Bendera Anime One Piece, Panji Rasulullah dan Kemerdekaan Dalam Islam

Bandung – 1miliarsantri.net: Ramai Aksi sebagian masyarakat yang mengibarkan bendera bajak laut dari serial Anime ‘One Piece’ di bawah Bendera Merah Putih jelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT-RI) ke-80 memicu respons dari pemerintah. Tindakan tersebut ditenggarai dan dinilai oleh beberapa pihak mencederai kehormatan simbol negara dan memicu kekhawatiran akan melemahnya penghormatan terhadap nilai-nilai kebangsaan. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Budi Gunawan menyebut gerakan tersebut sebagai bentuk provokasi yang dapat merendahkan martabat bangsa. Simbol-simbol asing, apalagi fisik, tidak relevan dan tidak pantas disandingkan dengan simbol perjuangan bangsa. Berkibarnya One Piece Fenomena Baru Di Medos Pengibaran bendera One Piece atau Jolly Roger, simbol bajak laut dari serial anime asal Jepang karya Eiichiro Oda, di sejumlah rumah dan kendaraan adalah sebuah penomena baru di media sosial hari ini. Benarkah bendera One Piece (Jolly Roger) diartikan sebagai simbol perlawanan di Indonesia? Serta mencerminkan kritik dan ketidakpuasan terhadap pemerintah serta penindasan? Perlu diketahui bahwa aslinya bendera ‘one piece’ hanya lambang kelompok bajak laut dalam anime. Saat ini menurut anak muda adalah sebuah cara anak muda menyuarakan keresahan dan aspirasi mereka melalui simbol budaya populer sebagai simbol Kebebasan dan Perjuangan. Pandangan Islam Terkait Simbol Dan Bendera Kita seharusnya juga mengetahui, bagaimana pandangan Islam terkait sebuah simbol dan bendera? Bahwasananya hukum asal simbol dan bendera adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. “الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يرد دليل التحريم” — “Hukum asal segala sesuatu (selain perbuatan) adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya.” Suatu simbol dapat berubah hukumnya berdasarkan makna, tujuan, dan konteks penggunaannya, dari mubah(boleh) bisa menjadi haram(dilarang), jika melambangkan syirik, kekufuran, atau keyakinan agama lain. Apalagi, Jika dipakai untuk mendorong maksiat, kekerasan, atau kejahatan (misalnya perampokan, pembajakan). Apalagi jika pemasangan atau pengibarannya menimbulkan perpecahan, fitnah, mendorong faham sekularisme (pemisahan antara agama dan kehidupan, antara agama dan negara), nasionalisme atau loyalitas kepada pihak yang memusuhi Islam. Begitupula sebagai sikap atau prilaku “tasyabbuh” (penyerupaan) pada agama atau kaum kafir dalam hal khusus agama mereka atau sikap dan prilaku yang memancar dari aqidah mereka (hadloroh). Bendera Ar-Raya dan Al-Liwa Simbol Syiar dan Persatuan Tentu lain jika simbol atau bendera itu menjadi syiar yang disyariatkan (contoh: panji Nabi ﷺ) atau identitas perjuangan yang dibenarkan menurut syariah Islam misalnya ar-Raya dan al-Liwa yakni menjadi alat untuk memperkuat persatuan umat dalam kebaikan dan dakwah. كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ، مَكْتُوبٌ عَلَيْه ِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ “Panjinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna hitam, dan benderanya (Liwa) berwarna putih, tertulis di dalamnya: “Laa Ilaaha Illallaah Muhammad Rasulullah”.” (HR. Ath-Thabrani) Bendera (liwā) yang pertama kali dikibarkan di hadapan Rasulullah ﷺ–bisa dilihat dalam kitab “Akhlāq al-Nabiy” karya Ibnu Hayyān al-Ashbahāny—adalah oleh Buraidah saat hijrah dan baru masuk Islam. Waktu itu Nabi menyuruhnya mengibarkan bendera saat masuk ke Madinah. Lantas ia copot serbannya kemudian diikat ke tombak kemudian berjalan ke Madinah dengan mengangkatnya. Bendera Rasulullah Berkibar Di Masa Perang dan Damai Kisah itu menunjukkan bahwa bendera Rasulullah tidak hanya digunakan ketika perang, namun dalam damai pun bendera juga dipakai. Dalam peristiwa pembebasan Kota Makkah misalnya, beliau membawa bendera berwarna putih. Dan pada waktu itu kondisinya damai dan tak terjadi peperangan. Perlu diperhatikan bahwa penggunaan harus tetap sesuai aturan syariah dan tidak menimbulkan unsur syirik, fitnah, atau perpecahan. Untuk itu kita mesti berhati‑hati terhadap pengagungan atau loyalitas berlebihan kepada simbol non‑Islam, karena dapat menggeser kecintaan yang seharusnya milik Allah dan Rasulullah SAW. Memang hari ini, kita melihat fakta kehidupan bangsa Indonesia; ketidakadilan semakin meluas, kekayaan alam dieksploitasi oleh negara asing, korupsi tak terkendali, jeratan hutang ribawi yang semakin menggunung, serbuan tenaga kerja asing semakin menjadi, pengangguran yang tak kunjung menurun, tingkat kriminalitas yang semakin tinggi, pembunuhan di mana mana, perzina’an, kemaksiatan dan kerusakan moral merajalela. Melihat semua itu, rasanya sulit untuk menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia sudah benar-benar merdeka. Kalaupun yakin telah merdeka, barangkali itu hanya kemerdekaan secara fisik, yaitu tidak adanya lagi penjajahan militer atau fisik yang dilakukan oleh bangsa lain atas bangsa ini. Kemerdekaan Dalam Perspektif Islam Bagi umat Islam, kemerdekaan bukanlah sekadar hak yang harus diperjuangkan, tetapi menjadi misi utama risalah Islam itu sendiri. Merdeka adalah pembebasan manusia dari penghambaan kepada manusia ke penghambaan kepada Tuhannya manusia. Hal tersebut tampak jelas dalam sabda Rasulullah saw. yang dituliskan dalam sebuah surat untuk penduduk Najran, yang sebagian isinya sebagai berikut: أَمّا بَعْدُ فَإِنيّ أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ الله مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَاد وَأَدْعُوكُم إلَى وِلاَيَةِ اللهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ “Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia).” Misi Islam, setelah menyeru manusia pada tauhid dengan dakwah dan jihad, adalah mengubah manusia dari kejahiliyahan menuju Islam kaaffah, agar terwujud pola interaksi antar manusia berdasarkan hukum Islam, serta kemerdekaan mereka dari pengaruh pemikiran atau ideologi kapitalisme sekuler. Perhatikanlah maksud dari kemerdekaan hakiki yakni tunduk menghamba sepenuhnya kepada Allah SWT dengan menjalankan seluruh perintah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Oleh karena itulah, tujuan setiap pembebasan (futuuhaat) yang dilakukan para pemimpin Islam sejak ratusan tahun yang lalu adalah mengeluarkan umat manusia dari kegelapan sistem kufur menuju cahaya Islam.** Penulis : HM Ali Moeslim (Penulis Buku Revolusi Tanpa Setetes Darah) Foto Kolase Istimewa Editor : Thamrin Humris

Read More

Ahli Waris ‘Sahabat Bung Karno’ Minta Pemda Ende Buka Pintu Sejarah Dengan Jujur

Ende – 1miliarsantri.net: Bung Karno, Islam, Orang Ende sahabat si Bung (termasuk 47 pemain Tonil) dan Pancasila adalah satu kesatuan rangkaian sejarah yang tidak terpisahkan dan tak akan lekang dimakan waktu, saat Bangsa Indonesia memperingati “Hari Lahir Pancasila, 1 Juni tiap tahun. Sejarah Dicatat Dengan Jujur Pada 14 Januari 1934, seorang tokoh pergerakan nasional bernama Ir. Soekarno tiba di Ende sebagai tahanan politik, yang diasingkan oleh Pemerintah kolonial Belanda. Bung Karno dibuang ke Ende karena ketakutan Belanda terhadap gagasan kebangsaan dan kemerdekaan yang dibawanya. Selama empat tahun lebih, hingga 18 Oktober 1938, Bung Karno tinggal di lingkungan yang jauh dari pusat pergerakan politik, di sebuah kota kecil di Pulau Flores, yang tenang namun menyimpan denyut kebangkitan bangsa. Berkaitan dengan sejarah tersebut, tidaklah berlebihan harapan yang diungkapkan oleh Lukman Pua Rangga yang biasa disapa Pak Guru Luken. Dia mengatakan, “Kami tidak menuntut penghargaan berlebihan. Kami hanya ingin sejarah dicatat dengan jujur, bahwa Bung Karno tidak sendiri di Ende. Perjuangan ini adalah perjuangan bersama antara pemimpin dan rakyat.” Harapan tersebut disampaikan Lukman dalam sambutannya pada Malam Renungan Hari Lahir Pancasila di hadapan Bupati dan Wakil Bupati Ende, Muspika Kabupaten Ende serta disaksikan oleh segenap masyarakat Ende yang turut serta menghadiri acara tersebut, Ahad/Minggu (1/6/2025). Ide-Ide Kebangsaan Melalui Seni Pertunjukan Lukman menjelaskan, “Bahwa perjuangan ini adalah perjuangan bersama, antara pemimpin dan rakyat. Bahwa sejarah lahir bukan hanya dari pena dan pidato, tetapi juga dari tangan-tangan penuh lumpur yang menyiapkan panggung untuk sandiwara, yang menghafal naskah dengan terbata-bata, yang berjuang dengan cinta, bukan kata-kata.” Bung Karno hidup di antara masyarakat pesisir yang sebagian besar tidak mengenyam pendidikan formal. Dari sanalah, Iahir sebuah bentuk perjuangan yang luar biasa, tidak melalui senjata atau pidato politik, tapi melalui seni dan budaya. Tonil Kelimutu, dan Naskah Perlawanan Soekarno Melalui Panggung Teater Bung Karno membentuk sebuah kelompok Sandiwara bernama “Sandiwara Kelimutu.” Melalui kelompok inilah beliau menyisipkan pesan-pesan kebangsaan, semangat perlawanan, dan cinta tanah air. Dalam kelompok ini, ikut terlibat kurang lebih 47 orang Ende. Mereka adalah para petani, buruh, nelayan, tukang gunting, tukang kayu, semuanya adalah rakyat kecil yang menjadi pelakon dalam 13 tonil yang ditulis sendiri oleh Bung Karno. Mereka tidak tahu apa itu “nasionalisme” dalam buku teks, tapi mereka merasakannya di hati. Mereka tidak hafal isi manifesto politik, tapi mereka menghidupi gagasan kemerdekaan melalui lakon, peran, dan pesan moral di atas panggung rakyat. 47 Pemain Tonil “Sahabat Bung Karno” Lukman Pua Rangga secara terbuka mengusulkan dan meminta kepada Bupati dan Wakil Bupati Ende memperjuangkan dan memasukan ke 47 Nama Sahabat Bung Karno para Pemain Tonil dalam prasasti sejarah, agar benang merah sejarah Bung Karno di Ende tidak putus dan terlupakan. 47 nama Pemain Tonil Bung Karno yang diminta untuk diabadikan adalah: Ibrahim H Umar Sjah, Darham Ottah, Ruslan Ottah, Djae H Mochtar, Ahmad Polindih, Madu Rodja, Pranoto, Atmosudirdjo, Umar Gani, Djae Bara. Kemudian, Nganda Gande, Djae Gande, Ali Pambe, Wahab Tandjo Palembang, Siku Wasim, Wahit Djari, Weru Karara, Mansor Saripin, Musa H Umar Sjah. Selanjutnya, Pangga Kora, Ja Ali Ibrahim, Go Djun Pio, Awu Rodja, Jo Ho Siu, Alias Batawi, Molo Take, Wasim Palembang, Djafar Penatu, Imam, Riwu Sabu (alias Riwu Ga). Berikutnya, Lodo Nigi, Ndoa Wandu, Djamaludin, Baa Bahron, Da’man, Ibu Atmo, Ibu Pranoto, Suminem, Tin Mugda, Anang, Hamid Anang, Abdurrahman Anang, Abdurrahman Wani, Abdurrahman, dan Imam.*** Ikuti artikel-artikel menarik, informatif dan aktual dari 1miliarsantri.net. Silahkan kirimkan naskah tulisan yang bermanfaat bagi anak bangsa dengan memperhatikan kaidah penulisan 5W1H. Penulis : Thamrin Humris Editor : Toto Budiman Foto istimewa / kolase (WAG Forum Persaudaraan Umat Islam “FPUI” Ende) dan koleksi pribadi.

Read More