Kecerdasan Buatan (AI) Masuk Kurikulum ; Cetak Gen Z yang Memiliki Talenta Digital?

Bekasi – 1miliarsantri.net : Rencana memasukkan kecerdasan buatan (AI) ke dalam kurikulum pendidikan mulai memantik diskusi di berbagai kalangan. Di tengah laju transformasi digital yang kian pesat, langkah ini dinilai strategis untuk membekali generasi muda dengan pemahaman dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan zaman. Namun, muncul pula pertanyaan: sejauh mana kesiapan sekolah, pendidik, dan peserta didik dalam mengadopsi materi berbasis AI? Artikel ini akan mengulas peluang, tantangan, dan dampak potensial dari kebijakan tersebut dalam mencetak generasi yang tangguh menghadapi era digital. Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) telah mengalami perkembangan pesat beberapa tahun terakhir. Dari rumah tangga hingga industrial, AI digunakan untuk berbagai keperluan. Peranan penting teknologi dalam kehidupan mendorong banyak negara mengenalkan pendidikan AI, sepertinya halnya Indonesia yang akan meluncurkan kurikulum AI. Kurikulum AI diwacanakan Kemendikdasmen menyasar peserta didik SD, SMP, SMA/SMK sebagai mata pelajaran pilihan. Rencananya mata pelajaran itu akan direalisasikan pada tahun ajaran 2025/2026. Mengingat pada jenjang pendidikan tersebut masih banyak sekolah yang belum memperkenalkan pendidikan teknologi informasi atau AI. Lantas, apakah kurikulum AI mampu mencetak generasi muda yang siap bersaing di tengah gempuran digitalisasi? Menurut Abbiyu Rafi Eriansyah (22) yang merupakan tenaga pengajar, rencana pemerintah menerapkan kurikulum AI merupakan langkah positif untuk mengenalkan teknologi ke siswa sejak dini. Terlebih mereka akan mendapatkan pengalaman baru mempelajari teknologi. “Kurikulum AI tentunya sangat bermanfaat bagi para siswa, di mana mereka secara tidak langsung bersentuhan dengan teknologi yang canggih. Saya melihat ini seperti jembatan yang dibuat oleh pemerintah agar nantinya siswa berpeluang menciptakan inovasi melalui AI,” kata Rafi saat dihubungi melalui sambungan daring. Ia mengungkapkan saat kurikulum AI terealisasi secara optimal, siswa berpeluang besar menjadi generasi yang dapat bersaing dengan perkembangan teknologi dari dalam maupun luar negeri. Jika menelisik secara jangka panjang, katanya, pendidikan AI menjadi bekal bagi siswa agar bisa mendapatkan pekerjaan di sektor teknologi. Bukan tanpa sebab, banyak perusahaan berlomba menciptakan produk-produk berbasis sistem AI yang memberikan kemudahan bagi konsumen ketika menggunakannya serta memperoleh pengalaman berbeda. “Bagi saya (kurikulum) AI ini strategi yang tepat mengasah keterampilan siswa memanfaatkan teknologi AI. Apalagi anak-anak zaman sekarang lekat banget sama teknologi. Kita bisa lihat sekarang ini  banyak anak-anak menggunakan gawai atau perangkat elektronik lainnya sejak usia dini,” jelasnya. “Jika digunakan hanya untuk menonton video dan bermain game , maka tidak akan berdampak positif. Namun jika pendekatannya lebih edukatif dalam menggunakan gawai dan semacamnya, maka bukan tidak mungkin anak-anak lebih memahami teknologi dibandingkan orangtuanya,” sambungnya. Kurikulum AI, katanya, secara tidak langsung membantu para siswa berpikir secara logis, analitis, dan kritis. Dengan cara pikir seperti ini, siswa akan lebih mudah menemukan jawaban atas suatu masalah. Namun, pemerintah tidak akan bisa mencetak generasi unggul melalui kurikulum AI ketika fasilitas di setiap sekolah belum terpenuhi. Rafi menuturkan fasilitas dan sistem pendidikan di Indonesia perlu dibenahi agar penerapan kurikulum AI berjalan baik dan para siswa mendapatkan pembelajaran dengan maksimal. “Kurikulum ini akan sia-sia jika pemerintah tidak memenuhi fasilitas sekolah lebih dulu terutama perangkat elektronik yang memadai. Kalau fasilitas saja tidak terpenuhi, para siswa tidak akan mendapatkan hasil maksimal dari kurikulum tersebut,” tegasnya. Rafi juga menegaskan pemerintah harus memberikan pendidikan ini secara merata ke seluruh sekolah di Indonesia, khususnya yang berada di kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Ia menginginkan pemerintah tidak terpusat dalam memfasilitasi kebutuhan bahan ajar bagi para siswa. “Perlu digaris bawahi bahwa bukan hanya fasilitas yang dipenuhi, tapi para guru juga harus dibekali pelatihan terkait materi AI, khususnya guru-guru yang ‘gaptek’,” pungkasnya Di sisi lain, bagi siswa, penerapan kurikulum AI cukup dinanti karena ingin mempelajari sesuatu yang baru. Hal itu diungkapkan oleh Muhammad Asadel (15). Baginya jika pendidikan AI telah dilaksanakan, para siswa akan memperoleh ilmu baru sehingga pembelajaran tidak monoton. “Pendidikan AI cukup penting sih karena belajar nggak terkesan itu-itu aja. Manfaatnya juga bisa buat diri sendiri, sekolah, bahkan negara,” kata Asadel, siswa SMA di salah satu Kab. Bekasi. Asadel menginginkan kurikulum AI dilakukan dengan maksimal karena dirinya memiliki ambisi mendalami ilmu teknologi berbasis AI. Ia juga berharap pembelajaran AI lebih sering dilakukan praktik dibandingkan teori. Karena itu, kurikulum AI berpeluang besar mencetak generasi muda agar mampu bersaing di tengah arus transformasi teknologi. Namun, rencana ini harus dibarengi dengan peningkatan fasilitas sekolah berupa lab. komputer atau lainnya sehingga pembelajaran berjalan maksimal. Pemerintah juga tidak boleh melakukan tebang pilih, di mana setiap sekolah di Indonesia mendapatkan hak yang sama. Kontributor : Muhammad Sulthon Sulung Editor : Toto Budiman

Read More

Menyoal Minim Kemampuan Literasi, Jelang Penerapan Kurikulum Kecerdasan Buatan

Jakarta – 1miliarsantri.net : Langkah strategis dalam menyongsong era digital, diambil sebagai pilihan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI saat ini. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Prof. Abdul Mu’ti mengatakan kurikulum kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan coding bakal diterapkan sebagai mata pelajaran pilihan pada tahun ajaran baru 2025/2026. Kebijakan tersebut diperkirakan mulai terlaksana di medio Juli mendatang. Abdul Mu’ti menambahkan nantinya kurikulum tersebut mulai diajarkan untuk jenjang siswa kelas 5 sekolah dasar (SD)  hingga sekolah menengah atas (SMA). Dia menegaskan dua mata pelajaran itu akan diterapkan di sekolah yang sudah siap dari segi sarana internetnya  dan alat yang mumpuni. Pengenalan awal pembelajaran digital dilakukan dengan materi logika komputasi dan kecerdasan buatan. Adapun tujuan Kemendikdasmen memasukkan AI dan coding ke kurikulum guna membangun generasi yang unggul. Terutama dalam hal menguasai teknologi dan mampu menggunakannya untuk hal positif. Isi materi pembelajaran AI dan coding dirancang secara bertahap, relevan, dan menyesuaikan dengan usia peserta didik.  Lantas jelang penerapannya, kurikulum itu mendapat sorotan dari sejumlah pihak. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menyampaikan mestinya pemerintah lebih fokus untuk meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi siswa terlebih dulu yang duduk di tingkat SD dan SMP. Sebab kemampuan peserta didik dalam dua aspek tersebut, dinilai masih rendah. “Saya enggak bisa bayangkan (kemampuan) literasi dan numerasi ini masih sangat buruk, tapi  kita paksakan AI dan coding terus jadinya apa? Menurut saya di jenjang pendidian dasar kita ini SD, SMP sudah kebanyakan mata pelajaran. Jadi enggak jelas kompetensi yang dicapai tuh apa, pendidikan karakternya jadi tidak berhasil. Kemudian kemampuan dasar literasi dan numerasi juga progresnya tidak bagus,” ucapnya ketika dihubungi 1miliarsantri.net, Jumat (27/6/2025). Menurutnya, mata pelajaran AI dan coding itu lebih tepat diterapkan pada jenjang SMA,  “Karena menurut saya pendidikan dasar ini lebih pas untuk penguatan literasi, numerasi dan karakter jauh lebih penting,” tuturnya. Rendahnya kemampuan literasi dan numerasi dalam pendidikan di Indonesia tercermin dari hasil penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Pada penilaian PISA 2022, secara keseluruhan Indonesia mendapatkan skor PISA 369 poin. Ironisnya, skor PISA 2022 ini merupakan skor terendah Indonesia yang nilainya relatif sama dengan skor tahun 2003 dan 2006. Dilihat dari masing-masing aspek yang dinilai, diketahui untuk pengetahuan matematika, Indonesia mendapatkan skor 366 poin. Penilaian pada aspek membaca, Indonesia mendapatkan skor 359 poin. Terakhir, domain sains dengan skor 383 poin. Dari ketiga domain penilaian tersebut, jelas bahwa penilaian terendah yang didapatkan Indonesia adalah pada aspek membaca. Bila dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan Asia lainnya, situasi pendidikan di Indonesia menyedihkan. Misalnya Singapura dengan rata-rata skor PISA 560; Jepang mencapai skor 533; Korea Selatan mendapatkan angka 523; serta sejumlah negara lainnya, seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand, mendapat skor lebih baik dari Indonesia. Hal senada juga disampaikan Ketua Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)  Iman Zanatul Haeri. Dia tak menampik bahwa penggunaan AI kini sudah merambah dunia pendidikan di Indonesia. Namun dia mengingatkan betapa perlunya peningkatan kemampuan literasi dan numerasi sebagai pondasi, sebelum mempelajari AI. Sebab AI juga tak lepas dari bias informasi yang jika ditelan mentah-mentah, bisa merugikan kelompok tertentu atau memperkuat stereotipe yang sudah ada. “Kelemahan AI ini juga mengandung bias karena dia menyediakan pikiran tunggal dan ini sebenarnya juga perlu diantisiapsi bagi anak-anak. Oleh karena itu kami melihat bahwa pembelajaran AI  ini bukan prioritas utama, proritasnya adalah meningkatkan daya literasi dan numerasi anak-anak kita. Karena kalaupun itu tidak ditingkatkan dulu, maka  pembelajaran AI akan menjadi sangat mentah,” jelasnya ketika dihubungi. Mengutip dari situs Artificial Intelligence Center Indonesia (AiCI),  bias dalam AI terjadi ketika sistem kecerdasan buatan menghasilkan keputusan yang condong atau tidak adil. Bias ini dapat muncul dari berbagai sumber, termasuk data yang digunakan untuk melatih AI. Dampak negatif bias dalam AI termasuk diskriminasi, ketidakadilan, dan memperkuat stereotipe. Iman menambahkan perlu adanya aturan dalam penggunaan AI di dunia pendidikan agar guru maupun siswa bisa terlindungi dari bias tersebut. “Kami dari P2G sejak lama  mengusulkan  agar ada pengaturan etik AI di dunia pendidkan atau AI for Education kita bisa mengacu pada Beijing Concensus, di mana ketika kita  hidup di tempat yang banyak AI kata dalam naskah tersebut guru dan siswa harus dipersiapkan  untuk hidup di lingkungan seperti itu. Persiapan ini bukan hanya soal pelatihan, tapi juga perlindungan bagaimana melindungi guru dan siswa kita. Misalnya dari bias AI  yang bisa merusak hubungan guru dan siswa karena ada aktor ketiga di dalam kelas,” terangnya. Menghadapi era penerapan kurikulum kecerdasan buatan, kemampuan literasi yang kuat menjadi pondasi penting agar generasi muda tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga mampu berpikir kritis, kreatif, dan bijak dalam memanfaatkannya. Kontributor : Ardhi Ridwansyah Editor : Toto Budiman

Read More