yang paling tulus mendekat pada Allah. Di sisi lain, psikologi modern mengenal motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik lahir dari dorongan internal — niat tulus, kebutuhan spiritual. Sedangkan motivasi ekstrinsik datang dari hadiah, pengakuan, atau hukuman. Gamifikasi jelas mengandalkan motivasi ekstrinsik: badge, notifikasi, ranking. Hal ini tidak sepenuhnya buruk, kok. Penelitian B.J. Fogg (Stanford) menjelaskan bahwa persuasive technology memang efektif memengaruhi perilaku. Badge bisa jadi starter untuk membentuk kebiasaan baik. Tapi, jika terlalu bergantung pada reward, motivasi asli bisa padam. Lama-lama, ibadah kita akan terasa hampa tanpa notifikasi. Suara Developer : Kenapa Harus ‘Di-Game–kan’? Beberapa developer aplikasi Islami beralasan, pendekatan gamification hanyalah strategi adaptasi. Mereka paham, generasi muda lebih mudah terpancing menyelesaikan target jika dibuat fun. Daripada lupa tilawah sebulan, lebih baik rajin walau karena streak. Anggap saja pintu awal membiasakan diri. Di sisi lain, para ustadz sering menekankan, app hanyalah alat bantu. Niat tetap di tangan pengguna. Fitur reminder, poin, atau badge tidak otomatis mencemari ibadah — asalkan tidak diumbar, apalagi dijadikan ajang pamer. Solusi Bijak : Gunakan Saja, Tapi Jangan Tergantung Teknologi itu netral — tergantung siapa yang memegang. Gamifikasi ibadah tidak harus diharamkan. Bahkan bisa jadi pintu kebaikan kalau ditempatkan dengan benar. Beberapa saran praktis: Sempatkan muhasabah: tanyakan ke diri sendiri, “Kalau tanpa badge, aku masih mau ibadah nggak?” Pada akhirnya, gamifikasi hanyalah teknologi. Badge pahala di aplikasi tak ada artinya kalau niat hati tak lurus. Leaderboard streak Quran tidak menjamin ridha-Nya. Karena yang menilai hanyalah Allah — bukan algoritma, apalagi follower. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. (QS. Al-Baqarah: 148). Boleh saja kita memanfaatkan teknologi, tapi tetap letakkan niat sebagai penuntun. Badge hanyalah alat. Pahala sejati hanya Allah yang tahu. Apapun aplikasinya, kembalilah ke prinsip: amal tergantung niat. Semoga kita tetap mampu mengendalikan teknologi, bukan dikendalikan. Semoga badge digital jadi saksi ikhtiar, bukan bukti pamer. DAFTAR PUSTAKA Kontributor : Faruq Ansori Editor : Toto Budiman