Mitos dan Doa Tolak Bala di Bulan Safar, Amalan untuk Melindungi Diri

Malang – 1miliarsantri.net : Dalam kalender Hijriah, bulan Safar sering mendapat perhatian khusus dari sebagian umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Safar bulan kedua setelah Muharam, sering dikaitkan dengan berbagai mitos, khususnya tentang datangnya bala atau kesialan. Keyakinan ini diwariskan turun-temurun, meski tidak semuanya memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam. Di sisi lain, tradisi masyarakat yang berkembang justru melahirkan beragam praktik keagamaan, seperti doa tolak bala, shalat sunnah, hingga sedekah bersama. Praktik ini menjadi bagian dari khazanah Islam Nusantara, yang menarik untuk ditelusuri makna historis maupun religiusnya. Dalam sebagian tradisi, bulan Safar dianggap sebagai waktu turunnya berbagai musibah, penyakit, atau peristiwa buruk. Pada hari tertentu di bulan safar, ada anggapan bahwa bala diturunkan ke muka bumi, sehingga masyarakat melakukan berbagai ritual doa dan sedekah untuk menangkalnya. Doa Tolak Bala di Bulan Safar, untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan Meski anggapan tentang kesialan bulan Safar ditolak, tradisi membaca doa tolak bala tetap hidup dalam masyarakat. Bagi sebagian umat, doa bukan sekadar ritual simbolis, melainkan bentuk permohonan perlindungan kepada Allah SWT dari segala keburukan yang mungkin menimpa. Nah, berikut ini beberapa doa yang sering dibaca pada bulan Safar antara lain: 1. Doa Nabi Muhammad SAW: “Allahumma inni a’udzu bika min al-barashi, wal-jununi, wal-judzami, wa sayyi’il-asqam.” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit belang, gila, kusta, dan segala penyakit buruk lainnya). 2. Doa Selamat dan Tolak Bala: “Bismillahil ladzi la yadurru ma’asmihi syai’un fil-ardhi wa la fis-sama’i wa huwa sami’ul alim.” (Dengan nama Allah yang bersama nama-Nya tidak ada sesuatu pun yang membahayakan di bumi dan di langit, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Selain berdoa, sebagian masyarakat juga melakukan shalat sunnah empat rakaat di hari rabu terakhir bulan safar dengan niat memohon keselamatan. Tak hanya itu, ada pula tradisi sedekah bersama hingga membaca surat Yasin tiga kali dengan doa khusus. Doa pertama, yaitu memohon panjang umur, kedua memohon dijauhkan dari musibah, ketiga memohon kecukupan rezeki. Antara Mitos dan Spiritualitas di Bulan Safar Kepercayaan terhadap mitos di bulan Safar sering kali dipandang sebagai bentuk sinkretisme antara budaya lokal dan ajaran Islam. Beberapa ulama tradisional bahkan menilai bahwa meski secara teologis mitos tersebut memang tidak berdasar, ritual doa dan sedekah yang tumbuh darinya justru dapat memperkuat spiritualitas dan solidaritas sosial. Ulama seperti Ibnu Rajab al-Hanbali secara jelas menolak keyakinan bahwa bulan Safar memiliki nasib buruk khusus. Dalam karya beliau Lathā’iful Maʿārif, Ia menegaskan bahwa bulan Safar tidak berbeda dengan bulan lainnya, kesialan maupun kebaikan bisa terjadi kapan pun, tanpa tergantung bulan tertentu. Pandangan ini selaras dengan hadis Nabi saw.:“Tidak ada penyakit menular (secara mutlak), tidak ada kepercayaan buruk pada bulan Safar.” (HR. Bukhari dan Muslim) . Lembaga seperti MUI secara tegas menyatakan bahwa keyakinan semacam itu perlu diluruskan. Mereka menegaskan bahwa tidak ada dalil syar’i yang melarang menikah atau memulai usaha pada bulan Safar karena dianggap sial. Ulama kontemporer seperti Syaikh Shalih al-Fauzan juga menyatakan bahwa menganggap bulan Safar membawa musibah adalah bentuk syirik kecil dan merusak akidah. Di sisi lain, dalam tradisi Islam Nusantara, muncul pemaknaan yang lebih fleksibel: mitos tersebut memang tidak diakui secara tekstual, tetapi praktik doa, sedekah, dan ikhtiar spiritual tetap dianggap sebagai ekspresi nilai spiritual dan sosial masyarakat Islam Nusantara. Di banyak daerah Indonesia, doa tolak bala di bulan Safar biasanya dilakukan secara berjamaah di masjid atau mushala. Warga berkumpul membaca doa, tahlil, atau manaqib, lalu menutupnya dengan makan bersama. Di Aceh, terdapat tradisi kenduri tolak bala, yakni makan bersama setelah membaca doa di bulan Safar. Di Jawa, dikenal tradisi slametan Rabu Wekasan, yang diisi dengan pembacaan doa keselamatan. Sedangkan di Madura, masyarakat biasa menggelar acara serupa di rumah-rumah dengan menghadirkan tetangga sekitar. Tradisi ini menunjukkan bagaimana doa dan kebersamaan dipandang sebagai cara menangkal mara bahaya. Meski berakar pada mitos, praktik tersebut tetap memberikan nilai sosial, yakni mempererat persaudaraan dan kepedulian antarwarga. Pada akhirnya, bulan Safar tidak bisa dipandang semata sebagai bulan penuh kesialan. Bagi umat Islam, setiap bulan adalah sama-sama ciptaan Allah dan memiliki potensi keberkahan. Yang lebih penting adalah bagaimana menjadikan momentum ini sebagai pengingat untuk memperbanyak doa, memperkuat ikatan sosial, dan meningkatkan kualitas ibadah. Dengan demikian, doa tolak bala di bulan Safar dapat dipahami bukan karena mitosnya, tetapi sebagai ekspresi keimanan dan kebersamaan umat. Penulis : Ramadani Wahyu Foto Ilustrasi Editor : Iffah Faridatul Hasanah

Read More