Maulid Nabi Muhammad Dalam Tradisi Perayaan Dunia dan Nusantara

Perayaan Maulid Nabi Di Kalangan Umat Islam di Timur Tengah, Afrika, Asia dan Nusantara Kota Bekasi – 1miliarsantri.net: Umat Islam di berbagai belahan dunia merayakan Maulid Nabi. Maulid Nabi merupakan peringatan hari kelahiran Rasulullah yang diperingati setiap 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriyah. Selain sebagai ungkapan syukur, perayaan ini mencerminkan kekayaan budaya umat Islam di seluruh dunia. Muhammad bin Abdullah, dikenal sebagai Nabi Muhammad SAW merupakan utusan terakhir Allah yang mengemban risalah Islam dan membawa rahmat bagi semesta. Kelahiran Nabi Muhammad menjadi waktu yang istimewa bagi umat Islam untuk mengenang sosok agung pembawa risalah Islam dan merefleksikan nilai-nilai luhur yang beliau wariskan. Sejarah Lahirnya Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wasallam Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah (sekitar 570 M) di Makkah. Tahun Gajah dinamai demikian karena pada tahun itu pasukan bergajah pimpinan Abrahah hendak menghancurkan Kaʿbah, namun Allah mengirimkan burung ababil yang menggagalkan penyerangan mereka sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Fil:1–5. Lahir dari pasangan Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahab, keturunan Bani Hasyim. Sejak dalam kandungan, Aminah mengalami berbagai tanda luar biasa: mimpi bertemu Nabi Ibrahim, cahaya yang menerangi dunia, dan kedamaian spiritual yang mendalam. Riwayat sejarah juga mencatat beberapa fenomena luar biasa menyertai kelahiran beliau: padamnya api sesembahan Majusi yang telah menyala lebih dari seribu tahun, runtuhnya balkon-balkon istana Kisra di Persia, dan terpancar cahaya terang dari Makkah hingga negeri Syam sebagai isyarat kelahiran pembawa rahmat bagi semesta. Sejarah Perayaan Maulid Nabi Muhammad Di Dunia Islam, Tradisi Maulid Nabi tidak dilakukan pada masa Rasulullah maupun para sahabat. Perayaan ini mulai dikenal pada abad ke-4 Hijriyah oleh Dinasti Fatimiyyun di Mesir. khususnya saat Khalifah al-Mu‘izz li-Dīnillāh mempelopori perayaan hari kelahiran Rasulullah sebagai momen penghormatan dan penguatan identitas keislaman. Sultan Salahuddin al-Ayyūbī kemudian mengadopsi dan menyebarluaskan tradisi ini pada abad ke-12 M sebagai sarana meningkatkan semangat keumatan di tengah Perang Salib. Sementara itu, tokoh seperti Khaizuran binti Atha pada 170 H/786 M memerintahkan warga Madinah dan Makkah untuk merayakan Maulid di masjid Nabawi dan rumah-rumah mereka, menjadikannya praktik yang lebih meluas pada masa itu. Raja Al-Mudhaffar Abu Sa’id Kukburi dari Irbil dikenal sebagai tokoh yang mempopulerkan Maulid dengan perayaan besar dan sedekah hingga 300.000 dinar. Maulid Nabi Di Timur Tengah MESIR : Perayaan Maulid dikenal sebagai Moulid al-Nabi, festival ini berlangsung sepanjang bulan. Jalanan dihiasi lampu warna-warni, masyarakat membuat dan membagikan permen tradisional halawet al-moulid, anak-anak mendapat hadiah, serta digelar zikir bersama, pembacaan sirah, dan parade budaya. IRAK dan SURIAH : Nuansanya lebih khidmat dengan majelis zikir, pembacaan Al-Qur’an, dan tausiyah kelahiran Rasulullah di masjid-masjid besar. Jamaah datang mengenakan pakaian terbaik untuk memperkuat rasa ukhuwah. Maulid Nabi Di Benua Afrika SUDAN : Tradisi didominasi dzikir dan pembacaan qasidah. Kelompok Sufi menampilkan tarian dzikir berkelompok sebagai ekspresi kekuatan spiritual dan cinta kepada Rasulullah. MAROKO : Masyarakat menggelar majelis ilmu, membaca Burdat al-Bushiri, memperbanyak selawat, dan memasak couscous untuk dibagikan kepada tetangga sebagai simbol solidaritas. NIGERIA : Pawai akbar menelusuri kota, ribuan orang melantunkan shalawat, membawa bendera Islam, dan menampilkan kesenian daerah dalam rangka memeriahkan Maulid. Maulid Nabi Di Asia dan Nusantara TURKI : Dikenal sebagai Mevlid Kandili, umat Muslim menggelar pengajian, konferensi, dan kegiatan keagamaan di masjid-masjid besar. Maulid menjadi hari libur nasional, ditandai salat berjamaah dan pembacaan Al-Qur’an. PAKISTAN : Semua bangunan publik, masjid, dan rumah dihias lampu warna-warni. Konferensi Seerat di tingkat federal dan provinsi membahas kehidupan Nabi, lomba puisi naʽat, lomba baca Al-Qur’an, serta sedekah makanan dan permen kepada kaum dhuafa. INDIA : Sehari sebelum Maulid, jalanan, masjid, dan pasar dihiasi lampu warna-warni dan pita hijau—simbol Islam—sebagai persiapan menyambut perayaan keesokan harinya. MALAYSIA : Menjadi hari libur nasional. Umat mengisi Maulid dengan pengajian akbar, pembacaan manāqib, ceramah keagamaan, dan lomba-lomba Islami di masjid maupun sanggar dakwah. BRUNEI DARUSSALAM : Puncak acara berupa “Perarakan Agung” sejauh 4,3 km di Bandar Seri Begawan, dipimpin langsung oleh Sultan, dengan ribuan peserta melantunkan selawat sepanjang jalan. Malam sebelumnya digelar pembacaan Syaraful Anām di Istana Nurul Iman. INDONESIA : Peringatan Maulid bukan sekadar mengenang tanggal lahir Nabi Muhammad SAW, tetapi juga wujud syukur umat Islam atas kelahiran penerang kebenaran dan rahmat bagi semesta (rahmatan lil-‘ālamīn). Di Indonesia, Maulid berkembang menjadi tradisi lokal yang sarat dengan nuansa keagamaan, seperti pembacaan Barzanji, shalawat, dan pengajian. Hal ini tercermin dalam berbagai tradisi Maulid Nabi di tiap daerah sepeti : Tradisi-tradisi ini bukan sekadar seremoni, melainkan ekspresi cinta umat Islam Indonesia kepada Nabi Muhammad SAW. Perayaan Maulid menjadi sarana mempererat silaturahmi, memperkuat nilai-nilai sosial, dan menanamkan keteladanan Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Di era digital, Maulid bisa menjadi momentum untuk menyebarkan nilai-nilai Islam melalui media kreatif—dari ilustrasi, podcast, hingga konten edukatif.*** Penulis : Oom Komariah Editor : Thamrin Humris Foto istimewa berbagai sumber

Read More

5 Adab Makan Ala Rasulullah untuk Hidup Sehat dan Penuh Berkah

Adab Makan Yang Diajarkan Nabi Muhammad SAW Jakarta Timur – 1miliarsantri.net: Sudah pernah mendengar istilah mindful eating yang kini populer di era modern? Cara makan penuh kesadaran, menikmati setiap suapan, menjaga porsi, serta tidak berlebihan memang dianggap sebagai gaya hidup sehat. Namun tahukah kamu, jauh sebelum istilah itu dikenal, Islam sudah mengajarkannya melalui tuntunan Rasulullah? Adab makan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW bukan hanya mengatur etika ketika menyantap makanan, tetapi juga sarat dengan nilai kesehatan, spiritual, dan rasa syukur. Hal inilah yang membuat adab makan bukan sekadar kebiasaan, melainkan juga ibadah yang bernilai pahala. Dan dalam artikel ini, kita akan kembali mengingatkan 5 adab makan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW yang relevan untuk kehidupan sehari-hari. Karena dengan mempraktikkannya, kamu tidak hanya menjaga kesehatan fisik, tetapi juga meraih keberkahan dari setiap rezeki yang Allah berikan. Daripada berlama-lama lagi, yuk langsung lihat 5 adab makan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW untuk langsung kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari: 1. Memulai dengan Doa Adab makan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW selalu diawali dengan doa. Membaca basmalah sebelum makan bukan hanya sekadar rutinitas, melainkan wujud kesadaran bahwa setiap rezeki berasal dari Allah. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian makan, hendaklah ia menyebut nama Allah. Jika ia lupa menyebut nama Allah di awal, hendaklah ia mengucapkan: Bismillahi awwalahu wa akhirahu” (HR. Abu Dawud). Dengan mengucapkan doa, kamu seolah memberi jeda sejenak sebelum makan, menenangkan hati, serta memusatkan niat agar makanan menjadi sumber keberkahan, bukan sekadar pemuas rasa lapar. Menariknya, kebiasaan ini sejalan dengan konsep modern mindful eating, yaitu berhenti sejenak sebelum makan untuk fokus pada apa yang ada di depanmu. 2. Tidak Berlebihan dalam Makan Adab makan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW berikutnya adalah tidak berlebihan. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan: Prinsip ini sangat penting, terutama di era modern ketika makanan mudah didapat dan gaya hidup konsumtif sering mendorong orang makan berlebihan. Padahal, Rasulullah SAW menganjurkan porsi yang seimbang: sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air/minuman, dan sepertiga untuk udara. Dengan cara ini, tubuh tetap sehat, terhindar dari penyakit pencernaan, sekaligus melatih jiwa untuk tidak tamak. Di dunia kesehatan, konsep ini identik dengan healthy lifestyle, menjaga pola makan secukupnya, tidak overeating, serta lebih sadar akan nutrisi yang masuk ke tubuh. Dengan kata lain, ajaran Rasulullah SAW tentang adab makan sudah jauh mendahului pola hidup sehat modern. 3. Makan dengan Tangan Kanan Selain soal porsi, adab makan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW juga menekankan cara makan. Rasulullah SAW bersabda: “Wahai anak muda, bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu” (HR. Bukhari dan Muslim). Menggunakan tangan kanan bukan hanya perkara sunnah, tetapi juga melatih kebersihan dan kedisiplinan. Di zaman sekarang, hal ini bisa dihubungkan dengan kesadaran fisik: tangan kanan lebih mudah dijaga kebersihannya, sementara makan dengan tangan kiri diidentikkan dengan kebiasaan yang kurang baik. Selain itu, makan dengan tangan kanan juga mencerminkan kesopanan. Di berbagai budaya, tangan kanan dianggap lebih mulia dan lebih pantas digunakan untuk aktivitas yang baik, termasuk makan. Dengan membiasakan diri, kamu tidak hanya mengikuti sunnah Nabi, tetapi juga menjaga adab sosial yang dihargai banyak orang. 4. Makan dengan Perlahan dan Tidak Tergesa Adab makan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW berikutnya adalah makan dengan tenang, tidak terburu-buru, dan tidak rakus. Rasulullah SAW dikenal makan dengan penuh ketenangan, menikmati makanan secukupnya tanpa tergesa. Kebiasaan ini ternyata sangat bermanfaat bagi kesehatan. Makan perlahan membantu tubuh lebih cepat merasa kenyang sehingga mencegah makan berlebihan. Selain itu, pencernaan menjadi lebih baik karena makanan dikunyah dengan sempurna. 5. Bersyukur Setelah Makan Adab makan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW selalu ditutup dengan rasa syukur. Setelah selesai makan, Rasulullah SAW mengajarkan untuk membaca hamdalah sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah. Rasa syukur ini tidak hanya diucapkan di lisan, tetapi juga dihayati dalam hati, menyadari bahwa setiap makanan adalah karunia yang tidak semua orang bisa menikmatinya. Rasa syukur setelah makan memiliki makna yang mendalam. Pertama, mengingatkan kamu bahwa rezeki berasal dari Allah. Kedua, menumbuhkan empati kepada orang yang kurang beruntung. Ketiga, menjadikan makan sebagai ibadah, bukan sekadar aktivitas duniawi. Dengan demikian, bersyukur setelah makan tidak hanya membuat hati tenang, tetapi juga mendekatkan diri kepada Sang Pemberi Rezeki. Dari lima poin di atas, jelas bahwa adab makan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW bukan sekadar aturan sederhana, melainkan panduan hidup yang menyeluruh. Mulai dari doa sebelum makan, tidak berlebihan, makan dengan tangan kanan, perlahan, hingga bersyukur setelahnya, semua mengandung hikmah besar bagi kesehatan, akhlak, dan spiritualitas. Di tengah tren modern yang sering menekankan gaya hidup sehat, sebenarnya ajaran Islam telah lama memberikan panduan terbaik. Dengan menerapkan adab makan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, kamu tidak hanya merawat tubuh, tetapi juga menghidupkan sunnah, menjaga etika, dan meraih keberkahan dalam setiap suapan. Semoga bermanfaat!*** Penulis : Zeta Zahid Yassa Editor : Ainun Maghfiroh dan Thamrin Humris Foto Ilustrasi

Read More

Umar bin Khattab: Pilar Keadilan dan Ketegasan dalam Sejarah Islam

Jakarta – 1miliarsantri.net: Ketika berbicara tentang tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam, maka nama Umar bin Khattab pasti menjadi salah satu yang akan terlintas di benak. Sosok yang dikenal tegas, adil, dan penuh keberanian ini bukan hanya seorang Khalifah, tapi juga simbol nyata dari kekuatan iman dan integritas dalam memimpin. Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan hidupnya, terutama soal bagaimana menghadirkan keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Artikel ini akan mengajak kalian mengenal lebih dekat tentang siapa Umar bin Khattab dan apa perannya dalam sejarah Islam. Mengenal Umar bin Khattab dalam Lintasan Sejarah Ketika bicara soal sejarah Islam, tak lengkap rasanya tanpa menyinggung peran besar Umar bin Khattab. Beliau adalah khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan juga termasuk dalam kelompok al-Khulafaur Rasyidin, yakni para pemimpin Islam yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Baca juga: Dari Syirik Menuju Tauhid! Revolusi Spiritual Nabi Muhammad SAW dan Lahirnya Peradaban Islam Umar bin Khattab mulanya dikenal sebagai penentang Islam yang keras. Tapi siapa sangka, hidayah menyapanya dalam momen yang begitu dramatis dan emosional. Setelah memeluk Islam, Umar bin Khattab menjadi salah satu pembela yang paling berani. Ia tidak lagi bersembunyi dalam menjalankan ajaran Islam, bahkan secara terbuka menyatakan keislamannya di depan kaum Quraisy yang pada masa itu sangat menentang Islam. Sebagai khalifah, Umar bin Khattab memimpin selama sekitar 10 tahun, dan dalam waktu yang terbilang singkat itu, ia berhasil membawa Islam ke masa keemasannya. Wilayah kekuasaan Islam pada masa itu meluas hingga ke Persia, Romawi Timur bahkan berbagai daerah di luar Jazirah Arab. Dan yang tak kalah penting Umar juga dikenal karena prinsip keadilan dan ketegasannya yang luar biasa. Ia tidak segan mengoreksi aparatnya sendiri, bahkan bersedia menerima kritik dari rakyat jelata. Umar Bin Khattab, Pilar Keadilan dan Ketegasan yang Menginspirasi Umar bin Khattab tidak hanya dikenal karena ekspansi wilayah kekuasaan Islam, tetapi lebih karena prinsip keadilan yang ia pegang erat. Keadilan bagi Umar adalah nilai inti dari kepemimpinan. Dalam menegakkan hukum Ia tidak pernah memandang status sosial, harta kekayaan, atau kedekatan pribadi. Semua orang, tanpa terkecuali, harus diperlakukan sama dan adil. Ada satu kisah yang sangat populer dengan sifat keadilan Umar bin Khattab. Ketika seorang putra gubernurnya berselisih dengan rakyat biasa dan berlaku sewenang-wenang, Umar langsung bertindak. Ia tidak membiarkan jabatan atau kedudukan menjadi alasan pembenaran atas tindakan yang salah. Baca juga: Warisan Ilmuwan Muslim yang Bepengaruh Pada Peradaban Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Modern Sang gubernur pun tidak lolos dari teguran. Bahkan, rakyat yang dirugikan diberikan hak untuk membalas sesuai hukum yang berlaku pada masa itu. Tak hanya adil, Umar bin Khattab juga dikenal tegas dan tidak mudah goyah dalam mengambil keputusan. Tapi di balik ketegasan itu, hatinya sangat lembut. Ia sering berkeliling pada malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya secara langsung dan memastikan bahwa tidak ada yang kelaparan atau dizalimi. Dalam salah satu kisah juga pernah diceritakan bahwa Umar bahkan memikul sendiri karung gandum, untuk diberikan pada seorang ibu miskin yang kelaparan bersama anak-anaknya. Sungguh luar biasa, Ia sebagai seorang pemimpin besar yang wilayahnya membentang luas ribuan kilometer, justru memilih untuk hadir langsung di tengah rakyatnya bahkan tanpa pengawalan. Umar bin Khattab benar-benar menjadi gambaran pemimpin sejati yang kuat, tegas, tapi penuh kasih dan rendah hati. Dalam dunia yang sering kali diliputi oleh ketidakadilan, Umar hadir sebagai inspirasi yang membakar semangat. Dari kisah hidup hingga gaya kepemimpinannya, Umar bin Khattab telah menunjukkan kepada kita semua apa arti sesungguhnya menjadi seorang pemimpin yang adil dan amanah. Dalam lintasan sejarah Islam, namanya akan selalu dikenang sebagai sosok yang tidak hanya memperluas wilayah kekuasaan, tapi juga memperluas keadilan dan kebaikan bagi umat. Semoga semangat dan prinsip hidup Umar bin Khattab bisa terus menginspirasi kita semua dalam menghadapi tantangan zaman dan membangun peradaban yang lebih baik.** Penulis : Iffah Faridatul Hasanah Foto ilustrasi Editor : Thamrin Humris

Read More

Cara Menggali Dan Mengamalkan 4 Sifat Wajib Rasulullah Dalam Kehidupan

Bondowoso – 1miliarsantri.net: Di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan kompleks ini, kita sering merasa kehilangan arah, kehilangan panutan yang benar-benar bisa dipercaya. Sosok yang mampu menjadi teladan sejati dalam ucapan dan tindakan kian sulit ditemukan. Namun, sejarah Islam menghadirkan pribadi agung yang menjadi jawaban dari semua kebutuhan akan teladan tersebut, para Rasul Allah, khususnya Nabi Muhammad SAW.  Apa yang membuat mereka begitu layak diteladani? Salah satunya adalah empat karakter utama yang menjadi fondasi kepribadian mereka, yang disebut sifat wajib Rasul. Keempat sifat ini tidak hanya menunjukkan kesempurnaan moral seorang utusan Allah, tetapi juga bisa dijadikan pedoman hidup oleh setiap manusia yang mendambakan kehidupan yang lurus, jujur, dan bermakna. Artikel ini akan membahas bagaimana kita bisa menggali dan mengamalkan sifat wajib Rasul dalam kehidupan sehari-hari secara nyata. Baca juga: Sholat Kafarat Adakah Dalilnya? Bagaimana Pandangan 4 Madzhab?, Ini Penjelasan Singkatnya Apa Itu Sifat Wajib Rasul? Sebelum mengamalkan, mari pahami terlebih dahulu bahwa sifat wajib Rasul adalah empat sifat utama yang pasti dimiliki oleh setiap Nabi dan Rasul. Sifat ini bukan hanya atribut kepribadian, melainkan syarat mutlak untuk membawa risalah Allah dengan sempurna. Tanpa keempat sifat ini, misi kerasulan tidak akan tersampaikan dengan baik dan tidak akan diterima oleh umat. Adapun sifat-sifat tersebut meliputi Shiddiq (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan), dan Fathonah (cerdas). Cara Menghidupkan Nilai-Nilai Rasul dalam Diri Kita Berikut penjelasan keempat sifat wajib Rasul beserta cara nyata untuk menghidupkannya dalam keseharian, agar kita tidak hanya mengenalnya secara teori, tetapi juga menjadikannya bagian dari karakter dan kepribadian yang mulia. Baca juga: 5 Warna Darah Haid Menurut Fiqih! Mana yang Termasuk Najis, Mana yang Tidak? 1. Shiddiq (Jujur dalam Segala Aspek Kehidupan) Shiddiq berarti jujur, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun niat. Rasulullah SAW telah dikenal sebagai orang yang sangat jujur bahkan sebelum diangkat menjadi Nabi. Kejujuran bisa diterapkan dalam berbagai situasi, mulai dari tidak mencontek saat ujian, tidak berbohong saat izin kerja, hingga berkata jujur dalam hubungan sosial dan keluarga. Masyarakat yang dipenuhi oleh individu jujur akan menjadi masyarakat yang penuh kepercayaan dan aman. 2. Amanah (Bertanggung Jawab dan Bisa Dipercaya) Amanah mencerminkan tanggung jawab dan kepercayaan yang diemban dengan sungguh-sungguh. Rasulullah selalu menjaga titipan dan menyampaikan amanat, bahkan kepada musuh. Menjadi amanah bukan hanya soal memegang rahasia atau menjaga barang, tetapi juga dalam pekerjaan, tugas akademik, dan peran sosial. Seorang pemimpin, misalnya, harus amanah terhadap jabatan dan rakyatnya. Orang tua harus amanah terhadap anak dan keluarganya. 3. Tabligh (Menyampaikan Kebenaran Tanpa Takut) Tabligh berarti menyampaikan risalah Allah tanpa dikurangi atau ditambah. Rasul tidak pernah menyembunyikan wahyu, meski konsekuensinya berat. Dalam konteks modern, kita bisa meneladani tabligh dengan cara menyebarkan informasi yang benar, tidak menyebar hoaks, dan mengingatkan teman atau keluarga dengan cara yang santun bila mereka melakukan kesalahan. Kebenaran harus disampaikan dengan bijak dan adil, bukan dengan marah atau menyakiti. 4. Fathonah (Cerdas, Bijaksana, dan Visioner) Fathonah merupakan kecerdasan yang mencakup akal, emosi, dan spiritual. Rasulullah tidak hanya pandai dalam berdiplomasi, tetapi juga bijak dalam mengambil keputusan penting. Kecerdasan bukan hanya soal nilai akademik, tetapi juga mencakup cara kita memahami orang lain, menghadapi masalah, dan menentukan langkah. Bijak dalam menanggapi konflik, tidak mudah terpancing emosi, dan mampu berpikir panjang adalah bentuk nyata dari sifat fathonah. Keempat sifat wajib Rasul bukan sekadar ajaran yang tertulis di buku agama atau sekadar hafalan pelajaran di sekolah. Sifat-sifat ini merupakan cerminan dari keagungan akhlak Rasulullah SAW yang relevan dan bisa diamalkan di zaman sekarang. Ketika kita jujur (Shiddiq), dipercaya (Amanah), berani menyuarakan kebenaran (Tabligh), dan berpikir cerdas (Fathonah), kita sesungguhnya sedang meneladani Rasul dalam bentuk yang paling sederhana namun paling berdampak. Mulailah dari hal-hal kecil, dari lingkungan terdekat, dan dari diri sendiri. Sebab, dunia ini tidak kekurangan pengetahuan, tapi sangat kekurangan keteladanan. Jadilah bagian dari perubahan itu, dengan menjadikan sifat wajib Rasul sebagai peta hidup yang menuntun kita menuju kebaikan dan keberkahan dunia akhirat.** Penulis : Ainun Maghfiroh Foto ilustrasi Editor : Thamrin Humris

Read More

Tarif Dagang Adalah Daya Tawar Negara, Catatan Kritis Kesepakatan Indonesia Dan Amerika Serikat

Cimahi – 1miliarsantri.net: Kesepakatan perdagangan antara Amerika dan Indonesia yang diklaim oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump melalui media sosial miliknya Truth Social, mengejutkan berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri. Ada yang memuji diplomasi Presiden RI Prabowo Subianto, namun ada juga yang menyesalkan kesepakatan tersebut yang disinyalir merugikan posisi Indonesia. Berikut, 1miliarsantri.net menyajikan sebuah catatan kritis yang ditulis oleh HM Ali Moeslim dalam perspektfi Islam dengan judul : “Tarif Dagang Adalah Daya Tawar Negara.” Kesepakatan Perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat BENAR sebuah ungkapan “the beggars can’t be chooshers”, pengemis tidak bisa menjadi pemilih, berarti bahwa seseorang yang berada dalam posisi yang dibutuhkan atau meminta sesuatu dari orang lain tidak boleh pilih-pilih atau menuntut tentang apa yang mereka terima. Mereka harus berterima kasih atas apa pun yang ditawarkan kepada mereka. Baca juga : Presiden Prabowo Tegaskan Proyek Giant Sea Wall Akan Tetap dimulai Dengan Kekuatan Nasional Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Selasa (15/7) mengklaim telah mencapai kesepakatan perdagangan dengan Indonesia.Kesepakatan ia klaim tercapai setelah berbicara langsung dengan Presiden Prabowo Subianto. Satu-satunya detail yang diungkapkan Trump tentang kesepakatan tersebut adalah AS hanya akan mengenakan tarif impor atas produk Indonesia sebesar 19%, turun dari 32% sebelumnya. Tarif 19% Tidak Gratis Dinikmati Indonesia Namun, tarif 19 persen itu tidak gratis untuk bisa dinikmati Indonesia. Ada beberapa syarat yang harus dipatuhi Indonesia bila ingin menikmati tarif itu; Di sini kita bisa menilai, betapa lemahnya “daya tawar” Indonesia di mata Amerika Serikat. Daya tawar sebuah negara itu tidak muncul begitu saja, namun lahir dari usaha keras terukur membangun stabilitas dan integritas dalam negeri. Rasulullah Memelihara Dan Menjaga Urusan Kaum Muslimin Bagaimana dulu Rasulullah SAW mendirikan dan membangun stabilitas dan integritas negara Islam Madinah? Kita tahu Beliau berkedudukan sebagai kepala negara, Qadli dan Panglima Militer. Beliau memelihara dan menjaga berbagai urusan kaum Muslim dan penduduk lainnya, menyelesaikan perselisihan-perselisihan di antara mereka. Jadi, sejak tiba di Madinah, Beliau mendirikan Daulah atau Negara Islam. Negara tersebut dijadikan pusat pembangunan masyarakat yang berdiri di atas pondasi yang kokoh yakni aqidah dan syariah, di antaranya dengan membuat Piagam Madinah. Madinah saat itu merupakan pusat persiapan kekuatan yang cukup untuk melindungi negara dan menyebarkan dakwah. Setelah seluruh persoalan stabil dan terkontrol, Beliau mulai menghilangkan rintangan-rintangan fisik yang menghadang di tengah jalan penyebaran Islam. Rasulullah SAW bersabda; إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا، وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ “Sesungguhnya Allah akan memuliakan suatu kaum dengan kitab ini (Al Quran) dan menghinakan yang lain.” Kondisi dalam negeri Madinah menjadi stabil, terutama setelah guncangan hebat yang dirasakan oleh penduduk Madinah atas kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud. Stabilisasi dan integralisasi tercapai “hanya” dalam waktu 5 tahun. Baca juga : Etika Pergaulan dalam Islam: Panduan Bijak di Era Modern Rasulullah SAW Melakukan Hubungan Luar Negeri Tahun ke 6 Rasulullah SAW melakukan hubungan luar negeri yakni dengan mengirim surat kepada para Raja yang besar yang menguasai beberapa belahan dunia, surat-surat tersebut dikirimkan setelah Nabi Muhammad SAW kembali dari Perjanjian Hudaibiyah. Tujuan utama pengiriman surat adalah untuk mengajak para penguasa dan raja-raja untuk memeluk agama Islam. Beberapa tokoh yang menerima surat dari Nabi Muhammad SAW antara lain; Heraclius (Kaisar Romawi Timur), Khosrau II (Kaisar Persia), Najasyi (Raja Habasyah), Muqauqis (Raja Mesir), Al-Harits bin Abi Syimr al-Ghassani (Gubernur Suriah), Munzir bin Sawa al-Tamimi (Penguasa Bahrain), dari sinilah tergambar bahwa hubungan luar negeri negara Islam itu adalah dakwah. Khalifah Umar bin Khatab pernah menanyakan tarif dagang atau cukai kepada para saudagar di madinah yang berdagang (ekspor) yang diterapkan oleh negara luar di luar wilayah kekhalifahan. Khalifah bertanya kepada para saudagar Muslim yang mendatangi negara Etiopia, tentang berapa banyak negara tersebut mengambil pajak dari mereka. Mereka menjawab, “Mereka mengambil 10 dari dagangan kami.” Mendengar jawaban ini, Khalifah Umar menyuruh kepada para pegawainya untuk menarik pajak 10% dari barang dagangannya non-Muslim. Khalifah Umar juga bertanya kepada Utsman bin Hanif, “Berapa banyak orang kafir harbi mengambil dagangan jika kalian sampai ke negara mereka?” Jawab dia, “10%.” Mendengar jawaban ini, Khalifah Umar menginstruksikan kepada para pejabatnya untuk menarik pajak 10% atas barang dagangannya non-Muslim. Pemberlakuan Cukai Untuk Barang-Barang Ekspor dan Impor Diterapkan Khalifah Dalam Buku The Great Leader of Umar bin Al Khathab, Dr. Muhammad Ash-Shalabi menuturkan bahwa pemberlakuan cukai untuk barang-barang ekspor dan impor zaman Khalifah Umar telah diterapkan. Nama petugas penarik cukai adalah Al-‘Asyir. Pajak model ini belum ada pada masa Nabi Muhammad SAW. dan Khalifah pertama Abu Bakar. Sebab, masa tersebut adalah masa penyebaran dakwah, jihad di jalan Allah dan proses pendirian Negara Islam. Pada masa Umar bin al-Khaththab, wilayah Negara Islam semakin bertambah luas ke arah Barat maupun ke arah Timur. Sehingga pertukaran barang Negara Khilafah dengan yang lain adalah merupakan suatu tuntutan. Hal ini harus dimanfaatkan untuk kepentingan umat. Khalifah Umar bin aI-Khaththab memiliki ide untuk menerapkan pajak atas barang yang masuk ke Negara Islam. Sebagaimana halnya negara-negara non-Islam menerapkan pajak terhadap para pedagang Islam yang datang ke tempat mereka. Tujuan lain dari Khalifah Umar adaIah untuk melakukan perlakuan yang sama, hal ini disampaikan kepada para sahabat, para sahabat setuju, maka cukai dari kaum kafir adalah ijma’.*** Penulis : HM Ali Moeslim (Penulis dan Pembimbing Hajj & Umroh) Foto istimewa Editor : Thamrin Humris

Read More