Digital Detox Ala Muslim: Rehat dari Sosmed Demi Hati yang Lebih Tenang, Simak Tipsnya

Jakarta – 1miliarsantri.net: Semua informasi dan kegiatan terasa ada dalam satu genggaman, terutama melalui smartphone. Ini fenomena yang membentuk gaya hidup masyarakat saat ini terutama Gen Z dan generasi digital lainnya. Di zaman serba digital ini, siapa sih yang nggak pegang smartphone hampir setiap saat? Bangun tidur langsung buka WhatsApp, sebelum tidur scrolling Instagram atau TikTok. Sosial media memang menyenangkan—bisa terhubung dengan banyak orang, update tren terbaru, atau cari inspirasi. Tapi, tanpa kita sadari, terlalu lama berselancar di dunia maya bisa bikin hati capek, pikiran penuh, bahkan iman terasa menurun. Digital Detox Untuk Kesehatan Mental dan Menjaga Iman Nah, di sinilah digital detox alias istirahat sejenak dari media sosial jadi penting. Sebagai seorang muslim, rehat dari sosmed bukan cuma demi kesehatan mental, tapi juga demi menjaga hati agar lebih tenang dan dekat dengan Allah. Kenapa Kita Butuh Digital Detox? Sering merasa hidup orang lain kok “lebih bahagia” setelah lihat story atau postingan mereka? Ini yang disebut social comparison. Padahal, belum tentu apa yang mereka tampilkan sama dengan kenyataan. Pernah niatnya mau buka Instagram “cuma 5 menit”, eh tahu-tahu sudah 1 jam? Waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk baca Al-Qur’an, shalat sunnah, atau ngobrol sama keluarga malah habis buat scrolling. Kebanyakan melihat konten hiburan kadang bikin kita jadi lalai. Dzikir yang biasanya rutin bisa terlewat, shalat jadi terburu-buru karena “tanggung, bentar lagi videonya habis”. Cara Digital Detox ala Muslim Tenang, digital detox bukan berarti harus uninstall semua aplikasi dan kabur ke hutan kok! Cukup lakukan perlahan tapi konsisten. Berikut beberapa tipsnya: ✅ 1. Niatkan karena Allah Perbaiki niat dulu. Digital detox ini bukan semata-mata demi kesehatan mental, tapi demi membersihkan hati dan mendekatkan diri pada Allah. ✅ 2. Tetapkan Waktu Bebas Sosmed Misalnya, setelah shalat Subuh sampai Dzuhur nggak buka media sosial sama sekali. ✅ 3. Ganti dengan Aktivitas yang Menenangkan Hati Saat tangan gatal ingin scrolling, alihkan dengan hal-hal yang menambah iman: membaca tafsir ringan, mendengarkan murottal, atau sekadar berdzikir sambil rebahan. ✅ 4. Kurasi Akun yang Diikuti Kalau masih perlu sosmed untuk kerja atau bisnis, setidaknya pilih akun-akun yang bermanfaat—kajian Islam, motivasi kebaikan, atau informasi bermanfaat. Unfollow akun-akun yang bikin hati sering iri atau lalai. ✅ 5. Luangkan Waktu untuk Alam dan Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menganjurkan kita untuk menyambung silaturahmi. Sesekali matikan notifikasi, habiskan waktu ngobrol sama keluarga, atau jalan santai di alam terbuka sambil mentadabburi ciptaan Allah. Hasil yang Akan Kamu Rasakan Beberapa orang yang mencoba digital detox merasa hatinya jauh lebih tenang, tidur lebih nyenyak, dan ibadah jadi lebih fokus. Ketika waktu tidak terlalu habis di sosmed, kita jadi sadar bahwa banyak hal yang lebih berharga untuk dikerjakan. Rasulullah bersabda: “Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi) Bukankah ini pengingat yang pas banget untuk kita yang sering terlalu asyik scrolling? Rehat Demi Hati yang Lebih Dekat pada Allah Digital detox bukan berarti anti-teknologi, tapi cara kita mengatur ulang prioritas. Sosmed boleh, asal jangan sampai bikin hati lalai. Yuk, coba mulai dari hal kecil: matikan notifikasi satu jam sebelum tidur, ganti scrolling dengan dzikir, atau pasang niat setiap buka sosmed untuk hal-hal bermanfaat. Semoga dengan rehat sejenak dari dunia maya, hati kita semakin lapang, iman semakin kuat, dan hidup terasa lebih berkah.** Penulis : Annisa Dwi Meitha Foto ilustrasi AI Editor : Thamrin Humris

Read More

Scroll Terus Sampai Otak Nge-lag: Dilema ‘Konten Receh’ Candu Bagi Gen Z

Jakarta – 1miliarsantri.net: Fenomena yang makin umum kebiasaan Gen Z mengakses media sosial dengan aktivitas scrolling yang tak berujung. Di tengah tumpukan tugas, tekanan sosial, dan ekspektasi hidup yang kian kompleks, Gen Z kerap mencari pelarian singkat seperti pada “konten receh” di TikTok. Mereka sering menjadikan video absurd 10 detik tentang kucing nabrak tembok, lipsync random, atau curhat iseng yang tak berkesudahan menjadi sumber hiburan cepat. Namun di balik tawa singkat itu, muncul pertanyaan, “Mengapa kita merasa sulit berhenti scroll?” Konten Receh “Cemilan Digital” Menjadi Candu “Konten receh” di media sosial sama halnya dengan junk food—enak di mulut, tapi bikin eneg. Pasalnya, ia mampu menawarkan hiburan ringan, instan, dan tidak memerlukan perhatian mendalam, dan berpotensi menjadi candu yang sulit dihilangkan. Gen Z yang hidup di era produktivitas tanpa jeda menggunakan konten semacam ini sebagai ruang jeda mental. Bukan sekadar hiburan, tapi juga strategi bertahan di tengah kepenatan mental yang tak selalu bisa dijelaskan. Studi dari Frontiers in Psychology (2020) menemukan bahwa penggunaan humor lewat media—terutama konten ringan dan lucu—justru mampu menekan efek buruk stres dan kecemasan. Fokus dari riset tersebut adalah pola konsumsi media selama pandemi, dan menyimpulkan bahwa humor sebagai bentuk coping berkaitan erat dengan kesejahteraan mental yang lebih baik, sedangkan coping yang lebih bersifat avoidant (menghindar secara pasif) justru berhubungan dengan penurunan kualitas mental. Bahkan, studi oleh Chloe Partlow dan Patricia Talarczyk dalam Journal of Student Research (2021) menunjukkan bahwa Gen Z cenderung menilai konten absurd sebagai lebih lucu dan menyenangkan dibanding bentuk humor yang lebih konvensional. Semakin tidak masuk akal sebuah meme, justru semakin efektif sebagai pengalih stres. Ini menjadi petunjuk menarik bahwa humor digital tak hanya sekadar pemanis linimasa, tetapi juga punya fungsi psikologis yang nyata. Otak yang Nge-lag: Ketika Hiburan Jadi Candu? Istilah brain rot—yang ditetapkan Oxford sebagai “Word of the Year” 2024—mengacu pada penurunan fungsi kognitif akibat konsumsi pasif konten trivial, seperti doom scrolling dan short-form feed tanpa muatan makna. Ini bukanlah alarm yang berlebihan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa paparan berulang terhadap konten pendek, cepat, dan dangkal dapat menciptakan kebiasaan otak mengharapkan stimulasi instan. Akibatnya, otak menjadi “malas” untuk terlibat dalam proses berpikir reflektif, konsentrasi mendalam, bahkan pengolahan ingatan jangka panjang. Fenomena ini sangat terlihat dalam kebiasaan konsumsi Gen Z terhadap media sosial. Platform seperti TikTok dan Instagram Reels dirancang secara algoritmik untuk mempertahankan atensi pengguna melalui konten berdurasi sangat pendek, diiringi audio menarik, dan efek visual yang menggugah. Pola ini memicu pelepasan dopamin secara cepat—senyawa kimia di otak yang berkaitan dengan rasa senang dan kepuasan. Semakin sering seseorang mengonsumsi konten semacam ini, semakin besar kecenderungannya untuk mencari sensasi serupa—bukan karena kebutuhan informasi, melainkan karena dorongan fisiologis yang menyerupai efek candu. Peneliti dari University of California, Irvine dalam studi berjudul “The Cost of Interrupted Work: More Speed, More Stress” menemukan bahwa interupsi digital yang konstan, termasuk dari notifikasi dan konten cepat dapat membuat otak lebih sulit kembali ke fokus penuh. Penelitian Microsoft dalam Time.com (2015) menunjukkan bahwa rentang perhatian manusia telah menyusut drastis—dari rata-rata 12 detik pada tahun 2000 menjadi hanya delapan detik pada 2013—sebagian besar disebabkan oleh gaya hidup berbasis layar dan konsumsi konten impulsif seperti media sosial dan notifikasi terus-menerus. Bahkan ketika seseorang tidak lagi aktif menonton, otaknya tetap mencari stimuli pengganti—semacam keresahan digital—yang mendorongnya untuk terus scroll tanpa arah. Dampaknya tidak selalu terlihat secara dramatis, tapi pelan-pelan mengikis. Konsumsi yang terus-menerus terhadap konten dangkal dapat melemahkan kemampuan berpikir kritis, memperpendek rentang fokus, dan membentuk pola pikir reaktif ketimbang reflektif. Kita menjadi cepat bosan dengan informasi yang butuh pemrosesan, dan lebih tertarik pada sensasi instan yang menyenangkan tapi tidak membangun. Dilema Play–Pause: Hiburan Sehat atau Ketergantungan? Rentang antara hiburan sehat dan ketergantungan digital sangat tipis. Konten receh bisa menjadi pereda stres sesaat, membantu mengalihkan pikiran dari tekanan hidup yang terus datang bertubi-tubi. Namun ketika konsumsi semacam ini menjadi rutinitas otomatis—terjadi tanpa sadar, setiap kali stres datang, setiap kali jeda muncul di sela aktivitas—kita sesungguhnya sedang bergerak menuju zona abu-abu: bukan lagi sekadar pengguna, tapi terikat oleh pola. Zona ini berbahaya karena kerap tidak terasa. Menonton video lucu sebelum tidur, membuka TikTok sambil makan, atau scroll Instagram saat istirahat tampak seperti hal kecil yang wajar. Tapi ketika semua momen diam kita diisi oleh konsumsi konten—dan hanya itu—maka jeda bukan lagi momen reflektif, melainkan pelarian yang menumpuk.Alih-alih menghadapi stres, kita menekannya. Alih-alih mengolah emosi, kita menundanya dengan tawa sementara. Lama-lama, tubuh dan pikiran tidak lagi tahu cara istirahat tanpa hiburan eksternal. Dalam psikologi, pola seperti ini disebut sebagai compulsive coping—strategi bertahan hidup yang awalnya sehat, tapi menjadi maladaptif ketika dilakukan secara berlebihan. Sejumlah studi telah mencatat keterkaitan antara screen time berlebih dan peningkatan gejala kecemasan, kelelahan mental, hingga gangguan tidur, terutama pada kelompok usia muda. Rekomendasi untuk Membuka Ruang Jeda yang Lebih Sehat So, sobat Gen Z 1miliarsantri.net, apakah kalian akan terjebak dalam scrolling yang menjadi candu tanpa mampu memanajemennya dengan bijak, atau sejak dini mengatur pola dalam aktivitas scrolling sebagai bentuk hiburan semata tanpa meninggalkan efek ketergantungan.** Penulis : Ramadani Wahyu Foto ilustrasi AI Editor : Thamrin Humris

Read More

Bagaimana Gen Z Mengonsumsi Fashion, Gaya Hidup atau Gaya Pikir?

Gresik – 1miliarsantri.net: Fashion sudah bukan sekadar soal baju atau celana saja. Bagi Generasi Z atau yang biasa disebut sebagai Gen Z, saat ini fashion sudah menjadi sebuah identitas, ekspresi diri, bahkan alat komunikasi yang tidak perlu disampaikan dengan kata-kata. Kalian mungkin salah satu dari mereka yang memilih outfit dengan teliti karena tahu apa yang dipakai bisa mencerminkan siapa dirimu. Berbicara tentang fashion, kali ini kita akan membahas bagaimana Gen Z mengonsumsi fashion, sebagai alat untuk gaya hidup ataukah sebagai gaya pikir? Untuk menjawab pertanyaan itu simak artikel ini sampai selesai. Pembahasan ini akan dikembangkan berdasarkan hasil survei UMN Consulting. Hasil survei ini memberikan gambaran soal bagaimana Gen Z di Indonesia mengonsumsi fashion. Yuk, kita ulik lebih dalam! Gen Z Lebih Suka Beli Sedikit Tapi Tepat Jika kalian berpikir bahwa anak muda zaman sekarang doyan belanja pakaian terus-terusan, maka perlu kalian ketahui jika pernyataan itu tidak selalu benar. Dari data yang dikumpulkan UMN Consulting terhadap 1.047 responden, mayoritas Gen Z (62,37%) hanya membeli 1–5 pakaian dalam setahun. Hal ini menunjukkan bahwa Gen Z makin selektif dalam memilih fashion. Nggak asal beli, tapi lebih mikirin kualitas dan kebutuhan. Ada juga 26,46% yang membeli 6–10 pakaian, dan cuma 11,17% yang belanja lebih dari 10 pakaian per tahunnya. Hal ini, bisa jadi karena mereka mulai sadar akan pentingnya konsumsi berkelanjutan atau mungkin juga karena pengaruh tren mix and match yang membuat satu item bisa dipakai berkali-kali dengan gaya berbeda. Ini bukti nyata bahwa fashion tidak selalu tentang kuantitas, tapi lebih ke arah strategi dan kecerdasan dalam memilih. Apa Yang Jadi Pertimbangan Gen Z Saat Belanja Fashion? Sebelum kita masuk toko atau buka e-commerce buat belanja baju, pasti ada banyak hal yang kita pertimbangkan. Nah, hasil survei ini juga memberikan pertimbangan utama Gen Z sebelum memutuskan untuk membeli fashion item tertentu. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, aplikasi LiLi Style telah hadir dan telah menempati peringkat 10 teratas aplikasi e-commerce di playstore Indonesia. Bersamaan dengan itu, aplikasi ini telah mengumumkan misinya sebagai platform dengan jutaan pengguna, untuk mendukung dan meningkatkan penjualan para pelaku bisnis fashion lokal di Indonesia. LiLi Style merupakan platform aplikasi fashion wanita yang mengandalkan teknologi AI (artificial intelligene) tercanggih, dalam proses kurasi item lebih dari 1.000 toko lokal yang telah disesuaikan dengan preferensi setiap pengguna. Alih-alih menawarkan brand-brand besar yang telah didistribusikan secara luas, aplikasi fashion ini memanfaatkan teknologi AI untuk mempromosikan produk-produk toko fashion lokal yang unik dengan panduan segmentasi dan personalisasi style pengguna.  Tidak heran, jika desain menjadi alasan nomor satu dengan persentase tertinggi, yakni 98,85%. Siapa sih yang tidak ingin tampil kece?, apalagi jika sesuai dengan selera dan kepribadian. Apalagi di era media sosial seperti sekarang ini, dimana penampilan menjadi salah satu bentuk ekspresi yang paling kelihatan. Di posisi kedua ada “harga” dengan nilai 97,52%. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun desain itu penting, harga tetap menjadi penentu utama. Dengan angka ini dapat kita simpulkan bahwa Gen Z cerdas dalam memilih fashion, mereka mau tetap stylish tapi tetap sesuai dengan isi dompet. Selanjutnya ada faktor “brand yang populer” dengan angka mencapai 49,38%, bahan yang ramah lingkungan (38,87%), dan influencer (15,38%). Yang menarik di sini adalah tingkat kepedulian Gen Z terhadap keberlanjutan. Hampir 40% dari mereka mempertimbangkan apakah pakaian yang mereka beli ramah lingkungan atau tidak. Ini sinyal positif buat brand fashion agar lebih peduli terhadap lingkungan dan etika produksi. Menyeimbangkan Gaya, Harga, Dan Nilai Jika kalian termasuk orang yang menyukai fashion, maka sudah pasti kalian mengetahui tantangan terbesar dalam dunia fashion, yaitu menyeimbangkan antara gaya, harga, dan nilai. Nah, Gen Z ternyata sudah mulai memiliki kesadaran tinggi akan hal ini. Mereka tidak membeli hanya karena mengikuti tren saja, tapi juga telah memikirkan dampaknya baik itu secara sosial maupun lingkungan. Pilihan kita untuk lebih bijak dalam belanja fashion bisa menjadi contoh buat generasi lainnya. Misalnya, beli dari brand lokal, dukung usaha kecil, atau milih bahan yang lebih sustainable. Ini bukan cuma soal gaya, tapi juga sebagai bentuk tanggung jawab. Fashion buat Generasi Z sudah berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Bukan cuma soal kelihatan keren, tapi juga soal nilai, makna, dan pilihan yang berdampak. Dari survei ini, kita bisa melihat jika fashion tidak hanya soal penampilan saja. Melainkan juga soal kepribadian, prinsip, dan kadang bahkan statement sosial. Terkadag desain yang unik, harga yang masuk akal, dan nilai yang dibawa oleh sebuah brand bisa menjadi pertimbangan penting dalam setiap pembelian. Jadi, jika kalian adalah salah satu bagian dari Gen Z, sudah pasti relate banget dengan hal ini. Fashion bisa menjadi cara untuk menunjukkan siapa dirimu sebenarnya bukan hanya dari luar, tapi juga nilai-nilai yang kamu pegang di dalam. Dan buat kalian yang punya brand fashion atau pengen masuk ke dunia fashion, pahami dulu karakteristik Gen Z ini. Mereka nggak gampang dibujuk hanya dengan iklan. Mereka juga mencari makna, dan kalian harus bisa menyediakannya. Bagi gen Z fashion sudah berubah wujud menjadi bahasa baru. Dan kalian, sebagai bagian dari generasi ini, punya peran besar untuk terus membuat fashion menjadi lebih bijak, lebih personal, dan tentunya lebih berdampak.*** Penulis : Iffah Faridatul Hasanah Editor : Toto Budiman

Read More

Gen Z Taat: Anti Skip Sholat Saat Nongkrong

Surabaya – 1miliarsantri.net: Di tengah gaya hidup Gen Z yang lekat dengan nongkrong, ngopi, dan hangout bareng teman, tetap ada sosok-sosok keren yang nggak pernah lupa kewajiban utama: sholat. Mereka membuktikan bahwa asyik nongkrong nggak harus bikin lalai ibadah. Justru, di balik gaya kasual dan celoteh santai, ada komitmen kuat untuk tetap taat. Inilah cerita tentang Gen Z Taat — generasi yang memilih anti skip sholat, bahkan saat lagi seru-serunya kumpul bareng. Seseorang yang lahir antara tahun 1997-2013 tergabung dalam kelompok generasi Z atau istilah kerennya yaitu Gen Z. Gen Z seringkali dikenal dengan generasi yang sangat aktif, ekspresif, dan memiliki gaya hidup dinamis. Mereka sangat familiar dengan kemajuan teknologi, dan suka sekali untuk melakukan eksplorasi ke tempat-tempat baru, dan tentunya hobi banget yang namanya nongkrong. Akan tetapi, di tengah-tengah mereka sibuk nongkrong di cafe, mall, atau tempat-tempat nongkrong lain, muncul satu pertanyaan penting: “Mereka masih menjaga sholatnya ga sih?”, atau “Mereka gimana ya menjalankan kewajiban ibadah sholatnya?” Dan jawabannya: “ya bisa banget dong!” Saat ini makin banyak Gen z yang sadar bahwa keren itu bukan cuma dari outfit, akan tetapi juga soal ketaatan. Ketaatan kepada Sang Pencipta yaitu Allah SWT. Sholat tetap yang utama, meskipun lagi di luar rumah atau nongkrong pun tetap harus dan wajib hukumnya untuk menjaga sholat. Adapun dalil tentang perintah Sholat dalam Al-Quran Surat An Nisa Ayat 103: اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا Artinya: “Sungguh, sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (Q.S. An Nisa: 103). Pada ayat tersebut menjelaskan tentang pentingnya mengingat Allah SWT di manapun dan kapan pun serta melaksanakan kewajiban ibadah sholat dengan sempurna atas waktu yang telah ditentukan sebagai orang-orang yang beriman. Nah, biar tetap istiqomah, yuk simak tips simple tapi powerfull untuk tetap jaga sholatmu! 1. Cari Tempat yang Menyediakan Musholla. Sebelum berangkat nongkrong atau hangout, pastikan dulu tempat yang dituju menyediakaan fasilitas ibadah seperti musholla atau lokasinya yang berdekatan dengan masjid. Lantas, bagaimana cara kita tahu tempatnya ada mushollanya atau tidak? Teknologi sudah canggih, manfaatin sosial mediamu buat cari tau di cafe itu ada mushollanya atau tidak? Tidak ada salahnya juga untuk tanya melalui DM (Direct Message) ke adminnya “Kak, di situ ada mushollanya ga ya?” Untuk cara lain yaitu cek di google maps, tempatnya kira kira dekat dengan masjid apa ya. 2. Atur Waktu Keberangkatan. Supaya tidak mengganggu waktu sholat, kalau bisa berangkat setelah menjalankan ibadah sholat. Misalnya, berangkat setelah Sholat Maghrib, supaya tidak ketinggalan waktu sholat Maghrib. Atau lebih baik lagi, menunggu sampai waktu Sholat Isya, jadi bisa hangout dengan tenang tanpa kepikiran terdapat ibadah yang belum ditunaikan. Lantas, kalau mau nongkrong siang atau sore bagaimana? Jawabannya: Pastikan selalu untuk menjaga sholat dzuhur atau ashar tetap on time ya. Jangan sampai meninggalkan kewajiban  hanya untuk urusan duniawi, apalagi kalau itu nongkrong. 3. Bawa Peralatan Sholat Sendiri. Ini merupakan sebuah life hack, terutama buat para muslimah. Membawa mukena travel size yang ringkas dan dapat dilipat hingga berbentuk kecil sehingga mudah dimasukkan ke dalam tas. Selain menjaga kehigienisan diri sendiri, membawa mukena sendiri membuat diri tenang apabila terdapat tempat sholat yang tidak menyediakan mukena. Contohnya pada saat wabah Covid-19 kemarin, tempat-tempat umum tidak menyediakan mukena karena ditakutkan dapat menjadi media penularan virus. Maka dari itu sangat penting bagi para Muslimah untuk membawa mukena sendiri untuk tetap menjaga kebersihan diri sendiri. Dan untuk laki-laki, pastikan selalu mengenakan celana panjang yang nyaman ya, agar lebih memudahkan diri sendiri dan tidak kebingungan menutup aurat saat Sholat. Nah, jadi sholat itu bukan sebuah pengahalang untuk kita para Gen Z untuk pergi nongkrong atau hangout loh. Namun, justru menjadikan pengingat bahwa kita tetap berkomitmen kepada Allah di manapun kita berada agar menjadi hamba yang taat. Dengan kita melakukan sedikit persiapan, kita dapat tetap menajalani gaya hidup aktif tanpa meninggalkan kewajiban kita sebagai umat Muslim. Karena pada kenyataannya, Gen Z yang keren itu bukan cuma dilihat dari stylenya saja yang keren, tetapi juga cara mereka menjaga keistiqomahannya dengan tetap menunaikan sholat tanpa skip, kapan pun dan di mana pun.** Penulis : Yunika Hastiwi Editor : Toto Budiman

Read More