
Menyoal Minim Kemampuan Literasi, Jelang Penerapan Kurikulum Kecerdasan Buatan
Jakarta – 1miliarsantri.net : Langkah strategis dalam menyongsong era digital, diambil sebagai pilihan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI saat ini. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Prof. Abdul Mu’ti mengatakan kurikulum kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dan coding bakal diterapkan sebagai mata pelajaran pilihan pada tahun ajaran baru 2025/2026. Kebijakan tersebut diperkirakan mulai terlaksana di medio Juli mendatang. Abdul Mu’ti menambahkan nantinya kurikulum tersebut mulai diajarkan untuk jenjang siswa kelas 5 sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Dia menegaskan dua mata pelajaran itu akan diterapkan di sekolah yang sudah siap dari segi sarana internetnya dan alat yang mumpuni. Pengenalan awal pembelajaran digital dilakukan dengan materi logika komputasi dan kecerdasan buatan. Adapun tujuan Kemendikdasmen memasukkan AI dan coding ke kurikulum guna membangun generasi yang unggul. Terutama dalam hal menguasai teknologi dan mampu menggunakannya untuk hal positif. Isi materi pembelajaran AI dan coding dirancang secara bertahap, relevan, dan menyesuaikan dengan usia peserta didik. Lantas jelang penerapannya, kurikulum itu mendapat sorotan dari sejumlah pihak. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menyampaikan mestinya pemerintah lebih fokus untuk meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi siswa terlebih dulu yang duduk di tingkat SD dan SMP. Sebab kemampuan peserta didik dalam dua aspek tersebut, dinilai masih rendah. “Saya enggak bisa bayangkan (kemampuan) literasi dan numerasi ini masih sangat buruk, tapi kita paksakan AI dan coding terus jadinya apa? Menurut saya di jenjang pendidian dasar kita ini SD, SMP sudah kebanyakan mata pelajaran. Jadi enggak jelas kompetensi yang dicapai tuh apa, pendidikan karakternya jadi tidak berhasil. Kemudian kemampuan dasar literasi dan numerasi juga progresnya tidak bagus,” ucapnya ketika dihubungi 1miliarsantri.net, Jumat (27/6/2025). Menurutnya, mata pelajaran AI dan coding itu lebih tepat diterapkan pada jenjang SMA, “Karena menurut saya pendidikan dasar ini lebih pas untuk penguatan literasi, numerasi dan karakter jauh lebih penting,” tuturnya. Rendahnya kemampuan literasi dan numerasi dalam pendidikan di Indonesia tercermin dari hasil penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Pada penilaian PISA 2022, secara keseluruhan Indonesia mendapatkan skor PISA 369 poin. Ironisnya, skor PISA 2022 ini merupakan skor terendah Indonesia yang nilainya relatif sama dengan skor tahun 2003 dan 2006. Dilihat dari masing-masing aspek yang dinilai, diketahui untuk pengetahuan matematika, Indonesia mendapatkan skor 366 poin. Penilaian pada aspek membaca, Indonesia mendapatkan skor 359 poin. Terakhir, domain sains dengan skor 383 poin. Dari ketiga domain penilaian tersebut, jelas bahwa penilaian terendah yang didapatkan Indonesia adalah pada aspek membaca. Bila dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan Asia lainnya, situasi pendidikan di Indonesia menyedihkan. Misalnya Singapura dengan rata-rata skor PISA 560; Jepang mencapai skor 533; Korea Selatan mendapatkan angka 523; serta sejumlah negara lainnya, seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand, mendapat skor lebih baik dari Indonesia. Hal senada juga disampaikan Ketua Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri. Dia tak menampik bahwa penggunaan AI kini sudah merambah dunia pendidikan di Indonesia. Namun dia mengingatkan betapa perlunya peningkatan kemampuan literasi dan numerasi sebagai pondasi, sebelum mempelajari AI. Sebab AI juga tak lepas dari bias informasi yang jika ditelan mentah-mentah, bisa merugikan kelompok tertentu atau memperkuat stereotipe yang sudah ada. “Kelemahan AI ini juga mengandung bias karena dia menyediakan pikiran tunggal dan ini sebenarnya juga perlu diantisiapsi bagi anak-anak. Oleh karena itu kami melihat bahwa pembelajaran AI ini bukan prioritas utama, proritasnya adalah meningkatkan daya literasi dan numerasi anak-anak kita. Karena kalaupun itu tidak ditingkatkan dulu, maka pembelajaran AI akan menjadi sangat mentah,” jelasnya ketika dihubungi. Mengutip dari situs Artificial Intelligence Center Indonesia (AiCI), bias dalam AI terjadi ketika sistem kecerdasan buatan menghasilkan keputusan yang condong atau tidak adil. Bias ini dapat muncul dari berbagai sumber, termasuk data yang digunakan untuk melatih AI. Dampak negatif bias dalam AI termasuk diskriminasi, ketidakadilan, dan memperkuat stereotipe. Iman menambahkan perlu adanya aturan dalam penggunaan AI di dunia pendidikan agar guru maupun siswa bisa terlindungi dari bias tersebut. “Kami dari P2G sejak lama mengusulkan agar ada pengaturan etik AI di dunia pendidkan atau AI for Education kita bisa mengacu pada Beijing Concensus, di mana ketika kita hidup di tempat yang banyak AI kata dalam naskah tersebut guru dan siswa harus dipersiapkan untuk hidup di lingkungan seperti itu. Persiapan ini bukan hanya soal pelatihan, tapi juga perlindungan bagaimana melindungi guru dan siswa kita. Misalnya dari bias AI yang bisa merusak hubungan guru dan siswa karena ada aktor ketiga di dalam kelas,” terangnya. Menghadapi era penerapan kurikulum kecerdasan buatan, kemampuan literasi yang kuat menjadi pondasi penting agar generasi muda tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga mampu berpikir kritis, kreatif, dan bijak dalam memanfaatkannya. Kontributor : Ardhi Ridwansyah Editor : Toto Budiman